POLITECNICO DI MILANO DIPARTIMENTO DI INGEGNERIA IDRAULICA, AMBIENTALE, INFRASTRUTTURE VIARIE, RILEVAMENTO Sezione Ambientale Fondazione Lombardia per L'ambiente PROGETTO KYOTO LINEA SCENARI E POLITICHE Politiche tecnologiche dirette: Biocombustibili Responsabili della ricerca: Prof. Michele Giugliano Data Luglio 2008 REDATTO SEZIONE AMBIENTALE APPROVATO Relazione n° 646.8002.70.51 1 2 POLITECNICO DI MILANO DIPARTIMENTO DI INGEGNERIA IDRAULICA, AMBIENTALE, INFRASTRUTTURE VIARIE, RILEVAMENTO Sezione Ambientale PROGETTO KYOTO LINEA SCENARI E POLITICHE POLITICHE TECNOLOGICHE DIRETTE: BIOCOMBUSTIBILI • Sintesi tecnica • Relazione dell’unità operativa Luglio 2008 Autori Michele Giugliano, Stefano Caserini, Costanza Scacchi 3 4 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili INDICE INDICE ________________________________________________________________________ i SINTESI TECNICA ____________________________________________________________ I 1 CARATTERISTICHE E DIFFUSIONE DEI BIOCARBURANTI_____________________ 1 1.1 CARATTERISTICHE DEI BIOCARBURANTI _________________________________________ 1 1.1.1 Biodiesel_____________________________________________________________________________ 1 1.1.2 Bioetanolo e bio-etbe ___________________________________________________________________ 3 1.1.3 Oli vegetali puri _______________________________________________________________________ 6 1.2 NORMATIVA EUROPEA E ITALIANA ______________________________________________ 7 1.3 PRODUZIONE E DIFFUSIONE DEI BIOCARBURANTI IN EUROPA ______________________ 7 1.4 PRODUZIONE E DIFFUSIONE DEI BIOCARBURANTI IN ITALIA ______________________ 10 2 ANALISI DEL POTENZIALE CONFLITTO TRA INTERESSI SOCIO-AMBIENTALI E PRODUZIONE DEI BIOCARBURANTI __________________________________________ 13 2.1 POTENZIALITÀ E RISCHI LEGATI ALLA PRODUZIONE DI BIOCARBURANTI DI PRIMA GENERAZIONE ____________________________________________________________________ 13 2.1.1 Potenzialità dei biocarburanti di prima generazione __________________________________________ 14 2.1.2 Rischi legati alla produzione e al consumo dei biocarburanti di prima generazione __________________ 14 2.2 CAMBIO DI DESTINAZIONE D’USO DEI TERRENI __________________________________ 15 2.3 SICUREZZA ALIMENTARE _______________________________________________________ 16 2.3.1 Analisi del mercato del frumento _________________________________________________________ 2.3.2 Analisi del mercato del mais ____________________________________________________________ 2.3.3 Analisi del mercato dei semi oleosi _______________________________________________________ 2.3.4 Analisi del mercato dello zucchero _______________________________________________________ 2.3.5 Conclusioni sulla questione sicurezza alimentare ____________________________________________ 17 17 17 18 18 2.4 STIMA DELLA POTENZIALE PRODUZIONE DI BIOCARBURANTI ____________________ 18 3. VALUTAZIONE DELLE EMISSIONI NELLA COMBUSTIONE DI BIOCARBURANTI IN VEICOLI PER AUTOTRAZIONE ____________________________________________ 22 3. VALUTAZIONE DELLE EMISSIONI NELLA COMBUSTIONE DI BIOCARBURANTI IN VEICOLI PER AUTOTRAZIONE ____________________________________________ 22 3.1 VARIAZIONI NELLE EMISSIONI DI INQUINANTI REGOLATI DALLA COMBUSTIONE DI BIODIESEL ________________________________________________________________________ 22 3.2 VARIAZIONI NELLE EMISSIONI DI INQUINANTI TOSSICI CON LA COMBUSTIONE DI BIODIESEL ________________________________________________________________________ 26 3.3 VARIAZIONI NELLE EMISSIONI DI INQUINANTI REGOLATI DALLA COMBUSTIONE DI BIOETANOLO _____________________________________________________________________ 27 3.4 VARIAZIONI NELLE EMISSIONI DI INQUINANTI TOSSICI CON LA COMBUSTIONE DI BIOETANOLO _____________________________________________________________________ 30 3.5 VARIAZIONI NELLE EMISSIONI DI INQUINANTI REGOLATI DALLA COMBUSTIONE DI OLI VEGETALI ____________________________________________________________________ 30 i 3.6 CONCLUSIONI __________________________________________________________________ 31 4 L’ANALISI DEL CICLO DI VITA: ASPETTI TEORICI __________________________ 33 4.1 INTRODUZIONE ________________________________________________________________ 33 4.2 DEFINIZIONE DI SCOPI E OBIETTIVI ______________________________________________ 34 4.3 ANALISI DELL’INVENTARIO _____________________________________________________ 35 4.3.1 Definizione e raccolta dei dati ___________________________________________________________ 35 4.3.2 Assegnazione dei carichi ambientali ______________________________________________________ 36 4.4 VALUTAZIONE DELL’IMPATTO DEL CICLO DI VITA _______________________________ 37 4.5 INTERPRETAZIONE DEI RISULTATI ______________________________________________ 38 5 APPLICAZIONE DELLA LCA AL BIOETANOLO - DEFINIZIONE DI SCOPI E OBIETTIVI __________________________________________________________________ 39 5.1 SCOPI E OBIETTIVI _____________________________________________________________ 39 5.2 UNITÀ FUNZIONALE ____________________________________________________________ 40 5.3 PROCESSI STUDIATI ____________________________________________________________ 40 5.4 CONFINI DEL SISTEMA __________________________________________________________ 43 5.5 QUALITÀ DEI DATI _____________________________________________________________ 43 5.5.1 Econivent v1.1 _______________________________________________________________________ 44 5.6 DESCRIZIONE DEI PRODOTTI STUDIATI E QUANTIFICAZIONE DELL’UNITÀ FUNZIONALE _____________________________________________________________________ 45 6. APPLICAZIONE DELLA LCA AL BIOETANOLO – FASE DI INVENTARIO _______ 47 6.1 FASE DI PRODUZIONE AGRICOLA ________________________________________________ 47 6.1.1 Descrizione del processo di produzione agricola _____________________________________________ 47 6.1.2 Dati di inventario _____________________________________________________________________ 48 6.2 FASE DI PRODUZIONE DEL BIOETANOLO _________________________________________ 51 6.2.1 Descrizione del processo di produzione del bioetanolo ________________________________________ 52 6.2.2 Dati di inventario _____________________________________________________________________ 53 6.3 FASE DI PRODUZIONE DELLA BENZINA FOSSILE __________________________________ 54 6.4 FASE DI USO FINALE DEI COMBUSTIBILI _________________________________________ 55 6.4.1 Descrizione del processo di utilizzo finale dei combustibili ____________________________________ 55 6.4.2 Dati di inventario________________________________________________________________ 56 6.5 QUADRO RIASSUNTIVO DEI DATI UTILIZZATI NELL’INVENTARIO __________________ 59 7 APPLICAZIONE DELLA LCA AL BIOETANOLO - VALUTAZIONE DEGLI IMPATTI E INTERPRETAZIONE DEI RISULTATI ________________________________________ 61 7.1 METODOLOGIA DI VALUTAZIONE _______________________________________________ 61 7.1.1 Selezione delle categorie di impatto _______________________________________________________ 61 7.1.2 Classificazione e caratterizzazione ________________________________________________________ 61 7.2 RISULTATI DELLA VALUTAZIONE _______________________________________________ 62 7.2.1 Emissioni di gas serra __________________________________________________________________ 63 7.2.2 Uso di energia _______________________________________________________________________ 65 7.3 CONCLUSIONI __________________________________________________________________ 66 7.4 ANALISI “FROM CRADLE TO GATE” ______________________________________________ 67 7.4.1 Impatti dei singoli processi _____________________________________________________________ 68 7.4.2 Conclusioni dell’analisi “from cradle to gate” _______________________________________________ 69 ii 8 CONFRONTI E ANALISI DI SENSIBILITÀ _____________________________________ 70 8.1 BIOETANOLO: CONFRONTO CON ALTRI STUDI DI LCA ____________________________ 70 8.2 BIODIESEL: EMISSIONI DI GAS SERRA SECONDO LA LETTERATURA ________________ 72 8.3 ANALISI DI SENSIBILITÀ ________________________________________________________ 74 8.3.1 Analisi di sensibilità del consumo di carburante nelle miscele E5 ed E10__________________________ 8.3.2 Analisi di sensibilità delle emissioni di N2O in agricoltura _____________________________________ 8.3.3 Analisi di sensibilità del metodo di allocazione dei carichi ambientali ____________________________ 8.3.4 Analisi di sensibilità: quadro riassuntivo ___________________________________________________ 75 77 79 80 9 POTENZIALE DI PRODUZIONE DI BIOCARBURANTI IN LOMBARDIA E RIDUZIONE DEI GAS SERRA__________________________________________________ 83 9.1 LE PRODUZIONI AGROALIMENTARI IN LOMBARDIA ED IN ITALIA _________________ 83 9.2 METODOLOGIA DI STIMA _______________________________________________________ 85 9.3 SCENARI ANALIZZATI __________________________________________________________ 87 9.3.1 Scenario 1, potenziale massimo __________________________________________________________ 9.3.2 Scenario 2, potenziale “sostenibile” _______________________________________________________ 9.3.3 Scenario 3, potenziale minimo ___________________________________________________________ 9.3.4 Sommario degli scenari ________________________________________________________________ 87 87 88 88 9.4 POTENZIALE DI PRODUZIONE DI BIOCARBURANTI ________________________________ 89 9.5 STIMA DELLE POTENZIALI RIDUZIONI DI GAS SERRA _____________________________ 90 9.6 CONCLUSIONI __________________________________________________________________ 91 10. CONCLUSIONI ____________________________________________________________ 92 BIBLIOGRAFIA ______________________________________________________________ 94 APPENDICE 1 _______________________________________________________________ 105 APPENDICE 2 _______________________________________________________________ 113 APPENDICE 3 _______________________________________________________________ 119 iii Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili SINTESI TECNICA Introduzione I biocarburanti sono prodotti derivati da biomassa di origine vegetale che, oltre a prestarsi alla produzione di calore ed energia elettrica, possono essere usati nei veicoli di autotrazione, sia puri che miscelati con i carburanti di origine fossile. Pur se numerosi sono i prodotti potenzialmente utilizzabili come biocarburanti secondo la Direttiva n° 2003/30/CE (recepita dal D.Lgsl. 128/2005), quelli maggiormente prodotti e utilizzati su larga scala sono attualmente biodiesel, bioetanolo, bio-ETBE (etere etil ter-butilico) e oli vegetali puri. Il biodiesel è prodotto a partire da piante e semi oleaginosi (colza, girasole, soia, palma e noce di cocco) da un trattamento di transesterificazione, che consiste nella sostituzione dei componenti alcolici d’origine (glicerolo) con alcool metilico (metanolo). Il biodiesel può essere miscelato nei veicoli diesel tradizionali con il gasolio; la tolleranza del veicolo al biodiesel è molto variabile, in funzione del tipo di motore, quindi delle sue caratteristiche specifiche e della sua anzianità; si preferisce rimanere al di sotto di percentuali di miscelazione con il diesel del 25-30%, onde evitare problemi di carattere tecnologico (intasamento degli iniettori, deterioramento di elastomeri, depositi in camera di combustione, corrosione nei serbatoi di stoccaggio, intasamento dei filtri). Il bioetanolo è prodotto da colture zuccherine (canna da zucchero barbabietola da zucchero, mais, sorgo zuccherino, frumento, colture amidacee residui di coltivazioni agricole e lavorazioni forestali), tramite un processo di fermentazione alcolica, che attraverso la fermentazione del glucosio presente nella biomassa produce molecole di etanolo ed anidride carbonica. Il bioetanolo può essere miscelato nei veicoli tradizionali con la benzina, fino al 10% in volume secondo quanto proposto nel progetto di parere 2007/0019(COD), presentato il 12 luglio 2007, come modifica alla direttiva 98/70/CE. Nonostante questi limiti, alcuni studi dimostrano che il bioetanolo può essere miscelato in percentuali più alte, fino al 15%, in veicoli tradizionali senza modifiche e senza apportare effetti negativi significativi. Per utilizzare miscele di benzina e bioetanolo ad alte percentuali (tipicamente 85% 90% e 100%) sono necessari veicoli particolari, denominati FFVs (flexi fuel vehicles) che in molti paesi sono già distribuiti su larga scala, sia per uso privato che nell’ambito del trasporto pubblico (Brasile, Svezia, USA, Francia, Germania). L’impiego in percentuali elevate di bioetanolo sui veicoli tradizionali può provocare problemi di carattere tecnologico, quali difficoltà di accensione a freddo e in fase di riscaldamento, corrosione delle componenti di gomma del motore, rischio in una miscela di etanolo-benzina di separazione delle fasi in presenza di acqua in fase liquida. Diffusione dei biocarburanti La Commissione Europea già dal 2001 ha promosso l’utilizzo di biocarburanti in Europa; nel 2003, con la Direttiva 2003/30/CE sono stati stabiliti obiettivi di utilizzo di biocarburanti per ogni stato membro. In Italia il recepimento della Direttiva, avvenuto con il D.Lgs 128/2005, poi aggiornato dal D.Lgs 2/2006, prevede la sostituzione, entro il 2010, del 5,75% di carburanti tradizionali con biocarburanti (i valori percentuali sono calcolati in termini energetici). Il Decreto Legislativo citato fissa un limite massimo del 5% di aggiunta di biodiesel nel gasolio per la libera distribuzione presso le stazioni di servizio della rete stradale e autostradale; le miscele con tenori di biodiesel più elevati e biodiesel puro possono essere utilizzati solo su veicoli di flotte pubbliche o private, previa omologazione degli stessi. Pur se il decreto non fissa limiti per l’additivazione delle benzine con etanolo o con l’ETBE, si può fare riferimento a quelli fissati dal D.L. 18/4/1994 n° 280, che definisce i composti organici ossigenati ammissibili quali componenti e/o stabilizzanti di carburanti e, per ciascuno di essi, le percentuali massime di aggiunta (es. 5% in volume per l’etanolo e 15% per l’ETBE). I Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili I biocarburanti, che occupano ancora una quota molto bassa nel consumo totale del settore trasporti (1,5% nel 2005 in Europa), hanno registrato in Europa negli ultimi anni un forte aumento delle produzioni, cresciute dal 2004 al 2006, del 60% del 66% rispettivamente per bioetanolo e biodiesel. L’Unione Europea ha infatti individuato come principali e più praticabili filiere bioenergetiche a livello europeo il bioetanolo (prodotto da frumento, mais o barbabietola da zucchero) ed il biodiesel (da colza, soia o girasole). I quantitativi effettivamente utilizzati nel 2005 sono nettamente inferiori a quelli, mostrati in Tabella 1, che secondo un recente studio dell’European Environment Agency sarebbero producibili in modo ambientalmente sostenibile in Italia e in Europa. Tabella 1 Consumo di biocarburanti nel 2005 e quantità di bioenergia producibile in modo sostenibile secondo l'Agenzia Europea per l’Ambiente Anno consumo produzione sostenibile (EEA, 2007) 2005 2010 2020 2030 EU (25 paesi) PJOe 190 1.959 4.011 5.962 Italia 7 172 373 636 EU (25 paesi) KtOe 4.534 46.800 95.800 142.400 Italia 162 4.100 8.900 15.200 In termini di produzione, a livello mondiale la quota europea di bioetanolo rimane esigua a causa della mancanza delle materie prime necessarie, e il consumo di etanolo è cresciuto in maniera più rapida di quanto non abbia fatto la sua produzione, che pure ha, in Europa, un ben maggiore potenziale di produzione. Il consumo europeo di biodiesel e bioetanolo dipende attualmente dall’importazione da altri paesi che ne sono forti produttori, in particolare Brasile e Stati Uniti. In Italia, la quota di biocarburanti sul consumo totale nel settore dei trasporto (0,5%) è stata nel 2005 inferiore a quella media Europea; sul lato della produzione, nel 2006 l’Italia è stata la terza produttrice europea di biodiesel (dopo Germania e Francia) e la sesta di bioetanolo (dopo Germania Spagna e Francia, Polonia e Svezia). Conflitti nella produzione dei biocarburanti La proposta di utilizzo di biocarburanti ha visto negli ultimi anni la crescita di un grande dibattito sulla relazione tra lo sviluppo della produzione di biocarburanti e le possibili conseguenze sul mercato delle materie prime alimentari. Il passaggio all’uso di materie prime rinnovabili e naturali, decisione motivata dalla potenzialità di riduzione delle emissioni di gas serra, si rivela una scelta complessa che comporta la necessità di prendere in considerazione conseguenze diversificate e indirette, su scala mondiale. Secondo diversi autori il solo bilancio, in termini di riduzione delle emissioni di biossido di carbonio nella fase finale di combustione, non può essere sufficiente a giustificane la produzione: devono essere tenuti in considerazione altri aspetti, quali il conflitto con l’approvvigionamento alimentare, il benessere rurale e lo sfruttamento del suolo, nonché le implicazioni potenziali sui prezzi delle materie prime. Anche dal punto di vista strettamente ambientale, va ricordato che i biocarburanti possono essere prodotti con percorsi (denominati “filiere”) molto diversi, pertanto valutare la capacità produttiva di bioenergia di un territorio significa stimare il potenziale di bioenergia ambientalmente compatibile, assumendo che non si verifichino pressioni aggiuntive insostenibili sulla biodiversità, sul suolo e sulle risorse idriche rispetto ad uno scenario di sviluppo senza utilizzo di bioenergia. I biocarburanti che portano maggiore conflittualità sono quelli definiti di prima generazione, in quanto derivano da materie prime normalmente destinate ad alimentazione animale e umana o ad altre produzioni industriali. I biocarburanti di seconda generazione invece hanno come materia prima l’intera pianta e si producono a partire da biomasse differenti (es. sorgo, miscanto, canna comune, switchgrass); si tratta di graminacee caratterizzate da produttività in termini di biomassa per ettaro molto più alta di quelle tradizionali (mais, frumento, barbabietola e canna da zucchero) e da un rapido sviluppo verticale. Queste biomasse possono apportare maggiori benefici rispetto a quelle utilizzate per produrre i biocarburanti di prima generazione, in II Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili quanto permettono una maggior riduzione delle emissioni di gas serra, possono essere coltivate in terreni non adatti alle colture tradizionali, richiedono input di minore entità e presentano produzioni specifiche più alte. A differenza dei biocarburanti di prima generazione, però, comportano altri aspetti problematici: le materie prime da cui provengono infatti non sono ancora coltivate su larga scala, molte sono tutt’ora in fase di sperimentazione, come del resto anche le tecnologie di trasformazione. Diversi studi prevedono la commercializzazione di questi biocarburanti solo tra circa un decennio. Problemi legati allo sviluppo dei biocarburanti di prima generazione Gli impatti ambientali dei biocarburanti di prima generazione possono essere tanto variabili quanto il loro potenziale di riduzione di gas serra: si tratta di impatti che dipendono largamente dalla localizzazione, dalla tecnica di coltura, dal metodo di trasformazione, dalla destinazione dei residui di lavorazione. È opinione ormai riconosciuta nella letteratura del settore che la riduzione delle emissioni deve essere valutata caso per caso, sulla base di dati specifici dell’effettiva filiera di produzione. A tutt’oggi mancano dei chiari standard di sostenibilità per la produzione di biocarburanti, in grado di prevenire danni ambientali durante le fasi di coltivazione e produzione. Una possibile conseguenza indesiderata del crescente interesse del mercato per i nuovi biocarburanti è la pressione sugli agricoltori ad applicare colture più intensive, con un maggiore uso di fertilizzanti, pesticidi, prodotti chimici, e con un uso non attento di specie vegetali modificate. Uno dei fenomeni più preoccupanti legati allo sviluppo dei biocarburanti è comunque la possibilità di cambio di destinazione d’uso dei terreni, in grado di annullare completamente gli effetti positivi perseguiti. Ad esempio, la produzione di biodiesel da olio di palma, si basa principalmente su materie prime importate da Malesia e Indonesia, che negli anni dal 1967 al 2000 hanno aumentato la superficie destinata alla coltivazione di questa pianta da 2.000 km2 a ben 30.000 km2 (una superficie superiore alla Lombardia), tramite la deforestazione di ampie aree. La preoccupazione, forse oggi prevalente, è legata alla sicurezza alimentare (food security) e al possibile aumento dei prezzi delle materie prime alimentari; in altre parole il pericolo è la possibile dislocazione della produzione a fini energetici in habitat preziosi, in sostituzione a produzioni alimentari meno redditizie, o più semplicemente, l’utilizzo delle materie prime a scopi energetici anziché alimentari. La domanda di biocarburanti negli Stati Uniti e in Europa ha comportato l’aumento dei prezzi di diversi beni agricoli, esacerbando un trend di aumento già in atto a causa della concomitanza di diversi fattori, quali scarsità dei raccolti, aumento demografico ed epidemie del bestiame. Stimare l’influenza che la produzione di biocarburanti può avere sui prezzi delle materie prime è molto complesso proprio a causa della quantità di fattori che influiscono sul processo di formazione del prezzo dei prodotti alimentari. Diversi sono gli studi che hanno mostrato come l’incremento della richiesta dal settore dei biocarburanti porterà ad un aumento del prezzo delle materie prime. Tuttavia, secondo diverse fonti la scala di questo cambiamento non sarà drammatica, se comparata alla situazione attuale dei prezzi. Viceversa, l’effetto stimato della crescita nell’uso di biocarburanti sui prezzi della materia prima sembra essere limitato rispetto al recente aumento dei prezzi dei cereali. La crescente produzione di biocarburanti è infatti solo uno dei tanti fattori che influenza il prezzo dei prodotti agricoli, legato anche alla crescita della domanda e anche alla speculazione finanziaria sui mercati dei prodotti agroalimentari; la quota di cereali prodotti destinati alla produzione di etanolo rimane comunque limitata, seppur in crescita. Potenzialità dei biocarburanti di prima generazione Ci sono comunque aspetti positivi anche nella produzione di biocarburanti di prima generazione: numerosi studi confermano la potenziale rilevanza dei biocarburanti per diminuire le emissioni di gas serra associate al trasporto stradale, ma rilevano, come detto, la necessità di analizzare caso per caso le potenzialità di sostituzione. I biocarburanti permettono inoltre di ridurre la dipendenza da fonti di approvvigionamento in via di esaurimento, contribuendo al raggiungimento dell’obbiettivo di fuel secutity, anche se secondo diversi analisti il ruolo chiave per in questo contesto sarà giocato dai biocarburanti di seconda generazione. Secondo alcuni studi, l’economia rurale potrà trarre beneficio dall’espansione del mercato dei biocarburanti, in quanto le nazioni in via di sviluppo potranno ricevere vantaggi dall’aumento dei prezzi dei beni agricoli di cui sono esportatori, o dai meccanismi di supporto per la produzione. Va ricordato però che l’aumento dei prezzi delle materie prime potrebbe portare a problematiche di approvvigionamento, soprattutto nei paesi più poveri. Secondo alcuni studi lo sviluppo delle colture energetiche all’interno del panorama agricolo esistente non apporterebbe cambiamenti sostanziali nell’attuale politica agraria comunitaria, anzi costituirebbero un’occasione per promuovere lo sviluppo rurale ed evitare l’abbandono di aree incolte. III Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Emissioni dalla combustione di biocarburanti in veicoli per autotrazione Le emissioni in atmosfera derivanti dalla combustione di biocarburanti nei veicoli per autotrazione, utilizzati in miscela con i carburanti tradizionali, sono state oggetto di diversi studi. Il confronto con le emissioni dei veicoli con carburanti tradizionali è di grande interesse per valutare l’impatto sulla qualità dell’aria alla scala locale derivante dalla progressiva introduzione dei biocarburanti. Tale pratica può però comportare benefici aggiuntivi a quelli associati alla riduzione delle emissioni di gas climalteranti, ma anche rischi di conflitto fra le politiche climatiche e quelle per la qualità dell’aria. Il confronto, che ha considerato tutti i dati reperibili nella letteratura scientifica fino al marzo 2008, è risultato difficoltoso per la varietà delle tipologie di biocarburanti e di veicoli testati, nonché per la numerosità delle misure e delle condizioni delle misure stesse (cicli di guida, velocità medie, ecc.). Data la grande variabilità dei livelli emissivi in relazione a queste variabili, si è scelto di valutare le differenze fra le emissioni dei veicoli con carburanti tradizionali e quella degli stessi veicoli con biocarburanti, rimandando ai lavori originali la valutazione dei livelli assoluti delle emissioni. Biodiesel La maggior parte dei test effettuati su miscele di biodiesel e diesel riguarda veicoli pesanti (soprattutto autobus) e le miscele più testate sono il B20 (20% biodiesel e 80% diesel) e il B100 (biodiesel puro). Rimandando al rapporto e ai suoi allegati per i dettagli sui livelli emissivi, in Figura 1 è riportato un quadro riassuntivo dei risultati degli studi più importanti per completezza della sperimentazione e numero di veicoli su cui è stato effettuato il test (25 studi per mezzi pesanti e autobus e 13 per veicoli commerciali leggeri e autovetture). B20 B100 20 variazione % 0 -20 -40 -60 -80 -100 CO NOx HC PM Figura 1 – Variazione media e dispersione delle emissioni dall’uso del biodiesel, rispetto alle emissioni del gasolio. Dall’esame dei dati relativi all’uso del biodiesel si può concludere che nelle emissioni associate si osservano: • una diminuzione nelle emissioni di particolato, monossido di carbonio e idrocarburi, dovuta alla presenza di ossigeno, che permette una combustione più completa, e al minor punto di ebollizione che permette l’evaporazione completa del carburante; • un leggero aumento degli ossidi di azoto dovuto alla stessa presenza di ossigeno nel carburante e alla maggior temperatura in camera di combustione ed una combustione più omogenea; una pressoché totale abbattimento degli ossidi di zolfo con il B100, dal momento che i biocarburanti ne contengono in quantità minime, e quindi riduzione proporzionale con il B20 (-20%). La diminuzione nelle emissioni di particolato, monossido di carbonio e idrocarburi insieme al lieve aumento degli ossidi di azoto, sembrano proporzionali alla percentuale di biodiesel. I veicoli più recenti sembrano presentare minori variazioni nelle emissioni, mentre quelli più datati beneficiano maggiormente della presenza del biocarburante. Con i veicoli di cilindrata minore la tendenza osservata è meno marcata, la dispersione dei dati è maggiore e alcuni studi mostrano risultati in controtendenza. • IV Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Per quanto riguarda gli inquinanti tossici, l’utilizzo di miscele di biodiesel porta ad una riduzione delle emissioni degli IPA (idrocarburi policiclici aromatici), mentre per altri inquinanti (acetaldeide, formaldeide) i risultati sono contrastanti, principalmente a causa della differenza di composizione e origine dei biodiesel utilizzati, nonché delle diverse condizioni sperimentali. Bioetanolo Anche l’uso del bioetanolo miscelato con la benzina è stato oggetti di molti studi scientifici, soprattutto in quei paesi che ne sono grandi utilizzatori, quali la Svezia e il Brasile. La maggior parte dei 25 studi analizzati si concentra sulle miscele più utilizzate, ad alta percentuale di etanolo (E85 o E100), mentre sono più limitati gli studi che analizzano le benzine a basso contenuto di etanolo (E5 ed E10). Dall’esame dei dati relativi all’uso del bioetanolo, riassunti in Figura 2, si osservano i seguenti effetti nelle emissioni: • il monossido di carbonio diminuisce, soprattutto nel caso delle benzina ad alto contenuto di etanolo; • gli ossidi di azoto non mostrano nessun trend riconoscibile nelle benzine a basso contenuto di etanolo mentre in quelle ad alto e medio contenuto le emissioni diminuiscono in quasi tutti i test, seppur con una forte dispersione dei valori di riduzione; • anche gli idrocarburi non mostrano un chiaro comportamento, in quanto le emissioni diminuiscono nella metà dei test presi in considerazione e negli altri i valori sono simili o mostrano un leggero incremento; • il particolato primario diminuisce in tutti i test effettuati, anche se pochi studi ne quantificano la riduzione, in quanto nei veicoli a benzina i livelli emissivi sono inferiori di quelli dei veicoli diesel e dunque l’analisi spesso non viene effettuata. E5-10 E17-22 E30-100 60 variaizone % 40 20 0 -20 -40 -60 -80 CO NOx HC PM Figura 2 – Variazione media e dispersione (barre nere) delle emissioni dall’uso di bioetanolo, rispetto alle emissioni della benzina. La differenza fra le emissioni della benzina e del bioetanolo è dunque marcata solo per il particolato e per il monossido di carbonio. Come per il biodiesel, si registra comunque una forte variabilità nelle emissioni attribuibile all’influenza del tipo di veicolo utilizzato nel test, aspetto che diventa ancora più influente nei casi di utilizzo di benzine a basso contenuto di etanolo. Per quanto riguarda le emissioni di composti tossici, la sostituzione di bioetanolo nella benzina porta ad un ovvia riduzione del benzene, tuttavia provoca un aumento consistente delle emissioni di aldeidi (acetaldeide e formaldeide). Quadro riassuntivo Un quadro riassuntivo della variazione delle emissioni in seguito al passaggio all’utilizzo di biocarburanti è mostrato in Figura 3. Va ricordato infine che la maggior parte dei test analizzati sono stati effettuati su veicoli antecedenti agli Euro 4: le variazioni sopra riassunte non possono pertanto essere attribuite con lo stesso grado di attendibilità anche ai veicoli più moderni. V Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili tipo di biocarburante B20 B100 E5-10 E85-100 O100 ? CO NOx HC PM ? ? riduzione 1-10% riduzione 11-20% riduzione 21-30% riduzione 31-40% riduzione 41-50% riduzione non quantificata aumento 1-10% aumento 11-20% Figura 3 – Quadro riassuntivo della variazione delle emissioni allo scarico in seguito al passaggio all’utilizzo di miscele di biodiesel (B), di etanolo (E) e di olio vegetali (O) L’analisi del ciclo di vita La ricerca ha svolto un’approfondita analisi del ciclo di vita della benzina fossile e del bioetanolo prodotto a partire da grano di frumento, considerando le seguenti possibilità di utilizzo di carburanti: E0 (benzina tradizionale, a basso contenuto di zolfo), E5 (5%bioetanolo, 95%benzina tradizionale, a basso contenuto di zolfo), E10 (10%bioetanolo, 90% benzina tradizionale, a basso contenuto di zolfo), E85 (85%bioetanolo, 15%benzina tradizionale, a basso contenuto di zolfo), e E100 (100%bioetanolo). Per il biodiesel invece si sono valutati i risultati di analisi del ciclo di vita reperibili in letteratura. La scelta di analizzare a fondo la sostenibilità di produzione e uso di bioetanolo, prodotto a partire da grano di frumento coltivato in Lombardia e raffinato nell’impianto più vicino, è motivata da diversi ordini di ragioni: • il frumento è in Lombardia una delle colture cerealicole maggiormente sviluppate, insieme al mais, con circa 80.000 ettari dedicati nell’ultimo anno, presentando inoltre buone prospettive come colture energetica del prossimo decennio; • le tecnologie di trasformazione del grano, di frumento o mais, in bioetanolo sono già sufficientemente conosciute. • la produzione di bioetanolo di origine vegetale è al momento nulla in Italia del Nord, ma sono in progetto diversi impianti di produzione. Obiettivi dell’analisi LCA condotta sono stati pertanto quelli di quantificare gli impatti ambientali dei carburanti nel loro completo ciclo di vita, identificando gli impatti in ogni fase (estrazione, produzione, trasformazione, distribuzione e uso) valutando i possibili benefici ambientali. Metodologia e dati utilizzati Lo studio di LCA è stato eseguito secondo la metodologia di analisi del ciclo di vita formalizzata dalle norme UNE-EN-ISO 14040-43, tramite il software SimaPro 7.1. Per unità funzionale, alla quale fanno riferimento tutti gli impatti e i risultati ottenuti dall’LCA, si è scelta la quantità di combustibile, espressa in kg, di ogni carburante necessaria a percorrere un km con un veicolo di riferimento. Tenendo conto dei minori contenuti energetici dei biocarburanti rispetto ai corrispondenti carburanti fossili convenzionali, le unità funzionali corrispondono a 52 g di benzina, 54 di E5, 55 di E10, 78 g di E85 e 83 di E100. Come mostrato schematicamente in Figura 4, l’LCA ha considerato la produzione agricola del grano di frumento la produzione dell’etanolo, la distribuzione e il consumo delle miscele E5, E10, E85, E100 e della benzina tradizionale ed il trasporto dei materiali tra le diverse fasi. VI Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili DIESEL PREPARAZIONE TERRENO aratura - erpicatura - fertilizzanti Reagenti Paglia ESTRAZIONE DEI SUCCHI macina-miscelazione-cottura Fertilizzanti Pesticidi Semi Trattori Attrezzi SEMINA MANTENIMENTO fertilizzanti - trattamenti Vapore GRANO RACCOLTA MISCELAZIONE CON BENZINA TRASPORTO FERMENTAZIONE DISTILLAZIONE Distribuzione combustione di E0-E5-E10-E85 ETANOLO ETANOLO DDGS Disidratazione Evaporazione Essiccamento RAFFINERIA TRASPORTO COLTIVAZIONE ETANOLO DDGS Elettricità TRASPORTO BENZINA Energia USO ESTRAZIONE GREGGIO Oleodotto Infrastrutture RAFFINERIA Composti chimici Camion (32t) DEPOSITO REGIONALE PRODUZIONE BENZINA Figura 4 – Schema dei processi considerati dall’LCA L’approccio utilizzato è quello denominato “from cradle to grave” (dalla culla alla tomba), in quanto sono state considerate tutte le fasi di produzione e utilizzo del carburante: la produzione della materia prima (coltivazione del frumento), la produzione del bioetanolo (trasformazione del cereale in biocarburante) e infine l’uso dello stesso (combustione in veicolo stradale). Nella fase della produzione agricola si è prestata particolare attenzione a raccogliere dati specifici per la Lombardia, in quanto è questa la fase nella quale si possono incontrare le maggiori differenze in funzione del contesto geografico, a differenza della fase di produzione, meno soggetta all’influenza della zona di localizzazione dell’impianto. I risultati dell’LCA sono dunque da considerarsi specifici per il caso in esame, con la possibilità di estensione alle zone dell’Italia del nord, che presentino similitudini climatiche e di tecniche di coltura. Molti dati necessari all’analisi sono stati raccolti direttamente attraverso questionari nelle installazioni produttive o da esperti del settore presenti sul territorio regionale (ad esempio, le quantità di fertilizzanti e insetticidi applicate per ettaro); si è fatto altresì ricorso a basi di dati ISTAT, ENAMA (Ente nazionale per la meccanizzazione agricola), GRiCi (Centro di Ricerca Colture energetiche dell’università di Bologna, 2005), CeSPrA (Centro Studi per una nuova etica economica, 2004), e del software Simapro 7.1 (Ecoinvent v1.1) per i processi più comuni, quali trasporto, combustibili e prodotti chimici, fonti energetiche, nonché a manuali e fonti bibliografiche. Alcuni processi minori non sono stati considerati, quali l’essiccamento della granella, la ballatura (processo di formazione delle balle di paglia), il trasporto della paglia, e l’interazione tra colture (rotazione delle coltivazioni). L’analisi del processo di produzione di etanolo è stata sviluppata basandosi su un impianto recentemente progettato nel nord Italia, in grado di produrre 100.000 t/anno di etanolo a partire da 350.000 t/anno di grano in ingresso, ipotizzando dunque che la materia prima coltivata in Lombardia venga inviata a quest’unico impianto il cui schema è illustrato in Figura 5. Per quanto riguarda l’utilizzo delle diverse miscele è stato considerato un unico veicolo di riferimento, capace di funzionare con i diversi tipi di carburanti studiati e rappresentativo dei veicoli maggiormente utilizzati per il consumo attuale di benzina. Dal momento che l’obiettivo dello studio è di confrontare i distinti carburanti utilizzati nello stesso veicolo, gli impatti associati al ciclo di vita dello stesso (quindi alla produzione, distribuzione, manutenzione e smaltimento dello stesso veicolo) non sono stati calcolati. Per il calcolo delle emissioni associate alla combustione, il bioetanolo è considerato “carbonio neutrale”, per il quale cioè non si conteggiano le emissioni di CO2 generate durante la combustione perché rappresentano la stessa quantità di C che la pianta assorbe dall’atmosfera in fase di crescita; tale ipotesi è utilizzata nella maggior parte degli studi di LCA sui biocarburanti pubblicati in letteratura. VII Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili MACINA GRANO Miscelazione Cottura Liquefazione Reagenti Elettricità Vapore FERMENTAZIONE DISTILLAZIONE DDGS Disidratazione Evaporazione Essiccamento ETANOLO (>99%) DDGS (umidità 10%) Ricircolo acqua ETANOLO LIMITI DEL SISTEMA Figura 5 Schema dell’impianto di produzione del bioetanolo Risultati Nel presente lavoro sono state considerate le categorie di impatto “emissioni di gas serra” (aggregate tramite il loro “global warming potential”) e “consumo energetico”. Nella Tabella 2 sono riassunti i risultati ottenuti nelle due categorie per ognuno dei carburanti analizzati (valori negativi indicano minor emissione di gas serra/uso di risorse energetiche rispetto alla benzina tradizionale, E0); nella Figura 6 sono confrontati in termini assoluti, riferiti ai valori del combustibile E0 (benzina fossile). Tabella 2 Risultati dell’analisi LCA: confronto E0-E5-E85 Emissioni gas serra g CO2 eq/km emissioni evitate/aggiuntive gCO2 eq/km % E0 214 E5 205 -9 -4,1 E10 205 -9 -4,1 E85 147 -66 -31,1 E100 144 Energia consumata MJ/km -70 -32,6 consumo evitato/aggiuntivo MJ/km % E0 3,09 E5 3,06 -0,03 -1,0 E10 3,02 -0,07 -2,3 E85 1,44 -1,65 -53,4 E100 1,181 -1,91 -61,8 In entrambe le categorie d’impatto analizzate il maggiore impatto si associa all’uso della benzina, mentre le minori emissioni di gas serra si riscontrano con la miscela E100. Si osservano differenze molto limitate (<5%) in entrambe le categorie tra l’uso di benzina interamente di origine fossile e le miscele E5 ed E0. VIII Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Valutando il contributo dei processi, mostrato in Figura 7, si nota come a determinare la maggior parte delle emissioni di gas serra sia la fase di uso; nel caso dell’E5 e dell’E10 sono comparabili, poiché, pur aumentando il contenuto di etanolo (che comporta minori emissioni di CO2 allo scarico), si osserva un aumento di emissioni associate alla fase di produzione del biocarburante, che annulla l’effetto positivo del bioetanolo. L’E85 e l’E100 invece permettono una riduzione di emissioni di gas serra considerevole (pari a 66 e 70 gCO2/km rispettivamente). Tale risparmio è dovuto soprattutto alla diminuzione nelle emissioni di CO2 associate alla frazione fossile di carburante combusto, che è minore di quella presente nella benzina. Le emissioni di gas serra associate alle fasi di produzione di benzina e bioetanolo sono ovviamente proporzionali al contenuto di ciascun combustibile nei carburanti analizzati. Tale fenomeno spiega la poca differenza che si riscontra tra le emissioni dell’E100 e dell’E85: l’etanolo puro difatti permette una riduzione quasi totale delle emissioni allo scarico, generando tuttavia in fase di produzione (coltura e trasformazione) una notevole quantità di CO2equivalente. 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% E0 E5 E10 E85 E100 Gas serra Energia Figura 6 Confronto degli impatti dei carburanti in termini assoluti 250 gCO2eq/km 200 trasporto miscele prod etanolo prod benzina uso 150 100 50 0 E0 E5 E10 E85 E100 Figura 7 Contributo dei processi alle emissioni di gas serra Per quanto riguarda il consumo di energia tutte le miscele analizzate permettono un risparmio energetico, seppur in forma molto contenuta per quelle a basso contenuto di etanolo (E5 ed E10, Figura 8). IX Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 3,5 3 MJ/km 2,5 trasporto miscele 2 prod. etanolo 1,5 prod. benzina 1 0,5 0 E0 E5 E10 E85 E100 Figura 8 Contributo dei processi al consumo energetico Analisi “from cradle to gate” Risulta interessante valutare anche il confronto “from cradle to gate” (dalla culla al cancello), analizzando i differenti impatti di etanolo e benzina fino alla fase di produzione; in altre parole in questo modo si valutano gli impatti del carburante indipendentemente dal successivo uso, e ciò può fornire informazioni utili alla valutazione di altri possibili utilizzi (ad esempio: trazione in campo agricolo, combustione in motori stazionari, in caldaie, etc.). Nella Figura 9 sono riassunti i risultati ottenuti nelle due categorie per ognuno dei carburanti analizzati (valori negativi indicano minor emissione di gas serra/uso di risorse energetiche rispetto alla benzina tradizionale), riferiti alle unità funzionali in questo caso di 1 kg di etanolo e 1 kg di benzina. Si nota come la produzione di etanolo permette una riduzione del 45% di emissioni di gas serra (305 gCO2/kg) e dell’78% di consumi energetici (45 MJ/kg), in quanto il processo di coltivazione del grano compensa una buona parte delle emissioni di CO2 generate in fase di produzione, grazie alla capacità della coltura di assorbire biossido di carbonio dall’atmosfera in fase di crescita. Il bilancio porta comunque ad un’emissione di gas serra positivo, ossia si ha in fase di produzione una emissione (1108 gCO2 per kg di bioetanolo prodotto) maggiore a quella evitata dalla fase di coltivazione (747 gCO2eq per kg di bioetanolo prodotto). La produzione della benzina risulta di maggior impatto, in entrambe le categorie analizzate, soprattutto a causa della fase di estrazione del greggio. Per il bioetanolo sono importanti, ai fini delle emissioni di gas serra, le fasi di produzione e trasformazione. Alle fasi di trasporto di entrambi i prodotti sono associati impatti trascurabili. Per quanto riguarda le risorse energetiche, ogni kg di etanolo prodotto richiede 45 MJ in meno rispetto alla produzione di un kg di benzina. 1200 gCO2eq/km 800 400 0 -400 Etanolo Benzina trasporto raffinazione estrazione coltura -800 Figura 9 Contributo dei processi nella categoria di impatto emissioni di gas serra Confronti e analisi di sensitività I risultati dell’analisi LCA della filiera frumento - bioetanolo sono confrontati in Figura 10 con dati di letteratura reperiti da altri studi per il bioetenolo, prodotto a partire da barbabietola da zucchero, mais o frumento. Si noti come i valori calcolati nel presente studio si collocano all’estremo superiore dell’intervallo dei dati reperibili in letteratura. X Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 5000 gCO2 eq/kg 4000 3000 valori di letteratura LCA Lombardia 2000 1000 0 benzina E(frumento) E(barbabietola) E(mais) Figura 10 Confronto fra le stime di emissioni di gas serra dalla produzione e utilizzo di bioetanolo Biodiesel Il potenziale di riduzione delle emissioni di gas effetto serra ottenibile attraverso la sostituzione di gasolio con biodiesel è stato valutato sulla base di una rassegna della bibliografia disponibile, confrontando i risultati di 13 studi di LCA per questo biocarburante. In questi studi sono state analizzate le emissioni di gas serra (espresse in grammi di CO2 equivalente) del gasolio confrontandole con quelle del biodiesel, con un approccio “from cradle to grave” ossia prendendo in considerazione tutte le fasi, partendo dalla produzione fino all’uso finale in veicoli di autotrazione. Si noti che tutti gli studi hanno considerato l’uso di biocarburante puro. I risultati espressi dei diversi studi sono mostrati in Figura 11 (il biodiesel è indicato con B e tra parentesi si riporta la materia prima di origine). Per poterli confrontare, i valori sono stati riportati in un unica unità di misura (gCO2eq/kg). Si osserva che per tutti i biodiesel analizzati si riscontrano vantaggi in termini di riduzione delle emissioni di gas serra. In particolare il biodiesel prodotto a partire dal girasole sembra essere la soluzione più vantaggiosa. 7000 6000 gCO2eq/kg 5000 4000 3000 2000 1000 0 diesel Figura 11 B(colza) B(girasole) B(soia) Confronto fra le stime di emissioni di gas serra dalla produzione ed utilizzo di biodiesel Analisi di sensibilità del consumo di combustibili nelle miscele E5 ed E10 Gli aspetti che maggiormente possono influenzare il bilancio ambientale dei biocarburanti sono il consumo di carburante, la forma di utilizzo dei sottoprodotti, la quantità di energia rinnovabile utilizzata e il tipo di biomassa usata come risorsa. Viste le contenute differenze di impatto riscontrate tra l’E5, l’E10 e la benzina fossile, e dunque piccoli cambiamenti potrebbero trasformare il risultato finale dell’analisi, si è ritenuto opportuno effettuare un’ulteriore analisi sui possibili effetti di applicare un consumo specifico di carburante ugual per le tre miscele E0, E5 ed E10 (A.S. 1); un dato, quest’ultimo, che nei veicoli funzionanti con miscele a basso contenuto di etanolo nel caso base è stato considerato crescente in forma proporzionale al contenuto di biocombustile, dato il minor PCI di quest’ultimo. Nel secondo caso di analisi di sensibilità si è effettuata la valutazione dei possibili effetti di una differente emissione di N2O nella fase di produzione agricola, come suggerito da un recente studio di Crutzen et al. XI Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili (2008), che ha riesaminato le emissioni di protossido d’azoto associate all’uso di fertilizzanti agricoli. I nuovi fattori di emissione testati sono stati 2%, 3% e 5% (A.S. 2a/b/c). Nel terzo caso dell’analisi di sensibilità sono stati valutati i risultati ottenibili con l’uso di una differente metodologia di allocazione dei carichi ambientali per i sottoprodotti dei sistemi (paglia e DDGS): nel caso base l’allocazione è stata basata sul valore in massa di tali output, distribuendo i carichi ambientali in misura uguale sui sotto prodotti (50% su paglia e 50% su grano; 50% su DDGS e 50% su etanolo), nel caso dell’analisi di sensibilità (A.S. 3) l’allocazione è stata basata sul valore economico degli stessi e i carichi ambientali sono stati suddivisi di conseguenza (73% su grano e 27% su paglia; 16% su DDGS e 84% su etanolo). I risultati dell’analisi di sensibilità sono riassunti in figura 12 e 13. 300 gCO2eq/km 250 200 150 100 50 0 Caso Base A.S. 1 A.S. 2a E0 E5 A.S. 2b E10 E85 A.S. 2c A.S. 3 E100 Figura 12 Confronto dei risultati di caso base e analisi d sensibilità nella categoria emissioni di gas serra 3,5 3,0 MJ/km 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 Caso Base A.S. 1 E0 E5 E10 A.S. 3 E85 E100 Figura 13 Confronto dei risultati di caso base e analisi di sensibilità nella categoria Uso di Energia Potenziale di produzione di biocarburanti in Lombardia e riduzione dei gas serra Produzioni agroalimentari in Lombardia e in Italia Il sistema agroalimentare lombardo è il più importante a livello nazionale ed uno dei più rilevanti nel contesto europeo. Il valore della produzione agro-industriale regionale supera gli 11 miliardi di euro, con una quota superiore al 15% della produzione totale italiana. Tale valore rappresenta circa il 4% del PIL (Prodotto Interno Lordo) regionale. La produzione agricola e le attività di trasformazione alimentare si svolgono in 70.000 strutture produttive, coinvolgendo circa 210.000 lavoratori, di cui 144.000 stabilmente occupati. Una parte rilevante del territorio regionale ed italiano utilizzato è destinato ad attività agroalimentari. In Tabella 3 sono mostrati i dati della superficie agricola utilizzata (SAU) destinata negli ultimi anni in XII Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Lombardia ed in Italia a coltivazioni potenzialmente utilizzabili per la produzione di “colture energetiche” per la riduzione di biocarburanti di prima generazione, ossia per bioetanolo (frumento, mais, barbabietola da zucchero) e per biodiesel (colza, girasole e soia). Sono altresì indicati i dati delle produzioni e delle produttività medie. Sono stati considerati i dati medi dal 1999 al 2007, comprendendo i valori del raccolti del 2003, pur trattandosi di un anno caratterizzato da particolari condizioni climatiche (siccità, elevate temperature) che hanno influenzato negativamente il raccolto, con riduzioni delle produttività medie di circa il 10-15 %. Come si può osservare, la coltura maggiormente sviluppata in Lombardia è quella del mais, che occupa da sola il 25% della SAU; in Italia invece è il frumento ad occupare la maggior estensione territoriale (43% della SAU nazionale). Si noti altresì che le produttività medie lombarde, per tutte le colture, sono molto maggiori di quelle italiane. Proprio per tale differenza con la situazione nazionale risulta particolarmente interessante approfondire la potenzialità di produzione di biomassa in Lombardia, in quanto valori di produttività più alti di quelli medi italiani possono comportare differenze sostanziali. Tabella 3 Superficie agricola, produzioni e produttività medie di potenziali colture energetiche in Lombardia ed in Italia LOMBADIA Frumento Mais Colza Girasole Soia Barbabietola da zucchero Altro Superficie media (ha) 59.743 269.156 1.158 4.712 27.761 18.463 658.424 ripart. % 5,8% 25,9% 0,1% 0,5% 2,7% 1,8% 63,5% Produzione media (1000t) 338 2.941 2 15 107 1.022 produttività media (q/ha) 57 111 19 ITALIA 34 39 577 Frumento Mais Colza Girasole Soia Barbabietola da zucchero Altro Superficie media (ha) 2.241.879 1.105.356 16.158 163.676 172.206 218.862 1.332.517 ripart. % 42,9% 21,1% 0,3% 3,1% 3,3% 4,2% 25,5% Produzione media (1000t) 7.338 9.084 18 338 627 10.388 produttività media (q/ha) 34 86 16 22 35 549 Stima del potenziale di produzioni di biocarburanti Il potenziale quantitativo di biocarburanti producibile in regione Lombardia è stimato dal prodotto fra il valore della produttività, l’estensione di superficie agricola utile, la quota di superficie che sarà effettivamente utilizzata per produrre una biomassa a scopo energetico e il fattore di conversione in biocarburante dei rispettivi prodotto agricoli, quest’ultimi ricavati da un indagine di letteratura. Essendo numerose le variabili in grado di influire sulla quantità di superficie agricola che nei prossimi anni sarà destinata a produzioni bioenergetiche, la ricerca ha considerato tre diverse ipotesi di evoluzione della superficie agricola, al fine di stimare il potenziale di biocarburanti producibili e di conseguenza l’entità della riduzione delle emissioni di CO2 conseguente al loro utilizzo nei veicoli in Lombardia. Il primo scenario è uno scenario di riferimento, puramente teorico, volto a stimare il massimo quantitativo di biocarburanti che è possibile produrre in Lombardia nell’ipotesi di utilizzare tutta la superficie agricola attualmente coltivata a frumento, mais, barbabietola, colza, soia e girasole. Si noti che lo scenario non considera la possibilità dell’intera conversione a biocarburanti dell’intera superficie agricola regionale, che comprende estensioni attualmente occupate da altre colture per circa due terzi della SAU totale lombarda. Il secondo scenario si basa sui risultati di un recente studio dell’Agenzia europea per l’Ambiente “How much bioenergy can Europe produce without harming the environment?”, che ha stimato una quantità di terreni destinabili alle produzioni bioenergetiche in condizioni di sostenibilità ambientale, ipotizzando che la quota di superficie “sostenibile” per la produzione di biocarburanti sia in Lombardia simile a quella media italiana, stimata dall’EEA e pari a circa il 20% della SAU. Il terzo scenario si basa sull’ipotesi di non modificare la destinazione delle attuali produzioni agricole, bensì di destinare alla bioenergia le sole superfici dedicate a riposo (“set-aside”) dalla politica agricola comunitaria. Si tratta di superfici la cui estensione dal 1990 ha oscillato tra il 2% e il 10% dei terreni arabili totali, che non XIII Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili possono essere utilizzate per la produzione di foraggi (salvo deroghe particolari), ma possono invece essere destinate alla coltura di materie prime da destinarsi alla produzione di biocarburanti. In questo scenario si è quindi ipotizzato che le materie prime vengano raccolte interamente da aree set-aside, calcolando l’estensione di tali aree come il 10% dei terreni arabili totali, in quanto una quota pari al 10% è stata in passato definita come obbligatoria dalla riforma della politica agraria comunitaria del 2000, ed è inoltre stata indicata da diverse previsioni effettuate a livello europeo. Le superfici considerate come destinate alla produzione di colture energetiche nei tre scenari proposti sono riassunte in Tabella 4. Tabella 4 Superficie destinati alla produzione di colture energetiche nel 2005 e nei tre scenari considerati SAU media ha % sul totale Frumento Mais Colza Girasole Soia Barbabietola da zucchero Altro TOT 59.743 269.156 1.158 4.712 27.761 18.463 658.424 1.039.417 5,8% 25,9% 0,1% 0,5% 2,7% 1,8% 63,5% 100% Mais Colza Girasole Soia Barbabietola da zucchero Altro Sup. Energetica TOT 59.743 269.156 1.158 4.712 27.761 18.463 658.424 1.039.417 5,8% 25,9% 0,1% 0,5% 2,7% 1,8% 63,5% 100% Mais Colza Girasole Soia Barbabietola da zucchero Altro Sup. Energetica TOT SCENARIO 1 Frumento ha % sul totale SCENARIO 2 Frumento ha % sul totale 11.949 53.831 232 942 5.552 3.693 131.685 207.883 1,2% 5,2% 0,0% 0,1% 0,5% 0,4% 12,7% 20% Mais Colza Girasole Soia Barbabietola da zucchero Altro Sup. Energetica TOT 26.916 2,6% 116 0,0% 471 0,0% 2.776 0,3% 1.846 0,2% 65.842 6,3% 103.942 10% SCENARIO 3 Frumento ha % sul totale 5.974 0,6% Le quantità di biocarburanti stimati come producibili nei tre scenari sono mostrate in Figura 12. Il maggior contributo deriva dal potenziale di bioetanolo, in tutti e tre gli scenari, poiché le colture zuccherine sono quelle con maggiore estensione territoriale; in particolare, l’etanolo da mais contribuisce all’80% della totale produzione nei tre casi analizzati. scenario 3 scenario 2 scenario 1 0 350 700 1050 kt biocarburante /anno bioetanolo biodiesel Figura 12 Quantità di biocarburanti producibili nei tre scenari (kt biocarburanti/anno) XIV Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Riduzione di gas serra Per la stima delle potenziali riduzioni di gas serra associate all’utilizzo di biocarburanti sono stati considerati i valori di riduzione specifici stimati da letteratura per il biodiesel, ed attraverso lo studio presente per il bioetanolo, riassunti in Tabella 5. Le emissioni evitate si riferiscono al carburante fossile associato, gasolio per il biodiesel e benzina per il bioetanolo. Tabella 5 Emissioni di gas serra evitate con unità di biocarburante utilizzato (gCO2eq/kg) biocarburante materia prima gCO2eq evitati/kg colza girasole 2527 2595 soia 1767 biodiesel barbabietola bietanolo 2244 mais frumento I risultati sono mostrati in Tabella 6 e Figura 13 Tabella 6 Stima delle emissioni di gas serra evitate nei tre scenari (kt CO2eq/anno) GSE(ktCO2) SCENARIO 1 GSE(ktCO2) SCENARIO 2 GSE(ktCO2) SCENARIO 3 colza 2,08 0,42 0,21 girasole 13,25 2,65 1,33 soia 34,97 6,99 3,50 barbabietola 171,57 34,31 17,16 mais 1886,00 377,20 188,60 frumento 215,96 43,19 21,60 2324 465 232 biocarburante materia prima biodiesel bietanolo TOT KtCO2eq evitate 2500 2000 1500 1000 500 0 SCENARIO 1 SCENARIO 2 bietanolo SCENARIO 3 biodiesel Figura 13 Stima delle emissioni di gas serra evitate nei tre scenari Le riduzioni nelle emissioni di gas serra in Lombardia ottenibili nei tre scenari considerati si confrontano con le emissioni esistenti nel 2005 in Lombardia, provenienti dal settore del trasporto stradale o complessive da tutte le fonti. Le prime sono pari, secondo i dati dell’inventario regionale delle emissioni, a 18.373 ktCO2eq./anno, mentre quelle complessive sono pari a 93.654 ktCO2eq./anno. Nello scenario che prevede il maggior sviluppo della bioenergia lombarda, le riduzioni percentuali delle emissioni di gas serra esistenti sono pari a circa il 13% delle emissioni del settore trasporti e all’2,5 % delle emissioni complessive (Tabella 7). XV Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Tabella 7 Riduzioni delle emissioni di gas serra in Lombardia del 2005 previste nei tre scenari riduzione di gas serra (%) SCENARIO 1 SCENARIO 2 SCENARIO 3 Emissioni da trasporti 13% 2,5% 1,3% Emissioni totali 2,5% 0,5% 0,2% XVI Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 1 CARATTERISTICHE E DIFFUSIONE DEI BIOCARBURANTI 1.1 CARATTERISTICHE DEI BIOCARBURANTI I biocarburanti sono prodotti derivati da biomassa di origine vegetale che, oltre a prestarsi alla produzione di calore e/o energia elettrica, possono essere usati nei veicoli di autotrazione, sia puri che miscelati con i carburanti di origine fossile. I prodotti potenzialmente utilizzabili come biocarburanti citati nella Direttiva n° 2003/30/CE dell’8 maggio 2003 (CE, 2003a), recepita in Italia col Decreto Legislativo n° 128/2005 (D.Lgs., 2005), sono i seguenti: • Bioetanolo • Biodiesel • Biogas • Biodimetiletere • Bio-ETBE • Bio-MTBE • Biocombustibili di sintesi derivanti da biomasse • Bioidrogeno • Oli vegetali puri I biocarburanti maggiormente prodotti e utilizzati su larga scala sono attualmente biodiesel, bioetanolo, bio-ETBE (etere etil ter-butilico) e oli vegetali puri. 1.1.1 Biodiesel La biomassa utilizzata per la produzione di questo biocarburante è costituita da piante e semi oleaginosi: colza, girasole, soia, palma e noce di cocco. Questi oli vegetali, una volta raffinati, subiscono un trattamento di transesterificazione, che consiste nella sostituzione dei componenti alcolici d’origine (glicerolo) con alcool metilico (metanolo) attraverso la rottura delle molecole del trigliceride in 3 più piccole, come descritto in figura 1.1. TRIGLICERIDE METANO GLICEROLO ESTERI METILICI DI ACIDI GRASSI Figura 1.1 Processo di transesterificazione Per il processo è possibile definire il seguente bilancio di massa: 1000 kg di oli raffinati + 100 kg di metanolo → 100 kg di glicerolo + 1000 kg di biodiesel 1 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Il biodiesel può essere miscelato nei veicoli diesel tradizionali con il gasolio; la tolleranza del veicolo al biodiesel è molto variabile, in funzione del tipo di motore, quindi delle sue caratteristiche specifiche e della sua anzianità. La maggior parte delle garanzie sui LDV (light duty vehicles, veicoli commerciali leggeri) indicano come massima concentrazione percentuale miscelabile con il diesel il 5% di biodiesel, anche se un numero considerevole di test effettuati (IEA, 2004) su diversi tipi di veicoli indicano possibile miscelare fino al 20% senza rischi di deterioramento del motore. L’orientamento generale in Europa (tranne in Austria e in Germania, dove il biodiesel puro è distribuito liberamente in rete) è verso l’utilizzazione in miscela con il gasolio in percentuali non particolarmente elevate, fino al 25-30% (Pignatelli & Clementel, 2006), pur se ci sono diverse testimonianze di utenti (si veda ad esempio il sito www.solaroilsystem.com) che da diverso tempo circolano con percentuali molto più alte (fino al 100%), senza aver riportato nessun danno al veicolo. L’impiego in percentuali elevate può provocare problemi di carattere tecnologico (Pignatelli & Clementel, 2006), quali: • intasamento degli iniettori, dovuto al possibile deterioramento di alcuni materiali plastici (elastomeri) e guarnizioni per contatto con il combustibile, che a sua volta può dar luogo a depositi in camera di combustione; • fenomeni di corrosione nei serbatoi di stoccaggio, dovuti all’alto contenuto di acqua (fino a 500 ppm) del biodiesel; • possibili problemi di scorrimento a basse temperature (inferiori a -9°C) e di intasamento dei filtri. Le caratteristiche tipiche del biodiesel, confrontate con quelle del diesel, sono elencate in tabella 1.1 e il processo di produzione è schematizzato in figura 1.2. Tabella 1.1 Caratteristiche del biodiesel a confronto con il diesel Densità (kg/l) PCI (MJ/kg) N° cetani Viscosità a 40°C (mm2/s) Flash Point (°C) Contenuto di ossigeno (%) Zolfo (mg/kg) Temperatura di ebollizione (°C) BIODIESEL 0,86-0,9 37-38 >51 DIESEL 0,85 42 46-49 3,5-5 >120 9-11 <10 330-350 2-3 76-140 50 282-338 2 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili COLTURE OLEAGINOSE Colza-girasole-soia Estrazione Depurazione OLI VEGETALI GREZZI Esterificazione BIODIESEL Figura 1.2 Processo di produzione del biodiesel 1.1.2 Bioetanolo e bio-etbe La biomassa utilizzata per questo tipo di biocarburanti è costituita da colture zuccherine quali canna da zucchero, barbabietola da zucchero, mais, sorgo zuccherino, frumento, colture amidacee (patata), o residui di coltivazioni agricole, e lavorazioni forestali. Questa biomassa viene sottoposta a processo di fermentazione alcolica, un processo biochimico, che, attraverso la fermentazione del glucosio presente nella biomassa, produce molecole di etanolo ed anidride carbonica, come descritto in figura 1.3. Il bio-etbe (bio- Etil Ter Butil Etere), prodotto aggiungendo isobutene al bioetanolo e considerato biocarburante al 47% in volume (CE, 2003a), può essere aggiunto alla benzina per aumentare il numero di ottani, come il bioetanolo stesso, sempre nel rispetto dei limiti determinati per le sostanze ossigenate (15% in volume, CEE, 1985). 3 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Figura 1.3 Processo di fermentazione alcolica I residui di lavorazione e produzione del bioetanolo e del bio-etbe sono costituiti da sostanze azotate e minerali, quindi fertilizzanti che possono essere reinterrati nei terreni di coltura, e dal DDGS (distiller’s dried grain solubles, ossia distillato di grani asciutti con sostanze solubili), utilizzabile come mangime animale o come materia prima per l’industria cosmetica e farmaceutica. Il bioetanolo può essere miscelato nei veicoli tradizionali con la benzina fino al 5% in volume come fissato dalla normativa (D.Lgs, 1994), o fino al 10% come proposto nel progetto di parere 2007/0019(COD) (Parlamento Europeo, 2007), presentato il 12 luglio 2007 dal parlamento europeo, come modifica alla direttiva 98/70/CE (CE, 2007a). Nonostante questi limiti, alcuni studi dimostrano che il bioetanolo può essere miscelato in percentuali più alte, fino al 15%, in veicoli tradizionali senza modifiche e senza comportare effetti negativi significativi (Egebäck et al., 2005). Per utilizzare miscele di benzina e bioetanolo ad alte percentuali (tipicamente 85%, 90% e 100%) sono necessari veicoli particolari, denominati FFVs (flexi fuel vehicles) che in molti Paesi sono già distribuiti su larga scala, sia per uso privato che nell’ambito del trasporto pubblico (Brasile, Svezia, USA, Francia, Germania). L’impiego in percentuali elevate può provocare problemi di carattere tecnologico, quali (RFA, 2002): • difficoltà di accensione a freddo e in fase di riscaldamento, provocate dall’aumento della volatilità, che a loro volta comportano rischi di formazione di depositi nel motore; • problemi nel funzionamento dei veicoli più datati, dovuti alla tendenza dell’alcol a reagire con le componenti di gomma; • rischio di separazione delle fasi in presenza di acqua in fase liquida in una miscela di etanolo-benzina, dovuto all’affinità dell’etanolo a legarsi all’acqua, che può ridurre la capacità lubrificante dell’olio (soprattutto nei motori a due tempi); • necessità di utilizzare particolari oli lubrificanti nei veicoli FFVs. 4 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Le caratteristiche tipiche del bioetanolo e del Bio-etbe a confronto con quelle della benzina sono elencate in tabella 1.2 e il processo di produzione è schematizzato in figura 1.4. Tabella 1.2 Caratteristiche di bioetanolo, bio-etbe e benzina a confronto Formula Densità (kg/l) N°ottani (RON) N°ottani (MON) N° cetani RPV a 15°C (Kpa) Contenuto di ossigeno (%) PCI (MJ/kg) Temperatura di ebollizione (°C) BIOETANOLO C2H5OH 0,8-0,82 109 ~92 11 15-20 34,7 25-27 78 BIO-ETBE C4H9-OC2H5 0,74 118 ~105 25-30 14,5 36 72 BENZINA C4-C12 0,75 91-100 82-92 8 60-90 41,3 30-190 COLTURE ZUCCHERINE barbabietola-frumento-mais Estrazione succhi ZUCCHERI fermentazione distillazione Isobutene BIOETANOLO BIO-ETBE Figura 1.4 Processo di produzione del bioetanolo e del bio-ETBE 5 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 1.1.3 Oli vegetali puri Gli oli vegetali puri sono oli prodotti da piante oleaginose (sono le stesse usate per la produzione del biodiesel), mediante pressione, estrazione o processi analoghi. Sono greggi o raffinati ma chimicamente non modificati. Da un punto di vista prettamente tecnico, gli oli vegetali, rispetto ai corrispondenti esteri metilici, ossia il biodiesel corrispondente, sono più facili da produrre e sono perciò interessanti per quelle realtà dove i principali obiettivi sono l'auto-produzione di energia a bassi costi e il massimo vantaggio energetico (l'energia per estrarre l'olio è una minima parte rispetto all'energia contenuta nell'olio). Ma anche nei paesi industrializzati l'olio grezzo può essere utilizzato in impianti di media taglia (5-15 MWe) con motori diesel navali o turbine a gas per la produzione di calore e elettricità. Attualmente è più diffuso l'utilizzo degli esteri dell'olio vegetale piuttosto che l'utilizzo dell'olio tal quale e ciò sostanzialmente per due ragioni: minori problemi di utilizzo (maggiore flessibilità) e elevato valore aggiunto del combustibile (CTI, 2007a). Usati puri al 100% gli oli vegetali non sono compatibili con i motori diesel tradizionali: si possono utilizzare solo in motori industriali e agricoli di vecchia concezione, previo il pagamento dell’accisa sui carburanti. Nei motori diesel moderni non possono essere utilizzati puri in queste percentuali a causa delle caratteristiche fisico-chimiche che li rendono incompatibili: l’elevata viscosità, il contenuto di cere e la tendenza a polimerizzare ad alte temperature, causando incrostazioni. Soprattutto nei motori di nuova generazione ad alte prestazioni se presenti la tecnologia common rail e iniettore pompa a lungo andare vi è la certezza di danneggiare l’impianto di iniezione nonché il motore (http://it.wikipedia.org/wiki/Olio_carburante). In conclusione l'olio vegetale grezzo può essere utilizzato nei motori sia puro che in miscela con gasolio, ma obbliga ad eseguire alcune modifiche meccaniche e tecniche a causa della sua elevata viscosità. Esistono alcuni motori concepiti per funzionare ad olio, ma sono di difficile reperimento sul mercato, quindi allo stato attuale è conveniente (CTI, 2007a): • utilizzare l'iniezione indiretta e iniettori autopulenti; • prevedere un sistema di preriscaldamento del combustibile per non ostruire i filtri (attorno ai 60 °C); • favorire l'accensione del motore con gasolio in ambienti freddi; • aumentare il flusso di carburante per mantenere potenza e coppia simili a quelle dell'alimentazione a gasolio; • utilizzare olio lubrificante con alto potere detergente; • evitare frequenti accensioni e spegnimenti che potrebbero causare problemi dovuti alla particolare curva di distillazione dell'olio. Le caratteristiche tipiche degli oli vegetali sono elencate in tabella 1.3. Tabella 1.3 Caratteristiche degli oli vegetali Densità (kg/l) PCI (MJ/kg) N° cetani Viscosità a 40°C (mm2/s) Flash Point (°C) Contenuto di ceneri (%) Zolfo (%) 0,9-0,92 39-40 39-40 30-37 200-290 <0,001-0,05 0,01 6 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 1.2 NORMATIVA EUROPEA E ITALIANA La Commissione europea nel 2001 stabilisce che entro il 2020 idrogeno, gas naturale e biocarburanti dovranno sostituire ognuno il 5% dei carburanti tradizionali; con la “White Paper on Renewables” del 2002 (CE, 2002a) si propone l’obiettivo di raddoppiare al 12% il contributo di energia da fonti rinnovabili, delle quali il 3,7% da biomassa. La direttiva Europea 2003/30/CE dell’8 maggio 2003 (CE, 2003a) ha stabilito che gli stati membri (Europa 15 paesi, ossia Austria, Belgio, Germania, Danimarca, Regno Unito, Spagna, Finlandia, Francia, Grecia, Irlanda, Italia, Lussemburgo, Paesi Bassi, Portogallo, Svezia) rimpiazzino entro il 2005 il 2% dei carburanti tradizionali con biocarburanti, entro il 2008 il 4,25%, entro il 2010 il 5,75%, ed entro il 2030 l’8%. Con la Direttiva 2003/96/CE (CE, 2003b) il panorama degli stati europei si è ampliato all’Europa 25 paesi, costituita dagli stessi stati dell’Europa 15 paesi con l’aggiunta di Repubblica Ceca, Cipro, Estonia, Ungheria, Lituania, Lettonia, Malta, Polonia, Slovenia, Slovacchia. Ogni stato membro è libero di scegliere con quale strategia raggiungere tali obiettivi ed è tenuto a presentare un rapporto annuale entro il 1 luglio di ogni anno, nel quale descriva lo stato di raggiungimento degli obiettivi, le modalità ed eventualmente i motivi che non hanno permesso tale raggiungimento. Considerando le diverse potenzialità di produzione, ogni stato membro si è fissato degli obiettivi differenti, che sono riassunti nel “Biofuel progress report” della Commissione Europea (CE, 2007b). L’Italia ha recepito la direttiva europea prima con il D.Lgs 128/2005 (D.Lgs, 2005), con obiettivi più bassi (1% nel 2005 e 2,5% nel 2010), poi aggiornati dal D.L 2/2006 (D.L, 2006) che prevede la sostituzione, entro il 2010, del 5,75% di carburanti tradizionali con biocarburanti. Gli obiettivi italiani e europei sono confrontati nella tabella 1.4: i valori percentuali sono da calcolarsi sulla base del tenore energetico di tutta la benzina e del diesel per trasporti immessi sul mercato entro il 31 dicembre 2005 o 2010. Si noti come nel primo decreto legislativo non sia stato fissato alcun valore da raggiungere per il 2008, e come nel 2006 l’Italia abbia aggiornato i suoi obiettivi conformandoli a quelli europei. Tabella 1.4 Obiettivi europei e italiani di sostituzione dei carburanti tradizionali con biocarburanti Obiettivi 2005 Obiettivi 2006 Obiettivi 2007 Obiettivi 2008 Obiettivi 2009 Obiettivi 2010 EUROPA 2% ITALIA (D.Lgs 2005) 1% 4,25% 5,75% 2,5% ITALIA (D.Lgs 2006) 1% 2% 2% 3% 4% 5,75% 1.3 PRODUZIONE E DIFFUSIONE DEI BIOCARBURANTI IN EUROPA Un quadro riassuntivo dei consumi e delle produzioni di energia in Europa (25 paesi) è descritto nella figura 1.5 (Eurostat, 2007), dalla quale si evince che l’Europa è fortemente dipendente dai combustibili di origine fossile, che ammontano all’80% circa di consumo e produzione. 7 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili consumo interno rinnovabili 7% produzione interna carbone lignite 9% rinnovabili 6% carbone lignite 18% nucleare 15% gas 36% gas 24% petrolio 48% petrolio 37% Figura 1.5 Quadro riassuntivo dei consumi e delle produzioni di energia in Europa (25 paesi) La “white paper on renewable energy” presentata dalla Commissione europea nel 2002 (CE, 2002a), si propone di aumentare il consumo di fonti rinnovabili (che includono l’idroelettrico, l’energia solare ed eolica, le biomasse e il geotermico) dal 6% del 1995 al 12% nel 2010. Da allora fino al 2004 sia il consumo che la produzione di energie rinnovabili sono rimasti più o meno invariati, mentre hanno visto un certo incremento nel periodo recente, come descritto nella figura 1.6 (Dati Eurostat, 2007, espressi in PJOe, 1015 Joule di Oli equivalenti1). Per quanto riguarda il settore dei biocarburanti, essi occupano ancora una quota molto bassa nel consumo totale del settore trasporti (1,5% nel 2005), tuttavia si è assistito negli ultimi anni a un forte tasso di aumento nell’uso dei nuovi biocombustibili, come illustrato in figura 1.7 (Eurostat, 2007). 3500 3000 PJOe 2500 2000 1500 1000 500 0 1994 1996 1998 2000 En. SOLARE BIOMASSE e RIFIUTI En. IDROELETTRICA En. EOLICA 2002 2004 En. GEOTERMICA Figura 1.6 Aumento della produzione di energia da fonti rinnovabili in Europa (25 paesi) 1 1 PJOe =1015 Joule di Oli equivalenti, unità standardizzata definita come olio con il potere calorifico di 41864 KJ/kg 8 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 12400 PJOe 12000 11600 11200 10800 2000 2001 2002 2003 carburanti tradizionali 2004 2005 biocarburanti Figura 1.7 Consumo di carburanti nel settore trasporti in Europa (25 paesi) In particolare la produzione di bioetanolo e biodiesel è cresciuta in soli due anni (dal 2004 al 2006) rispettivamente del 60% e addirittura del 66% (EBB, 2008; eBIO, 2008), come mostrato in Tabella 1.5. Tabella 1.5 Produzione di biocarburanti in EU 25 paesi (espressa in PJOe) bioetanolo 2005 30,6 2004 17,7 2006 53,4 2004 80,9 biodiesel 2005 133,3 2006 204,7 Il consumo di carburanti nel settore dei trasporti in Europa (25 paesi) nell’anno 2005 è stimato pari a 12173 PJOe; mentre in Italia è stimato pari a 1615 PJOe (Eurostat, 2007). Sulla base di una stima del consumo di carburanti nel settore dei trasporti nel 2010, effettuata sulla base dell’aumento registrato dagli anni 1992 al 2005, pari a 13306 PJOe per l’Europa (25 paesi) e 1761 PJOe per l’Italia, le quote di biocarburanti da immettere sul mercato per rispettare gli obiettivi sopra illustrati sarebbero pari nel 2010 a circa 765 PJOe per l’Europa e 101 PJOe per l’Italia, come indicato in tabella 1.6 (quantità espresse in PJOe e in KtOe, 103 tonnellate di oli equivalenti, calcolate sulla base del PCI attribuito agli Oli equivalenti). Tabella 1.6 Quantità di biocarburanti da introdurre sul mercato entro il 2005 e il 2010 2005 2010 EU(25 paesi) ITALIA PJOe 243 32 765 101 EU(25 paesi) ITALIA ktOe 5815 771 18274 2418 Tali quantitativi sono nettamente inferiori a quelli che secondo uno studio dell’European Environment Agency (EEA, 2007a) sarebbero producibili in modo ambientalmente sostenibile (vedi cap.2) sia in Italia che in Europa (Tabella 1.7). Secondo un altro studio (Ericsson & Nilsson, 2006), per l’Europa (25 paesi) la bioenergia ambientalmente sostenibile sarebbe pari a 3589 PJOe (corrispondenti a 85000 ktOe) relativamente al decennio 2010-2020. 9 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Tabella 1.7 Quantità di bioenergia sostenibile producibile secondo lo studio dell’EEA (2002a) 2010 2020 2030 EU(25 paesi) ITALIA PJOe 1959 172 4011 373 5962 636 EU(25 paesi) ITALIA ktOe 46800 4100 95800 8900 142400 15200 In Italia la quantità di bioenergia da immettere nel settore trasporti entro la fine del 2010 coprirebbe il 60% circa della bioenergia totale producibile in maniera sostenibile. Gli obiettivi fissati dalla normativa non sono dunque irraggiungibili, il territorio europeo ha le potenzialità per produrre tale energia. In termini di produzione a livello mondiale la quota europea di bioetanolo rimane esigua a causa della mancanza delle materie prime necessarie, e il consumo di etanolo è cresciuto in maniera più rapida di quanto non abbia fatto la sua produzione. Pur se, come detto, l’Europa ha un ben maggiore potenziale di produzione di biocarburanti, il consumo europeo di biodiesel e bioetanolo dipende dall’importazione da altri paesi che ne sono forti produttori, quali Brasile e Stati Uniti soprattutto (Eurostat, 2007). 1.4 PRODUZIONE E DIFFUSIONE DEI BIOCARBURANTI IN ITALIA Il quadro riassuntivo dei consumi e delle produzioni di energia in Italia è mostrato in figura 1.8 (Eurostat, 2007) suddiviso nelle differenti fonti. consumo interno petrolio 48% produzione interna rinnovabili 42% carbone lignite 0% carbone lignite 9% petrolio 20% rinnovabili 7% gas 36% gas 38% Figura 1.8 Quadro riassuntivo dei consumi e delle produzioni di energia in Italia Anche in Italia l’energia consumata è per la maggior parte di origine fossile: l’84% proviene da gas e olio combustibile, il 9% da carbone e lignite, per un totale di 93% di energia da fonti non rinnovabili; il restante 7% deriva da uso di biomasse (2%), fonti idriche (2%) e altro (3%). La maggior parte delle materie prime è importata dall’estero: il 97% del petrolio, l’85% del gas e quasi tutto il carbone. La mancanza di risorse fossili nel territorio italiano rende il settore della produzione energetica di strategica importanza per l’economia, che tenta di indirizzare il più possibile la produzione verso quelle fonti delle quali è ricco il territorio, per questo negli ultimi anni si è assistito in Italia alla crescita della produzione energetica nel settore delle fonti rinnovabili (come peraltro in tutta l’Europa); in particolare nel settore delle biomasse (che copre il 26% della produzione) e nel geotermico (nel quale l’Italia è leader europea), mentre il settore eolico e solare restano per ora 10 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili poco sfruttati, anche se se ne prevede la crescita nei prossimi anni. L’andamento della produzione di energia rinnovabile è decritto in figura 1.9. 250 PJOe 200 150 100 50 0 1994 1996 1998 2000 2002 2004 En. SOLARE BIOMASSE e RIFIUTI En. GEOTERMICA En. IDROELETTRICA En. EOLICA Figura 1.9 Andamento della produzione di energia rinnovabile in Italia Nel settore dei biocarburanti per il trasporto la quota occupata dai biocarburanti sul consumo totale è molto esigua (solo lo 0,5% nel 2005). Diversa è la situazione della produzione: l’Italia è la terza produttrice europea di biodiesel, dopo Germania e Francia (Figura 1.10; dati EBB, 2008) e la sua produzione è cresciuta di quasi il 30% dal 2004 al 2006. 120 100 2006 PJOe 80 2005 60 2004 40 2003 20 0 Germania Francia ITALIA Regno Unito Figura 1.10 Produzione di biodiesel (espressa in PJOe) Per il bioetanolo invece solamente negli ultimi anni si è assistito ad una crescita nella produzione, come si evince dai dati di Tabella 1.8 (EBB, 2008, eBIO, 2008). Tabella 1.8 Produzione di biocarburanti in Italia (espressa in PJOe) 2004 0 bioetanolo 2005 0 2006 3 2004 13,4 biodiesel 2005 16,6 2006 18,7 11 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 16 14 12 10 2005 Finlandia Lettonia Repubblica Ceca Olanda Lituania Ungheria ITALIA Svezia Polonia Francia 2006 Spagna 8 6 4 2 0 2004 Germania PJOe Leader europei nella produzione di etanolo restano Germania Spagna e Francia (eBIO, 2008) e solo negli ultimi anni la produzione di etanolo in Italia ha raggiunto livelli confrontabili con quelli europei, come descritto in figura 1.11. Figura 1.11 Panorama europeo della produzione di bioetanolo Per quanto riguarda i consumi, al maggio 2008, i limiti all’utilizzo dei biocarburanti per l’Italia sono definiti dal D.L. 280/94 (D.L, 1994), che fissa il limite massimo del 5% di aggiunta di biodiesel nel gasolio per l’immissione delle miscele diesel-biodiesel alla libera distribuzione presso le stazioni di servizio della rete stradale e autostradale; le miscele con tenori di biodiesel più elevati e biodiesel puro possono essere utilizzati solo su veicoli di flotte, pubbliche o private, previa omologazione degli stessi. Nel decreto non vengono citati limiti minimi e/o massimi per l’additivazione delle benzine con etanolo o con l’ETBE; a tale proposito, è opportuno rammentare che tali limiti sono stati fissati a suo tempo dalla Direttiva CEE n° 536/85 (CEE, 1985), che stabiliva sia il tenore massimo di ossigeno nelle benzine (fissato al 2,5% in peso con facoltà dei singoli Stati membri di arrivare fino al 3,7%), sia il tenore massimo ammissibile dei singoli ossigenati permessi nei due diversi valori di concentrazione di ossigeno totale. Tale Direttiva è stata recepita dall’ordinamento italiano con il D.L. n° 280/94 (D.L., 1994), che definisce i composti organici ossigenati ammissibili quali componenti e/o stabilizzanti di carburanti e, per ciascuno di essi, le percentuali massime di aggiunta (5% in volume per l’etanolo; da 2,5% a 3,7% in peso di ossigeno per le miscele di ossigenanti organici; 15% in volume per l’ETBE). 12 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 2 ANALISI DEL POTENZIALE CONFLITTO TRA INTERESSI SOCIO-AMBIENTALI E PRODUZIONE DEI BIOCARBURANTI La proposta di utilizzo di biocarburanti ha visto negli ultimi anni la crescita di un grande dibattito sulla relazione tra lo sviluppo della produzione di biocarburanti e le possibili conseguenze sul mercato delle materie prime alimentari e sull’ambiente. L’uso di prodotti agricoli, quali semi oleosi, frumento e zucchero per produrre materie prime atte alla produzione di biocarburanti porta alla necessità di valutare tutte le implicazioni della produzione di questi carburanti di origine vegetale. Il passaggio all’uso di materie prime rinnovabili e naturali, scelta motivata dalla potenzialità di riduzione delle emissioni di gas serra, si rivela una scelta complessa che comporta la necessità di prendere in considerazione impatti ampi e indiretti, su scala mondiale. I biocarburanti possono essere prodotti con percorsi (denominati “filiere”) molto diversi, e il solo bilancio, in termini di riduzione delle emissioni di biossido di carbonio nella fase finale di combustione non è sufficiente a giustificarne la produzione, in quanto devono essere tenuti in considerazione altri aspetti quali il conflitto con l’approvvigionamento alimentare, il benessere rurale e lo sfruttamento del suolo, la biodiversità, nonché le implicazioni potenziali sui prezzi delle materie prime. Valutare la capacità produttiva di bioenergia di un territorio significa calcolare il potenziale di bioenergia ambientalmente compatibile, ossia quello tecnicamente disponibile da biomasse primarie per generazione di energia assumendo che non si verifichino pressioni aggiuntive sulla biodiversità, il suolo e le risorse idriche in confronto a uno scenario di sviluppo senza utilizzo di bioenergia (EEA, 2006). Il presente capitolo intende riassumere i principali aspetti che devono essere tenuti in considerazione nel valutare la possibilità di produrre biocarburanti da materie prime vegetali. 2.1 POTENZIALITÀ E RISCHI LEGATI ALLA PRODUZIONE DI BIOCARBURANTI DI PRIMA GENERAZIONE I biocarburanti che portano maggiore conflittualità sono quelli definiti di prima generazione, ossia quelli che derivano da materie prime normalmente destinate ad alimentazione animale e umana o ad altre produzioni industriali. Come già discusso al Capitolo 1, si trovano sostanzialmente in due forme differenti, in funzione della materia prima di origine: biodiesel (da semi oleosi) e bioetanolo (da fermentazione di materie zuccherine o amidacee). I biocarburanti di seconda generazione, invece, hanno come materia prima l’intera pianta e si producono a partire da biomasse differenti, tipicamente sorgo, miscanto (Miscanthus Giganteus), canna domestica (arando donax), panico verga (Panicum Virgatum): tutte graminacee caratterizzate da produttività in termini di biomassa per ettaro molto più alta di quelle tradizionali (mais, frumento, barbabietola e canna da zucchero) e da un rapido sviluppo verticale (Venturi & Venturi, 2003). Queste biomasse possono apportare maggiori benefici rispetto ai biocarburanti di prima generazione, in quanto permettono una maggior riduzione delle emissioni di gas serra, possono essere coltivati in terreni non adatti alle colture tradizionali, richiedono input di minore entità e presentano produzioni specifiche più alte. A differenza dei biocarburanti di prima generazione, però, comportano altri 13 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili aspetti problematici: le materie prime da cui provengono infatti non sono ancora coltivate su larga scala, molte sono tuttora in fase di sperimentazione, come del resto anche le tecnologie di trasformazione. Diversi studi prevedono la commercializzazione di questi biocarburanti tra circa dieci anni (Venturi & Fazio, 2007). 2.1.1 Potenzialità dei biocarburanti di prima generazione I biocarburanti di prima generazione hanno la potenzialità di ridurre le emissioni di gas serra se utilizzati in sostituzione dei carburanti fossili: numerosi studi effettuati sui biocarburanti di prima generazione confermano la potenziale rilevanza dei biocarburanti per diminuire le emissioni di gas serra associate al trasporto stradale, ma rilevano la necessità di analizzare caso per caso le potenzialità di sostituzione (Edwards et al., 2007). I biocarburanti permettono inoltre di ridurre la dipendenza da fonti di approvvigionamento finite, contribuendo al raggiungimento dell’obbiettivo di fuel security, anche se secondo diversi analisti il ruolo chiave in questo contesto sarà giocato dai biocarburanti di seconda generazione (HC, 2008). In Europa inoltre, dove si prevede per il 2030 un 70% di dipendenza da fonti energetiche importate, ridurrebbero tale problema (Aggarwal, 2004). Secondo alcuni studi, l’economia rurale potrà trarre beneficio dall’espansione del mercato dei biocarburanti, in quanto le nazioni in via di sviluppo potranno avere vantaggi dall’aumento dei prezzi dei beni agricoli di cui sono esportatori, o dai meccanismi di supporto per la produzione. Va ricordato che, viceversa, l’aumento dei prezzi delle materie prime, potrebbe portare a problematiche di approvvigionamento, soprattutto nei paesi più poveri (WORC, 2007). Secondo la ricerca dell’IIIEE (International Institute for Industrial Environment Economics) del 2004, promuovere lo sviluppo delle colture energetiche all’interno del panorama agricolo esistente non apporterebbe cambiamenti sostanziali nell’attuale PAC (Politica Agricola Comune), anzi sono un buon metodo per promuovere lo sviluppo rurale ed evitare l’abbandono di aree incolte (Aggarwal, 2004). 2.1.2 Rischi legati alla produzione e al consumo dei biocarburanti di prima generazione Gli impatti ambientali dei biocarburanti di prima generazione possono essere tanto variabili quanto il loro potenziale di riduzione di gas serra: si tratta di impatti che dipendono largamente dalla localizzazione, dalla tecnica di coltura, dal metodo di trasformazione, dalla destinazione dei residui di lavorazione (HC, 2008). La riduzione delle emissioni deve essere valutata caso per caso, sulla base di dati specifici dell’effettiva filiera di produzione. A tutt’oggi mancano dei chiari standard di sostenibilità associati alla produzione di biocarburanti, in grado di prevenire danni ambientali potenzialmente derivanti da una produzione non sostenibile. Secondo l’”environmental audit” dell’House of Commons, 2007-2008 (HC, 2008), è necessario e urgente implementare una serie di target da associare ai biocarburanti per assicurare che il supporto sia dato solo a quei biocarburanti in grado di apportare reali miglioramenti ambientali in confronto ai carburanti fossili. Inoltre, le attuali politiche di sostegno europee applicate alla produzione dei biocarburanti sono oggetto di molte critiche e discussioni: uno dei punti in discussione è la convenienza di sostenere economicamente la produzione di biocarburanti, particolarmente quando la produzione non sarebbe vantaggiosa senza gli aiuti concessi; secondo il rapporto del GSI (Global Subside Iniziative) del 2007 (GSI, 2007), le agevolazioni concesse ai biocarburanti sono state premature, soprattutto in assenza di quegli standard precedentemente citati che ne garantiscono la produzione sostenibile. Un'altra possibile conseguenza indesiderata del crescente interesse del mercato per i nuovi biocarburanti è la spinta agli agricoltori ad applicare colture più intensive, con un maggiore uso di fertilizzanti, pesticidi, prodotti chimici, ed un uso non attento di specie vegetali modificate. 14 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Uno dei fenomeni più preoccupanti legati allo sviluppo dei biocarburanti è comunque la possibilità di cambio di destinazione d’uso dei terreni, in grado di annullare completamente gli effetti positivi creati. La preoccupazione forse oggi prevalente è legata alla sicurezza alimentare (food security) e dal possibile conseguente aumento dei prezzi delle materie prime alimentari; in altre parole il pericolo è la possibile dislocazione della produzione a fini energetici in habitat preziosi, in sostituzione a produzioni alimentari meno redditizie, ossia più semplicemente il problema può derivare dall’utilizzo delle materie prime a scopi energetici anziché alimentari. Di seguito verranno analizzati più approfonditamente alcuni tra i temi più importanti precedentemente citati. 2.2 CAMBIO DI DESTINAZIONE D’USO DEI TERRENI Quello definito come land use change è il fenomeno di cambiamento nel tipo di utilizzo di un terreno, delle tecniche di lavorazione associate allo stesso e nel lungo termine anche delle proprietà intrinseche del terreno stesso. Con l’avvento dei biocarburanti, sostenuti dalle agevolazioni legislative europee e nazionali e dalle sovvenzioni elargite da ogni singolo stato, molti agricoltori hanno deciso di convertire terreni già occupati da altre colture alla coltivazione delle materie prime necessarie alla produzione di biocarburanti di prima generazione, o addirittura di instaurarle in terreni normalmente caratterizzati da copertura forestale. La produzione di biodiesel da olio di palma, ad esempio, si basa principalmente su materie prime importate da Malesia e Indonesia, che negli anni dal 1967 al 2000 hanno aumentato la superficie destinata alla coltivazione di questa pianta da 2.000 km2 a ben 30.000 km2 (una superficie superiore alla Lombardia), tramite la deforestazione di ampie aree, mettendo a repentaglio la sopravvivenza di diverse specie animali (UNEP, 2007). La produzione di bioetanolo da canna da zucchero è dominata dall’uso di materia prima derivante dal sud America (Brasile), mentre per altre materie prime quali il mais e la soia la provenienza principale è rappresentata dagli Stati Uniti. La pratica del land use change comporta altri impatti ambientali oltre a quelli già citati: può implicare infatti anche impatti indiretti sul cambiamento climatico, data l’alta capacità di immagazzinare carbonio nelle foreste pluviali o in altri habitat. La conversione di foresta pluviale in terreni per produzione di colture energetiche può causare una perdita di 100-200 tonnellate di emissioni di carbonio per ettaro (New Scientist, 2007). Allo scopo di ridurre le emissioni di biossido di carbonio i mercati occidentali rischiano quindi di compromettere gli equilibri di ecosistemi fragili. Secondo un rapporto edito nel 2007 dalle Nazioni Unite (UN, 2007 citando HC, 2008), la misura più efficace per conseguire la riduzione delle emissioni di gas serra è conservare e ampliare queste aree forestate; i terreni da dedicare a colture energetiche sono da trovarsi fra le aree definite wasteland, cioè terre incolte. È questo un termine definito in modo ambiguo, poiché a volte viene applicato a terreni in cui alcune popolazioni vivono o svolgono attività per il loro sostentamento, altre volte a terreni destinati a torbiere, che sono da considerarsi come depositi di carbonio. Nel rapporto “The state of the forest: Indonesia, 2002” del Global Forest Watch (GFW, 2004) si stima che in Indonesia siano presenti 7 milioni di ettari di foreste incolte. Pur se i Paesi maggiori produttori di materie prime energetiche (Indonesia e Brasile) dichiarano l’intenzione di espandere le loro piantagioni senza sacrificare foresta naturale, molti sono i dubbi che una politica di conservazione ambientale riesca a difendere questi territori dalle pressioni derivanti anche dalla 15 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili povertà e dalla corruzione: è quindi pratica corrente l’abbattimento di grandi estensioni di foresta pluviale per la coltivazione di materie prime energetiche, pratica motivata anche dal fatto che il legno ricavato assicura introiti economici per i primi anni, nei quali le colture non sono ancora produttive. 2.3 SICUREZZA ALIMENTARE Un altro punto di grande dibattito riguarda la possibilità che lo sviluppo dei biocarburanti possa far aumentare i prezzi dei beni agricoli e, sottraendoli alla produzione alimentare, danneggiare l’approvvigionamento di cibo dei Paesi in via di sviluppo (HC, 2008). La domanda di biocarburanti negli Stati Uniti e in Europa ha comportato l’aumento dei prezzi di diversi beni agricoli, esacerbando un trend di aumento già in atto a causa della concomitanza di diversi fattori, quali scarsità dei raccolti, aumento demografico ed epidemie del bestiame (IMF, 2007). Il “Food outlook” presentato nell’ottobre 2007 dalla Food and Agricoltural Organization (FAO, 2007), l’organismo ONU che studia le problematiche legate all’approvvigionamento alimentare, presenta un’analisi esaustiva della situazione mondiale del mercato dei principali beni di consumo. In tabella 2.1 è riportato un quadro di sintesi dei prezzi dei principali prodotti alimentari utilizzabili a fini energetici, commentati nei paragrafi successivi. Tabella 2.1 Quadro del mercato di frumento, mais semi oleosi e zucchero 2002/2003 2003/2004 2004/2005 2005/2006 2006/2007 2007(2°metà) 2007/2008* frumento (US $/t) 148 161 138 150 192 279 307 2004/2005 2005/2006 2006/2007 2007/2008* frumento (106 t) 632 625 595 602 2004/2005 2005/2006 2006/2007 2007/2008* frumento (106 t) 619 620 621 619 2004/2005 2005/2006 2006/2007 2007/2008* frumento (106 t) 438 439 444 448 prezzi mais semi oleosi (US $/t) (US $/t) 105 114 112 143 94 125 103 120 148 156 159 184 147 produzione mais semi oleosi 6 (10 t) (106 t) 1035 142 1002 149 985 151 1078 154 consumo totale mais semi oleosi 6 (10 t) (106 t) 991 1000 146 1016 152 1057 157 consumo alimentare mais (106 t) 176 175 179 182 zucchero (US cent/lb) 8 8 8 12 11 10 zucchero (106 t) 180 165 169 zucchero (106 t) 197 153 157 * previsione; dati FAO 2006, 2007 16 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 2.3.1 Analisi del mercato del frumento Il prezzo del frumento, che negli ultimi due anni è stato in costante crescita, supera nel 2007 quello dell’anno precedente di almeno il 50%, con picchi nel mese di ottobre 2007 di 352US$ per tonnellata. Questo fenomeno è spiegato sostanzialmente da due motivi: produzione scarsa e riserve basse combinate con una domanda sempre in aumento. La produzione degli anni 2006 e 2007 è stata scarsa in tutto l’emisfero nord, soprattutto in Europa (dove è calata dell’1,3%), a causa delle condizioni climatiche avverse che hanno compromesso molti raccolti con settimane di eccezionale calore e siccità. Le previsioni della produzione per il 2008 sono però favorevoli: ci si aspetta un forte aumento nella produzione dovuto all’espansione delle aree dedicate a tale coltura (determinata dall’alto livello dei prezzi) e alle condizioni climatiche generalmente favorevoli. È previsto che l’aumento di domanda e prezzi faranno ridurre l’uso di frumento come mangime circa del 4%, portandolo al livello più basso dal 2003/04, mentre il consumo a scopo alimentare crescerà circa dell’1% (incremento limitato, considerate le previsioni di aumento demografico). I Paesi che più risentiranno di questo taglio nell’utilizzo alimentare del frumento sono l’Africa (con un taglio previsto dei consumi di circa 1 kg pro capite), il Giappone e la Federazione russa. 2.3.2 Analisi del mercato del mais Nel mercato del mais il prezzo ha iniziato ad aumentare in maniera molto marcata dalla metà della stagione 2006/07, toccando un picco nel febbraio 2007 (circa 175 US$ per tonnellata), a causa dell’insufficienza degli approvvigionamenti di fronte alla domanda in aumento per la produzione di etanolo e mangimi animali. Ciononostante l’aumento dei prezzi della stagione precedente ha dato origine ad un sostanziale aumento delle piantagioni e, grazie anche alle condizioni climatiche favorevoli, ha fatto aumentare notevolmente la produzione mondiale, cresciuta di circa il 9%, soprattutto negli stati Uniti che hanno raggiunto il record di 781 milioni di tonnellate nel 2007. Si prevede per il commercio del mais e del sorgo della stagione 2007/2008 un robusto aumento, tale da portare il commercio del settore dei grani grezzi ad un record storico. L’Europa è il massimo Paese importatore, che assorbirà gran parte della produzione della stagione a venire, soprattutto in ragione della scarsa quantità disponibile di altri tipi di mangimi animali (tra i quali il frumento). L’aumento di utilizzo dei grani grezzi, previsto per il 2007/08 in crescita in misura maggiore del 4%, è dovuto per la maggior parte alla richiesta industriale, legata soprattutto alla produzione di etanolo; anche l’uso come mangime animale è previsto aumentare, anche se in misura minore (+1,4%), e gli aumenti più alti sono da attribuire al sorgo e al mais; analogamente, il consumo per alimentazione umana è atteso aumentare rispetto alla stagione precedente (+1,4%). 2.3.3 Analisi del mercato dei semi oleosi Per il prezzo dei semi oleosi, che è cresciuto in modo pronunciato fino alla stagione 2006/07, raggiungendo il record degli ultimi 23 anni di circa 180 US$ per tonnellata, è prevista nel 2008 e negli anni seguenti una stabilizzazione. L’aumento dei prezzi degli oli vegetali può essere spiegato dall’unione di diverse circostanze: l’aumento della domanda per mais e soia, sia per mangimi che per scopi energetici, l’aumento del prezzo del mais e la competizione per l’uso dei terreni, uniti alla crescente produzione di biodiesel, e alla scarsità dei raccolti del 2006/07 hanno fatto in modo che il prezzo dei semi oleosi, specialmente del complesso della soia, crescesse drasticamente. Nella stagione 2007/2008 ci si aspetta un arresto di questa crescita, anche se i prezzi rimarranno molto incerti e strettamente legati alle previsioni di certi raccolti (in particolar modo in Sud America). La domanda futura di biocarburanti e le politiche governative al riguardo giocheranno un ruolo chiave in questo processo. 17 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Dopo anni di continuo aumento nella produzione, per il 2007/08 ci si aspetta una diminuzione del 3%, attribuibile soprattutto alla soia (-6%) e al girasole (-10%). I due fattori principali che provocheranno la diminuzione della produzione sono la competizione con il mais, che ha interrotto l’espansione delle aree mondiali destinate alla produzione di semi oleosi, e le sfavorevoli condizioni climatiche. In particolare per la soia, gli Stati Uniti e la Cina sono responsabili della maggior parte della diminuzione, avendo ridotto le loro aree destinate alla coltura rispettivamente del 15% e 12%, tuttavia in Sud America la tendenza è stata opposta e ci si aspetta che stati come Brasile e Argentina facciano fronte con la loro produzione alla domanda sempre forte. 2.3.4 Analisi del mercato dello zucchero Dopo il forte aumento del prezzo dello zucchero, che ha continuato a salire fino al picco del 2006, nel 2007 si assiste ad una progressiva diminuzione. La causa principale di questo abbattimento dei prezzi è l’aumento della produzione dei Paesi esportatori, che si prevede raggiungerà un nuovo record nella stagione 2007/08, dovuto soprattutto ai raccolti dei Paesi in via di sviluppo. Il maggior aumento della domanda è previsto provenire dai Paesi con economie in crescita, quali la Cina e l’India, mentre nei Paesi sviluppati i consumi rimarranno più o meno invariati 2.3.5 Conclusioni sulla questione sicurezza alimentare Stimare l’influenza che la produzione di biocarburanti può avere sui prezzi delle materie prime è molto complesso proprio a causa della quantità di fattori che influiscono sul processo di formazione del prezzo dei prodotti alimentari. Tuttavia, diversi sono gli studi che hanno mostrato come l’incremento della richiesta dal settore dei biocarburanti porterà ad un aumento del prezzo delle materie prime. Secondo uno studio della Commissione Europea (CE, 2007c), una penetrazione dei biocarburanti sul mercato europeo del 7% porterebbe ad una riduzione del prezzo del frumento dell’1% rispetto ai livelli 2006, mentre una quota del 14% provocherebbe un aumento di circa il 6%. L’assenza di una richiesta da biocarburanti invece ridurrebbe il prezzo dell’8%. Questi dati suggeriscono che, sebbene un aumento dei prezzi di certi beni sia da attendersi a fronte di un aumento nella produzione e consumo di biocarburanti, la scala di questo cambiamento non sarà drammatica, se comparata alla situazione attuale dei prezzi. L’effetto stimato della crescita nell’uso di biocarburanti sui prezzi della materia prima sembra essere sorprendentemente piccolo rispetto al recente drammatico aumento dei prezzi dei cereali (Novozymes, 2007). La crescente produzione di biocarburanti è infatti solo uno dei tanti fattori che influenza il mercato delle biomasse (FAO, 2007); la quota di cereali prodotti destinati alla produzione di etanolo rimane comunque limitata, seppur in crescita: 3% nel 2001, 7% nel 2006 e si prevede sarà al 15% nel 2010 (FAPRI, 2007). 2.4 STIMA DELLA POTENZIALE PRODUZIONE DI BIOCARBURANTI Il potenziale di bioenergia ambientalmente compatibile è quello tecnicamente disponibile da biomasse primarie per generazione di energia assumendo che non si verifichino pressioni aggiuntive sulla biodiversità, il suolo e le risorse idriche in confronto a uno scenario di sviluppo senza utilizzo di bioenergia (EEA, 2006). Nel rapporto “Estimating the environmentally compatible bioenergy potential from agriculture”, del dicembre 2007 (EEA, 2007a), l’EEA ha proposto una stima dei terreni utilizzabili e del mix ottimale di colture in Europa, con approfondimenti per zone territoriali. 18 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Per valutare le aree disponibili a produzione di biomassa con scopi energetici l’EEA ha considerato le seguenti assunzioni: • la quota di terreni agricoli da destinare a bioenergie entro il 2030 non supererà un massimo del 30% dei territori agricoli totali; • il 3% dei terreni agricoli a coltivazione intensiva del 2030 è considerato set-aside, ossia terreni a riposo; • le aree attualmente occupate da praterie e foreste saranno mantenute tali; • saranno utilizzate solo le colture energetiche con gli impatti ambientali più bassi. Nello stesso rapporto sono calcolati gli ettari di terreno arabili disponibili in diversi anni per le colture energetiche, nel rispetto degli standard prima citati, riportati in Tabella 2.2. Tabella 2.2 Terreni arabili dedicabili alla produzione di colture energetiche, espressi in 103 ha Italia Europa (25 paesi) 2010 1074 12256 2020 1785 13433 2030 2165 14307 L’Italia vedrà dunque un raddoppio delle superfici destinate a bioenergia entro il 2030, mentre la variazione su scala europea è più limitata (+ 18 %). Per definire il migliore mix di colture da destinare a bioenergia EEA ha considerati i seguenti indicatori di impatto ambientale: • erosione del suolo: causa perdita di sostanza organica che può portare a una perdita di habitat; • compattazione del suolo: la struttura del suolo, insieme ad altri parametri ad essa legati, può diminuire l’abbondanza/diversità di biodiversità del suolo e della flora naturale; • perdita di nutrienti in acqua superficiale e di falda: causa eutrofia nelle acque superficiali e profonde, colpendo la flora e la fauna; può anche avere effetti tossici diretti; • contaminazione da pesticidi di suolo e acqua: le sostanze tossiche colpiscono direttamente flora e fauna; • sfruttamento della risorsa idrica: può portare alla riduzione eccessiva dei livelli dell’acqua mettendo in pericolo flora e fauna o il sostentamento di altre colture; • aumento del rischio di incendi; • connessione con la biodiversità agricola: le tecniche di alcune colture possono influenzare negativamente, o compromettere colture successive; • diversificazione delle colture. Nell’area nord mediterranea (nella quale viene classificata l’Italia, ed indicata come una possibile area dedicata alla produzione di colture energetiche nel 2030) le colture sono classificate secondo una matrice di rischio proposta in Tabella 2.3. La tabella esprime secondo classi di rischio il comportamento delle diverse colture per ogni tipologia di impatto: A: rischio basso; B: rischio medio; C: rischio alto; -: criterio non rilevante nella zona o per la coltura. 19 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Tabella 2.3 Matrice di rischio per alcune colture nella zona Nord mediterranea Erosione Compattazione del suolo Perdita di nutrienti Contaminazione da pesticidi Sfruttamento della risorsa idrica Aumento rischio di incendi Connessione con biodiversità agricola Diversificazione colture girasole C A A B B A A A frumento B B B B B A B/C C mais C C C B C A C C orzo/riso patata B C A C B C B C A B A A B B B B A: rischio basso; B: rischio medio; C: rischio alto; -: criterio non rilevante nella zona o per la coltura Il mix di colture sostenibili suggerito nello stesso studio dell’EEA per l’area nord mediterranea è descritto in figura 2.1 e comprende: colture cerealicole tradizionali (mais, frumento, girasole, orzo), colture di seconda generazione (miscanto, canna comune e panico verga), sorgo zuccherino e tecniche di doppia coltura. panico verga; 10% canna comune; 10% girasole; 5% mais; 15% miscanto; 5% sorgo zuccherino; 10% doppia coltura; 10% frumento; 20% orzo; 15% Figura 2.1 Mix sostenibile di colture energetiche per l’Italia nel 2030 Considerando l’estensione dei terreni arabili dedicabili alla produzione di colture energetiche in Italia nel 2030 (tabella 2.2), gli ettari coltivabili per tipo di coltura sono suddivisi come mostrato in tabella 2.4, dove si riportano anche gli ettari destinabili alle altre colture suggerite ma non ancora coltivate, o poco sviluppate (orzo e sorgo zuccherino) sul nostro territorio. Attualmente, tra queste colture, in Italia le più diffuse sono il frumento, il mais e il girasole. Dal confronto tra le superfici agricole medie destinate in Italia a tali colture (calcolate come media delle superfici occupate dal 2003 al 2007) e quelle consigliate per il 2030 dallo studio dell’EEA, si osserva che non è necessario prevedere un aumento delle superfici coltivate, e solo per il girasole è necessario dedicare una gran parte delle attuali superfici alla produzione energetica. 20 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Tabella 2.4 Colture dedicabili alla produzione di bioenergia in Italia nel 2030, espresse in 103 ha frumento mais girasole orzo sorgo zuccherino miscanto arando donax panicum virgatum doppia coltura superficie attuale superficie proposta 2153 433 1127 325 135 108 325 217 108 217 217 217 % dedicabile 20 29 80 In un altro studio (Tuck et al, 2006), che analizza la distribuzione potenziale delle biomasse energetiche in Europa considerando come criteri le sole condizioni climatiche e l’altitudine, vengono fornite indicazioni preziose per prevedere la sostenibilità di diffusione di tali colture, nel breve e lungo periodo (dal 1990 al 2080), tenendo presente i possibili scenari di cambiamento climatico: • semi oleosi: attualmente diffusi nella maggior parte dei territori europei. La colza rimarrà diffusa in tutta l’Europa centro meridionale (compresa tra i 35° e 64° di latitudine Nord), tranne che in Spagna; il girasole continuerà ad essere coltivato in circa il 60% del territorio compreso tra i 35° e 44° latitudine nord; • cereali: orzo, frumento e avena sono attualmente coltivabili in quasi tutto il territorio europeo, ad eccezione delle latitudini a nord dei 65° e a sud dei 44°. Per queste colture in futuro è previsto un sostanziale declino nella maggior parte dell’Europa meridionale, per le aree comprese tra i 45°-54° N la diminuzione è più lieve, mentre per quelle tra i 55°-64° N si prevede un leggero aumento; • colture amidacee: barbabietola da zucchero e patata hanno attualmente un forte potenziale di sviluppo in tutto il territorio europeo, anche se non sono non sono coltivate sopra i 65° N; le previsioni anticipano una diminuzione fino al 50% rispetto a quella del 1990 della loro estensione territoriale nelle zone tra i 45° e 54° latitudine nord; • mais: attualmente coltivabile nel 70% del territorio europeo, fino a latitudini di 65° N; si prevede che non solo rimarrà molto diffuso nell’Europa centro meridionale ma bensì aumenteranno i territori destinati a questa coltura anche nelle zone più a nord, solo in Spagna è destinato a diminuire. Sulla base degli studi analizzati, si può concludere che solo fumento e girasole risulteranno nei prossimi anni colture appetibili per la produzione dei biocarburanti di prima generazione. Il frumento, utilizzato per il bioetanolo ha un indice di rischio abbastanza contenuto (vedi tabella 2.3) e risulta resistente per le nostre latitudini al clima nei prossimi cento anni (Tuck et al, 2006); l’area classificata dedicabile a scopo energetico di questa coltura, secondo l’EEA (2007a), corrisponde al 20% dell’attuale copertura italiana. Il girasole, utilizzato per il biodiesel, ha un indice di rischio abbastanza contenuto, tranne che nella categoria erosione (tabella 2.3) e la sua coltura non risulta minacciata dai cambiamenti climatici previsti nei prossimi cento anni (Tuck et al, 2006); l’area classificata dedicabile a scopo energetico di questa coltura secondo l’EEA (2007a) corrisponde all’80% dell’attuale copertura italiana. 21 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 3. VALUTAZIONE DELLE EMISSIONI NELLA COMBUSTIONE DI BIOCARBURANTI IN VEICOLI PER AUTOTRAZIONE Le emissioni in atmosfera derivanti dalla combustione di biocarburanti nei veicoli per autotrazione, utilizzati in miscela con i carburanti tradizionali, sono state oggetto di diversi studi scientifici. Il confronto con le emissioni dei veicoli con carburanti tradizionali è di grande interesse per valutare l’impatto sulla qualità dell’aria locale derivante dalla progressiva introduzione dei biocarburanti, per valutare la possibilità di benefici aggiuntivi a quelli associati alla riduzione delle emissioni di gas climalteranti o, al contrario, dei punti di conflitto fra le politiche climatiche e quelle per la qualità dell’aria alla scala locale. Il confronto, che ha considerato tutte i dati reperibili nella letteratura scientifica fino al marzo 2008, è difficoltoso per la varietà delle tipologie di biocarburanti e di veicoli testati, nonché per la numerosità delle misure e delle condizioni delle misure stesse (cicli di guida, velocità medie, ecc.). Data la grande variabilità dei livelli emissivi in relazione a queste variabili si è scelto di valutare le differenze fra le emissioni dei veicoli con carburanti tradizionali e degli stessi veicoli con biocarburanti, rimandando ai lavori originali per la valutazione dei livelli assoluti delle emissioni. Di seguito si riportano i risultati, in termini di riduzione percentuale nelle emissioni per ogni inquinante, e per ogni miscela di biocarburanti testato (espressa come Bx, Ex o Ox, con x = percentuale usata, B = biodiesel, E = etanolo, O = olio vegetale), ottenuti nei vari studi e, dove possibile, suddivisi nelle diverse categorie di veicoli: HDV (heavy duty vehicle, veicoli pesanti), MDV (medium duty vehicles, veicoli medi), LDV (light duty vehicles, veicoli commerciali leggeri), PC (passengers cars, veicoli per passeggeri). In appendice sono riportati i dati relativi agli studi citati che hanno pubblicato i fattori di emissione, dai quali sono tratte le conclusioni; per gli altri studi, che invece riportano il solo risultato comparativo, ci si rifà alle variazioni indicate nelle tabelle. 3.1 VARIAZIONI NELLE EMISSIONI COMBUSTIONE DI BIODIESEL DI INQUINANTI REGOLATI DALLA La maggior parte dei test effettuati su miscele di biodiesel e diesel riguarda veicoli pesanti (soprattutto autobus) e le miscele più testate sono il B20 (20% biodiesel e 80% diesel) e il B100 (biodiesel puro). Gli inquinanti regolati analizzati sono: monossido di carbonio (CO), ossidi di azoto (NOx), idrocarburi (HC) e particolato (PM). Nella tabella 3.1 sono riportati i risultati degli studi disponibili che hanno considerato l’impiego di biocarburanti da parte di veicoli pesanti (mezzi commerciali > 3,5 t e autobus), i primi mezzi in cui i biocarburanti hanno trovato utilizzo: si tratta di 25 studi di rilevanza statistica più o meno importante, in funzione del numero di veicoli su cui è stato effettuato il test. L’analisi di altri 13 studi riguardanti veicoli di minor cilindrata (MDV, LDV e PC) è presentata in tabella 3.2. Dall’esame dei dati relativi all’uso del biodiesel si può concludere che nelle emissioni associate si osservano: 22 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili diminuzione nelle emissioni di particolato, monossido di carbonio e idrocarburi, dovuta alla presenza di ossigeno, che permette una combustione più completa, e al minor punto di ebollizione che permette l’evaporazione completa del carburante; • leggero aumento degli ossidi di azoto dovuto alla stessa presenza di ossigeno nel carburante e alla maggior temperatura in camera di combustione; • pressoché totale abbattimento degli ossidi di zolfo con il B100, dal momento che i biocarburanti non ne contengono, e quindi riduzione proporzionale con il B20 (-20%). La diminuzione nelle emissioni di particolato, monossido di carbonio e idrocarburi insieme al lieve aumento degli ossidi di azoto, sembrano proporzionali alla percentuale di biodiesel. I veicoli più recenti sembrano presentare minori variazioni nelle emissioni, mentre quelli più datati beneficiano maggiormente della presenza del biocarburante. Con i veicoli di cilindrata minore la tendenza osservata è meno marcata (si incontrano alcuni casi in disaccordo con le conclusioni e una maggior dispersione dei dati). Si rileva un andamento anomalo dei dati misurati in due studi (Mazzoleni et al., 2007; Durbin et al., 2000), che presentano un aumento dei livelli emissivi con l’utilizzo del biodiesel per tutti gli inquinanti, in contrasto con gli altri studi considerati. Questo andamento può essere dovuto probabilmente alla scarsa qualità del biodiesel utilizzato negli esperimenti (alta concentrazione di glicerina libera e flash point ridotto). In figura 3.1 è mostrato un quadro riassuntivo delle variazione delle emissioni rilevate dagli studi, espresso dalla variazione media percentuale e dalla rispettiva deviazione standard, per le due miscele più utilizzate, B20 e B100. • 23 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Tabella 3.1 variazione (%) delle emissioni di inquinanti regolati da HDV con diverse miscele di biodiesel-diesel (le celle evidenziate indicano andamento anomalo) Fonte, anno EEA, 2007b n°, tipo e anno dei motori testati HDV euro 3 CTI, 2007b Envir. Canada, 2007 4 autobus 3HDV 2HDV HDV Mazzoleni et al., 2007 Durbin et al., 2007 Mirandola & Macor, 2007 McCormick et al., 2006 Proc et al., 2006 Knothe et al., 2006 McCormick , 2006 Williams et al., 2006 McCormick et al., 2005 Carrareto et al., 2004 Lindhjem & Pollack, 2003 Morris et al., 2003 23 HDV, 1983-2004 3 HDV, 1992-1993-2000 146 autobus, euro 0-1-2-3 4 autobus 4 HDV, euro 3 8 HDV, 200-2006 9 HDV, 2000 1 HDV, 2003 2 HDV 2 HDV 2 HDV, 2004 1 HDV, 2004 2 HDV 20 HDV ,<1991 >1994 ? HDV EPA, 2002 43 HDV, 1979-2001 Agarwall & Das, 2001 McCormick et al., 2001 Wang et al., 2000 Durbin et al., 2000 1 HDV (non road) 1 HDV, 1991 9 HDV, 1987-1993 1 HDV, 1990 1 HDV, 1996 Aakko et al., 2000 Sharp, 1998 1 HDV, euro 2 1 HDV (non road) 1 HDV, 1997 2 HDV, 1997 Sheehan et al, 1998 ? HDV Grabosky & McCormick, 1 HDV 1998 Bx CO B10 B20 B100 B20 B100 B5/20 B20 B100 B20 B5 B20 B20 B20 B25 B30 B30 B20 B20 B100 B20 B20 B20 B100 B30 B20 B100 B20 B100 B20 B100 B20 B100 B35 B20 B100 B20 B100 B30 B100 B30 B20 B100 B20 B100 B100 B20 B100 -5 -9 -20 -20 -27 -20 -52,5 -7 -1 5 -5 -24 -4 -45 -17 -27 -34 -24 -22 -8 -52 -3 -13 -42 -13 -42 -11 -48 -15 NOx HC variazione % 3 -10 3,5 -15 9 -17 3 -27 12 -66 0 -20,5 0 13 -52,5 1 -15 1 3 6 1,5 4 1 -18 -29 7 -12 2 -19 0,5 -11,5 -6 -28 4 -25 -4 4 -62,5 4 -2 28 -37 9 -13,5 2,5 -18 12 -70 2,5 -18 13 -63 2 -21 10 -68 5 15 -2 -11 7 -8 -15 -45 -15 -27,5 -46 -12 -47 -19 5 4 13 3,5 6,5 9 1 14 -17 -96 -16,5 -58 -37 8 -32 PM -10 -25 -47 -11 -39 -16 -52,5 -1 -20 73 -10 -16,5 -17 -80 -18 -25,5 -25 -154 -9 -51 -10 -47 -73 -26 >+100 >+100 -29 -14 -15,5 -53 -21 -17,5 -37 -68 -22 -77 24 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Tabella 3.2 Variazione (%) delle emissioni di inquinanti regolati da MDV/LDV/PC con diverse miscele di biodiesel-diesel (le celle evidenziate indicano andamento anomalo) Fonte, anno EEA, 2007b n°, tipo e anno dei motori testati LDV euro 3 PC euro 3 Yang et al., 2007 Sahoo et al., 2007 1 PC moderno 1 PC Martini et al., 2007a 1 LDV euro 3 Lin & Lin, 2006 Ola - Larsson, 2006 1 MDV PC/LDV, 1989-1996 PC/LDV, 1993-2000 1 MDV 1 9 KW 1 PC Dwivedi et al., 2006 Agarwal et al., 2006 Lapuerta et al., 2005 Makareviciene & Janulis, 1 PC 2003 Krahl et al., 2003 Cardone et al., 2002 Aakko et al., 2000 Durbin et al., 2000 1 PC 1 PC 1 PC 1 LDV, 1988 1 LDV, 1995 Bx CO B10 B20 B10 B20 B20 B20 B100 B30 B100 B100 B100 B100 B20 B20 B25 B100 B25 B50 B75 0 -6 0 -5 -2 B100 B100 B100 B30 B20 B100 B20 B100 6 60 -26 -6 NOx HC variazione % 2 -10 2 -15 0 0 1 -10 8 4 15 7 2 -69 1 -1 17 7 -1 9 -11 9 0 -1 -2 -3 26 -21 -1 0 0 7 -11 -2 -30 -61 -62 -64 -6 -46 -19 10 3 33 -67 -61 -4 PM -15 -20 -13 -20 24 -7 -15 -19 -19 -29 -13 -23 -42 -41 -22 17 40 40 38 25 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili B20 B100 variazione % 20 0 -20 -40 -60 -80 -100 CO NOx HC PM Figura 3.1 Variazione media e dispersione delle emissioni associate all’uso di biodiesel 3.2 VARIAZIONI NELLE EMISSIONI COMBUSTIONE DI BIODIESEL DI INQUINANTI TOSSICI CON LA I veicoli diesel emettono quantità elevate di materiale particolato, di cui spesso costituiscono una delle principali fonti in ambito urbano. Al particolato emesso dai mezzi diesel sono associati numerosi inquinanti tossici, principalmente gli IPA, idrocarburi policiclici aromatici (Correa & Arbilla, 2008). L’elevata tossicità, cancerogenicità e mutegenicità per l’uomo degli IPA e di altri di questi inquinanti, quali la formaldeide, l’acetaldeide e l’acroleina (Carlier et al., 1986), suggerisce la necessità di valutare i possibili benefici derivanti dalle minori emissioni di questi composti derivanti dalla sostituzione del diesel con il biodisel o sue miscele. I dati di letteratura sulle emissioni dalla combustione di biodisel di questo tipo di inquinanti e dei composti carbonilici sono scarsi e spesso contrastanti, principalmente a causa della differenza nella composizione e nell’origine del biodiesel e per le differenti condizioni sperimentali. Inoltre i risultati devono essere interpretati con particolare attenzione, poiché gli errori di misura con componenti in concentrazioni così limitate sono relativamente alti (Krahl et al., 2003). I risultati di alcuni studi al riguardo sono riassunti in tabella 3.3, dove si riportano le variazioni registrate nelle emissioni di IPATOT (totalità degli IPA: benzene, toluene, xilene ed esano), di CCTOT (Componenti Carbonilici totali: aldeidi, chetoni, acido carbossilico, esteri, ammidi, enoni, acido cloridrico e acido anidrico) e di acetaldeide, formaldeide e acroleina, conseguenti all’uso di diverse percentuali di biodiesel. 26 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Tabella 3.3 Variazioni (%) osservate nelle emissioni di inquinanti non regolate dalla combustione di biodiesel Fonte, anno Bx Correa & Arbilla, 2008 Martini et al., 2007a Pang et al., 2006 Turrio-Baldassarri et al., 2004 Khral et al., 2003 Cardone et al., 2002 EPA, 2002 B20 B30 BE20* B20 B100 B100 B20 B100 IPATOT acetaldeide formadeide acroleina CCTOT variazione % 16 36 22 17 10 26 -25 5 -52 6 105 19 -93 -33 -38 33 -38 -89 -6 -7 -7 -2 -12 -15 -61 -1 * BE20: miscela di 20% biodiesel, 5% etanolo e 75% diesel Quasi tutti gli studi analizzati mostrano una chiara riduzione delle emissioni degli IPA complessivi con l’utilizzo di miscele di biodisel; per gli altri inquinanti i risultati sono contrastanti, principalmente a causa della differenza di composizione e origine dei biodiesel utilizzati, nonché delle diverse condizioni sperimentali. 3.3 VARIAZIONI NELLE EMISSIONI COMBUSTIONE DI BIOETANOLO DI INQUINANTI REGOLATI DALLA Anche l’uso del bioetanolo miscelato con la benzina è stato oggetti di molti studi scientifici, soprattutto in quei Paesi che ne sono grandi utilizzatori, quali la Svezia e il Brasile. La maggior parte degli studi si concentra sulle miscele più utilizzate, ad alta percentuale di etanolo (E85 o E100), mentre sono più limitati gli studi che analizzano le benzina a basso contenuto di etanolo (E5 ed E10). A differenza dei test effettuati con il biodiesel, per le miscele di benzina e bioetanolo l’utilizzo più studiato è in veicoli di piccola cilindrata (automobili: PC - Passenger Cars). Per questo motivo non è utile suddividere i risultati nelle diverse categorie di veicoli, bensì risulta più interessante analizzare i risultati ottenuti con l’uso delle diverse miscele. I risultati delle misure su benzine a basso contenuto di etanolo sono riportati in tabella 3.4: si tratta di 9 studi nei quali vengono analizzati gli effetti delle benzine contenenti percentuali di etanolo fino al 10% o ETBE fino al 15%. I risultati di altri 11 studi su benzine ad alto contenuto di etanolo, ossia contenenti percentuali di etanolo dal 30% al 100%, sono riportati in tabella 3.5. Si riportano infine in tabella 3.6 anche i risultati di 6 test effettuati su benzine a medio contenuto di etanolo (in percentuali comprese tra il 15% e il 22%), sebbene questo tipo di miscele non siano ad oggi diffuse quanto le prime due. 27 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Tabella 3.4 Variazione (%) delle emissioni di inquinanti regolati con benzine a basso contenuto di etanolo Fonte, anno Martini et al., 2007b n°, tipo e anno dei motori testati 1 PC, euro 3 6 PC, euro 4 Envir. Canada, 2007 Chiaramonti et al., 2007 Yucesu et al., 2006 Karlsson, 2006 Schramm et al., 2005 4 LDV,1998-00-01-03 1 motore 11 cv 4 PC, euro 4 1 motore 50 cv De Serves, 2005 4 PC, euro 4 Hull et al., 2005 1 PC Poulopoulus et al., 2001 1 PC Ex CO E5 E10 E5 E10 E10 E5-7 E10 E10 E5 E10 E5 E10 E3,2 E5 ETBE12 E3 E10 -30 -27 -1 -60 21 -12 -77 -81 -4 -4 2 -1 -26 NOx HC variazione % 37 29 2 22 26 8 7 -4,5 -6 -69 -50 -9 -11 -33 -42 85 -47 3 -1 3 -7 0 -2 -19 -8 PM -54 Tabella 3.5 Variazione (%) delle emissioni di inquinanti regolati con benzine ad alto contenuto di etanolo Fonte, anno Karlsson, 2006 Yucesu et al., 2006 n°, tipo e anno dei motori testati 2 PC, 2004-2005 PC e LDV, 1989-96 PC e LDV, 2000 PC e LDV, 2005 4PC, euro 4 1 motore 11 cv Topgul et al., 2006 1 motore 11 cv Envir. Canada, 2007 Ola-Larsson, 2006 De Serves, 2005 4 PC, euro 4 Yuksel, 2004 Lucon et al., 2004 1 PC PC euro 1 PC euro 2 Aakko & Nylund, 2004 3 PC, 1996-99 PC euro 3 Smokers & Smit, 2004 euro 4 EUCom.for Energy, 2000 LDV e PC, euro 2 LDV e PC, euro 2-3 LDV e PC, euro 2-3-4 Ex CO E85 E85 E85 E85 E43 E40 E60 E40 E60 E70 E85 E30-70 E100 E100 E100 E85 E70 E85 E85 -57 -60 -3 -4 -32 -20 -45 -12 -73 -72 -65 -67 -14 -30 10 -40 E85 -33 NOx HC variazione % -30 -13 -78 38 -43 0 -50 0 69 -53 -6 -9 -38 -9 -40 -23 PM -60 0 0 -31 -49 4 -49 -20 -38 -20 11 -30 10 36 -6 38 -82 -30 28 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Tabella 3.6 Variazione (%) delle emissioni di inquinanti regolati con benzine a medio contenuto di etanolo Fonte, anno n°, tipo e anno dei motori testati Envir. Canada, 2007 4 LDV, 1998-00-01-03 Yucesu et al., 2006 1 motore 11 cv Karlsson, 2006 4PC, euro 4 Schramm et al., 2005 1 motore 50 cv Lucon et al., 2004 PC, euro 1 PC, euro 2 EUCom.for Energy, 2000 PC, euro3 HDV, euro 2 HDV, euro 2-3 HDV, euro 2-3-4 Ex CO E20 E20 E17 E20 E22 E22 E22 E15 E15 E15 -47 5 -20 -21 -85 -82 -83 10 -6 33 NOx HC variazione % 46 -8 0 -75 0 -14 -20 -20 -15 -20 -45 10 17 19 PM -40 -40 -50 Dall’esame dei dati relativi all’uso del bioetanolo si osservano i seguenti effetti nelle emissioni: • il monossido di carbonio diminuisce, soprattutto nel caso delle benzine ad alto contenuto di etanolo; • gli ossidi di azoto non mostrano nessun trend riconoscibile nelle benzine a basso contenuto di etanolo mentre in quelle ad alto e medio contenuto le emissioni diminuiscono in quasi tutti i test, seppur con una forte dispersione dei valori di riduzione; • anche gli idrocarburi non mostrano un chiaro comportamento, in quanto le emissioni diminuiscono nella metà dei test presi in considerazione e negli altri i valori sono simili o mostrano un leggero incremento; • il particolato diminuisce in tutti i test effettuati, anche se pochi studi ne quantificano la riduzione, in quanto nei veicoli a benzina i livelli emissivi sono inferiori di quelli dei veicoli diesel e dunque l’analisi spesso non viene effettuata. L’andamento medio nella variazione delle emissioni associata a differenti miscele di etanolo benzina, espresso in percentuale e con la rispettiva deviazione standard, è riassunto in figura 3.2. E5-10 E17-22 E30-100 60 variaizone % 40 20 0 -20 -40 -60 -80 CO NOx HC PM Figura 3.2 Variazione media e dispersione delle emissioni associate all’uso di bioetanolo 29 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Per il bioetanolo la differenza tra i risultati è molto più marcata rispetto a quella osservata per il biodiesel, e solo per il particolato e in parte per il monossido di carbonio è definibile una tendenza. Tale variabilità è attribuibile alla forte influenza del tipo di veicolo utilizzato nel test, che risulta avere molto peso sulle emissioni allo scarico; questo aspetto diventa ancora più influente nei casi di utilizzo di benzine a basso contenuto di etanolo. Si segnala altresì che è stata messa in discussione la qualità di molte misure disponibili sulle emissioni di veicoli funzionanti con bioetanolo, caratterizzate dalla mancanza di rigore tecnico e di accuratezza, in particolare per gli studi pubblicati dai produttori di etanolo (Niven, 2005). 3.4 VARIAZIONI NELLE EMISSIONI COMBUSTIONE DI BIOETANOLO DI INQUINANTI TOSSICI CON LA I risultati di alcuni studi effettuati sulle emissioni di inquinanti tossici nei veicoli funzionanti con miscele di benzina e bioetanolo sono riportati in tabella 3.7. Tabella 3.7 Variazione (%) delle emissioni di inquinanti tossici con l’uso di etanolo Fonte, anno OEC, 2004 Merrit et al., 2002 dei motori testati n°, tipo e anno 5 PC 3 HDV non road Apache, 1998 PC Poulopoulus et al., 2001 1 PC Ex E20 E7,7 E10 E15 E10 E3 E10 Acetaldeide Formaldeide Benzene Toluene variazione % >+100 5 26 15 41 4 -23 0 48 4 -48 -11 94 18 -25 12 >+100 25 -27 -30 86 29 Esano Xylene Acroleina >+100 >+100 >+100 >+100 15 -14 8 44 -27 -21 -31 21 5 La sostituzione di bioetanolo nella benzina porta ad un ovvia riduzione del benzene, tuttavia provoca un aumento consistente delle aldeidi e dell’esano. I dati dell’Orbital Engine Company (OEC, 2004) fanno riferimento a test effettuati su veicoli molto datati (con 80000 km percorsi) e i risultati possono averne risentito, inoltre non sono conteggiate le variazioni degli inquinanti nelle emissioni evaporative. 3.5 VARIAZIONI NELLE EMISSIONI COMBUSTIONE DI OLI VEGETALI DI INQUINANTI REGOLATI DALLA La maggior parte degli studi sull’uso degli oli vegetali, puri o in miscela con il diesel, sono piuttosto datati e non sono in seguito stati considerati in quanto relativi a tipologie motoristiche ormai poco utilizzate. In tabella 3.8 sono riportati i risultati delle variazioni delle emissioni stimate da 8 studi più recenti. I risultati di questi studi mostrano che l’uso di miscele di bioetanolo comporta una chiara tendenza alla diminuzione degli ossidi di azoto, a differenza di ciò che accade con l’uso del biodiesel. Ciò è dovuto al fatto che la temperatura di combustione degli oli vegetali è minore e quindi non si raggiungono temperature alte come nel caso del biodiesel. Anche le emissioni di particolato sembrano diminuire, ma la scarsità dei dati rende meno sicura l’individuazione di un effetto del bioetanolo. Sono invece contrastanti i risultati per gli altri inquinanti, per cui non è possibile trarre delle conclusioni. 30 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Tabella 3.8 variazione (%) delle emissioni di inquinanti regolati con l’uso di oli vegetali Fonte, anno Karthikeyan et al., 2007 Rakopoulous et al., 2007 Rakopoulous et al., 2006 Hebbal et al., 2006 n°, tipo e anno dei motori testati 1 motore 4,4 KW 1 motore 3,7 KW Tippayawong et al., 2003 1 motore 6 KW Abu-Qudais & Al-Widyan, 2002 Altin et al., 2001 1 motore, 1980 Folckcenter, 2000 1 PC, 1984 euro 1 1 PC 1999 euro 3 Ox CO O75 O100 O20 O25 O100 O100 O100 O100 O100 O100 35 13 94 >+100 -25 67 -42 56 NOx HC variazione % 15 48 -20 -4 4 -13 -5 -47 -10 -13 -24 -19 -63 -7 -63 PM -45 -6 -42 73 3.6 CONCLUSIONI Gli effetti dell’uso del biodiesel rispetto al diesel sulle emissioni sono i seguenti: • riduzioni nelle emissioni di monossido di carbonio e idrocarburi dovuta alla presenza di ossigeno nel biocarburante che permette una migliore e più efficiente combustione rispetto al diesel; • riduzione nelle emissioni di particolato attribuibile al minor contenuto di aromatici e catene corte di idrocarburi e al maggior contenuto di ossigeno nel biodiesel; • leggero aumento delle emissioni di ossidi di azoto, dovute alla maggior temperatura di combustione e al contenuto di ossigeno; tali emissioni possono tuttavia essere ridotte con l’applicazione di sistemi di ricircolo dei gas di scarico, senza che questi compromettano le prestazioni del veicolo, sia in termini di performance che di emissioni (Agarwal et al., 2006); • totale riduzione degli ossidi di zolfo con il biodiesel puro, dovuta alla totale assenza di tale componente; • riduzione del ritardo di ignizione e del rumore di combustione, dovuto al maggior numero di cetani; • diminuzione delle emissioni di IPA. Gli effetti dell’uso del bioetanolo rispetto alla benzina sulle emissioni sono i seguenti: • maggior efficienza di combustione dovuta al più alto contenuto di ottani e di ossigeno, che permette una riduzione delle emissioni di monossido carbonio, di idrocarburi e di materiale particolato; • aumento delle emissioni evaporative di composti organici volatili a causa della bassa pressione di vapore del bioetanolo; ciò rende incerto l’effetto sulle emissioni totali di idrocarburi; • diminuzione delle emissioni di benzene, ma aumento delle aldeidi. Gli effetti dell’uso degli oli vegetali rispetto al diesel sulle emissioni sono i seguenti: • incertezza sul comportamento delle emissioni di monossido di carbonio e idrocarburi che da un lato beneficiano della presenza di ossigeno degli oli vegetali ma dall’altro risentono delle scarse qualità degli stessi (minor numero di cetani, alta densità e presenza di molecole di idrocarburi pesanti); • incertezza sul comportamento delle emissioni di particolato; • riduzione delle emissioni di ossidi di azoto, dovuta alla minor temperatura di combustione. 31 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Nella tabella 3.9 sono riassunti gli effetti di questi biocarburanti sulle emissioni regolate, dove possibile determinarli. Tabella 3.9 Variazione nelle emissioni dovuta all’uso di biocarburanti tipo di biocarburante B20 B100 E5-10 E85-100 O100 ? CO NOx HC PM ? ? riduzione 1-10% riduzione 11-20% riduzione 21-30% riduzione 31-40% riduzione 41-50% riduzione non quantificata aumento 1-10% aumento 11-20% La maggior parte dei test analizzati sono stati effettuati su veicoli antecedenti alle categorie legislative Euro 4, pertanto le variazioni sopra riassunte non possono essere attribuite con sicurezza anche ai veicoli più moderni. 32 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 4 L’ANALISI DEL CICLO DI VITA: ASPETTI TEORICI 4.1 INTRODUZIONE La crescente coscienza della necessità di rispetto e protezione dell’ambiente e dei possibili impatti associati alle attività umane ha aumentato l’interesse per lo sviluppo di metodi per comprendere e quantificare questi impatti. Una delle tecniche sviluppate in questo senso è l’Analisi del Ciclo di Vita (LCA, Life Cycle Assessment). La considerazione dell’impatto ambientale di un prodotto/processo/servizio associato al suo ciclo di vita, iniziata negli anni ’60, ha ricevuto un importante impulso negli ultimi anni. È nella decade del 1990 che si è prodotta e consolidata la metodologia LCA: nel 1991 è stata pubblicata la prima grande base di dati specifica di LCA realizzata dal ministero dell’ambiente svizzero (BUWAL250, 1996). La prima definizione di LCA è stata stabilita dalla Società di Chimica e Tossicologia Ambientale (SETAC) nel 1993: “Procedimento oggettivo di valutazione dei carichi energetici ed ambientali relativi ad un processo o un’attività, effettuato attraverso l’identificazione e la quantificazione dell’uso di materie prime ed energia utilizzate, così come delle emissioni rilasciate nell’ambiente; analisi degli impatti associati all’uso della materia, energia e le corrispondenti emissioni; e infine identificazione e messa in pratica della strategia di miglioramento ambientale. La valutazione include l’intero ciclo di vita del processo o attività, comprendendo l’estrazione e il trattamento delle materie prime, la fabbricazione, il trasporto, la distribuzione, l’uso, il riuso, il riciclo e lo smaltimento finale” (Consoli, 1993). Nell’anno 1996 è cominciata l’edizione di una rivista scientifica dedicata esclusivamente a indagini con metodologia e applicazioni di LCA: “International Journal of Life Cycle Assessment” (http://www.scientificjournals.com/sj/lca) che entrò a far parte, nel 2001, del “Scientific Citation Index”. Nel 1998 è stata pubblicata la prima delle norme ISO riferita all’LCA: si tratta della norma ISO 14040, che stabilisce i principi e la struttura di tale strumento (http://www.iso.org/iso/en/ISOOnline.frontpage). Negli anni a seguire sono apparse altre norme ISO associate all’LCA tra le quali: • ISO 14041:1999 (obiettivi, scopi e analisi dell’inventario); • ISO 14042:2001 (valutazione dell’impatto del ciclo di vita); • ISO 14043:2001 (interpretazione dell’impatto del ciclo di vita). Più recentemente tali norme sono state sostituite dalla ISO 14040:2006 (Gestione ambientale. Analisi del ciclo di Vita. Principi e quadro di riferimento), insieme alla ISO 14044:2006 (Gestione ambientale. Analisi del ciclo di vita. Requisiti e linee guida). Secondo la norma ISO 14040:2006 l’LCA è uno strumento ambientale che permette di: 1. identificare le opportunità di miglioramento del comportamento ambientale dei prodotti nelle distinte tappe del ciclo di vita; 2. apportare informazioni a chi prende decisioni nell’industria, nelle organizzazioni governative o non governative (ad esempio per la pianificazione strategica, il progetto o ristrutturazione di prodotti e processi); 3. selezionare degli indicatori di impatto ambientale pertinenti, includendo tecniche di misurazione; 4. sostenere la fase di marketing, ad esempio implementando uno schema di etichettatura ambientale o dichiarazione ambientale del prodotto. 33 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili L’LCA non è solamente uno strumento per proteggere l’ambiente, ma anche uno strumento per ridurre i costi e migliorare le prestazioni del prodotto sul mercato (ISO, 2006; Finkbeiner et al, 2006; Klöpffer, 2005). In ogni studio di LCA ci sono quattro fasi: 1. definizione di scopi e obiettivi, 2. analisi dell’inventario, 3. valutazione del ciclo di vita, 4. interpretazione dei risultati. La relazione tra le diverse fasi è descritta nella figura 4.1. Gli obiettivi di uno studio di LCA, includendo i limiti del sistema e il livello di dettaglio, dipendono dal soggetto e dall’uso previsto per lo studio. La profondità e ampiezza di uno studio di ciclo di vita può differire considerevolmente in funzione dell’obiettivo particolare (Baumann & Tillman, 2004). definizione obiettivi e scopi analisi inventario valutazione dell'impatto Interpretazione dei risultati ANALISI CICLO VITA APPLICAZIONI Decisioni - strategia impresariale - leggi ambientali Indicatori -rischio ambientale -sistema di produzione Marketing -acquisti verdi -ecoetichettatura Figura 4.1 Fasi dell’LCA (UNI EN ISO 14040:2006) 4.2 DEFINIZIONE DI SCOPI E OBIETTIVI Nella definizione degli obiettivi dell’LCA si include la definizione esatta dell’argomento da trattare e la profondità dello studio, per determinare a che proposito si utilizzeranno i risultati ottenuti. Di questa prima tappa fa parte una definizione adeguata del sistema da studiare e i suoi confini, il fabbisogno di dati, il livello di dettaglio che verrà applicato, le assunzioni ed i limiti. Si devono tenere in considerazione aspetti quali il contesto geografico e temporale e la variabilità dei dati che si può accettare per il corretto conseguimento dei risultati. La situazione ideale sarebbe che i dati richiesti per lo studio fossero accessibili, significativi, affidabili e presentati con l’unità di misura adeguata. Purtroppo questa situazione non si presenta sempre: spesso i dati mancano, sono poco rappresentativi o, pur esistendo, non sono accessibili. Perciò in questa prima fase si stabiliscono i requisiti di qualità che saranno richiesti per i dati; la descrizione di tali requisiti è importante per conoscere l’affidabilità dello studio e per interpretare i risultati dello stesso (ISO, 2006). 34 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 4.3 ANALISI DELL’INVENTARIO L’analisi dell’inventario è un processo tecnico basato su dati per quantificare l’energia e le materie prime consumate, le emissioni in atmosfera, nell’acqua e nel suolo, i residui solidi e qualsiasi altra immissione nell’ambiente sviluppatasi durante il ciclo di vita completo di un prodotto, processo materiale o attività (Azapagic & Clift, 1999). Il processo di analisi dell’inventario inizia con le materie prime e finisce con la deposizione dei residui del prodotto o del contenitore. Ciononostante alcuni inventari hanno confini più limitati, condizionati dall’uso che se ne farà (caso delle industrie per uso interno). 4.3.1 Definizione e raccolta dei dati La fase di inventario include i seguenti momenti: • costruzione del diagramma di flusso coerentemente coi confini del sistema stabiliti nella prima tappa (figura 4.2); • calcolo dei carichi ambientali riferiti all’unità funzionale (UF); • normalizzazione dei dati in funzione dell’unità; • bilancio di materia che permetta di relazionare le entrate con le uscite nei differenti sottosistemi; • quantificazione dei flussi di uscita nei sistemi natura o tecnosfera; • inventario globale; • documentazione dei calcoli. I procedimenti utilizzati per raccogliere i dati variano in funzione della situazione; i metodi proposti (Von Bahr, 2001), sono classificabili in quattro sottogruppi: 1. comunicazioni personali, 2. misure dirette effettuate da specialisti di LCA, 3. pubblicazioni, articoli, etc., 4. basi di dati elettroniche. ENTRATE USCITE Acquisizione materie prime Fabbricazione e processo Energia Trasporto e distribuzione Tecnosfera Prodotti Uso/Ri-uso/mantenimento Materie prime Riciclaggio Gestione dei residui Natura Emissioni Residui Sversamenti Limiti del sistema Figura 4.2 Diagramma di flusso dell’inventario dell’LCA 35 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 4.3.2 Assegnazione dei carichi ambientali Per carichi ambientali associati ad un processo/prodotto si intendono la domanda di risorse, le emissioni di sostanze inquinanti e la generazione di residui (Ekwall & Finnveden, 2001). Pochi processi industriali e/o agricoli producono un'unica uscita o sono basati su una relazione lineare tra i prodotti in entrata e le uscite. Difatti oggi la maggior parte dei processi industriali e agricoli producono più di un prodotto e riciclano i prodotti intermedi o i residui, perciò si deve considerare la necessità di un processo di assegnazione dei carichi per i sistemi che prevedono prodotti multipli o sistemi di riciclaggio. Un processo multifunzionale si definisce come un’attività che attua più di una funzione, ad esempio un processo di produzione con più di un prodotto. Esistono tre tipi di sistemi multifunzionali (Azapagic & Clift, 1999): 1. sistemi ad entrata multipla (processi di trattamento dei residui), 2. sistemi a uscita multipla (co-prodotti), 3. sistemi con usi multipli o in cascata. L’allocazione può essere definita come l’atto di assegnare o ripartire gli impatti ambientali di un sistema tra i differenti prodotti e/o funzioni del sistema oggetto di studio (Azapagic & Clift, 1999; Weidema, 2001; Jungmeier et al., 2002). Il problema consiste nel decidere che porzione dei carichi ambientali si deve assegnare al processo investigato. Per risolvere questo tipo di problema sono state proposte differenti soluzioni (Azapagic & Clift, 1999; Kim & Overcash, 2000; Ekwall & Finnveden, 2001; Weidema, 2001). La scelta di una soluzione anziché un'altra può avere impatti decisivi sui risultati dell’LCA. Se l’allocazione non si può evitare si può scegliere tra diversi metodi di assegnazione; l’Organizzazione Internazionale per la Standardizzazione (ISO) suggerisce il seguente procedimento per l’assegnazione in processi multipli (ISO, 2006): • l’allocazione dovrà evitarsi sempre e quando sia possibile, mediante la divisione del processo multifunzionale in sottoprocessi con la corrispondente raccolta dati separata per ogni sottoprocesso o mediante l’espansione dei confini del sistema fino a che tutti i sistemi compiano la stessa funzione; • quando l’allocazione non si può evitare deve riflettere le relazioni esistenti (fisiche/chimiche/biologiche) tra i carichi ambientali e le funzioni, cioè tra il processo e i suoi prodotti; • quando le relazioni sopra descritte non si possano utilizzare come base dell’allocazione si useranno altre relazioni (ad esempio il valore economico) per riflettere le relazioni tra carichi ambientali e funzioni. É molto raro che un processo multifunzionale si possa separare fisicamente in sottoprocessi eliminando con tale suddivisione la necessita di ricorrere all’allocazione, pertanto l’espansione del sistema è una scelta molto utilizzata. L’idea sulla quale si basa l’espansione del sistema è che ci sia un modo alternativo per generare i co-prodotti. Se è possibile disporre dei dati relativi a tali produzioni alternative i limiti del sistema investigato possono espandersi per includerle, altrimenti, se tali dati non sono conosciuti, l’espansione del sistema non si può effettuare e si dovrà utilizzare il sistema di assegnazione dei carichi. Varie sono le opzioni per l’assegnazione dei carichi e generalmente sono basate su alcune proprietà o relazioni fisiche o sul valore economico: le proprietà fisiche includono la massa, il peso molecolare, il volume e il contenuto energetico; i metodi basati sul valore economico normalmente includono il prezzo di mercato di prodotti e sottoprodotti. Nel presente studio di LCA è stata effettuata l’allocazione basandosi sul criterio della massa. Ad esempio nel processo di coltivazione del frumento, dove gli output del sistema sono grano e paglia in quantità uguali, il 50% degli impatti ambientali è stato attribuito alla paglia e il restante 50% al grano. Nell’analisi di sensibilità si è utilizzato invece il valore economico come criterio di allocazione. 36 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 4.4 VALUTAZIONE DELL’IMPATTO DEL CICLO DI VITA La fase di valutazione dell’impatto ha il fine di interpretare i risultati ottenuti nella fase di inventario (Consoli, 1993). Le tecniche di valutazione dell’inventario permettono di convertire una tabella a doppia entrata con centinaia o migliaia di dati riferiti a quantità di diversi contaminanti (inventario) in una lista di pochi dati, interpretati secondo la capacità di influenzare l’ambiente nelle diverse categorie. Secondo la norma ISO 14040 (ISO, 2006) l’analisi o valutazione dell’impatto consta di una serie di momenti, descritti in figura 4.3: 1. selezione delle categorie di impatto ambientale: in base allo scopo e agli obiettivi dello studio verranno scelte le categorie di impatto da analizzarsi (cambio climatico, eutrofizzazione, acidificazione…); 2. classificazione: presuppone il raggruppamento dei dati dell’inventario secondo un potenziale impatto nelle distinte categorie; 3. caratterizzazione: implica l’applicazione di modelli per calcolare un indicatore ambientale per ogni categoria di impatto, unificando in una sola unità di misura tutte le sostanze classificate nella stessa categoria mediante utilizzo di fattori di peso o equivalenza; 4. normalizzazione: consiste nella valutazione del profilo ambientale generato nei passi precedenti; tale tappa permette la adimensionalizzazione delle categorie e la comparazione tra le stesse. 5. valutazione: permette di determinare, qualitativamente o quantitativamente, l’importanza relativa delle distinte categorie di impatto al fine di ottenere un unico risultato o indice ambientale. La valutazione o ponderazione tra le categorie è un passo difficile e controverso, una decisione più politica che scientifica, che poche volte si realizza, a causa della soggettività che affligge il processo. Esistono differenti metodologie di valutazione dell’impatto del ciclo di vita che si possono raggruppare in due grandi gruppi in funzione dell’obiettivo finale (Baumann & Tillman, 2004): • Valutazione del danno: sono metodologie che utilizzano l’effetto ultimo (endpoints) dell’impatto ambientale, identificando e definendo il danno causato all’uomo e ai sistemi naturali. • valutazione dell’impatto ambientale: sono metodologie che hanno come risultato la definizione di un profilo ambientale, mediante la quantificazione dell’effetto ambientale in diverse categorie del processo/prodotto/servizio; a differenza del secondo gruppo di metodologie raggiunge solo la valutazione degli effetti indiretti o intermedi (midponits) sull’essere umano. 37 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Elementi Obbligatori Selezione delle categorie di impatto, indicatori di categoria e modelli di caratterizzazione Classificazione: assegnazione dei risultati dell'inventario alle varie categorie di impatto Caratterizzazione: calcolo dei risultati degli indicatori di categoria Elementi Opzionali Normalizzazione: quantificazione dei valori dei risultati degli indicatori di categoria Raggruppamento Ponderazione Figura 4.3 Elementi della fase di valutazione dell’inventario 4.5 INTERPRETAZIONE DEI RISULTATI Per finire si procede alla fase di identificazione e gerarchizzazione delle possibili azioni che implichino la riduzione degli impatti o dei carichi ambientali del sistema che sono stati calcolati. Una volta identificate le aree di possibile miglioria, l’LCA aiuta a identificare quali possono apportare maggior miglioramento globale e quali invece non hanno effetti importanti. La fase di interpretazione cerca di offrire una lettura comprensibile, completa e coerente della presentazione dei risultati di uno studio di LCA e dovrebbe fornire risultati che siano coerenti con gli obiettivi e scopi dello studio, che portino a conclusioni, spieghino le limitazioni e offrano raccomandazioni. L’interpretazione è un passaggio che va applicato in forma iterativa con la stessa metodologia LCA, rendendo necessario rivalutare più volte le ipotesi formulate nel corso del lavoro. 38 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 5 APPLICAZIONE DELLA LCA AL BIOETANOLO - DEFINIZIONE DI SCOPI E OBIETTIVI 5.1 SCOPI E OBIETTIVI Come illustrato nel capitolo 1, la Direttiva 2003/30/CE richiede che la quota di biocarburanti (misurata sulla base del contenuto energetico) da immettere sul mercato raggiunga nel 2010 il 5,75% del quantitativo totale di benzina e gasolio fossile usati nel settore dei trasporti (CE, 2003a). L’obiettivo previsto per il 2005, il 2%, è stato raggiunto solo da due stati dell’Unione europea: Germania, 3,75% e Svezia, 2,23% (Pignatelli, 2007). Questa decisa azione dell’UE di promozione e diffusione dei biocarburanti è stata motivata dalla necessità di ridurre le emissioni di gas serra nel settore dei trasporti nell’ambito di una più ampia politica di mitigazione dei cambiamenti climatici (Faaji, 2005). Per il raggiungimento delle quote di biocarburanti proposte dalla Direttiva, l’UE individua due biocarburanti e due filiere energetiche come possibilità reali a livello europeo (JRC, 2004): il bioetanolo (prodotto da frumento, mais o barbabietola da zucchero) ed il biodiesel (da colza, soia o girasole). In questo studio sarà quindi svolta, nei successivi capitoli, un’analisi di ciclo di vita comparativa del bioetanolo prodotto a partire da grano di frumento con la benzina, confrontando le emissioni di gas serra e l’uso di energia associato ai due carburanti. Si è scelto di considerare il bioetanolo prodotto a partire da questo tipo di biomassa per due ragioni principali: la vicinanza con un impianto di trasformazione in progettazione presso Porto Marghera (VE) e la disponibilità di tale materia prima (come anticipato nel capitolo 2). Si considereranno le seguenti possibilità di utilizzo di carburanti: 1. utilizzo di E0 (benzina tradizionale, a basso contenuto di zolfo); 2. utilizzo di E5 (5% bioetanolo, 95% benzina tradizionale, a basso contenuto di zolfo); 3. utilizzo di E10 (10% bioetanolo, 90% benzina tradizionale a basso contenuto di zolfo); 4. utilizzo di E85 (85% etanolo, 15% benzina tradizionale a basso contenuto di zolfo); 5. utilizzo di E100 (100% etanolo). L’analisi del ciclo di vita del biodiesel, unico sostituto oggi disponibile per il gasolio (Henke et al., 2005), non è stata affrontata direttamente, ma sarà valutata solo in termini di review dei risultati disponibili in letteratura, al capitolo 8. Per questo prodotto infatti, non è stato possibile reperire i dati necessari per una specifica analisi LCA. I benefici, in termini di riduzione delle emissioni di gas serra di questo biocarburante saranno quindi valutati basandosi solo sui risultati proposti nella letteratura scientifica. La scelta di analizzare a fondo la sostenibilità di produzione e uso di bioetanolo, prodotto a partire da grano di frumento coltivato in Lombardia, e raffinato nell’impianto più vicino, è motivata da diverse ragioni: • la produzione di bioetanolo di origine vegetale è al momento nulla in Italia del Nord, ma sono in progetto diversi impianti di produzione (Triera S.p.a. (VE), impianto di Zinasco (PV), etc.); l’LCA di tali processi si vedrà dunque necessaria in un futuro prossimo per rispettare i criteri di sostenibilità di cui si è parlato nel capitolo 2; 39 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili il frumento è in Lombardia una delle colture cerealicole maggiormente sviluppate, insieme al mais, con circa 80.000 ettari dedicati nell’ultimo anno e secondo le considerazioni effettuate (vedi capitolo 2) è una delle possibili colture energetiche del prossimo decennio; • la disponibilità di dati relativi a tale coltura, unita al fatto che le tecnologie di trasformazione del grano in bioetanolo sono già sufficientemente conosciute, ha spinto alla scelta del frumento per l’analisi del ciclo di vita, per poter effettuare l’LCA nel modo più approfondito possibile. Gli obiettivi dell’LCA condotta sono pertanto: • valutare gli impatti ambientali dei carburanti nel loro completo ciclo di vita; • identificare e valutare le opportunità per ridurre tali impatti, una volta riconosciuti gli impatti di ogni fase del ciclo di vita (estrazione, produzione, trasformazione, distribuzione e uso); • analizzare i benefici ambientali dei combustibili studiati. Il seguente studio di LCA è stato effettuato secondo la metodologia di analisi del ciclo di vita formalizzata dalle norme UNI-EN-ISO 14040-43. Il software utilizzato è il SimaPro 7.1 sviluppato da una società di ricerca olandese (PRè Consultants, 2007). Al suo interno sono presenti diversi database come BUWAL 250 e ETH-ESU 96 relativi a varie categorie: materiali, combustibili e sistemi di trasporti, a cui si aggiungono anche i sistemi di smaltimento dei rifiuti. I database vengono automaticamente collegati agli alberi dei processi in esame, già implementati nel programma o costruiti dall’utente. Inoltre nel software sono già presenti dei metodi di valutazione degli impatti (quali CML 2, Eco-indicator 99, Ecopoints 97), ma anche in questo caso l’utente può inserirne di nuovi. I risultati possono essere presentati sia con tabelle di inventario sia con tabelle relative alle fasi di caratterizzazione, normalizzazione e pesatura. • 5.2 UNITÀ FUNZIONALE L’unità funzionale (UF) è l’unità alla quale faranno riferimento tutti gli impatti e i risultati ottenuti nello studio e rappresenterà l’unità di riferimento del sistema analizzato (ISO, 2006). Tale riferimento è necessario affinché si possa effettuare una comparazione dei diversi sistemi su una base comune. Dal momento che l’uso finale del combustibile influisce in grande misura nella definizione del ciclo di vita e i sistemi studiati hanno la funzione di fornire carburante per il trasporto stradale, in modo che si possano percorrere con essi la stessa distanza, si è scelta come unità funzionale la quantità di combustibile, espressa in kg, di ogni carburante necessaria a percorrere un km con un veicolo di riferimento. 5.3 PROCESSI STUDIATI In figura 5.1 sono rappresentate schematicamente i processi principali costituenti i sistemi studiati. I processi che verranno analizzati sono • produzione agricola del grano di frumento, • produzione dell’etanolo, • produzione della benzina tradizionale, • miscelazione etanolo-benzina, • distribuzione e consumo della miscela E5, • distribuzione e consumo della miscela E10, • distribuzione e consumo della miscela E85, 40 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili • • • distribuzione e consumo dell’etanolo puro (E100), distribuzione e consumo della benzina tradizionale (E0), trasporto dei materiali tra le diverse fasi. 41 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili DIESEL PREPARAZIONE TERRENO aratura - erpicatura - fertilizzanti Reagenti Paglia ESTRAZIONE DEI SUCCHI macina-miscelazione-cottura Fertilizzanti Pesticidi Semi Trattori Attrezzi SEMINA TRASPORTO MANTENIMENTO fertilizzanti - trattamenti Vapore GRANO RACCOLTA MISCELAZIONE CON BENZINA TRASPORTO FERMENTAZIONE DISTILLAZIONE Distribuzione combustione di E0-E5-E10-E85 ETANOLO ETANOLO DDGS Disidratazione Evaporazione Essiccamento RAFFINERIA TRASPORTO COLTIVAZIONE ETANOLO DDGS Elettricità BENZINA Energia USO ESTRAZIONE GREGGIO Oleodotto Infrastrutture RAFFINERIA Composti chimici Camion (32t) DEPOSITO REGIONALE PRODUZIONE BENZINA Figura 5.1 Schema dei processi implicati nel sistema studiato 42 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 5.4 CONFINI DEL SISTEMA I confini specifici di ogni sistema analizzato saranno discussi più approfonditamente nei seguenti capitoli. A livello generale si può dire che per definire i confini di un sistema sono molti gli aspetti che si devono considerare: • Confini geografici: lo studio realizzato si limita all’uso di etanolo e benzina in Italia, analizza la produzione di frumento nel caso particolare della Lombardia e la fase di trasformazione del grano in etanolo si basa sull’ipotesi che avvenga in un solo impianto (Triera s.p.a.) situato in provincia di Venezia. Questo non significa tuttavia che tutte le fasi del ciclo di vita si limitino a tale ambito geografico; difatti il ciclo di vita di alcune componenti implicate nelle fasi analizzate espande i suoi limiti ben al di fuori di quelli prima citati (ad esempio la benzina o i trattori utilizzati, che vengono prodotti all’estero). • Limiti temporali: l’orizzonte temporale considerato è l’anno 2010. • Fasi escluse dall’analisi: i carichi ambientali relativi alla fabbricazione dei macchinari di raffineria per la trasformazione del grano in etanolo sono stati esclusi dallo studio, così come la fase di fabbricazione del veicolo utilizzato nella fase finale, dal momento che è lo stesso per tutti i casi studiati. • Deposizione atmosferica di azoto e metalli pesanti: sulla superficie terrestre si depositano metalli pesanti e azoto provenienti dall’atmosfera oltre a quelli derivanti dalla precipitazione di fertilizzanti o pesticidi applicati in fase di coltura. Tali deposizioni avrebbero luogo anche in assenza di attività agricola, in particolare la deposizione atmosferica di azoto è dipendente dalla localizzazione geografica (Brentrup et al., 2000). In questo studio tale deposizione è stata tenuta in considerazione, a differenza di quella relativa ai metalli pesanti che è stata omessa per mancanza di dati. • Suolo: l’inclusione o esclusione del suolo tra i limiti del sistema può dar luogo a risultati molto diversi in un’ analisi del ciclo di vita (Audsley et al., 1997). In questo caso di studio il suolo è stato incluso nei limiti durante la fase di coltura, poiché in essa si applica la maggior quantità di agenti chimici che tendono a infiltrarsi nel sottosuolo e possono contaminare le acque sotterranee (approssimatamene fino a 2 metri di profondità). • Macchinari: la costruzione, il trasporto e il mantenimento dei macchinari agricoli (trattori e attrezzi) è stata considerata all’interno dei limiti del sistema, poiché può avere impatti abbastanza rilevanti ai fini dell’analisi globale (Audsley et al., 1997; Delucchi, 1993) . • Uso del terreno: l’occupazione di terreno agricolo è stata considerata, senza supporre tuttavia nessuna conversione di terreni; perciò il suolo occupato dalla coltura è definito “terreno arabile, non irrigato”. • Trasporto: è considerato il trasporto del grano e dei reagenti all’impianto di trasformazione e dell’etanolo e della benzina alle stazioni di servizio. Il trasporto di altri sottoprodotti non è stato preso in considerazione per mancanza di dati. 5.5 QUALITÀ DEI DATI Una volta definiti obiettivi e scopi dell’LCA è necessario definire le fonti dei dati più importanti e i dati raccolti. Quando possibile i dati sono stati raccolti direttamente nelle installazioni produttive, attraverso questionari sull’agricoltura o all’azienda produttrice di etanolo: 1. Questionari compilati da: Dott. G. Canali (università Cattolica, MI), M. Grossi, A. Grecchi, G. Sudati, R. Buratto (aziende agricole situate in Lombardia e Piemonte, nelle provincie di Lodi, Milano e Torino); 2. Triera S.p.a (VE): Ing. A. Gambardella (project manager di Triera S.p.a e Triera Power). 43 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Per i processi nei quali non si disponeva di dati primari si è ricorso a basi di dati: 1. ISTAT (Istituto nazionale di statistica), 1997-2007 http://www.istat.it 2. ENAMA (Ente nazionale per la meccanizzazione agricola), 2007. http://www.enama.it 3. Dati disponibili nello strumento Simapro 7.1 per i processi più comuni, quali trasporto, combustibili e prodotti chimici, fonti energetiche etc. http://www.pre.nl/simapro In altri casi si è ricorso a fonti bibliografiche e pubblicazioni e solo raramente a comunicazioni personali. I requisiti di qualità dei dati raccolti sono i seguenti: • Ambito temporale dei dati: i dati raccolti si riferiscono preferibilmente agli ultimi cinque anni, ossia dal 2003-2007. • Ambito geografico: i dati raccolti si riferiscono sempre, dove possibile, alla zona oggetto di studio (Lombardia). • Ambito tecnologico: la tecnologia considerata è quella attualmente utilizzata nei processi esaminati. 5.5.1 Econivent v1.1 Nel decennio del 1980 esistevano poche basi di dati di LCA, per lo più sviluppate da enti o organizzazioni svizzere, che coprivano solo alcuni settori economici. Negli ultimi anni invece si è sviluppato un crescente interesse per i dati di alta qualità, trasparenti e reali. Negli anni novanta sono state pubblicate basi di dati che rispettassero tali criteri (Ecoinvent, 2004). La base di dati Ecoinvent v1.1 comprende dati di energia, trasporto, materiali di costruzione, prodotti chimici, pasta e carta, trattamento dei residui e dati del settore agricolo. Alla sua elaborazione hanno partecipato diversi istituti svizzeri: nella tabella 5.1 sono descritti il contenuto della base di dati e l’istituto responsabile. Tabella 5.1 Descrizione della base di dati Ecoinvent v1.1 contenuto sottosistema energetico combustibili produzione di calore produzione di elettricità plastiche carta e cartone composti chimici detergenti trattamento dei residui metalli legno materiali di costruzione composti chimici trasporto composti chimici processi e prodotti agricoli istituto responsabile soci Paul Scherrer institute (PSI) ESU-Services Swiss federal laboratorios for materials Testing and Research (EMPA) en ST. Gallen Doka LifeCycle Assessments Chudacoff Ökoscience Swiss federal laboratorios for materials Testing and Research (EMPA) en Dübendorf Chudacoff Ökoscience Natural and Social Science Interface, Swiss Federal In-stitute of Technology Zurich (ETHZ) Institute for Chemical and Bioengineering, Safety and Environmental Technology Group ETHZ Swiss Federal Research station for Agroecology and Agricolture (FAL) Swiss Federal Research Station for Agricoltural Economics and Engineer-ing (FAT) 44 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 5.6 DESCRIZIONE DEI PRODOTTI STUDIATI E QUANTIFICAZIONE DELL’UNITÀ FUNZIONALE Le caratteristiche dei combustibili studiati sono elencate in tabella 5.2 (Fonte dati: Lechón et al., 2005; Martini et al., 2007b; Brewster, 2007; Edwards et al, 2007). Il contenuto di carbonio (totale e fossile) dei diversi tipi di carburanti dipende linearmente dalla presenza della componente biogenica, lineare, come illustrato in figura 5.2. Tabella 5.2 Caratteristiche dei combustibili studiati benzina E5 E10 E85 E100 densità (kg/l) 0,752 0,754 0,756 0,788 0,794 PCI (MJ/kg) 42,9 42,1 41,3 29,1 26,8 consumo (l/100km) 6,95 7,13 7,31 9,97 10,50 consumo (kg/km) 0,0523 0,0537 0,0552 0,0785 0,0834 contenuto C (kg/t) 869 853 839 614 571 contenuto C fossile (kg/t) 869 784 746 73 0 kg/tcarburante 1000 800 600 400 200 0 0 20 40 60 80 100 %etanolo Figura 5.2 Contenuto di C fossile (•) e C totale (o) nei carburanti L’unità funzionale scelta si riferisce alla quantità espressa in kg di ognuno dei combustibili necessaria per percorrere un chilometro. Per il calcolo del consumo medio ci si è basati sui consumi di benzina ed etanolo puri (rispettivamente 6,95 e 10,5 l/100km), riportati nello studio “Well to Wheels” effettuato da JRC/EUCAR/CONCAWE nel 2007 (Edwards et al., 2007); i consumi medi per tali miscele fanno riferimento a un veicolo di cilindrata 1600 cc. (come il veicolo considerato in questo studio) testato con ciclo NEDC. I consumi delle miscele intermedie (E5-10-85) sono stati calcolati per interpolazione, come mostrato in figura 5.3. 45 consumo (l/100km) Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 12 10 8 6 4 2 0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 % etanolo Figura 5.3 Consumi delle diverse miscele di carburanti Tenendo conto dei consumi elencati in tabella 5.2 le unità funzionali sono così distribuite: • 52 g di benzina, • 54 g di E5, • 55 g di E10, • 78 g di E85, • 83 g di E100. Per le miscele a basso contenuto di etanolo esistono numerose evidenze che suggeriscono che il minor contenuto energetico del combustibile si compensa con una miglior combustione dello stesso (Lechón et al., 2005). Tuttavia, finora non esiste un’ evidenza certa che ciò avvenga e la necessità di ulteriori investigazioni al riguardo è molto importante (IEA, 2004). Poiché questo consumo può influenzare in modo significativo i risultati dell’LCA, si è deciso di effettuare un’analisi di sensibilità (capitolo 8) sull’influenza del fattore consumo. 46 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 6. APPLICAZIONE DELLA LCA AL BIOETANOLO – FASE DI INVENTARIO 6.1 FASE DI PRODUZIONE AGRICOLA L’analisi di un sistema di produzione agricola include non solamente le differenti attività svolte nel campo (preparazione del terreno, semina, etc.) ma anche gli impatti relazionati alla preparazione del prodotto ottenuto, l’estrazione delle materie prime (combustibili) e la produzione e il trasporto degli altri input al sistema di studio (fertilizzanti, pesticidi, semi, macchinari, etc.). Gli effetti di tutti questi processi devono essere presi in considerazione per controllare la sostenibilità della catena di processo (Brentrup et al., 2004a; Brentrup et al., 2004b). Per valutare i carichi ambientali associati a una coltivazione agricola sarà necessario tenere in considerazione tutti gli impatti associati al sistema completo, sia quelli direttamente connessi all’attività agricola quanto quelli associati a tutte le entrate del processo (Brentrup et al., 2004a; Brentrup et al., 2004b). La metodologia LCA è stata inizialmente applicata all’analisi di sistemi di produzione industriale, basati sull’estrazione e la trasformazione di materie “senza vita”, cioè risorse non rinnovabili (Cowell & Clift, 1997); i sistemi agricoli comportano invece la coltivazione di specie agricole e l’allevamento di animali che permettono di ottenere risorse rinnovabili. La maggior differenza tra un sistema agricolo e uno industriale è probabilmente il grado di dipendenza che il primo presenta dalla localizzazione geografica (clima e caratteristiche del terreno). In un sistema industriale i limiti, fisici e temporali, sono chiaramente definiti, mentre i un sistema di produzione agricola accade l’opposto, tranne nel caso di produzioni in serra (Canals et al., 2006); vi è innanzitutto una forte dipendenza dal contesto climatico locale e molte delle attività che avvengono prima della semina (applicazione di fertilizzanti, erpicatura) o successivamente (interramento residui, rotazione delle colture) apportano benefici alla coltura attuale e a quella successiva (Audsley et al., 1997; Hansen et al., 2001; Canals, 2003; Rieradevall & Acosta Casas, 2005). Si sottolinea che la fase di produzione agricola rappresenta un processo multi-output: i prodotti sono infatti il grano e la paglia, lo stesso avviene per la fase di produzione del bioetanolo, dove oltre al biocarburante si ha produzione di DDGS; si ricorda che, come anticipato nel capitolo 4, l’allocazione dei carichi ambientali è stata effettuata basandosi sul valore in peso dei sottoprodotti, in quanto l’espansione del sistema avrebbe comportato la necessità di reperire una quantità eccessiva, per lo studio in esame, di dati. 6.1.1 Descrizione del processo di produzione agricola Per la valutazione degli impatti ambientali della fase di coltura è stato considerato uno scenario di produzione tipico per la regione Lombardia: la coltivazione del frumento. Il processo di coltivazione del frumento è descritto in figura 6.1. 47 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Trattori Macchinari Aratura PREPARAZIONE DEL TERRENO Erpicatura Applicazione fertilizzanti/erbicidi GRANO Diesel SEMINA Fertilizzanti (P e N) MANTENIMENTO Applicazione fertilizzanti/erbicidi Pesticidi PAGLIA Semente RACCOLTA CONFINI DEL SISTEMA Figura 6.1 Diagramma di flusso della coltivazione del frumento La coltura lombarda del frumento prevede una preparazione del terreno attraverso tecniche di aratura superficiale e successivamente erpicatura, seguite da una prima applicazione di fertilizzanti ed erbicidi preventiva per la difesa da parassiti tipici delle graminacee; la semina è effettuata nei mesi di settembre-ottobre, la coltura impiega 9 mesi per giungere a maturazione e viene raccolta con mietitrebbia in maggio-giugno. Durante la coltivazione si applicano fertilizzante (per lo più a base di azoto e fosforo) e alle latitudini considerate la pratica comune è di evitare l’irrigazione. Si sottolinea il fatto che nella coltura del frumento non si producono semi, che sono invece acquistati presso aziende locali produttrici di sementi e dunque input al processo di produzione provenienti dalla “tecnosfera”. Per i dati relativi a questa fase sono state utilizzate le seguenti fonti: • base di dati Ecoinvent (Ecoinvent, 2004); • questionari compilati da agricoltori (un modello di tale questionario è riportato in Appendice 2); • dati del Gruppo di Ricerca di Colture industriaili dell’università di Bologna (GRiCi, 2005) e del Centro Studi per una nuova etica economica (CeSPrA, 2004); • manuali di coltivazione del frumento (Regione Lombardia, 2006; Regione Umbria, 2004; Regione Veneto, 2003); Censimento dell’agricoltura (Istat, 2000); decreti ministeriali (DM 26 febbraio, 2002); • basi di dati elettroniche (dati Istat 1999-2007; dati ENAMA 2000-2004). Alcuni processi non sono stati considerati all’interno dei confini del sistema, quali l’essiccamento della granella, la ballatura (processo di formazione delle balle di paglia), il trasporto della paglia, e l’interazione tra colture (rotazione delle coltivazioni). Tali operazioni e gli impatti ambientali ad esse associati non sono quindi considerati nella valutazione del ciclo di vita. 6.1.2 Dati di inventario Nella tabella 6.1 sono elencati tutti gli input e output al processo espressi in kg, tkm (tonnellate x km) o ha, suddivisi per il settore natura o tecnosfera, in funzione della provenienza/destinazione associate. Si è scelto di rappresentare le tabelle dei flussi in ingresso e in uscita al sistema nel formato suggerito dalla norma ISO/TS 14048 (EcoSpold, 2007). 48 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Per gli input al processo (trattori, macchinari, diesel, fertilizzanti, pesticidi e semente) sono state considerate le fasi di produzione e trasporto (Ecoinvent, 2004). Le caratteristiche dei trattori e dei macchinari utilizzati sono elencate in tabella 6.2: si tratta di dati raccolti tramite i questionari riportati nell’allegato 2, quindi relativi al contesto locale. Il consumo di combustibile (diesel) associato alle diverse attività agricole è stato calcolato come media dei dati disponibili nel database ENAMA e i consumi indicati nell’allegato 1 del DM 26/02/2002: i risultati sono riportati in tabella 6.3. Le quantità di fertilizzanti e insetticidi applicate per ogni ettaro sono state ricavate dai questionari e dalle fonti bibliografiche precedentemente citate (Regione Lombardia, 2006; Regione Umbria, 2004; Regione Veneto, 2003). Per ogni ettaro coltivato sono utilizzate le seguenti quantità: 145 kg di urea, 60 kg di superfosfato triplo e 0,9 kg di pesticida generico; la quantità di sementi generalmente utilizzata è di 210 kg/ha. I dati riguardanti l’utilizzo di composti chimici, quelli riguardanti le attività di lavorazione e i mezzi agricoli utilizzati, sono particolarmente aderenti alla situazione della Lombardia: rispecchiano una situazione media della tecnica di coltura del frumento nella nostra regione e sono stati ricavati da informazioni direttamente fornite da esperti del settore. Per raccoglierli è stato necessario molto tempo e la collaborazione di agricoltori o agronomi, spesso di difficile conseguimento. Tabella 6.1 Input/output al processo di coltivazione del frumento (UF: 1 kg grano) DA TECNOSFERA diesel fertlizzante (P) fertilizzante (N) pesticida sementi trattori aratro erpice spandi-fertilizzante barra diserbo seminatrice mietitrebbia trasporto (furgone) trasporto (chiatta) trasporto (rotaia) trasporto (camion 28t) ALLA TECNOSFERA grano paglia 3,23E-02 1,04E-02 2,54E-02 1,73E-04 3,66E-02 4,46 2,16 3,29 0,48 0,24 0,97 6,30 5,52E-04 2,69E-02 3,57E-03 3,57E-03 1 1 INPUT DA NATURA kg suolo arabile 1,75E-04 ha kg kg kg kg kg kg kg kg kg kg kg tkm tkm tkm tkm OUTPUT ALLA NATURA emissioni dirette in atmosfera kg NH3 4,62E-03 kg kg N2O 8,51E-04 kg CO2 1,01E-01 kg CO 2,10E-04 kg CH4 4,18E-06 kg emissioni dirette in acqua sotterranee NO3 5,23E-03 kg P 2,49E-04 kg 49 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Tabella 6.2 Caratteristiche degli attrezzi agricoli trattore 200 cv trattore 80 cv trattore 60 cv aratro erpice rotante spandi-fertilizzante barra diserbo seminatrice mietitrebbia peso (kg) 7750 4750 3500 1220 1150 450 450 800 14000 tempo di vita (anni) 11 10 12 10,5 10 12 12 12 12 Tabella 6.3 Consumi di carburante nelle attività agricole, espressi in l/ha aratura erpicatura semina concimazione diserbo mietitrebbiatura raccolta paglia ENAMA 60 27 15 18 30 36 12 DM 26/02/2006 60 20 10 7 10 36 12 Valore usato nello studio 60 24 13 13 20 36 12 Le emissioni indirette del sistema, cioè quelle associate ai processi di produzione e trasporto degli input (ad esempio le fasi di produzione dell’urea o dei pesticidi, compresi i processi di estrazione e trasporto delle materie prime necessarie alla loro produzione) sono presenti nel database Ecoinvent (Ecoinvent, 2004). Le emissioni dirette del sistema, ossia quelle direttamente generate dall’applicazione dei prodotti chimici o dall’uso del carburante nei trattori, sono state calcolate seguendo modelli proposti da bibliografia (Brentrup et al., 2000; Audsley et al., 1997; Ecoinvent, 2004) che permettono di calcolare il fattore di emissione dei contaminanti nei diversi comparti naturali (aria, suolo, acqua) in funzione delle caratteristiche del territorio nel quale vengono rilasciati. Per la stima delle emissioni sono state considerate le caratteristiche tipiche del territorio lombardo, quali la piovosità media (Istat, 2005), la deposizione atmosferica di azoto (Balestrini et al., 2000) e la composizione media del terreno (comunicazione personale di C. Pretara, Politecnico di Milano). I valori sono elencati nella tabella 6.1, come output alla natura. Per il calcolo delle emissioni associate alla combustione di diesel nei veicoli agricoli si sono utilizzati i fattori di emissione elencati in tabella 6.4, espressi in kg di composto emessi per kg di combustibile bruciato (Ecoinvent, 2004). 50 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Tabella 6.4 Fattori di emissione dei veicoli diesel utilizzati nelle attività agricole ammoniaca NH3 2,0E-05 biossido di carbonio monossido di carbonio monossido di dinitrogeno CO2 CO N2O 3,11 6,5E-03 1,2E-04 metano CH4 1,3E-04 La produttività del terreno (in termini di quintali di materiale raccolto per ettaro) è stata calcolata come media delle quantità di frumento raccolte dal 1997 al 2007 (Istat, 2007), senza considerare il raccolto del 2003 (inferiore di circa il 10% rispetto alla media, a causa di una particolare carenza di piovosità ed elevate temperature). L’indice di raccolto del frumento, ossia il rapporto tra la biomassa di granella e quella totale, è pari a 0,50-0,55 per le nuove varietà (CeSPrA, 2004): per ogni kg di grano raccolto verrà quindi colta circa la stessa quantità in peso di paglia. L’allocazione dei sottoprodotti è stata effettuata sulla base di questa ripartizione e in tabella 6.5 si indicano i diversi fattori di assegnazione dei carichi ambientali secondo i quali vengono ripartiti gli impatti ambientali, come spiegato nel capitolo 4. Tabella 6.5 Fattori di assegnazione dei carichi ambientali massa(kg) 1 1 grano paglia % 50 50 La fase di trasporto dei materiali in input, dalla sede di produzione al campo di lavoro, è stata calcolata sulla base di distanze medie percorse e del tipo di mezzo di trasporto utilizzato (Ecoinvent, 2004, tabella 6.6). Tabella 6.6 Distanza percorsa (km, solo andata) e mezzi di trasporti utilizzati per le materie in input dal deposito al campo sementi fertilizzante N fertilizzante P pesticida chiatta rotaia camion (28t) 900 400 100 100 100 100 furgone (<3,5t) 15 15 Nota: Tra parentesi è indicato il peso in tonnellate del mezzo di trasporto Il trasporto è espresso come input al processo in tkm, ossia: (tonnellate di materiale * chilometri percorsi) * UF-1 Per la produzione e lo smaltimento dei mezzi di trasporto sono stati utilizzati dati ETH-ESU (ETHESU, 1996) ed Ecoinvent (http://www.pre.nl/simapro/inventory_databases.htm#ETH). 6.2 FASE DI PRODUZIONE DEL BIOETANOLO La produzione di etanolo a partire da materiali vegetali zuccherini (quali il frumento) mediante processo di fermentazione e distillazione è oggi una tecnica conosciuta e sviluppata (Bezzo et al., 2007). Attualmente in Italia non sono ancora presenti impianti per la produzione di etanolo a partire 51 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili da amido di cereali, tuttavia nel nord Italia sono in fase progettuale due grandi impianti di produzione di etanolo: il primo a Porto Marghera (VE), denominato Triera Power s.p.a, che dovrebbe essere operativo nel 2009, il secondo in provincia di Trieste. Entrambi fanno parte di un progetto dell’azienda Grandi Molini Italiani, che nei prossimi anni intende avviare preso l’impianto di Venezia anche una centrale di produzione elettrica a partire da oli vegetali (Triera power). L’analisi del processo di produzione di etanolo è stata sviluppata basandosi sull’impianto progettato per Porto Marghera, ipotizzando che la materia prima coltivata in Lombardia venga inviata a quest’unico impianto. 6.2.1 Descrizione del processo di produzione del bioetanolo Lo schema di impianto considerato è illustrato in figura 6.2. MACINA GRANO Reagenti Elettricità Vapore Miscelazione Cottura Liquefazione FERMENTAZIONE DISTILLAZIONE DDGS Disidratazione Evaporazione Essiccamento ETANOLO (>99%) DDGS (umidità 10%) Ricircolo acqua ETANOLO CONFINI DEL SISTEMA Figura 6.2 Schema di produzione del bioetanolo e del DDGS (distillato di grani asciutto con sostanze solubili) L’estrazione delle sostanze zuccherine viene effettuata tramite la macinazione del grano; i liquidi estratti vengono sottoposti a processo di fermentazione e distillazione con l’aggiunta di reagenti (lievito, urea, acido fosforico e solforico). L’etanolo e il DDGS prodotti vengono sottoposti a processi di disidratazione per ridurre l’umidità contenuta ai livelli richiesti. Durante il processo di produzione si necessità energia elettrica e vapore. 52 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili I dati relativi alla produzione sono stati ricavati: • da un questionario compilato da Triera s.p.a., • consultazione di diverse fonti bibliografiche per i dati mancanti, • dalle basi di dati contenute nel software Simapro. 6.2.2 Dati di inventario Nella tabella 6.7 sono elencati tutti gli input e output al processo espressi in kg, tkm o ha, suddivisi per il settore natura o tecnosfera, in funzione della provenienza/destinazione associate. Tabella 6.7 Input/output al processo di produzione del bioetanolo (UF: 1kg di etanolo) DA TECNOSFERA grano lievito acido fosforico acido solforico urea (inN) vapore elettricità trasporto (camion 40t) trasporto (camion 32t) ALLA TECNOSFERA etanolo DDGS INPUT DA NATURA 3,50 kg 9,00E-05 kg 1,20E-04 kg 2,00E-03 kg 4,60E-04 kg 3,13 kg 4,25E-04 MW 7,95E-02 tkm 3,88E-05 tkm OUTPUT ALLA NATURA 1 kg emissioni dirette in atmosfera 1 kg CO2 1,01 kg Nell’impianto di Triera s.p.a. si producono 100000 t/anno di etanolo e 100000 t/anno di DDGS a partire da 350000 t/anno di grano in ingresso (dati Triera, 2007). Il consumo di elettricità è stato assunto pari a quello indicato nel bollettino ufficiale della regione Lombardia n°92 del 23/10/2007 (BUR 23/10/2007), pari a 5,4 MWh annuali; non si è tenuto in considerazione l’ipotesi di utilizzare elettricità derivante da oli vegetali, come indicato nel Bollettino, per mancanza di dati. Le quantità di acido solforico, fosforico e urea utilizzate sono state reperite in bibliografia (Bernesson et al., 2006), così come la quantità di vapore necessaria al processo (Airfeen et al., 2007). Per i dati relativi alla fase di produzione e trasporto degli input all’impianto di produzione sono stati utilizzati i database ETH-ESU (ETH-ESU, 1996) ed Ecoinvent (Frischknecht et al., 2004). Anche in questo processo gli output sono due: il bioetanolo e il DDGS. Si è reso necessario suddividere in carichi ambientali con il metodo dell’allocazione basata sul valore in massa, come adottato precedentemente nel caso della fase agricola. In tabella 6.8 sono indicati i fattori di assegnazione dei carichi ambientali. Tabella 6.8 Fattori di assegnazione dei carichi ambientali bioetanolo DDGS massa(kg) 1 1 % 50 50 53 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Durante il processo di fermentazione si origina una corrente di CO2 (in tabella 6.7 indicata come emissione diretta del processo in atmosfera) prodotta durante la trasformazione del glucosio in etanolo, con un fattore di emissione pari a 1,01 kgCO2/kgEtanolo (Lechón et al., 2005). Questa è l’unica emissione diretta del processo considerata. Per le emissioni indirette associate alla produzione di elettricità e vapore sono stati i utilizzati i dati dal programma Simapro (ETH-ESU, 1996; Dones et al., 2004). Per il trasporto delle materie prime all’impianto si è considerata la distanza percorsa con camion (Bernesson et al., 2006), mentre per il grano si è utilizzata la distanza media tra Lombardia e l’impianto pari a 200 km, anche questa percorsa con camion (tabella 6.9). Tabella 6.9 Distanza percorsa (km, solo andata) e mezzo di trasporto delle materie prime in input al processo di produzione camion (40t) 420 grano reagenti chimici camion (32t) 220 6.3 FASE DI PRODUZIONE DELLA BENZINA FOSSILE Il processo di produzione della benzina fossile a basso contenuto di zolfo, considerata nel presente studio, è schematizzato in figura 6.3. Sono inclusi i processi di estrazione del greggio di raffineria, di deposito e le fasi di trasporto intermedie (Dones et al., 2004). L’energia necessaria alle diverse fasi è fornita sotto forma di energia elettrica o gas, i trattamenti delle acque di scarico e lo smaltimento dei residui di lavorazione sono inclusi nei confini del sistema. Il processo di produzione della benzina è sviluppato ipotizzando la produzione del carburante in Europa. L’inventario completo dei dati per tutte le fasi di produzione è reperibile nel database Ecoinvent e nel rapporto finale (Jungbluth, 2004). ESTRAZIONE GREGGIO Oleodotto Gas Composti chimici Acque di scarico Residui RAFFINERIA TRATTAMENTO Elettricità Camion (32t) infrastrutture BENZINA DEPOSITO REGIONALE CONFINI DEL SISTEMA Figura 6.4 Schema di produzione della benzina fossile a basso contenuto di zolfo 54 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 6.4 FASE DI USO FINALE DEI COMBUSTIBILI In questo studio si è considerato l’utilizzo delle diverse miscele, descritte nel capitolo 5, in un unico veicolo di riferimento, capace di funzionare con i diversi tipi di carburanti studiati e rappresentativo dei veicoli maggiormente utilizzati per il consumo attuale di benzina. Il veicolo Ford Focus 1600 cc., 16V Zetec Flexifuel, 5 porte, di figura 6.4 è un veicolo Flexi Fuel, in grado quindi di funzionare con benzine ad alto contenuto di etanolo (come l’E85). Figura 6.4 Veicolo Flexi Fuel di riferimento Dal momento che l’obiettivo dello studio è di comparare i distinti carburanti utilizzati nello stesso veicolo, gli impatti associati al ciclo di vita del veicolo (quindi alla sua produzione, distribuzione, manutenzione e smaltimento) non sono stati calcolati. 6.4.1 Descrizione del processo di utilizzo finale dei combustibili Il diagramma di flusso di quest’ultima fase analizzata è schematizzato in figura 6.5. Combustibile Veicolo COMBUSTIONE del carburante Emissioni LIMITI DEL SISTEMA Figura 6.5 Diagramma di flusso della fase di utilizzo dei combustibili In quest’ultima fase si considera semplicemente la combustione del carburante nel veicolo sopra descritto, le emissioni che ne derivano sono quelle generate dalla combustione. L’analisi della bibliografia effettuata al capitolo 3 concerne le emissioni regolate (CO, HC, NOx e PM) o di inquinanti tossici (IPA e componenti carbonilici), dunque per analizzare le emissioni allo scarico di gas effetto serra (CO2, CH4 ed N2O) si è fatto riferimento ad altre fonti bibliografiche, di seguito citate. 55 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 6.4.2 Dati di inventario Il contenuto di etanolo è espresso come percentuale in volume (ad esempio l’E5 è composto da 5% in volume di etanolo e 95% in volume di benzina). Si è deciso di utilizzare una benzina a basso contenuto di zolfo, ed i dati di estrazione, raffinazione e distribuzione fino ai depositi regionali di questo carburante sono stati presi dalla base di dati ETH-ESU (ETH-ESU, 1996), disponibile nel software Simapro. Nelle tabelle 6.10, 6.11, 6.12, 6.13 e 6.14 sono elencati gli input e output al processo espressi in kg e tkm suddivisi per il settore natura o tecnosfera per i cinque casi in esame (E0, E5, E10, E85, E100). L’UF (unità di riferimento) è, come stabilito nel capitolo 5, 1 km percorso con il veicolo di riferimento. Tabella 6.10 Input/output al processo di utilizzo della benzina nel veicolo di riferimento (UF: 1km percorso) DA TECNOSFERA benzina etanolo trasporto (oleodotto) trasporto (camion) ALLA TECNOSFERA INPUT DA NATURA 5,23E-02 kg 0 kg 1,05E-04 tkm 2,14E-02 tkm OUTPUT ALLA NATURA emissioni in atmosfera CO2 0,167 kg CH4 3,2E-06 kg N2O 2,5E-05 kg Tabella 6.11 Input/output al processo di utilizzo dell’E5 nel veicolo di riferimento (UF: 1km percorso) DA TECNOSFERA benzina etanolo trasporto (oleodotto) trasporto (camion) ALLA TECNOSFERA INPUT DA NATURA 5,09E-02 2,83E-03 1,02E-04 2,64E-02 kg kg tkm tkm OUTPUT ALLA NATURA emissioni in atmosfera CO2 0,154 kg CH4 3,2E-06 kg N2O 2,5E-05 kg 56 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Tabella 6.12 Input/output al processo di utilizzo dell’E10 nel veicolo di riferimento (UF: 1km percorso) DA TECNOSFERA benzina etanolo trasporto (oleodotto) trasporto (camion) ALLA TECNOSFERA INPUT DA NATURA 4,94E-02 5,80E-03 9,89E-05 2,70E-02 kg kg tkm tkm OUTPUT ALLA NATURA emissioni in atmosfera CO2 0,151 kg CH4 3,2E-06 kg N2O 2,5E-05 kg Tabella 6.13 Input/output al processo di utilizzo dell’E85 nel veicolo di riferimento (UF: 1km percorso) DA TECNOSFERA benzina etanolo trasporto (camion) ALLA TECNOSFERA INPUT DA NATURA 1,12E-02 kg 6,73E-02 kg 3,71E-02 tkm OUTPUT ALLA NATURA emissioni in atmosfera CO2 0,021 kg CH4 4,8E-06 kg N2O 2,5E-05 kg Tabella 6.14 Input/output al processo di utilizzo dell’ etanolo nel veicolo di riferimento (UF: 1km percorso) DA TECNOSFERA benzina etanolo trasporto (camion) ALLA TECNOSFERA INPUT DA NATURA 0 kg 8,34E-02 kg 3,88E-02 tkm OUTPUT ALLA NATURA emissioni in atmosfera CO2 0 kg CH4 4,8E-06 kg N2O 2,5E-05 kg 57 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Per il calcolo delle quantità di benzina ed etanolo necessarie a percorrere un chilometro sono stati adottati i valori riassunti in tabella 5.2, calcolati come precedentemente descritto nel capitolo 5. Per le emissioni associate all’uso di benzina pura si sono effettuate le seguenti ipotesi: • le emissioni di protossido di azoto sono state considerate pari a 0,025 g/km (IDIADA, 2003a; IDIADA, 2003b); • le emissioni di metano sono state stimate assumendo per il veicolo di riferimento la stessa percentuale di componente metagenica trovata nelle emissioni di idrocarburi dello studio di IDIADA (IDIADA, 2003a; IDIADA, 2003b) e pari a 5,3%; • le emissioni di biossido di carbonio si sono calcolate a partire del contenuto di carbonio totale del combustibile. Nelle benzine a basso contenuto di etanolo le emissioni di N2O e di CH4 non subiscono variazioni rilevanti. Per il protossido di azoto avviene lo stesso anche nelle benzine ad alto contenuto di etanolo (Camaleño Simón, 2007), mentre per il metano non si osserva un andamento riconoscibile (Sheenan et al., 2004; Winebrake et al., 2000; Delucchi, 2003; Lipman & Delucchi, 1997): si è scelto perciò di applicare lo stesso fattore di emissione di N2O e CH4 della benzina a tutti i carburanti, tranne nel caso dell’E85 e dell’E100, dove le emissioni di metano sono state aumentate del 50%, valore medio osservato in diversi studi (Camaleño Simón, 2007; Lechón et al., 2005). Infine per il calcolo delle emissioni di biossido di carbonio associate alla combustione il bioetanolo è considerato “carbonio neutrale”, ossia non si conteggiano le emissioni di CO2 generate durante la combustione perché rappresentano la stessa quantità di C che la pianta assorbe dall’atmosfera in fase di crescita (IPCC, 1996); tale ipotesi è utilizzata nella maggior parte degli studi di LCA sui biocarburanti pubblicati (Galbraith et al., 2006). I fattori di emissione utilizzati sono riassunti in tabella 6.15: i valori di CO2 fossile rappresentano le emissioni di CO2 associate alla benzina, e dunque le sole emissioni di biossido di carbonio emesse durante la combustione del carburante che sono state considerate in questo studio; al contrario le emissioni di CO2 denominate biogeniche sono associate alla combustione dell’etanolo e non sono dunque state conteggiate. Tabella 6.15 Fattori di emissione di gas serra, espressi in g/km per i diversi carburanti benzina E5 E10 E85 E100 CO2 fossile 167 154 151 21 0 CO2 biogenico 0 14 19 155 175 N2O 0,025 0,025 0,025 0,025 0,025 CH4 0,0032 0,0032 0,0032 0,0048 0,0048 Per valutare gli impatti associati alle diverse fasi di trasporto che collegano i depositi di benzina con l’impianto di produzione del bioetanolo, di miscelazione e le stazioni di servizio, si sono utilizzati, come nelle altre fasi di inventario, le basi di dati contenute nel programma Simapro (ETH-ESU, 1996; Ecoinvent, 2004). Lo schema di trasporto dei combustibili è schematizzato in figura 6.5; le distanze percorse (in km) e i mezzi di trasporto sono elencati in tabella 6.17 (Lechón et al., 2005). Si considera in questo scenario che nell’impianto di produzione del bioetanolo si produca etanolo puro e una miscela con il 15% di benzina (l’E85), che vengono poi trasportate fino al centro di distribuzione, dove si aggiunge benzina all’E85 per produrre le miscele E5 ed E10, le quali vengono poi distribuite fino alle stazioni di servizio. Tutti i trasporti avvengono su strada, tranne il trasporto della benzina al centro di distribuzione che avviene tramite oleodotto (tratteggiato in figura 6.6). 58 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 205 km Benzina Centro di distribuzione E5 E10 E85 BENZINA 27 km 27 km E85 E100 Stazioni di servizio 2 km E100 Impianto produzione bioetanolo Figura 6.6 Schema del trasporto dei carburanti (distanze in km, solo andata) La distanza percorsa in oleodotto è di 2 km; quella tra i deposito di benzina e l’impianto di produzione di bioetanolo è pari a 27 km; dall’impianto di produzione del biocarburanti al centro di distribuzione vengono percorsi altri 27 km; le stazioni di servizio distano dal centro di distribuzione 205 km. Tabella 6.16 Distanza percorsa (km, andata e ritorno) e mezzo di trasporto dei combustibili benzina E5 E10 E85 E100 camion (40t) 465 410 410 465 465 oleodotto 2 6.5 QUADRO RIASSUNTIVO DEI DATI UTILIZZATI NELL’INVENTARIO Nel presente studio di analisi del ciclo di vita del bioetanolo per veicoli stradali si è utilizzato l’approccio denominato “from cradle to grave” (dalla culla alla tomba), in quanto sono state considerate tutte le fasi di produzione e utilizzo del carburante: la produzione della materia prima (coltivazione del frumento), la produzione del bioetanolo (trasformazione del cereale in biocarburante) e infine l’uso dello stesso (combustione in veicolo stradale). Negli ultimi anni si è assistito ad un aumento non solo della produzione e del consumo dei biocarburanti, ma anche alla crescita di interesse del mondo scientifico e della ricerca (Venturi & Fazio, 2007). Molti degli studi recentemente pubblicati hanno utilizzato lo steso approccio “from cradle to grave”, anche se generalmente focalizzandosi sul confronto tra bioetanolo netto e benzina, senza considerare le possibili miscele (Edwards et al., 2007; Tan & Cubala, 2002; IEA/AFIS, 1999) oppure investigando gli effetti di una sola miscela possibile di bioetanolo-benzina (Zhi Fu et al., 2003; Sheenan et al., 2004; Malça & Freire, 2006). In questo studio si è deciso di analizzare le tre possibili mescole bioetanolo-benzina alla luce del contesto politico-legislativo italiano, presentato nel capitolo 1, che prevede per il momento la possibilità di utilizzo del 5% di contenuto massimo in volume di biocarburante, con la possibilità di aumentarlo al 10%, secondo quanto proposto nel progetto di parere 2007/0019(COD) (Parlamento europeo, 2007). 59 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Nel presente studio l’analisi di ciclo di vita ha considerato la realtà della Lombardia, considerando dunque un limite spaziale specifico per i vari elementi e dati dell’LCA: la produzione del grano di frumento è localizzata in Lombardia e la trasformazione della materia prima avviene nell’impianto dell’Italia del nord situato il più vicino possibile. In tabella 6.18 sono riassunte le fonti che si sono utilizzate per quantificare gli input ai processi analizzati. Per analizzare il ciclo di vita degli input al processo, cioè gli impatti associati alla produzione, al trasporto fino al sistema considerato (campo, impianto di trasformazione dell’etanolo, deposito regionale di carburante), e allo smaltimento degli input di ogni processo, (ad esempio il processo di produzione e assemblaggio e trasporto al campo dei trattori utilizzati in fase di coltura), sono stati utilizzati i dati del software Simapro. Tabella 6.18 Provenienza dei dati utilizzati per la quantificazione degli input ai processi Ecoinvent AGRICOLTURA tecniche colturali fertilizzanti/prodotti chimici applicati diesel trattori e attrezzi sementi trasporto PRODUZIONE ETANOLO struttura e produttività impianto reagenti elettricità vapore trasporto USO FINALE caratteristiche carburanti trasporto Bibliografia Dati Lombardia × × × × × × × × × × × × × × × × × × Si noti come per la fase di agricoltura si è prestata particolare attenzione a raccogliere dati particolarmente conformi alla zona in esame, poiché è questa la fase nella quale si possono incontrare le maggiori differenze in funzione del contesto geografico; la fase di produzione di bioetanolo è meno soggetta all’influenza della zona di localizzazione dell’impianto, mentre la fase di consumo non risente di questa influenza. In ragione di questa precisa collocazione spaziale, l’inventario e i risultati della presente LCA sono da considerarsi specifici per il caso in esame, con la possibilità di estensione alle zone dell’Italia del nord che presentino similitudini climatiche e di tecniche di coltura. 60 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 7 APPLICAZIONE DELLA LCA AL BIOETANOLO - VALUTAZIONE DEGLI IMPATTI E INTERPRETAZIONE DEI RISULTATI 7.1 METODOLOGIA DI VALUTAZIONE La valutazione dell’impatto ambientale in questo studio è stata realizzata seguendo la metodologie 1. CML 2000, attualizzazione del metodo CML pubblicato dal “Centre of Environmental Science” dell’università di Leiden nel 1992 (Guinée et al., 2001; Heijungs et al., 1992), che contiene le seguenti categorie di impatto: uso risorsa abiotica, emissioni di gas serra, riduzione dello strato di ozono, tossicità umana, ecotossicità acquatica, ecotossicità acquatica marina, ecotossicità terrestre, ossidazione fotochimica, acidificazione, eutrofizzazione; 2. Ecoindicator 95, sviluppata dalla società olandese Pré Consultants (Goedkoop, 1995), contenente le seguenti categorie di impatto: gas serra, riduzione cappa ozono, acidificazione, eutrofizzazione, metalli pesanti, sostanze cancerogene, smog invernale ed estivo, pesticidi, risorse energetiche, rifiuti solidi. 7.1.1 Selezione delle categorie di impatto Nel presente lavoro sono state considerate le categorie di impatto “emissioni di gas serra” (“global warming potential” della metodologia CML 2 Baseline 2000) e “consumo energetico” (“energy resources”, della metodologia Ecoindicator 95). La scelta è derivata dall’importanza che la tematica climatica ed energetica ha assunto negli ultimi anni: va ricordato che le disposizioni a sostegno dei biocarburanti dell’Unione Europea (ad esempio, la direttiva europea 2003/30/CE impone l’introduzione nel mercato di quote progressive di biocarburanti) sono motivate dalla necessità di ridurre i gas serra per raggiungere gli obiettivi fissati nel protocollo di Kyoto. Per questo motivo si è scelto di centrare l’interesse sulla categoria di impatto “emissioni di gas serra” e valutare in questo modo quale delle miscele di biocarburanti permetta la maggior riduzione di emissioni di gas effetto serra in aria, espressa in quantità di CO2 equivalente, basandosi sui valori di GWP (potenziale di riscaldamento globale) riferiti ad un orizzonte temporale di 100 anni, come definiti dall’IPCC (Hospido, 2005). 7.1.2 Classificazione e caratterizzazione La classificazione consiste nel raggruppamento delle sostanze presenti nell’inventario in distinte categorie di impatto, ossia identificare quali sostanze e le emissioni ad esse associate provocano impatti nella categoria considerata. Il passo successivo consiste nell’applicazione del modello di caratterizzazione, allo scopo di ottenere l’indicatore relativo alla categoria di impatto, unificando in un'unica unità di riferimento tutte le sostanze classificate nella stessa categoria, attraverso l’uso di fattori di equivalenza. Le emissioni di gas serra investigate sono state quelle di biossido di carbonio, metano e protossido di azoto, poiché alle altre sostanze impattanti della categoria GWP (elencate in appendice 3), non corrispondo emissioni rilevanti ai fini della valutazione di LCA del bioetanolo (Malça et al., 2005). 61 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili In tabella 7.1 si riportano i contaminanti considerati nella classificazione e il fattore di caratterizzazione applicato. Tabella 7.1 Potenziali di riscaldamento globale CO2 contaminante biossido di cabonio Fattore di equivalenza kgCO2eq/kgCO2 1 CH4 metano 21 kgCO2eq/kgCH4 N2O protossido di azoto 310 kgCO2eq/kgN2O La metodologia Ecoindicator 95 è stata utilizzata per quantificare le risorse energetiche utilizzate in ogni processo (espresse in MJ di Potere Calorifico Inferiore) e valutarne la sostenibilità energetica. L’uso di risorse energetiche è calcolato mediante i poteri calorifici proposti nella metodologia Ecoindicator 95, elencati in tabella 7.2. Tabella 7.2 PCI delle risorse energetiche petrolio gas naturale 41 35 MJ/kg MJ/m3 carbone 8 MJ/kg lignite 8 MJ/kg 40,9 MJ/m3 gas (da produzione petrolio) L’elenco completo delle sostanze classificate e i valori di caratterizzazione delle due metodologie utilizzate, per le categorie considerate, sono riportati in appendice 3. 7.2 RISULTATI DELLA VALUTAZIONE Nella tabella 7.3 sono riassunti i risultati ottenuti nelle due categorie di impatto per ognuno dei carburanti analizzati: valori negativi indicano minor emissione di gas serra/uso di risorse energetiche rispetto alla benzina tradizionale, E0. Nella figura 7.1 i risultati sono confrontati in termini assoluti, riferiti ai valori del combustibile E0 (benzina fossile). 62 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Tabella 7.3 Risultati del confronto E0-E5-E10-E85-E100 Emissioni gas serra g CO2 eq/km emissioni evitate/aggiuntive gCO2 eq/km % E0 214 E5 205 -9 -4,1 E10 205 -9 -4,1 E85 147 -66 -31,1 E100 144 Energia consumata MJ/km -70 -32,6 consumo evitato/aggiuntivo MJ/km % E0 3,1 E5 3,1 -0,03 -1,0 E10 3,0 -0,07 -2,3 E85 1,4 -1,65 -53,4 E100 1,2 -1,91 -61,8 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% E0 E5 E10 E85 E100 Gas serra Energia Figura 7.1 Confronto dell’impatto dei carburanti nelle categorie analizzate In entrambe le categorie d’impatto analizzate il maggiore impatto si associa all’uso della benzina, mentre le minori emissioni di gas serra e il minor consumo energetico si riscontrano con la miscela E100. Si osservano differenze molto limitate (<5%) in entrambe le categorie tra l’uso di benzina interamente di origine fossile e le miscele E5 ed E10. Di seguito sono approfonditi gli impatti associati alle diverse fasi del processo. 7.2.1 Emissioni di gas serra Le emissioni di CO2 equivalente associate ai carburanti analizzati sono riportate in tabella 7.3; da tali valori si comprende che le miscele contenenti etanolo permettono di evitare una parte delle 63 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili emissioni di gas serra rispetto alla benzina. Le quantità di emissioni evitate, già riportate in tabella 7.3 ed espresse in gCO2/km, per ciascun carburante alternativo sono rappresentate anche in figura 7.2. E100 E85 E10 E5 -90 -80 -70 -60 -50 -40 -30 -20 -10 0 gCO2eq/km Figura 7.2 Emissioni di gas serra evitate rispetto all’utilizzo di benzina fossile (E0) Il contributo dei singoli processi al valore totale è rappresentato in figura 7.3. Si osserva che per le miscele a basso contenuto di etanolo è la fase di uso, ossia di combustione del carburante nel veicolo, che provoca la maggior parte delle emissioni di gas serra. Le emissioni di gas serra associate all’E5 e all’E10 sono comparabili, poiché, pur aumentando il contenuto di etanolo (che comporta minori emissioni di CO2 allo scarico), si osserva un aumento del consumo specifico di carburante (l/km), che annulla l’effetto positivo del bioetanolo. L’E85 e l’E100 permettono invece una riduzione di emissioni di gas serra considerevole (pari a 66 e 70 gCO2/km rispettivamente). Tale risparmio è dovuto soprattutto alla diminuzione nelle emissioni di CO2 associate alla frazione fossile di carburante combusto, che è minore di quella presente nella benzina. Le emissioni di gas serra associate alle fasi di produzione di benzina e bioetanolo sono ovviamente proporzionali al contenuto di ciascun combustibile nei carburanti analizzati (andamento apprezzabile in figura 7.3). Tale fenomeno spiega la poca differenza che si riscontra tra le emissioni dell’E100 e dell’E85: l’etanolo puro difatti permette una riduzione quasi totale delle emissioni allo scarico, generando tuttavia in fase di produzione (coltura e trasformazione) una notevole quantità di CO2equivalente. 64 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 250 gCO2eq/km 200 trasporto miscele prod etanolo 150 prod benzina 100 uso 50 0 E0 E5 E10 E85 E100 Figura 7.3 Contributo dei singoli processi alle emissioni di gas serra 7.2.2 Uso di energia L’utilizzo di risorse energetiche, espresso in MJ di potere calorifico inferiore, è riportato in tabella 7.3. Da tali valori si evince che tutte le miscele analizzate permettono un risparmio energetico, seppur in forma molto contenuta per quelle a basso contenuto di etanolo (E5 ed E10). Tale comportamento è rappresentato in figura 7.4. E100 E85 E10 E5 -2 -1,5 -1 -0,5 0 MJ/km Figura 7.4 Risparmio nella richiesta energetica dei carburanti rispetto all’utilizzo di benzina fossile (E0) Il contributo dei singoli processi è rappresentato in figura 7.5. 65 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 3,5 3 MJ/km 2,5 trasporto miscele 2 prod. etanolo 1,5 prod. benzina 1 0,5 0 E0 E5 E10 E85 E100 Figura 7.5 Contributo dei processi al consumo energetico Il consumo energetico legato alle miscele E5 ed E10, rispetto alla benzina, è leggermente inferiore (-1 e -2,3% rispettivamente) grazie al risparmio attribuito al minor uso di benzina fossile, che necessità di quantità molto maggiori per la produzione (soprattutto in fase di estrazione) rispetto all’etanolo analizzato nello studio. Il consumo energetico associato alle fasi di produzione di benzina e bioetanolo è ovviamente proporzionale al contenuto di ciascun combustibile nei carburanti analizzati ed in questo caso permette che l’E100 sia il carburante al quale si associa il minor consumo energetico. 7.3 CONCLUSIONI Alla luce dei risultati mostrati nel paragrafo precedente si può concludere che, in confronto alla benzina tradizionale, i carburanti alternativi analizzati offrono i seguenti risultati: • le miscele E5 ed E10 permettono leggeri miglioramenti dal punto di vista ambientale ed energetico: permettono di risparmiare circa 9 gCO2eq e 0,03-0,07 MJ per chilometro percorso; • l’E100 sembra essere la soluzione più interessante in quanto permette una forte diminuzione delle emissioni di gas serra (70 gCO2eq in meno emessi per chilometro) ed un buon risparmio energetico (quasi 1,9 MJ per chilometro); • anche la miscela E85 permette risparmio, sia dal punto di vista energetico (quasi 1,7 MJ/km in meno) che da quello delle emissioni di gas serra (66 gCO2eq evitati per chilometro). Tali risultati sono ovviamente legati alle ipotesi formulate nei capitoli precedenti. Vista la piccola differenza tra i risultati osservati per i carburanti a basso contenuto di etanolo (E5 ed E10) e la benzina, si è ritenuto opportuno effettuare un’ analisi di sensibilità relativa al consumo specifico dei carburanti E5 ed E10, alle emissioni di N2O in fase agricola ed infine al metodo di allocazione dei carichi (capitolo 8), per valutare i possibili cambiamenti a fronte di assunzione di ipotesi differenti. Si ricorda inoltre che, per mancanza di dati, si è ipotizzato di utilizzare energia elettrica (mix medio italiano) in fase di produzione dell’etanolo, pur se l’impianto considerato si avvarrà di elettricità prodotta a partire da biomasse in un impianto contiguo (Triera Power); tale fatto può influenzare positivamente il bilancio, permettendo un’ulteriore riduzione di emissioni di gas serra e uso di risorse energetiche nella fase di produzione dell’etanolo. 66 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 7.4 ANALISI “FROM CRADLE TO GATE” Nei paragrafi precedenti sono state analizzate, le miscele E5, E10, E85 ed E100 con l’approccio definito “from cradle to grave”, considerando cioè tutte le fasi del ciclo di vita, compreso l’uso finale. Risulta tuttavia interessante soffermarsi su un confronto del tipo “from cradle to gate” (dalla culla al cancello), analizzando i differenti impatti di etanolo e benzina fino alla fase di produzione; in altre parole in questo modo si valutano gli impatti del carburante indipendentemente dal successivo uso, ossia fornendo informazioni utili alla valutazione di altri possibili utilizzi (ad esempio: trazione in campo agricolo, combustione in motori stazionari, in caldaie, etc.). Fermando la valutazione alla fase di produzione, le unità funzionali in questo caso saranno 1 kg di etanolo ed 1 kg di benzina. Nella tabella 7.4 sono riassunti i risultati ottenuti nelle due categorie di impatto esaminate per ognuno dei carburanti analizzati: valori negativi indicano minor emissione di gas serra/uso di risorse energetiche rispetto alla benzina tradizionale. Nella figura 7.6 i risultati sono confrontati in termini assoluti. Tabella 7.4 Risultati del confronto produzione di benzina-produzione di etanolo Emissioni gas serra g CO2 eq/kg Benzina 672 Etanolo 367 Energia consumata Benzina Etanolo emissioni evitate/aggiuntive gCO2 eq/kg % 305 45 consumo evitato/aggiuntivo MJ/kg MJ/kg % 58 13 45 -78 100 80 60 % Benzina Etanolo 40 20 0 Gas serra Energia Figura 7.6 Confronto degli impatti, espressi in valore assoluto, di benzina ed etanolo La produzione di etanolo permette quindi una riduzione del 45% di emissioni di gas serra, risparmio pari a 305 gCO2 evitate per kg, e del 78% di consumi energetici, risparmio pari a 45 MJ/kg. 67 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 7.4.1 Impatti dei singoli processi L’impatto nella categoria potenziale di riscaldamento globale dei due combustibili è suddiviso nei diversi processi come descritto in figura 7.7. Nell’analisi “from cradle to gate” effettuata in questa sezione, per tenere in considerazione la capacità di immagazzinare carbonio della biomassa utilizzata per la produzione di bioetanolo, si è ipotizzato che ogni kg di grano prodotto assorba in crescita 1,32 kg di CO2 atmosferica (Ecoinvent, 2004). Come si può notare, il processo di coltivazione del grano compensa una buona parte delle emissioni di CO2 generate nella fase di produzione del bioetanolo, grazie alla capacità della coltura di assorbire biossido di carbonio dall’atmosfera in fase di crescita. Il bilancio rimane comunque positivo, ossia si ha in fase di produzione una emissione (1108 gCO2 per kg di bioetanolo prodotto) maggiore a quella evitata dalla fase di coltivazione (747 gCO2eq per kg di bioetanolo prodotto). La maggior parte dell’impatto della benzina nella categoria emissioni di gas serra è da associarsi alla fase di estrazione, che comporta l’emissione di 648 gCO2eq per kg, mentre la raffinazione solo 5 g di CO2eq ed il trasporto circa 20 gCO2eq. L’impatto nella categoria uso delle risorse energetiche è suddiviso nei diversi processi come descritto in figura 7.8. Per questa categoria il bioetanolo offre, rispetto alla benzina, vantaggi più evidenti: ogni chilo di etanolo prodotto richiede 45 MJ in meno rispetto alla produzione di un kg di benzina. gCO2eq/km 1200 800 trasporto 400 raffinazione estrazione 0 -400 Etanolo Benzina coltura -800 MJ/km Figura 7.7 Contributo dei singoli processi coinvolti nella produzione di etanolo e benzina alla categoria di impatto riscaldamento globale 60 50 40 trasporto raffinazione 30 20 10 0 estrazione coltura Etanolo Benzina Figura 7.8 Contributo dei singoli processi coinvolti nella produzione di etanolo e benzina alla categoria di impatto uso delle risorse energetiche I contributi dei singoli processi, in entrambe le categorie analizzate, sono riassunti in tabella 7.5. 68 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Tabella 7.5 Contributi dei singoli processi coinvolti nella produzione di etanolo e benzina alle due categorie di impatto considerate emissioni gas serra (gCO2eq/kg) consumo energia (MJ/kg) benzina bioetanolo benzina bioetanolo trasporto 20 6 0,2 0,1 produzione 5 1108 0,1 8,3 coltivazione estrazione TOT -747 648 672 367 4,4 57,5 57,8 12,8 7.4.2 Conclusioni dell’analisi “from cradle to gate” La produzione della benzina risulta più impattante, in entrambe le categorie analizzate, soprattutto a causa della fase di estrazione del greggio. Per il bioetanolo sono importanti, ai fini delle emissioni di gas serra, le fasi di coltivazione e produzione. Alle fasi di trasporto di entrambi i prodotti sono associati impatti trascurabili. Ogni kg di bioetanolo permette, in confronto alla benzina, di evitare 305 gCO2eq/kg e di 45 MJ/kg. Anche in questo caso si ricorda che l’ipotesi di utilizzare energia elettrica “media” italiana nell’impianto di produzione di bioetanolo potrebbe comportare impatti peggiori (ossia maggiori emissioni di CO2 equivalente ed uso di risorse energetiche) rispetto all’uso di energia elettrica prodotta a partire da biomasse, come dovrebbe effettivamente avvenire nell’impianto Triera S.p.a. 69 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 8 CONFRONTI E ANALISI DI SENSIBILITÀ Oltre alla riduzione delle emissioni di gas serra, di seguito analizzate in maniera approfondita, esistono diversi aspetti ambientali legati all’introduzione del biodiesel in sostituzione alla sua controparte fossile (il gasolio). Le attività legate alla coltivazione delle materie prime necessarie comportano emissioni di diversi inquinanti che possono provocare impatti negativi in altre categorie ambientali. Ad esempio fertilizzanti e pesticidi, indispensabili alle colture di colza, girasole e soia (soprattutto per la colza, pianta molto sensibile), possono causare la diffusione di inquinanti tossici per la salute umana e la contaminazione delle acque superficiali e del suolo, nonché l’acidificazione dovuta alle emissioni di SO2 ed NOx (IFEU, 2003). Inoltre, le attività agricole e la produzione dei fertilizzanti comportano l’emissione di protossido d’azoto (N2O), un gas che non solo contribuisce al riscaldamento globale, ma anche alla riduzione della fascia di ozono (Reinhardt & Jungk, 2000). 8.1 BIOETANOLO: CONFRONTO CON ALTRI STUDI DI LCA I risultati dell’analisi LCA della filiera frumento - bioetanolo ottenuti nei paragrafi precedenti sono in questo capitolo confrontati con dati di letteratura reperiti nella letteratura scientifica, in cui è stato analizzato il potenziale di riduzione delle emissioni di gas effetto serra, ottenibile attraverso la sostituzione di benzina fossile con bioetanolo, con un approccio “from cradle to grave”, ossia prendendo in considerazione tutte le fasi, partendo dalla produzione fino all’uso finale in veicoli di autotrazione. Sono stati studiati i dati proposti in 9 studi riguardanti il bioetanolo, prodotto a partire da barbabietola da zucchero, mais o frumento; tutti gli studi hanno considerato l’uso di biocarburante puro. I risultati dei diversi studi sono elencati in tabella 8.1 (il bioetanolo è indicato con E, tra parentesi si riporta la materia prima di origine). Per poterli confrontare, i valori sono stati riportati in un’unica unità di misura (gCO2eq/kg). Le densità e i poteri calorifici utilizzati, nonché i consumi medi, sono gli stessi che si sono utilizzati in questo studio e riportati in tabella 8.2. Tabella 8.1 Emissioni di gas serra dalla produzione e utilizzo di benzina fossile e bioetanolo Fonte, anno Benzina Searchinger et al., 2008 Edwards et al., 2007 Zah, 2007 Wu et al., 2006 Galbraight et al., 2006 SenterNovem, 2005 CE, 2005 Wang & Wu, 2005 ADEME, 2002 3904 3078 3406 4066 3475 3999 4401 3109 3650 E(frumento) E(barbabietola) gCO2eq/kg E(mais) 1949 1309 1364 1802 1806 1780 834 922 1124 992 1780 2034 2025 1780 70 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Tabella 8.2 Caratteristiche dei carburanti densità (benzina) densità (bioetanolo) PCI (benzina) PCI (bioetanolo) consumo (benzina) consumo (bioetanolo) 0,752 0,794 43 27 6,95 10,50 kg/l MJ/kg l/100km Nella figura 8.1 sono riassunti i valori medi e le rispettive deviazioni standard delle emissioni di gas serra osservate negli studi elencati in tabella 8.1; nella figura 8.2 le dispersioni dei dati indicano i valori massimi e minimi. In entrambe le figure sono riportati i valori di emissioni di gas serra calcolati nel presente studio, per la benzina e per il bioetanolo. 5000 gCO2eq/kg 4000 3000 valori di letteratura LCA Lombardia 2000 1000 0 benzina E(frumento) E(barbabietola) E(mais) Figura 8.1 Riassunto dei risultati medi e della varianza degli studi di confronto etanolo-benzina analizzati 5000 gCO2 eq/kg 4000 3000 valori di letteratura LCA Lombardia 2000 1000 0 benzina E(frumento) E(barbabietola) E(mais) Figura 8.2 Riassunto dei risultati medi e dei valori massimi e minimi degli studi di confronto etanolo-benzina analizzati Le quantità media di gas serra evitati per ogni tipo di biocarburante analizzato (calcolate come media dei valori disponibili in tabella 8.2) sono pari a 2274 gCO2eq/kg, 2231 gCO2eq/kg e 1956 gCO2eq/kg rispettivamente per l’etanolo da frumento, barbabietola e mais. 71 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Il valore di emissioni stimato in questo studio si colloca vicino all’estremo superiore dei valori reperiti nella letteratura, sia per quanto riguarda la benzina che per l’etanolo. Questo fatto può avvenire in ragione di piccole differenze in alcune assunzioni effettuate nei diversi studi di LCA analizzati; assunzioni che potrebbero influire a differenziare i risultati del presente studio da quelli medi osservati sono gli usi alternativi dei sottoprodotti (paglia e DDGS), le diverse localizzazioni geografiche delle operazioni considerate o dei materiali in input ai sottosistemi. La differenza osservata rispetto agli altri studi non è così marcata: in termini di riduzione percentuale media il valore osservato nel presente studio (-55%) è molto simile a quello che si osserva nella bibliografia (in media -62%). 8.2 BIODIESEL: EMISSIONI DI GAS SERRA SECONDO LA LETTERATURA Il potenziale di riduzione delle emissioni di gas effetto serra ottenibile attraverso la sostituzione di gasolio con biodiesel è stato valutato sulla base di una rassegna della bibliografia disponibile, confrontando i risultati di 13 studi di LCA di questo biocarburante. In questi studi sono state analizzate le emissioni di gas serra del gasolio confrontandole con quelle del biodiesel, con un approccio “from cradle to grave” ossia prendendo in considerazione tutte le fasi, partendo dalla produzione fino all’uso finale in veicoli di autotrazione. Si noti che tutti gli studi hanno considerato l’uso di biocarburante puro. I risultati dei diversi studi sono elencati in tabella 8.3 (il biodiesel è indicato con B, tra parentesi si riporta la materia prima di origine). Per poterli confrontare, i valori sono stati riportati in un unica unità di misura (gCO2eq/kg). Le densità e i poteri calorifici utilizzati, discussi nel capitolo 1, nonché i consumi medi (Edwards et al, 2007), sono riportati in tabella 8.4. Tabella 8.3 Emissioni di gas serra dalla produzione e utilizzo di diesel fossile e biodiesel Fonte, anno diesel Edwards et al., 2007 Malça & Freire, 2007 Zah, 2007 Galbraight et al., 2006 SenterNovem, 2005 Malça & Freire, 2004 DEFRA, 2003 Elsayed et al., 2003 ADEME, 2002 Beer et al., 2000 Lenvington, 2000 Novem&ADL, 1999 Sheenhan et al., 1998 3693 3520 3932 3612 4460 3864 3529 3529 3390 3486 3529 4648 9909 B(colza) B(girasole) gCO2eq/kg 1629 970 2314 2510 1725 2289 675 1250 1250 1591 745 888 2419 1364 2470 B(soia) 2811 1250 1888 1906 72 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Tabella 8.4 Caratteristiche dei carburanti densità (diesel) densità (biodiesel) PCI (diesel) PCI (biodiesel) consumo (diesel) consumo (biodiesel) 0,85 0,88 42 38 5 5,7 kg/l MJ/kg l/100km Nella figura 8.3 sono riassunti i valori medi e le rispettive deviazioni standard delle emissioni di gas serra osservate negli studi elencati in tabella 8.3, mentre nella figura 8.4 le dispersioni dei dati indicano i valori massimi e minimi. Si osserva che per tutti i biodiesel analizzati si riscontrano vantaggi in termini di riduzione delle emissioni di gas serra: in particolare, il biodiesel prodotto a partire dal girasole sembra essere la soluzione più vantaggiosa. 7000 6000 gCO2eq/kg 5000 4000 3000 2000 1000 0 diesel B(colza) B(girasole) B(soia) Figura 8.3 riassunto dei risultati medi e della varianza degli studi di confronto diesel-biodiesel analizzati 73 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 12000 gCO2 eq/kg 10000 8000 6000 4000 2000 0 diesel B(colza) B(girasole) B(soia) Figura 8.4 Riassunto dei risultati medi e dei valori massimi e minimi degli studi di confronto diesel-biodiesel analizzati Le quantità medie di gas serra evitate grazie ai diversi tipi di biodiesel ricavate da questi studi saranno utilizzate nel capitolo 9 per calcolare i benefici derivanti dall’introduzione dei biocombustibili in Lombardia. Tali quantità (calcolate come media dei valori disponibili in tabella 8.3, per ogni tipo di biocarburante analizzato) sono pari a 2595 gCO2/kg, 2527 gCO2/kg e 1767 gCO2/kg rispettivamente per il biodiesel da girasole, colza e soia. 8.3 ANALISI DI SENSIBILITÀ Gli aspetti che maggiormente possono influenzare le performance ambientali dei biocarburanti sono il consumo specifico dei veicoli, le modalità di utilizzo dei sottoprodotti, la quantità di energia rinnovabile utilizzata durante i processi di produzione e il tipo di biomassa scelta come materia prima (CE, 2005). Nello studio presentato ai capitoli precedenti sono state effettuate ipotesi per ognuno di questi fattori: il consumo delle miscele (espresso in litri di carburante/100 km) nei veicoli è stato considerato linearmente dipendente al contenuto di biocombustibile; le emissioni di N2O derivanti dall’applicazione di fertilizzanti azotati sono state calcolate sulla base di un fattore di emissione pari all’1,25% dell’urea applicata; il metodo di allocazione selezionato si basa sulla quantità in massa dei sottoprodotti. Forme di uso alternative dei sottoprodotti (paglia e DDGS) non sono state tenute in considerazione, data la difficoltà di effettuare un ampliamento del sistema, ossia di includere i processi che potrebbero coinvolgere i sottoprodotti (ad esempio il recupero energetico della paglia attraverso combustione); l’energia in ingresso nei sottosistemi è stata considerata essere tutta di origine fossile, anche se, come sottolineato, l’elettricità usata nell’impianto di produzione del bioetanolo verrà prodotta a partire da fonti rinnovabili (oli vegetali). Si è ritenuto opportuno effettuare un’analisi di sensibilità, volta a valutare gli effetti di differenti assunzioni sui risultati finali. 74 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 8.3.1 Analisi di sensibilità del consumo di carburante nelle miscele E5 ed E10 Come precedentemente accennato, molti studi hanno analizzato gli effetti dell’aggiunta di etanolo alle benzine sulle performance dei veicoli. L’etanolo ha un numero di ottani molto più alto della benzina e brucia più gradualmente a basse temperature; grazie al contenuto di ossigeno permette inoltre una combustione più completa (IEA, 2004). L’aggiunta di etanolo alla benzina aumenta la potenza di freno, le efficienze di torsione, di consumo del combustibile e volumetriche, mentre diminuisce il consumo specifico e il rapporto air-fuel equivalente (Al-Hasan, 2003); complessivamente si può affermare che l’aumento di consumo attribuibile all’etanolo, dovuto al minor contenuto energetico, è in parte mitigato dal miglioramento dell’efficienza in camera di combustione, apportata dal biocarburante stesso (Brewster, 2007). Per questo motivo, numerosi studi (Tan & Cubala, 2002; Zhi Fu et al., 2003; CE, 2005; SenterNovem, 2005) hanno considerato i consumi delle miscele a basso contenuto di etanolo pari a quelli della benzina fossile. L’analisi di sensibilità è stata dunque condotta ipotizzando uguali consumi specifici di carburante per i veicoli alimentati con miscele E0, E5, E10 (tabella 8.5). Tabella 8.5 Caratteristiche dei carburanti studiati nell’analisi di sensibilità densità (kg/l) 0,752 0,7541 0,756 E0 E5 E10 PCI (MJ/kg) 42,9 42,1 41,3 consumo (l/100km) 6,95 6,95 6,95 consumo (kg/km) 0,052 0,052 0,053 L’ipotesi sul consumo di carburante varia in modo molto limitato le emissioni di CO2eq evitate rispetto allo scenario base: pur essendoci un effettivo risparmio (in termini di gCO2eq evitati per km percorso), in quanto le emissioni evitate in fase di combustione aumentano rispetto allo scenario base del 46% nel caso dell’E5 e del 117% nel caso dell’E10, si tratta comunque di valori poco significativi nel contesto delle riduzioni totali stimate dell’LCA, come mostrato nelle figure 8.5 e 8.6. 100 80 % 60 40 20 0 caso base consumo uguale E0 E5 E10 Figura 8.5 emissioni di gas serra confrontate in termini assoluti nei due scenari 75 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili E5 E10 0 gCO2 eq/km -5 caso base -10 -8,7 consumo uguale -8,7 -12,7 -15 -17,3 -20 Figura 8.6 Emissioni di gas serra evitate nei due scenari, con E5 ed E10 Anche per il consumo di energia, nel nuovo scenario, non si riscontrano cambiamenti sostanziali, come rappresentato in figura 8.7: nel caso considerato dall’analisi di sensibilità le miscele E5 ed E10 permettono un risparmio di energia triplo rispetto a quello dello scenario base, come descritto in figura 8.8, ma sempre contenuto in termini assoluti. 100 80 % 60 40 20 0 caso base consumo uguale E0 E5 E10 Figura 8.7 Consumo di energia confrontato in termini assoluti nei due scenari E5 E10 0,0 gCO2 eq/km -0,03 -0,1 -0,07 -0,10 caso base consumo uguale -0,2 -0,22 -0,3 Figura 8.8 Consumo energetico evitato nei due scenari, con E5 ed E10 76 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Nel caso considerato nell’analisi di sensibilità (“consumo uguale”) la miscela E10 risulta essere più vantaggiosa, in termini di emissioni di gas serra evitate, rispetto all’E5, al contrario di quanto osservato nel caso base, dove E5 ed E10 comportano praticamente le stesse emissioni di CO2eq per km. Data la forte sensibilità dell’E10 al fattore consumo, si deve tenere in considerazione che basterebbero valori leggermente più alti di tale fattore per invertire il risultato dell’analisi, rendendo la miscela E10 meno conveniente dal punto di vista delle emissioni di gas serra. In particolare, secondo le ipotesi di questo studio, la miscela E10 nell’intero ciclo di vita, risulterebbe peggiore della benzina fossile per valori di consumo maggiori di circa 7,7 lE10/100km, come mostrato in figura 8.9. 240 gCO2 eq/km 230 220 210 200 190 6,9 7,1 7,3 7,5 7,7 7,9 8,1 8,3 8,5 consumo carburante (l/100km) E10 Benzina Figura 8.9 Influenza del consumo specifico del veicolo sull’impatto totale dell’E10, nella categoria emissioni di gas serra, confrontato con la benzina fossile 8.3.2 Analisi di sensibilità delle emissioni di N2O in agricoltura L’attività agricola è la fonte primaria di emissioni di gas serra associate alla produzione di biocarburanti, a causa delle emissioni di protossido d’azoto (SenterNovem, 2005). Tali emissioni non sono molto abbondanti in massa ma il loro elevato potenziale di effetto serra (circa 300 volte quello della CO2) ne rende l’impatto davvero significativo. Le emissioni di N2O derivanti dall’agricoltura sono determinate da due fonti in particolare: produzione di fertilizzanti azotati e applicazione degli stessi sul campo (Edwards et al., 2004). Il valore utilizzato dall’IPCC per il calcolo delle emissioni totali in atmosfera di N2O è circa dell’1,25% dell’azoto applicato come fertilizzante (IPCC, 2006). Nel presente studio di LCA per il calcolo delle emissioni azotate associate all’applicazione di fertilizzanti si è seguito il procedimento illustrato da Brentrup et al. (Bentrup et al., 2000) secondo cui il 1,25% di N applicato si converte in N2O. Secondo un recente studio (Crutzen et al., 2008), che ha riesaminato le emissioni di protossido d’azoto associate all’uso di fertilizzanti agricoli, il fattore di conversione risulta essere molto più alto (3-5%) suggerendo che, se si considerano tali emissioni aggiuntive, la produzione tradizionale di biocarburanti può contribuire all’aumento di emissioni di gas serra (da N2O) più di quanto non ne permetta la riduzione nell’intero ciclo di vita (Crutzen et al., 2008). Per questa ragione si è deciso di effettuare un’analisi di sensibilità e valutare quali possono essere gli effetti di una differente emissione di N2O sull’intero ciclo di vita dell’etanolo, applicando i fattori di emissione proposti da Crutzen. 77 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Sono stati analizzati e confrontati i seguenti scenari di emissione: • caso base, che si riferisce ad un livello emissivo di N2O pari all’1,25% dell’azoto applicato durante l’attività agricola; questo è il valore che è stato considerato nel presente studio e che è altresì proposto da diversi studi precedenti (Brentrup et al., 2000; IPCC, 2006); • caso 2a, nel quale si considera un livello emissivo di N2O pari al 2% dell’azoto applicato; • caso 2b, che si riferisce ad un livello emissivo del 3% (valore limite inferiore suggerito dallo studio di Crutzen (Crutzen et al., 2008)); • caso 2c, che considera un livello emissivo del 5% (valore limite superiore suggerito dallo studio di Crutzen (Crutzen et al., 2008)). La variazione delle emissioni di protossido d’azoto derivanti dall’applicazione di fertilizzanti in fase agricola influisce solo sulle emissioni totali di gas serra, dunque l’analisi di sensitività è stata condotta per questa sola categoria. I risultati relativi all’analisi sono riassunti in figura 8.10. 250 gCO2 eq/km 200 E0 E5 150 E10 100 E85 50 E100 0 caso base caso 2a caso 2b caso 2c Figura 8.10 Risultati dell’analisi di sensitività delle emissioni di N2O, nel caso d’analisi Dalle figure si osserva con chiarezza che una modesta variazione nelle emissioni di N2O, come descritto in tabella 8.6, può comportare cambiamenti sostanziali ai fini dell’analisi totale. Già nel caso 2b, nel quale si considerano i livelli emissivi minori proposti da Crutzen, la produzione di bioetanolo risulta più impattante di quella della benzina nella categoria emissioni di gas serra, giungendo ad apportare 389 g di CO2eq/kg emessa in più rispetto alla benzina nel caso 2c. Tabella 8.6 Emissioni di N2O e di gas serra nei casi considerati dall’analisi di sensitività caso base caso 2a caso 2b caso 2c Fattore emissivo kgN2O/kgN 1,25% 2% 3% 5% N2O g/kggrano 8,51E-04 1,36E-03 2,04E-03 3,39E-03 emissioni di gas serra ("from cradle to grave") etanolo E0 E5 E10 E85 E100 gCO2eq/kg gCO2eq/km 367 214 205 205 147 144 506 214 205 206 156 156 690 214 205 207 168 171 1056 214 206 209 193 201 Nel caso dell’analisi “from cradle to grave”, dove viene considerata anche la fase di uso finale, e dunque gli apporti emissivi derivanti dalla combustione del biocarburanti e della benzina, l’etanolo rimane sempre vantaggioso rispetto al carburante fossile, anche se la differenza di emissioni di gas effetto serra si assottiglia in forma molto accentuata con l’aumento delle emissioni di N2O. Nel caso 78 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 2c l’uso di bioetanolo puro giunge ad apportare quasi le stesse emissioni della benzina, permettendo un risparmio di soli 13 g di CO2eq/km (quantità davvero esigua). 8.3.3 Analisi di sensibilità del metodo di allocazione dei carichi ambientali L’allocazione è definita come l’atto di assegnare o ripartire gli impatti ambientali di un sistema tra i differenti prodotti e/o funzioni del sistema oggetto di studio (Azapagic & Clift, 1999; Weidema, 2001; Jungmeier et al., 2002). Come suggerito dall’Organizzazione Internazionale per la Standardizzazione (ISO), nel caso in cui non sia possibile ricorrere all’espansione dei confini del sistema (causa mancanza di dati o eccessiva complessità) si deve ricorrere all’allocazione, che deve riflettere le relazioni esistenti (fisiche/chimiche/biologiche) tra i carichi ambientali e le funzioni; quando tali relazioni non si possano utilizzare come base dell’allocazione sono da utilizzarsi altre relazioni (ad esempio il valore economico) per riflettere le relazioni tra carichi ambientali e funzioni (ISO, 2006). Nel presente studio il metodo di allocazione dei carichi ambientali è stato basato sul valore in massa degli stessi (vedi capitolo 7). Nello studio considerato nei capitoli precedenti il sottosistema agricolo prevede la produzione di uguali quantità per ettaro di grano e di paglia, analogamente il sottosistema di produzione del bioetanolo produce uguali quantità di DDGS (sottoprodotto utilizzabile come foraggio per il bestiame) ed etanolo. Secondo l’assegnazione in massa, dunque, i carichi si distribuiscono in misura del 50% su ogni sottoprodotto in entrambi i sistemi, dal momento che le quantità in output sono le stesse. Tuttavia i risultati finali dell’analisi del ciclo di vita sono soggetti a forti variazioni in funzione del metodo di allocazione dei carichi selezionato; in modo particolare il bioetanolo prodotto a partire da frumento è molto sensibile al metodo di allocazione scelto (Malça & Friere, 2006). Si è scelto dunque di procedere ad un’analisi di sensibilità per verificare le variazioni dei risultati dell’LCA derivanti dalla scelta di un altro metodo di assegnazione, in questo caso basato sul valore economico dei prodotti. I prezzi di mercato dei prodotti e i nuovi valori di allocazione dei carichi sono riassunti in tabella 8.7. Il valore di allocazione rappresenta la quota percentuale di un sottoprodotto rispetto al prezzo totale degli output del processo considerato. Tabella 8.7 Prezzo di mercato dei prodotti e assegnazione dei carichi nel caso di allocazione secondo il valore economico prodotto grano paglia etanolo DDGS prezzo (€/t) 102 38 554 109 Fonte Edwards et al., 2007 Edwards et al., 2007 Ethanol statistics, 2008 Edwards et al., 2007 allocazione 73% 27% 84% 16% La variazione del metodo di allocazione influisce su entrambe le categorie (emissioni di gas serra ed uso dell’energia); l’impatto associato alle 5 miscele prese in considerazione è illustrato in figura 8.11 e 8.12, dove il caso dell’allocazione su base economica (caso 3) viene confrontato col caso base dello studio (ossia allocazione sulla base del valore in massa). 79 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 300 gCO2 eq/km 250 E0 200 E5 150 E10 100 E85 E100 50 0 caso base caso 3 Figura 8.11 Emissioni di gas serra nei due casi di allocazione 3,5 3,0 E0 MJ/km 2,5 E5 2,0 E10 1,5 E85 1,0 E100 0,5 0,0 caso base caso 3 Figura 8.12 Uso di risorse energetiche nei due casi di allocazione Come si riscontra nelle figure 8.11 ed 8.12, il metodo di allocazione selezionato per distribuire i carichi sui sottoprodotti è molto influente nei riguardi del risultato finale dell’analisi del ciclo di vita. Se infatti con il metodo basato sul valore della massa l’etanolo è risultato vantaggioso rispetto alla benzina fossile in tutti i casi, con l’allocazione secondo il valore economico l’E100 e l’E85 risultano peggiori per quanto riguarda le emissioni di CO2, mentre le altre miscele consentono riduzioni di gas serra veramente limitate, se non uguali (caso dell’E10). Il consumo energetico nel caso dell’allocazione economica privilegia ancora le miscele a base di etanolo, poiché nel caso base tali miscele permettevano un maggior risparmio; tuttavia anche in questo caso l’uso di energia evitato si riduce in maniera molto marcata o addirittura si annulla. 8.3.4 Analisi di sensibilità: quadro riassuntivo I casi analizzati nell’analisi di sensibilità sono stati i seguenti: • caso base: il caso di studio descritto nel capitolo 7; • caso 1: ipotesi di uguale consumo specifico delle miscele E0, E5, ed E10; • caso 2a: ipotesi di emissioni di N2O pari al 2% dell’azoto applicato come fertilizzante; • caso 2b: ipotesi di emissioni di N2O pari al 3% dell’azoto applicato come fertilizzante; • caso 2c: ipotesi di emissioni di N2O pari al 5% dell’azoto applicato come fertilizzante; 80 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili • caso 3: ipotesi di allocazione dei carichi secondo il criterio del valore economico. I risultati, in termini di emissioni totali di gas serra (CO2equivalenti) e di uso complessivo di energia (MJ) sono riassunti in tabella 8.8, in cui casi analizzati sono indicati con A.S. (Analisi di Sensibilità) e il numero relativo al caso analizzato. Tabella 8.8 Quadro riassuntivo dei risultati dell’analisi di sensibilità Caso Base A.S.1 E0 E5 E10 E85 E100 214 205 205 147 144 214 201 196 147 144 E0 E5 E10 E85 E100 3,09 3,06 3,02 1,44 1,18 3,09 2,99 2,87 1,44 1,18 A.S.2a A.S.2b gCO2eq/km 214 214 205 205 206 207 156 168 156 171 MJ/km A.S.2c A.S.3 214 206 209 193 201 214 208 213 242 263 3,09 3,10 3,09 2,08 2,18 Nella figura 8.13 ed 8.14 sono riassunti i risultati dello studio, rappresentati dalle colonne, a confronto con i valori massimi e minimi riscontrati nei diversi casi di analisi di sensitività, rappresentati dalle barre, per entrambe le categorie di impatto analizzate. 270 gCO2eq/km 225 180 135 90 E0 E5 E10 E85 E100 45 0 Figura 8.13 Risultati dell'LCA confrontati con i valori massimi e minimi ottenuti nell'analisi di sensitività (emissioni di gas effetto serra) 81 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 3,2 MJ/km 2,8 2,4 E0 2,0 E5 1,6 E10 1,2 E85 0,8 E100 0,4 0,0 Figura 8.14 Risultati dell'LCA confrontati con i valori massimi e minimi ottenuti nell'analisi di sensitività (uso di energia) Tra i casi analizzati, la metodologia di assegnazione dei carichi selezionata risulta essere la più influente ai fini della valutazione finale: nel caso A.S. 3, nel quale si è valutata la possibilità di allocazione sulla base del valore economico dei sottoprodotti, che comporta un’elevata differenza tra di essi (tabella 8.7), l’impatto ambientale delle miscele di etanolo è maggiore o uguale a quello della benzina fossile. La forte sensibilità dei risultati relativi all’etanolo al metodo di allocazione è nota in letteratura (Malça & Freire, 2006; Lechón et al., 2005; Beer et al., 2000; Galbraight et al., 2004; Malça et al., 2005; SenterNovem, 2005) e la scelta e la giustificazione di una particolare procedura di allocazione è uno dei maggiori argomenti di discussione nelle valutazioni i ciclo di vita, soprattutto nel caso in cui abbiano una forte influenza sui risultati finali (Freire et al., 2002). Per tali ragioni la soluzione ottimale sarebbe espandere i confini del sistema per evitare di ricorrere ad allocazione, in alte parole includere nei confini dell’LCA gli usi alternativi di paglia e DDGS. Negli altri casi di analisi di sensibilità considerati non si riscontrano capovolgimenti dei risultati, ma in ogni modo si osservano rilevanti variazioni. I valori emissivi di N2O indicati da Crutzen et al. ed applicati nel caso 2a/b/c, sono plausibili nonostante la differenza con le assunzioni dell’IPCC, tuttavia alcune ipotesi effettuate nello studio di Crutzen sono poco appropriate (ad esempio si sottostima la capacità di assunzione di fertilizzante da parte della pianta), come suggerisce una recente critica (Rauh, 2007), quindi livelli emissivi di protossido di azoto molto più alti di quelli ipotizzati nel caso base risultano meno plausibili. Il tema delle emissioni di N2O derivanti dall’agricoltura risulta molto complesso da analizzare (Rauh, 2007); data la forte influenza di tale inquinante ai fini del calcolo delle emissioni totali di gas serra, sarebbe auspicabile svolgere test specifici sul territorio in esame. Un ampliamento della ricerca potrebbe essere consigliato anche per valutare nel dettaglio il consumo specifico di biocarburante (variabile del caso A.S1), per poter stabilire con maggior certezza quale sia l’impatto dell’aggiunta di bioetanolo nel caso di miscele a basso contenuto (E5 ed E10). Infine, va ricordato che nel processo produttivo considerato in questo studio per l’etanolo non si è tenuto in considerazione (causa la mancanza di dati) l’uso di energia elettrica derivante da fonti rinnovabili, come invece stabilito nel progetto dell’impianto analizzato, che comporterebbe un minor impatto della fase produttiva. 82 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 9 POTENZIALE DI PRODUZIONE DI BIOCARBURANTI IN LOMBARDIA E RIDUZIONE DEI GAS SERRA 9.1 LE PRODUZIONI AGROALIMENTARI IN LOMBARDIA ED IN ITALIA Il sistema agroalimentare lombardo è il più importante a livello nazionale ed uno dei più rilevanti nel contesto europeo. Il valore della produzione agro-industriale regionale supera gli 11 miliardi di euro, con una quota superiore al 15% del totale italiano (Casati & Pieri, 2005). Tale valore rappresenta il 4% del PIL (Prodotto Interno Lordo) regionale. La produzione agricola e le attività di trasformazione alimentare si svolgono in 70000 strutture produttive, coinvolgendo circa 210000 lavoratori, di cui 144000 stabilmente occupati (Casati & Pieri, 2005). Una parte rilevante del territorio regionale ed italiano utilizzato è destinato ad attività agroalimentari. In tabella 9.1 sono mostrati i dati (Istat, 2007) della superficie agricola utilizzata (SAU) destinata negli ultimi anni in Lombardia ed in Italia a coltivazioni potenzialmente utilizzabili per la produzione di “colture energetiche” per la produzione di biocarburanti di prima generazione, ossia per bioetanolo (frumento, mais, barbabietola da zucchero) e per biodiesel (colza, girasole e soia). È inoltre indicata la percentuale della SAU sul totale. Tabella 9.1 Superficie agricola utilizzata destinata alle potenziali colture energetiche in Lombardia ed in Italia LOMBADIA [ha] Mais 50.024 46.466 38.457 70.734 56.719 60.417 63.037 65.604 86.232 59.743 5,8% 253.840 264.432 285.285 267.968 275.493 290.404 276.491 261.913 246.576 269.156 25,9% Frumento Mais Colza Girasole Soia Barbabietola da zucchero Altro 1999 2.386.665 1.027.890 51.489 207.200 246.455 283.785 1.431.328 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Media 1999-2007 ripart. % 2.321.893 2.289.372 2.415.316 2.266.159 2.353.972 2.122.896 1.925.651 2.094.983 2.241.879 42,9% 1.063.555 1.109.644 1.111.952 1.163.229 1.196.953 1.113.166 1.108.419 1.053.396 1.105.356 21,1% 36.294 26.185 9.578 4.826 2.872 3.478 3.535 7.165 16.158 0,3% 216.852 207.804 165.603 150.781 123.977 129.874 144.566 126.423 163.676 3,1% 256.647 133.512 152.021 152.052 150.368 152.331 176.134 130.335 172.206 3,3% 249.154 222.595 254.664 210.620 185.805 253.043 91.230 1.416.842 1.480.425 1.387.772 1.368.040 1.378.783 1.409.494 995.479 1.124.492 1.332.517 25,5% 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Media 1999-2007 ripart. % Colza Girasole 4.449 4.432 2.310 7.571 1.274 7.778 241 6.256 239 4.611 182 4.349 133 2.011 161 3.664 1.435 1.738 1.158 4.712 0,1% 0,5% ITALIA [ha] Soia Barbabietola da zucchero Frumento 47.946 47.769 42.446 17.010 19.744 19.477 19.596 23.591 12.266 27.761 2,7% 28.034 23.192 17.948 19.918 15.056 14.190 21.967 7.401 18.463 1,8% 218.862 4,2% Altro 740.592 697.113 711.374 710.418 690.005 673.521 656.555 510.221 536.014 658.424 63,5% 83 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Come si può osservare, la coltura maggiormente sviluppata in Lombardia è quella del mais, che occupa da sola il 25% della SAU della nostra regione; in Italia invece è il frumento ad occupare la maggior estensione territoriale (43% della SAU nazionale). In tabella 9.2 sono elencate le produzioni di colture bioenergetiche (Istat, 2007). Tabella 9.2 Produzioni delle colture energetiche, espresse in 103 tonnellate raccolte in Lombardia ed in Italia LOMBARDIA [1000 t] Frumento 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Media 1999-2007 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Media 1999-2007 276 254 205 403 289 359 382 407 468 338,1 Mais Colza 2787 8,5 2801 3,4 3106 1,8 3019 0,4 2619 0,4 3318 0,3 3139 0,3 2908 0,4 2774 3,7 2941,2 2,1 ITALIA [1000 t] Girasole Soia 12 24 25 22 11 15 7 13 6 15,2 185 172 166 68 73 78 79 94 45 106,7 Frumento Mais Colza Girasole Soia 7743 7428 6413 7548 6229 8639 7717 7182 7144 7338 10017 10140 10556 10554 8702 11368 10428 9626 361 9084 52 41 19 13 7 5 6 6 15 18 432 461 411 354 237 274 289 308 279 338 871 908 882 566 389 518 553 545 408 627 Barbabietola da zucchero 1527 1276 917 1114 654 789 1385 511 1021,7 Barbabietola da zucchero 14505 11569 9910 12726 6994 8473 14156 4770 10388 In Tabella 9.3 sono stimate le produttività medie, espresse in termini di quintali di materiale raccolto per ettaro, per ogni coltura, in Lombardia ed in Italia. Il valore medio è stato calcolato comprendendo i valori dei raccolti del 2003, pur trattandosi di un anno caratterizzato da particolari condizioni climatiche (siccità, elevate temperature) che hanno influenzato negativamente il raccolto. 84 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Tabella 9.3 Produttività delle colture in Lombardia ed in Italia LOMBARDIA [q/ha] 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Media 1999-2007 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Media 1999-2007 Barbabietola da zucchero Frumento Mais Colza Girasole Soia 55 55 53 57 51 59 61 62 54 110 106 109 113 95 114 114 111 113 19 15 14 18 16 18 23 22 26 27 32 33 35 24 34 36 36 36 39 36 39 40 37 40 41 40 36 545 550 511 559 434 556 631 690 57 111 34 39 577 Frumento Mais Colza Girasole Soia Barbabietola da zucchero 33 33 28 33 28 37 37 38 35 34 99 96 96 96 75 96 94 87 24 86 11 12 12 14 14 19 18 17 22 16 21 22 21 22 16 23 23 22 22 22 36 36 38 39 26 35 37 31 31 35 19 ITALIA [q/ha] 515 510 499 601 365 502 636 578 549 Si nota che le produttività medie lombarde, per tutte le colture, sono molto maggiori di quelle italiane. Proprio per tale differenza con la situazione nazionale risulta particolarmente interessante approfondire la potenzialità di produzione di biomassa in Lombardia, in quanto valori di produttività più alti di quelli medi italiani possono comportare differenze sostanziali. 9.2 METODOLOGIA DI STIMA Per calcolare il potenziale quantitativo di biocarburanti producibile in regione Lombardia è utilizzata la metodologia di calcolo descritta in figura 9.1. 85 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili SAUa QSUa RPa Pa FCBa PBPb Figura 9.1 Metodologia per la stima della produzione potenziale di biocarburanti Per ogni prodotto agricolo a, il Raccolto Potenziale (RP) deriva dal prodotto tra il valore della Produttività (P, precedentemente mostrata in tabella 9.3), l’estensione di Superficie Agricola Utile (SAU, precedentemente elencato in tabella 9.1) e la Quota di Superficie Utilizzata (QSU), ossia la percentuale di SAU dedicata alla coltura in esame che sarà effettivamente utilizzata per produrre una biomassa a scopo energetico. RPa = SAUa x Pa x QSUa (9.1) Dove: RPa = Raccolto Potenziale Pa = Produttività QSUa = Quota di Superficie Utilizzata Numerose sono le variabili in grado di influire sulla quantità di superficie agricola che nei prossimi anni sarà destinata a produzioni bioenergetiche; per questo motivo si è deciso nel presente studio di considerare diversi scenari di evoluzione della superficie agricola, al fine di stimare il potenziale di biocarburanti producibile e quindi l’entità della riduzione delle emissioni di CO2 conseguente al loro utilizzo nei veicoli in Lombardia. Definiti i valori di QSU in ogni scenario, il Potenziale di Biocarburanti b Producibile è calcolato come sommatoria dei prodotti tra il raccolto Potenziale e il Fattore di Conversione (FCB) per ogni prodotto agricolo convertibile nel biocarburante in oggetto. PBPb = ∑a RPa x FCBa (9.2) Dove: PBPb = Potenziale di Biocarburanti Producibile RPa = Raccolto Potenziale FCB = Fattore di Conversione I fattori di conversione sono stati ricavati da un’indagine di letteratura e sono elencati in tabella 9.4, espressi in kg di biocarburante producibile per kg di prodotto agricolo. Si tratta di valori medi di un dataset reperibile nelle fonti bibliografiche riportati in tabella 9.5 con i dati originali. Tabella 9.4 Fattori di conversione delle biomasse in carburanti materia prima di origine frumento mais barbabietola da zucchero colza soia girasole biocarburante Bioetanolo Biodiesel FCB (kgBiocarburante/kgBiomassa) 0,286 0,286 0,074 0,376 0,185 0,333 Fonte dati Triera S.p.a., 2008 Triera S.p.a., 2008 Jodice, 2007; Ursitti, 2006; Cachón, 2004 Assocostieri, 2007; Cachón, 2004 De Maria, 2007; Pimentel & Patzeck, 2005 Pimentel & Patzeck, 2005; Cachón, 2004 86 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Tabella 9.5 Dati completi delle fonti bibliografiche kgbiocarburante/kgprodotto agricolo Jodice, 2007 Assocostieri, 2007 De Maria, 2007 Ursitti, 2006 Pimentel & Patzek, 2005 Cachón et al., 2004 barbabietola da zucchero 0,067 colza soia girasole 0,388 0,189 0,076 0,180 0,081 0,363 0,255 0,410 9.3 SCENARI ANALIZZATI Il potenziale di produzione dei biocarburanti è stato stimato facendo riferimento a tre differenti ipotesi di conversione di superficie agricola utile alla produzione di biocarburanti, come in seguito illustrato. 9.3.1 Scenario 1, potenziale massimo Il primo scenario è uno scenario di riferimento, puramente teorico, volto a stimare il massimo quantitativo di biocarburanti teoricamente producibile in Lombardia nell’ipotesi di utilizzare tutta la superficie agricola media coltivata per la produzione di biocarburanti. La percentuale di terreni utilizzati in questo scenario per la produzione di colture energetiche è dunque pari al 100% della SAU media destinata ad ogni coltura. In altre parole si ipotizza di destinare la totalità della produzione media di frumento, mais, barbabietola, colza, soia e girasole alla produzione di colture energetiche. 9.3.2 Scenario 2, potenziale “sostenibile” In questo scenario le superfici destinate alla bioenergia sono ipotizzate basandosi sui risultati dello studio dell’Agenzia europea per l’Ambiente “Estimating the environmentally compatible bioenergy from agriculture” (EEA, 2007a) presentato nel capitolo 2. In questo studio l’EEA ha stimato una quantità di terreni destinabili alle produzioni bioenergetiche in condizioni di sostenibilità ambientale, valutata tramite una serie di indicatori di sostenibilità, pari circa a 1 milione di ettari nel 2010 per l’intero territorio italiano. Nello studio dell’EEA non è stata indicata una ripartizione di tali ettari per coltura; effettuare un’analisi di questo tipo richiederebbe un approfondimento e un livello di dettaglio sulle caratteristiche delle produzioni italiane e lombarde che esula dagli scopi del presente studio. La percentuale di SAU destinabile alla produzione di colture energetiche è stata dunque stimata ipotizzando che la quota di superficie “sostenibile” per la produzione di biocarburanti sia in Lombardia simile a quella media italiana stimata dall’EEA e pari a circa il 20% della SAU. In Italia è infatti disponibile un’estensione di superficie agricola pari a 5.226.335 ettari (Istat, 2007), di cui 1.074.000 ettari sono la superficie proposta dall’EEA. 87 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 9.3.3 Scenario 3, potenziale minimo Il terzo scenario si basa sull’ipotesi di non modificare la destinazione delle attuali produzioni agricole, bensì di destinare alla bioenergia le sole superfici dedicate a riposo dalla Politica Agricola Comunitaria (PAC). La PAC definisce un prezzo minimo garantito per i prodotti agricoli, nonché le aree agricole da destinarsi a riposo (set-aside), che non possono, in altre parole, essere utilizzate per la produzione di foraggi (salvo deroghe particolari), ma possono invece essere destinate alla coltura di materie prime da destinarsi alla produzione di biocarburanti (CE, 2002b; Bonelli, 2007). Dal 1990 la quota destinabile al set-aside è cambiata in modo abbastanza irregolare, fluttuando tra il 2% e il 10% dei terreni arabili totali (CE, 2002c). La riforma della PAC del 2000 ha stabilito una quota obbligatoria di set-aside del 10%, che rappresenta un vantaggio per le coltivazioni stabili di colture non food. La quota del 10% di set aside è anche stata indicata da diverse previsioni effettuate a livello europeo (Petrolini, 2004; Cachón, 2004). In questo scenario si è quindi ipotizzato che le materie prime vengano raccolte interamente da aree set-aside, calcolando l’estensione di tali aree come il 10% dei terreni arabili totali. 9.3.4 Sommario degli scenari Le superfici considerate come destinate alla produzione di colture energetiche nei tre scenari proposti sono riassunte in tabella 9.6. Tabella 9.6 Superficie destinate alla produzione di colture energetiche nel 2005 e nei tre scenari considerati SAU media ha % sul totale Frumento Mais Colza Girasole Soia Barbabietola da zucchero Altro TOT 59.743 269.156 1.158 4.712 27.761 18.463 658.424 1.039.417 5,8% 25,9% 0,1% 0,5% 2,7% 1,8% 63,5% 100% Mais Colza Girasole Soia Barbabietola da zucchero Altro Sup. Energetica TOT 59.743 269.156 1.158 4.712 27.761 18.463 658.424 1.039.417 5,8% 25,9% 0,1% 0,5% 2,7% 1,8% 63,5% 100% Mais Colza Girasole Soia Barbabietola da zucchero Altro Sup. Energetica TOT SCENARIO 1 Frumento ha % sul totale SCENARIO 2 Frumento ha % sul totale 11.949 53.831 232 942 5.552 3.693 131.685 207.883 1,2% 5,2% 0,0% 0,1% 0,5% 0,4% 12,7% 20% Mais Colza Girasole Soia Barbabietola da zucchero Altro Sup. Energetica TOT 26.916 2,6% 116 0,0% 471 0,0% 2.776 0,3% 1.846 0,2% 65.842 6,3% 103.942 10% SCENARIO 3 Frumento ha % sul totale 5.974 0,6% Si nota come anche nel primo scenario, dove il 100% della SAU viene destinata a produzioni energetiche, la percentuale di superficie, rispetto al totale, rimane in ogni caso esigua (il frumento ad esempio occupa il solo 6%), poiché non si ipotizza di convertire a colture energetiche gli ettari precedentemente destinati ad altre coltivazioni, che sono racchiusi nella categoria “altro”. Il rimanente terreno coltivabile è pari a circa due terzi del totale. Se ad esempio tutti gli ettari attualmente occupati da altre colture fossero convertiti a frumento si otterrebbe una superficie pari a 718.000 ha (ossia l’80% della SAU totale lombarda), dunque una 88 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili copertura pari a circa 11 volte quella attuale, che permetterebbe un aumento di produzione di etanolo dello stesso ordine. In questo studio non è comunque stata presa in considerazione la possibilità dell’intera conversione a biocarburanti dell’intera superficie agricola regionale. 9.4 POTENZIALE DI PRODUZIONE DI BIOCARBURANTI Sulla base della metodologia, delle ipotesi e dei dati mostrati nei paragrafi precedenti, sono state stimate le quantità di biocarburanti producibili nei tre scenari considerati, riportate in Tabella 9.7, suddivisi per tipo (biodiesel o bioetanolo) e per materia prima di origine. Tabella 9.7 Quantità di biocarburanti producibile nei diversi scenari materia prima di origine Biocarburante frumento mais barbabietola da zucchero colza soia girasole TOT Bioetanolo Biodiesel quantità (t) SCENARIO 1 96.238 840.462 76.456 822 19.791 5.108 1.038.877 quantità (t) SCENARIO 2 19.248 168.092 15.291 164 3.958 1.022 207.775 quantità (t) SCENARIO 3 9.624 84.046 7.646 82 1.979 511 103.888 Il maggior contributo potenziale deriva dal bioetanolo, in tutti e tre gli scenari, poiché le colture zuccherine sono quelle con maggior estensione territoriale; in particolare, l’etanolo da mais contribuisce all’80% della totale produzione nei tre casi analizzati. Le quantità totali di biocarburanti producibili sono rappresentate in figura 9.2. scenario 3 scenario 2 scenario 1 0 350 700 1.050 kt biocarburante /anno bioetanolo biodiesel Figura 9.2 Quantità di biocarburanti producibile nei tre scenari 89 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 9.5 STIMA DELLE POTENZIALI RIDUZIONI DI GAS SERRA Le riduzioni di gas serra associate all’introduzione dei diversi quantitativi di biocarburanti stimati (GSEb) viene stimato dal prodotto, per ogni biocarburante b, tra il potenziale di biocarburanti producibili (PBPb) e la riduzione specifica di gas serra per unità di biocarburante utilizzato (RSb), quest’ultima espressa in g di CO2eq/kgbiocarburante (Figura 9.3). GSEb = PBPb x RSb (9.3) Per calcolare il quantitativo totale di emissioni di Gas Serra Evitati in ogni scenario si sommeranno le emissioni evitate grazie ad ogni biocarburanti b, secondo la formula 9.4 GSEtot = ∑b GSEb (9.4) I valori di RSb sono elencati in tabella 9.8. RSb PBPb GSBb Figura 9.3 Metodologia di stima delle riduzioni di gas serra Tabella 9.8 Emissioni di gas serra evitate con ogni carburante biocarburante biodiesel materia prima gCO2eq evitati/kg colza girasole 2527 2595 soia 1767 barbabietola bietanolo mais 2244 frumento Le quantità totali di gas serra evitabili, riassunte in figura 9.4 e in tabella 9.9, nei tre scenari sono pari rispettivamente a 2324, 465 e 233 ktCO2equivalente. 90 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili KtCO2eq evitate 2500 2000 1500 1000 500 0 SCENARIO 1 SCENARIO 2 bietanolo SCENARIO 3 biodiesel Figura 9.4 Gas serra totali evitati nei tre scenari Tabella 9.9 Emissioni di gas serra evitabili nei tre scenari biocarburante materia prima GSE(ktCO2) SCENARIO 1 GSE(ktCO2) SCENARIO 2 GSE(ktCO2) SCENARIO 3 colza biodiesel girasole soia barbabietola bietanolo mais frumento TOT 2 13 35 172 1886 216 2324 0,4 3 7 34 377 43 465 0,2 1 3 17 189 22 232 9.6 CONCLUSIONI Le emissioni di gas serra (provenienti da traffico e totali) in Lombardia (dati Regione Lombardia, 2005) nel 2005 sono state le seguenti: • 18.373 ktCO2equivalenti, da trasporto su strada; • 93.654 ktCO2equivalenti, da tutte le sorgenti. Tali quantità sono state confrontate con i gas serra riducibili precedentemente stimati per giudicarne l’entità. I risultati sono riportati in tabella 9.10. Tabella 9.10 Riduzione (%) possibile rispetto alle emissioni totali di gas serra, nei tre scenari riduzione di gas serra (%) SCENARIO 1 SCENARIO 2 SCENARIO 3 Emissioni da trasporti 13% 2,5% 1,3% Emissioni totali 2,5% 0,5% 0,2% 91 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 10. CONCLUSIONI Il presente studio ha preso in considerazione l’introduzione di biocarburanti di prima generazione in regione Lombardia, valutando sia le conseguenze sulle emissioni in atmosfera dei veicoli funzionanti con diverse miscele di biocarburanti, sia le possibili riduzioni di gas serra derivanti da differenti scenari di produzione di biocarburanti in Lombardia. Per quanto riguarda il primo aspetto, gli effetti sulle emissioni in atmosfera dell’uso del biodiesel rispetto al diesel sono una sostanziale riduzione nelle emissioni di monossido di carbonio, idrocarburi, particolato e IPA, totale riduzione degli ossidi di zolfo, e leggero aumento degli ossidi di azoto. L’uso di etanolo rispetto alla benzina permette una riduzione più limitata delle emissioni di monossido di carbonio, idrocarburi, materiale particolato, benzene e aldeidi, mentre comporta aumento delle emissioni evaporative di COV. Complessivamente è difficoltoso definire una chiara conseguenza complessiva sulle emissioni in atmosfera dall’utilizzo di biocarburanti. L’approfondita analisi della letteratura scientifica mostra, oltre alle tendenze sopra descritte, anche una forte variabilità dei livelli emissivi, nonché l’incompletezza della base dati disponibile, in quanto la maggior parte dei test analizzati sono stati effettuati su veicoli antecedenti alle categorie legislative Euro 4 e pertanto le variazioni sopra riassunte non possono essere attribuite con sicurezza anche ai veicoli più moderni. L’analisi del ciclo di vita (LCA) della produzione e uso di bioetanolo effettuata in questo studio è stata realizzata utilizzando dati specifici del contesto lombardo in quanto a caratteristiche delle coltivazioni e delle tecnologie di produzione del biocarburanti; i risultati sono estendibili alle zone dell’Italia del Nord che presentino similitudini climatiche e di tecniche di coltura. I risultati dell’LCA mostrano che il bioetanolo può essere una buona alternativa ai carburanti fossili, poiché permette un risparmio medio di circa il 60% delle emissioni di gas effetto serra rispetto al carburante convenzionale (benzina). Le riduzioni, come previsto dall’analisi LCA, prendono in considerazione le emissioni dell’intero ciclo di vita, ossia considerando le fasi di coltura, produzione, uso finale e trasporti intermedi, sono pari al 50% nel caso dell’utilizzo del mais, al 65% nel caso della barbabietola da zucchero, ed al 62% per il frumento. Per il biodiesel è stata condotta una dettagliata rassegna dei dati presenti nella letteratura scientifica sul tema, che mostrano come il biodiesel prodotto a partire da colza permetta una riduzione delle emissioni pari al 53% rispetto al diesel di origine fossile, quello prodotto da girasole del 72% e quello da soia del 58%. L’analisi di sensibilità condotta ha mostrato l’influenza sulle riduzioni delle emissioni di gas serra e dell’uso di energia di alcune ipotesi utilizzate nello studio. La tecnica di coltura prevista (è stata considerata quella rappresentativa dello stato dell’arte della zona in esame, l’agricoltura intensiva) influenza il risultato finale in quanto l’applicazione di elevate zone di fertilizzanti azotati implica consistenti emissioni di N2O. Altri fattori importanti sono il metodo di assegnazione dei carichi ambientali ai diversi prodotti ottenuti dalle coltivazioni, nonché il consumo specifico di combustibile nei veicoli, in grado di variare la convenienza ambientale ed energetica per quanto riguarda le miscele a basso contenuto di biocarburanti. Per quanto riguarda il primo aspetto, l’analisi ha mostrato la necessità di approfondimento della ricerca rispetto ai fattori di emissione di protossido d’azoto derivanti da applicazione dei fertilizzanti azotati e per i consumi specifici di carburanti. Data la forte sensibilità dei risultati al metodo di allocazione, la soluzione ottimale sarebbe di espandere i confini del sistema per evitare di ricorrere ad allocazione, cioè includere nei confini dell’LCA gli usi alternativi di paglia e DDGS. 92 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Nonostante le riduzioni di gas serra ottenibili, l’introduzione nel settore dei trasporti di quantitativi di biocarburanti producibili in Lombardia non permette grandi risultati dal punto di vista delle riduzioni delle emissioni regionali, in quanto i quantitativi di biocarburanti producibili sono molto limitati rispetto agli elevati consumi di carburante della regione. Lo studio ha valutato diversi scenari di produzione di biocarburanti in Lombardia. Nel primo scenario, che prende in considerazione un ipotetico utilizzo delle intere superfici coltivate nella regione per la produzione di biocarburanti, le riduzioni di gas serra ottenibili sono pari al 13% di quelle del settore trasporti e al 2,5% di quelle totali in Lombardia. Tale scenario non è ovviamente percorribile poiché implica il totale utilizzo delle colture attualmente presenti a scopi energetici. Nel secondo scenario, che considera l’uso a scopi energetici di una porzione definita “sostenibile” dei terreni, pari al 20% degli stessi, le riduzioni possibili sono modeste: 2,5 % delle emissioni derivanti dal settore trasporti e 0,5% delle totali. Nel terzo scenario considerato, nel quale si ipotizza di utilizzare la sola quota set-aside degli ettari disponibili, pari al 10% del totale delle superfici coltivate, le riduzioni di gas serra ottenibili sono ancora più ridotte, pari all’1,3% di quelle del settore trasporti e solo allo 0,25% di quelle totali. L’analisi del problema dello sviluppo della produzione di biocarburanti alla scala globale mostra la necessità di procedure di certificazione dei biocarburanti e dell’implementazione di criteri di sostenibilità, che siano in grado di prevenire altri danni ambientali (es. deforestazione) o problemi socio-ambientali, principalmente le ripercussioni sul mercato delle materie prime alimentari e la sicurezza alimentare. L’analisi del ciclo di vita mostra che nel caso della Lombardia per massimizzare i benefici in termini di risparmio di energia e di emissioni di CO2eq evitate, sarebbe opportuno considerare la possibilità di riutilizzo dei sottoprodotti, di utilizzo di energia rinnovabile durante il processo di produzione e di tecniche di coltura più moderne e meno impattanti, ad esempio quelle denominate “minima lavorazione”, che prevedono usi minimi di prodotti chimici e riduzione alla lavorazione essenziale del terreno. La scarsa rilevanza delle riduzioni delle emissioni di gas serra ottenibili con i biocarburanti considerati indica l’importanza della ricerca sui biocarburanti di seconda generazione (prodotti utilizzando l’intera pianta, es. da sorgo, discanto, canna comune, panico verga), non solo nell’ambito delle tecnologie di produzione, ma anche al riguardo del loro costo, della disponibilità nel lungo periodo e degli impatti che queste nuove colture possono avere sulla qualità del suolo e delle risorse ambientali. 93 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili BIBLIOGRAFIA Aakko P., Westerholm M., Nylund N., Moisio M., Marjamäki M., Mäkelä T., Hillamo R., (2000), “Emission permormance of selected biodiesel fuels-VTT’s contribution”, Research report ENE5/33/2000 Aakko P. & Nylund N.O., (2004), “Low temperature particulates from alternative fuels”, IEA/AMF annex XXII, Windsor Workshop 14-17 giugno, 2004 Abu-Qudais M. & Al-Widyan M., (2002), “Performance and emissions characteristics of a diesel engine operating on shale oil”, Energy conversion management, vol. 43, 673-682 ADEME, Direction of agriculture and bioenergies of the French environment and energy management agency, (2002), “Energy and greenhouse gas balances of biofuels and production chains in France” Agarwal A.K. & Das L.M., (2001), “Biodiesel development and characterization for use as a fuel in compression ignition engines”, Journal of engineering for gas turbines and power, vol. 123, 440-447 Agarwal D., Sinha S., Agarwal A.K., (2006), “Experimental investigation of control of NOx emissions in biodiesel-fueled compression ignition engine”, Renewable Energy, vol. 31, 23562369 Aggarwal V., (2004), “Food and Fuel? Exploring the role of the common agricultural policy in promoting energy crops”, IIIEE Reports 2004:3 Airfeen N., Wang R., Kookos I.K., Webb C., Koutinas A.A., (2007), “Process design and optimization of novel whet-based continuous biethanol production system”, Biotechnology Progress, vol 23, 1394-1403 Al-Hasan M., (2003), “Effects of ethanol-unleaded gasoline blends on engine performance and exhaust emissions”, energy conversion and management, vol. 44, 1547-1561 Altin R., Çetinkaya S., Yücesu H.S,. (2001), “The potential of using vegetable oil fuels as fuel for diesel engines”, Energy conversion and management, vol. 42, 529-538 Apache Research Ltd, (1998), “Intensive field trial of ethanol/petrol blend in vehicles”, ERDC project n° 2511 Assocostieri, (2007), “Unione Produttori Biodiesel”, Verona 2007 Audsley E., Alber S., Clift R., Cowell S., Crettaz P., Gaillard G., Hausheer J., Jolliet O., Klejin R., Mortensen B., Pearce D., Roger E., Teulon H., Weidema B., Van Zeijts H., (1997), “Harmonisation of environmental life cycle assessment for agriculture”, Final Report AIR3CT94-2028 Azapagic A. & Clift R., (1999), “Allocation of environmental burdens in multiple-function systems”, Journal of cleaner production, vol. 7, 101-119 Balestrini R., Galli L., Tartari G., (2000), “Wet and dry atmospheric deposition at prealpine and alpine sites in northern Italy”, Atmospheric Environment, vol 34, 1455-1470 Baumann H. & Tillman A.M., (2004), “The hitch hiker’s guide to LCA: an orientation in life cycle assessment methodology and application”, Lund, Studentlitteratur Beer T., Grant T., Brown R., Edwards J., Nelson P., Watson H., Williams D., (2000), “Life-cycle emissions analysis f alternative fuels for heavy vehicles”, CSIRO Atmospheric Research report C/0411/1.1/F2 to the Australian Greenhouse Office Bernesson S., Nilsson D., Hansson P., (2006), “A limited LCA comparing large- and small-scale production of ethanol for heavy engines under Swedish conditions”, Biomass and Bioenergy, vol 30, 46-57 Bezzo F., Gambardella A., Zanirato S., (2007), “ La produzione industriale di bioetanolo: Tecnologie attuali e prospettive future”,Fier SEP “bioetanolo: dalla produzione all’utilizzo” 94 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Bonelli C., (2007), “Set.aside, al via le semine di foraggi”, Agricole 31 agosto-6 settembre 2007 Brentrup F., Küsters J., Lammel J., Kuhlmann H., (2000), “Methods to estimates on-field nitrogen emissions from crop production as an input to LCA studies in the agricultural sector”, International Journal of Life Cycle Assessment, vol 6, 349-357 Brentrup F., Küsters J., Kuhlmann H., Lammel J., (2004a), “Environmental impact assessment of agricultural production systems using Life Cycle Assessment methodology I. Theoretical concept of a LCA method tailored to crop production”, European Journal Agronomy, vol 20, 247-264 Brentrup F., Küsters J., Lammel J., Barraclough P., Kuhlmann H., (2004b), “Environmental impact assessment of agricultural production sysetms using Life Cycle Assessment methodology II. The application to N fertilizer use in winter wheat production systems”, European Journal Agronomy, vol 20, 265-279 Brewster S., (2007), “Initial development of a Turbo-charged direct injection E100 combustion system”, SAE Technical Paper 2007-01-3625 BUR, Bollettino Ufficiale Regionale, n° 92 del 23/10/2007, “Triera Power S.r.l. di Rovigo Autorizzazione all’installazione ed esercizio di un impianto di produzione di energia elettrica con potenzialità di circa 27 MWe alimentato ad olio vegetale, in Porto Marghera (VE)” BUWAL250, (1996), Ökoinventare für Verpackungen - Schriftenreihe Umwelt 250. Swiss Federal Environmental Protection Agency. Bern (Switzerland) Cachón F.A., (2004), “Techno economic assessment of biofuel production in the European Union”, Master thesis, univertiät Freiberg Camaleño Simón M.C., (2007), “Inventario de emisiones procedentes del transporte por carrettera en Castella y León, 2002-2005”, Capitulo 3, Tomo II Canals L., (2003), “Contribution to LCA Methodology for agricultural system. Site-dependency and soil degradation impact assessment”, Tesi di dottorato, Universidad autonoma de Barcelona, Cataluña, España Canals L., Clift R., Basson L., Hansen Y., Brandão M., (2006), “Expert workshop on land use impacts in LCA”, International Journal of LCA, vol 11, 363-368 Cardone M., Prati M.V., Rocco V., Seggiani M., Senatore A., Vitolo S., (2002), “Brassica carinata as an alternative oil crop for the production of biodiesel in Italy: engine performance and regulated and unregulated exhaust emissions”, Environ. Sci. Technol., vol. 36, 4656-4662 Carlier P., Hannachi H., Mouvier G., (1986), “The chemistry of carbonyls in the atmosphere-a review”, Atmospheric environment, vol.20, 2079-2099 Carraretto C., Macor A., Mirandola A., Stoppato A., Tonon S., (2004), “Biodiesel as alternative fuel: experimental analysis and energetic evaluations”, Energy, vo.29, 2195-2211 Casati D. & Pieri R., (2005), “Il sistema agroalimentare della Lombardia, rapporto 2005” CE (Commissione Europea), (2002a), “White Paper on promotion of renewable energy and clean energy development”, COM(2002)769 novembre 2002 CE (Commissione Europea), (2002b), Reg. (CE) n° 2002/06 modifica al Reg. (CE) n°795/04, della commissione del 21 aprile 2004 relativo al regime dei pagamenti diretti della PAC CE (Commissione Europea), (2002c), “Prospect for agricultural markets 2002-2009” CE (Commissione Europea), (2003a), Direttiva 2003/30/CE sulla promozione dell’uso di biocarburanti o di altri carburanti rinnovabili nei trasporti, 8 maggio 2003 CE (Commissione Europea), (2003b), Direttiva 2003/96/CE che ristruttura il quadro comunitario per la tassazione dei prodotti energetici e dell’elettricità, 27 ottobre 2003 CE (Commissione Europea), (2005), “ Shift Gear to biofuels: results and recommendations from the VIEWLS project”, novembre 2005 CE (Commissione Europea), (2007a), Direttiva 98/70/CE relative alla qualità della benzina e del combustibile diesel e recante modificazione della direttiva 93/12/CEE, 13 ottobre 1998 CE (Commissione europea), (2007b), “Biofuel progress report”, COM(2006)845 95 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili CE (Commissione europea), (2007c), “Biofuels progress report – Review of economic and environmental data for the biofuels progress report” CEE (Comunità Economica Europea), (1985), Direttiva CEE n° 536/85, Composti organici ossigenati ammissibili quali componenti e/o stabilizzanti di carburanti CeSpra (Centro Studi per una nuova etica economica), (2004), “Scheda Frumento (triticum), versione giugno 2004” disponibile alla pagina http://cespra.provincia.venezia.it/sp_cg.htm Consoli F., (1993), “Guidelines for life cycle assessment: a code of practice”, SETAC Correa S.M. & Arbilla G., (2008), “Carbonyl emissions in diesel and biodiesel exhaust”, Atmospheric environment, vol. 42, 769-775 Cowell S.J., Clift R., (1997), “Impact Assessment for LCAs involving agricultural production”, International Journal of LCA, vol 2, 99-103 Crutzen P.J., Mosier A.R., Smith K.A., Winiwarter W., (2008), “N2O release from agro-biofuel production negates global warming reduction by replacing fossil fuels”, Atmospheric chemical physic, vol. 8, 389-395 CTI (Comitato Termotecnico Italiano), (2007a), “Produzione e utilizzo dei combustibili liquidi derivanti da oli vegetali”, disponibile alla pagina http://www.cti2000.it/biodiesel.htm CTI (Comitato Termotecnico Italiano), (2007b), “Aspetti ambientali relativi all’utilizzo del biodiesel”, disponibile alla pagina http://www.cti2000.it/biodiesel.htm DEFRA (Department for environment, food and rural affairs), (2003), “Liquid biofuels – industry support, cost of carbon savings and agricultural implication” Delucchi M.A., (1993), “Emissions of greenhouse gases from the use of transportation fuels and electricity”, Argonne National Laboratory Delucchi M.A., (2003), “A life cycle emissions model (LEM): lifecycle emissions from transportation fuels, motor vehicles, transportation modes, electricity use, heating and cooking fuels and materials”, Institute of transportation Studies De Maria M., (2007), “Nuova energia dall’agricoltura una sfida da cogliere?”, Cereal Docks Spa De Serves C., (2005), “Emissions from Flexible Fuel Vehicles with different ethanol bends”, Report n° AVL MTC 5509 DG TREN (Directorate General “Energy and Transport” of the Commission of the European Communities), (2000), “A technical study on fuels technology related to the auto-oil II programme”, Final report, vol. 2 D.L (1994), Decreto Legge n° 280/94, relativo al risparmio di greggio mediante l’impiego di carburanti di sostituzione D.L. (2006), Decreto Legge n°2/2006, “Interventi urgenti per i settori dell’agricoltura, dell’agroindustria, della pesca, nonché in materia di fiscalità d’impresa”, 10 gennaio 2006 D.Lgs (1994), Decreto Legislativo n° 280/1994, relativo al risparmio di greggio mediante l’impiego di componenti di carburanti di sostituzione, 18 aprile, 1994 D.Lgs. (2005), Decreto Legislativo n° 128/2005, “Attuazione della direttiva 2003/30/ce relativa alla promozione dell’uso dei biocarburanti o di altri carburanti rinnovabili nei trasporti”, 30 maggio 2005 D.M. (2006), Decreto Ministeriale 26/02/2002, “Determinazione dei consumi medi dei prodotti petroliferi impiegati in lavori agricoli, orticoli, in allevamento, nella selvicoltura e piscicoltura e nelle coltivazioni sotto serra ai fini dell’applicazione delle aliquote o dell’esenzione dell’accisa” Dones, R., Bauer, C., Bolliger, R., Burger, B., Faist Emmenegger M., Frischknecht R., Heck T., Jungbluth N., Röder A., (2004), “Life Cycle Inventories of Energy Systems: Results for Current Systems in Switzerland and other UCTE Countries. Ecoinvent report No. 5”, Paul Scherrer Institut Villigen, Swiss Centre for Life Cycle Inventories, Dübendorf. Durbin T.D., Collins J.R., Norbeck J.M., Smith M.R., (2000), “Effects of biodiesel blends, and synthetic diesel on emissions from light heavy- duty diesel vehicles”, Environmental science & Technology, vol. 34, n°3,349-366 96 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Durbin T. D., Cocker III D.R., Sawant A.A., Johnson K., Miller J.W., Holden B.B., Helgeson N.L., Jack J.A., (2007), “Regulated emissions from biodiesel fuels from on/off-road applications”, Atmospheric environment, vol.41, 5647-5658 Dwivedi D., Agarwal A.K., Sharma M., (2006), “Particulate emission characterization of a biodiesel vs diesel-fuelled compression ignition transport engine: a comparative study”, Atmospheric environment, vol. 40, 5586-5595 EBB (European Biodiesel Board), (2008); “Statistics: The EU biodiesel Industry”, disponibile alla pagina http://www.ebb-eu.org/ eBIO (European Bioethanol Fuel Association), (2008); “Production data”, disponibile alla pagina http://www.ebio.org/statistics.php?id=4 Ecoinvent, (2004), “Life Cycle inventories of agricultural production systems, Data v1.1(2004)”, Ecoinvent Report n°15 Ecospold, (2007), “EcoSpold data format”, disponibile alla pagina http://www.ecoinvent.org/ecospold-data-format/ Edwards R., Griesemann J.C., Larivé J.F., Mahieu V., (2004), “Well-to-wheels analysis of future automotive fuels and powertrains in the European context”, Institute for environment and sustainability of the European commission’s Joint Research Centre JRC/IES, European Council for Automotive R&D EUCAR, CONCAWE, Ispra Italy Edwards R., Larivé J-F., Mahieu V., Rouveirolles P., (2007), “Well-To-Wheels analysis of future automotive fuels and powertrains on the European context”, Well-to-Wheels Report, Institute for environment and sustainability of the European commission’s Joint Research Centre JRC/IES, European Council for Automotive R&D EUCAR, CONCAWE EEA (European Environment Agency), (2006), “How much bioenergy can Europe produce without harming the environment?”, Technical report n° 7/2006 EEA (European Environment Agency), (2007a), “Estimating the environmentally compatible bioenergy potential from agriculture”, Technical report n° 12/2007 EEA (European Environment Agency), (2007b), “Emission Inventory Guidebook” Egebäck K.E., Henke M., Rehnlund B., Wallin M., Westerholm R., (2005), “Blending of ethanol in gasoline for spark ignition engines – problem inventory and evaporative measurements”, Report n° MTC 5407 Ekwall T. & Finnveden G., (2001), “Allocation in ISO 14041-a critical review”, Journal of cleaner production, vol. 9, 197-208 Elsayed M.A., Matthews RR., Mortimer N.D., (2003), “Carbon and energy balance for a range of biofuels options”, Resources Research Unit ENAMA (Ente Nazionale Meccanizzazione Agricola), http://www.enama.it ENAMA (Ente per la Meccanizzazione agricola), (2005), “prontuario dei consumi di carburante per l’impiego agevolato in agricoltura” Environment Canada, (2007), “Mobile Source Emissions & Biofuels: an overview of selected Canadian federal R&D” EPA (Environmental Protection Agency), (2002), “A comprehensive analysis of biodiesel impact on exhaust emissions”, EPA420-P-02-001 Ericsson K. & Nilsson L.J., (2006), “Assessment of the potential biomass supply in Europe using a resource-focused approach”, Biomass and Energy vol. 30, 1-15 Ethanol Statistics, (2008), “United States Ethanol and Commodity prices”, disponibile alla pagina http://www.ethanolstatistics.com/Commodity_Prices/US_Ethanol_and_Commodity_Prices.as px ETH-ESU, (1996), “SimaPro Database Manual. The ETH-ESU 96 libraries”, disponibile alla pagina http://www.pre.nl/download/manuals/DatabaseManualETH-ESU96.pdf. Eurostat :http://epp.eurostat.ec.europa.eu/portal/page?_pageid=1090_33076576&_dad=portal&_sch ema=PORTAL Eurostat, (2007), “Panorama of Energy, energy statistic to support EU policies and solutions” 97 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Faaij A.P.C., (2005), “Bio-energy in Europe: changing technology choices. Energy Policy fortcoming” FAPRI (Food and Agricultural Policy Research Institute), (2007), “Biofuels, food and feed tradeoffs” FAO (Food and Agriculture Organization of the United Nations), (2007), “Food Outlook, Global Market Analysis” Finkbeiner M., Inaba A., Tan C., Reginald B.H., Christiansen K., Klüppel H., (2006), “The new international standards for life cycle assessments: ISO 14040 and ISO 14044”, International Journal of LCA, vol. 11, 80-85 Folckcenter for renewable energy, (2000), “Emissions from combustion of Pure Plant Oil, PPO” disponibile alla pagina http://www.folkecenter.net/gb/rd/transport/plant_oil/9194/ Freire F., Malça J., Rozakis S. (2002), “Biofuel production systems in France: integrated economic and environmental life cycle optimization”, II International Conference on Mechanical Engineering, COMEC 2002, Santa Clara, Cuba Frischknecht R., Jungbluth N., Althaus H., Doka G., Heck T., Hellweg S., Hischier R., Nemecek T., Rebitzer G., Spielmann M., (2004), “Overview and methodology. Econivent report n° 1”, Swiss Centre for Life Cycle Inventories Galbraith D., Smith P., Mortimer N., Stewart R., Hobson M., McPherson G., Matthews R., Mitchell P., Nijnik M., Skiba U., Smith J., Towers W., (2006), “Review of Greenhouse Gas Life Cycle emissions, air pollution impacts and economic of biomass production and consumption in Scotland”, Final Report: Seerad Project FF/05/08 GFW (Global Forest Watch), (2004), “The state of the forest: Indonesia” Goedkoop M., (1995), “The Ecoindicator 95 weighting method for environmental effects that damage ecosystems or human health on a European scale – Contains 100 indicators for important materials and processes”, Final Report 9523 Graboski M.S. & McCormick R.L., (1998), “Combustion of fat and vegetable oil derived fuels in diesel engines”, Prog.Energy. Combust. Sci., vol. 24, 125-164 GRiCi (Gruppo di Ricerca di Colture industriali dell’università di Bologna), (2004), http://www.dista.agrsci.unibo.it/grici/chisiamo.php GSI (Global Subsidies Initiative), (2007), “Biofuels – at what cost? Government support for ethanol and biodiesel in the European Union” Guineé J.B., Gorreé M., Heijungs R., Huppes G., de Koning A., van Oers L., Wegener A., Suh S., Udo de Haes H.A., (2001), “Life cycle assessment. An operational guide to the ISO standards”, Centre of Environmental Science Hansen A., Heuer E., Flake M., (2001), “Material flow nets for crop rotation. An analysis of selected crop rotation from lower saxonian farms (Review series)”, Umwelwissenschaften and Schadstoff-Forschung, vol 13, 45-47 HC (House of Commons), (2008), “Are biofuels sustainable?”, Report of session 2007-2008, vol I, II Hebbal O.D., Reddy K.V., Rajagopal K., (2006), “Performance characteristics of a diesel engine with deccan hemp oil”, Fuel, vol. 85, 2187-2194 Heijungs R., Guineé J.B., Huppes G., Lankreijer R.M., Udo de Haes H.A., Ansems A.M.M., Eggels P.G., Van Duin R., (1992), “Environmental life cycle assessment of products. Guide”, NOH Report 9266. Centre of Environmental Science Henke J.M., Klepper G., Schmitz N., (2005), “Tax exemption for biofuels in Germany: is bioethanol really an option for climate policy”, Energy, vol.30, 2617-2635 Hospido A., (2005), “Life cycle assessment as a tool for analysing the environmental performance of key food sector in Galicia (Spain): Milk and Canned tuna”, Tesi di dottorato, Universidad de Santiago de Compostela, Galicia, España Hull A., Golubkov I., Kronberg B., Marandzheva T., van Stam J., (2005), “An alternative fuel for spark ignition engines”, International Journal of Engine Research, vol. 7, 203-214 98 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili IDIADA Automotive Technology, (2003a), “Technical Report: Comparison of fuel tank evaporative emissions from E0 an E5 petrol”, REPSOL YPF, Abengoa bioenergía, CEPSA, Ebro Puleva IDIADA Automotive Technology, (2003b), “Technical Report: Comparison of vehicle emissions at European Union annual average temperatures from E0 an E5 petrol”, REPSOL YPF, Abengoa bioenergía, CEPSA, Ebro Puleva IEA (International Energy Agency), (2004) “Biofuels for transport – An International Perspective”, ISBN 92-64-01512-4 IEA/AFIS (International Energy Agency/Automotive Fuels Information Service), (1999), “Automotive fuels for the future: the starch for alternative” IFEU (Institute for energy and environmental research), (2003), “Life Cycle Assessment of biodiesel: update and new aspects”, Final Report project n° 530/025 IMF (International Monetary Fuond), (2007), “Biofuels and demand pushes up food prices” IPCC (International Panel on Climate Change), (2006), “Guidelines for national greenhouse gas inventories, prepared by the national greenhouse gas inventories programme- N2O emissions from managed soils and CO2 emissions from lime and urea application” Buendia L., Miwa K., Ngara T., Tanabe K., Volume 4, capitolo 11, IGES, Hayama, Japan Istat, Istituto nazionale di Statistica http://www.istat.it Istat (Istituto nazionale di Statistica), (2000), “5° censimento generale dell’agricoltura. Presentazione dei dati definitivi, Lombardia” Istat (Istituto nazionale di Statistica), (2005), “Statistiche metereologiche, anni 2000-2002” Istat (Istituto nazionale di Statistica), (2007), “dati su agricoltura e zootecnia”, disponibile alla pagina http://www.istat.it/agricoltura/datiagri/ ISO (International Standard Organization), (2006), Series 14040 - Environmental Management – Life cycle assessment – principles and framework Jodice R., (2007), “Nuove opportunità produttive dal comparto agricolo”, CETA (Centro di Ecologia Teorica ed Applicata) JRC (Joint Research Centre, Institute for prospective technology studies), (2004), “Biofuel potentials in the EU” Jungbluth N., (2004), In: Sachbilanzen von Energiesystemen: Grundlagen für den ökologischen Vergleich von Energiesystemen und den Einbezug von Energiesystemen in Ökobilanzen für die Schweiz (Ed. Dones R.). Paul Scherrer Institut Villigen, Swiss Centre for Life Cycle Inventories, Dübendorf, CH Jungmeier G., Werner F., Jarnehammar A., Hohenthal C., Richter K., (2002), “Allocation in LCA of wood-based products. Experiences of cost action E9. Part I. Methodology”, International Journal of LCA, vol.7, 290-294; 369-375 Karlsson H. L., (2006), “Emissions from conventional gasoline vehicles driven with ethanol blend fuels”, Report n° MTC5524 Karthikeyan R., Mahalakshmi N.V., (2007), “Performance and emission characteristics of a turpentine-diesel fuel engine”, Energy, vol. 32, 102-1209 Kim S. & Overcash M., (2000), “Allocation procedure in multi-output process: an illustration of ISO 14041”, International Journal of LCA, vol. 5, 221-228 Klöpffer W., (2005), “The critical review process according to ISO 14040-43. An analysis of the standards and experiences gained in their application”, International Journal of LCA, vol. 10, 98-102 Knothe G., Sharp C.A., Ryan T.W., (2006), “Exhaust emissions of biodiesel, petrodiesel, neat methyl ester, and alkanes in a new technology engine”, Energy & Fuels, vol.20, 403-408 Krahl J., Munack A., Schröder O., Stein H., Bünger J., (2003), “Influence of biodiesel and different designed diesel fuels on the exhaust gas emissions and health effects“, SAE 2003-01-3199 Lapuerta M., Armas O., Ballesteros R., Fernández J., (2005), “Diesel emissions from biofuels derived from Spanish potential vegetable oils”, Fuel, vol. 84, 773-780 99 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Lechón Y., Cabal H., Lago C., de la Rúa C., Sáez M.R., Fernández M., (2005), “Análisis del ciclo de vida de combustibles alternativos para el transporte. Fase I: Análisis del ciclo de vida comparativo del etanol de cereales y de la gasolina”, Ciemat (Centro de Investigaciones energéticas medioambientales y tecnológicas) Levington environmental & laboratories, (2000), “Energy balances in the growth of oilseed rape for biodiesel and of wheat for bioethanol”, Levington agriculture Report for the British Association for Bio Fuels and Oils Lin C. & Lin H., (2006), “Diesel engine performance and emission characteristics of biodiesel produced by the peroxidation process”, Fuel, vol. 85, 298-305 Lindhjem C. & Pollack A., (2003), “Impact of biodiesel fuels on air quality and human health: Task 1 report”, NREL/SR-540-33794 Lipman T. & Delucchi M.A,. (1997), “Emissions of Non-CO2 Greenhouse Gases from the Production and Use of Transportation Fuels and Electricity”, Institute of Transportation Studies, University of California Lucon O., Alvares O.M., Coelho S.T., (2004), “Bioethanol: the way forward” Makareviciene V. & Janulis P., (2003), “Environmental effect of rapeseed oil ethyl ester”, Renewable energy, vol. 28, 2395-2403 Malça J. & Freire F., (2004), “Carbon and energy balances for biodiesel: life-cycle emissions and energy savings”, 2nd International Ukrainian conference on biomass for energy Malça J., Rozakis S., Freire F., (2005), “Biethanol replacing gasoline: greenhouse gas emissions reduction, life-cycle energy saving and economic aspects”, 2nd International Conference of Life Cycle Management, Barcelona Malça J. & Freire F., (2006), “Renewability and life-cycle energy efficiency of bioethanol and bioethyl tertiary butyl ether (bioETBE): assessing the implication of allocation”, Energy, vol. 31, 3362-3380 Malça J. & Freire F., (2007), “Energy and environmental benefits of rapeseed oil replacing diesel”, 3rd International Energy, Energy and Environmental Symposium, Portugal Martini G., Astorga C., Farfaletti A., (2007a), “Effects of Biodiesel Fuels on Pollutant Emissions from EURO 3 LD Diesel Vehicles”, EUR 22745 EN Martini G., Manfredi U., Mellios G., Mahieu V., Larsen B., Farfaletti A., Krasenbrink A., De Santi G., (2007b), “Joint EUCAR/JRC/CONCAWE study on: Effects of gasoline vapour pressure and ethanol content on evaporative emissions from modern cars”, EUR 22713 EN Mazzoleni C., Kuhns H.D., Moosmüller H., Witt J., Nussbaum N.J., Chang M.-C.O., Parthasarthy G., Nathagoundenpalayam S.K., Nikolich G., Watson J.G., (2007), “A case study of realworld tailpipe emissions for school buses using a 20% biodiesel blend”, Science of the environment, vol. 385, 146-159 McCormick R.L., Graboski M.S., Alleman T.L., Herring A.M., (2001), “Impact of biodiesel source material and chemical structure on emissions of criteria pollutants from heavy-duty engine”, Envir. Sci. Technol., vol. 35, 1742-1747 McCormick R.L., Tennant C.J., Hayes R.R., Black S., Ireland J., McDaniel T., Williams A., Frailey M., (2005), “Regulated emissions from biodiesel tested in heavy-duty engines meeting 2004 emission standards”, NREL/CP-540-37508 McCormick R.L., Williams A., Ireland J., Brimhall M., Hayes R.R., (2006), “Effects of biodiesel blends on vehicle emissions”, Milestone report NREL/MP-540-40554 McCormick B., (2006), “Biodiesel R&D at NREL”, NREL/PR-540-39538 Mirandola A. & Macor A., (2007), “Utilizzo del biodiesel nelle caldaie e nei motori per l’autotrazione: esperienze condotte nella città di Padova”, intervento nella “giornata di studio combustibili alternativi per veicoli stradali” Morris R.E., Mansell G.E., Jia Y., Wilson G., (2003), “Impact of biodiesel fuels on air quality and human health: task 2 report”, NREL/SR-540-33795 100 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili New Scientist, (2007), “Forget biofuels – burn oil and plant forests instead”, disponibile alla pagina http://environment.newscientist.com/channel/earth/dn12496-forget-biofuels--burn-oil-andplant-forests-instead.html Niven R.K., (2005), “Ethanol in gasoline: environmental impacts and sustainability review article”, Renewable and sustainable energy reviews, vol. 9, 535-555 Novem/ADL, (1999), “Analysis and evaluation of GAVE Chains”, vol. 1-3, GAVE analysis programme Novozymes, (2007), “Biofuel thematic paper - Food versus fuel” OEC (Orbital Engine Company), (2004), “Market barriers to the uptake of biofuels study testing gasoline containing 20% ethanol (E20)”, Phase 2B final report Ola -Larsson M., (2006), “Exhaust emissions from light vehicles run on alternative fuels” Pang X., Shi X., Mu Y., He H., Shuai S., Chen H., Li R., (2006), “Characteristics of carbonyl compounds emission from a diesel-engine using biodiesel-ethanol-diesel as fuel”, Atmospheric environment, vol. 40, 7057-7065 Parlamento Europeo, (2007), Progetto di parere 2007/0019(COD), 12 luglio 2007 Petrolini R., (2004), “Le opportunità fornite dalla PAC per lo sviluppo delle biomasse ad uso energetico”, Università degli studi di Milano Pignatelli V. & Clementel C., (2006), “I biocarburanti in Italia: ostacoli da superare e opportunità di sviluppo”, ENEA, Ente per le Nuove tecnologie l’Energia e l’Ambiente Pignatelli V., (2007), “Presente e futuro dei biocarburanti in Italia”, convegno “Bioetanolo dalla produzione all’utilizzo, analisi e discussione delle potenzialità”, Padova Pimentel D. & Patzeck T.W., (2005), “Ethanol Production using corn, switchgrass and wood; biodiesel production using soybean and sunflower”, Natural resources research, vol 14, 65-76 Poulopoulus S.G., Samaras D.P., Philippopoulos C.J., (2001), “Regulated and unregulated emission from an internal combustion engine operating on ethanol-containing fuels”, Atmospheric environment, vol.35, 4399-4406 PRé-Consultants, (2007), “SimaPro 7.1”, disponibile alla pagina http://www.pre.nl Proc R., Barnitt R., Hayes R.R., Ratcliff M., McCormick R.L. (2006), “100000-Mile evaluation of transit buses operated on biodiesel blends (B20)” NREL/CP-540-40128 Rakopoulos C.D., Antonopoulos K.A., Rakopoulos D.C., Hountalas D.T., Giakoumis E.G., (2006), “Comparative performance and emissions study of a direct injection diesel engine using blends of diesel fuel with vegetable oils or bio-diesels of various origins”, Energy conversion and management, vol. 47, 3272-3287 Rakopoulos C.D., Antonopoulos K.A., Rakopoulos D.C., (2007), “Development and application of multi-zone model for combustion and pollutants formation in direct injection diesel engine running with vegetable oil or its bio-diesel”, Energy conversion and management, vol. 48, 1881-1901 Rauh (2007), “Interactive comment on N2O release from agro-biofuel production negates global warming reduction by replacing fossil fuels by P.J. Crutzen et al.”, Atmospheric Chemistry and Physics Discussions, vol. 7, S4616-S4619 Reinhardt G.A. & Jungk N.C., (2000), “landwirtschaftliche Referenzsysteme in ökologischen Bilanzierungen (agricultural reference systems in ecological balances)“, FKZ 99 NR 099 Regione Lombardia, (2005), “Inventario emissioni INEMAR”, disponibile alla pagina http://www.ambiente.regione. lombardia.it/inemar/inemarhome.htm Regione Lombardia, (2006), “Modifiche alle norme tecniche di diserbo e di difesa reg. CE 1257/99 per l’anno 2006” , servizio fitosanitario regionale Regione Umbria, (2004), “Manuale di corretta prassi produttiva per il frumento duro”, 3°-Parco tecnologico agroalimentare dell’Umbria Regione Veneto, (2003), “Documento Normativo di integrazione al piano di sviluppo rurale” RFA (Renewable Fuels Association), (2002), “Ethanol facts: engine performance” disponibile alla pagina http://www.ethanolrfa.org/resource/facts/engine/ 101 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Rieradevall J. & Acosta Casas X., (2005), “Environmental analysis of the energy use of hempanalysis of the comparative life cycle: diesel oil vs. hemp-diesel”, International Journal agricultural resources governance and ecology, vol 4, 133-139 Sahoo P.K., Das L.M., Babu M.K.G., Naik S.N., (2007), “Biodiesel development from high acid value polanga seed oil and performance evaluation in a CI engine”, Fuel, vol. 86, 448-454 Schramm J., Knudsen C., Mandrupsen M., Thorhauge C., (2005), “Emissions from a moped fuelled by gasoline/ethanol mixtures” Searchinger T., Heimlich R., Houghton R.A., Dong F., Elobeid A., Fabiosa J., Tokgoz S., Hayes D., Yu T.H., (2008), “Use of U.S. Croplands for Biofuels Increases Greenhouse Gases Trough Emissions from Land-Use Change”, Science, vol. 319, 1238-1240 SenterNovem, (2005), “Participative LCA on biofuels”, Report 2GAVE-05.08 Sharp C.A., (1998), “Exhaust emissions and performance of diesel engines with biodiesel fuels” Sheehan J., Camobreco V., Duffield J., Graboski M., Shapouri H., (1998), “An overview of biodiesel and petroleum diesel life cycles”, Task n° BF886002 Sheehan J., Aden A., Paustian K., Killian K., Brenner J., Walsh M., Nelson R., (2004), “Energy and environmental aspects of using corn stover for fuel ethanol”, National Bioenergy Centre, National Renewable Energy laboratory, Journal of Industrial ecology Simapro, http://www.pre.nl/simapro Smokers R. & Smit R., (2004), “Compatibility of pure and blended biofuels with respect to engine performance, durability and emissions. A literature review”, Report 2GAVE04.01 Tan R.R. & Cubala A.B., (2002), “Life-cycle assessment of conventional and alternative fuels for road vehicles” Tippayawong N., Wongsiriamnuay T., Jompakdee W., (2003), “Performance and emissions of a small agricultural diesel engine fuelled with 100% vegetable oil: effects of fuel type and elevated inlet temperature” Topgül T., Yucesu H.S., Çinar C., Koca A., (2006), “The effects of ethanol-unleaded gasoline blends and ignition timing on engine performance and exhaust emissions”, Renewable energy, vol. 31, 2534-2542 Tuck G., Glendining M.J., Smith P., House J.I., Wattenbach M., (2006), “The potential distribution of bioenergy crops in Europe under present and future climate”, Biomass and Bioenergy, vol 30, 183-197 Turrio-Baldassarri L., Battistelli C.L., Conti L., Crebelli R., De Berardis B., Iamiceli A., Gambino M., Iannaccone S., (2004), “Emission comparison of urban bus engine fuelled with diesel oil and biodiesel blend”, Science of total environment, vol. 327, 147-162 UNEP (United Nations Environment Programme), (2007), “The last stand of the orang-utan” Ursitti A., (2006), “La capitanata da polo saccarifero a polo bioenergetico del mezzogiorno?”, Foggia, 2006 Venturi G. & Fazio S., (2007), “Le possibili colture per biocarburanti”, intervento nella “giornata di studio combustibili alternativi per veicoli stradali” Venturi P. & Venturi G., (2003), “Analysis of energy comparison for crops in European agricultural systems”, Biomass and Bioenergy, vol.25, 235-255 Von Bahr B., (2001), “The relevant aspect of life cycle inventory data quality”, Graduation thesis, Chalmers University of technology Wang W.G., Lyons D.W., Clark N.N., Gautam M., (2000), “Emissions from nine heavy rtucks fuelled by diesel and biodiesel blend without engine modification”, Environ. Sci. Technol., vol. 34, 933-939 Wang M., Wu Y., (2005), “Updated Well-to-Wheel Analysis of Energy and Emission Impacts of Fuel-Cell Vehicles”, ESD 362/G216 Weidema B., (2001), “Avoiding co-product allocation in life-cycle assessment”, Journal of industrial ecology, vol. 4, 11-33 Wikipedia l’enciclopedia libera; http://it.wikipedia.org/wiki/Olio_carburante 102 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Williams A., McCormick R.L., Hayes R.R., Ireland J., (2006), “Effect of biodiesel blends on diesel particulate filter performance”, NREL/CP-540-40015 Winebrake J., He D., Wang M., (2000), “Fuel life cycle emissions for conventional and alternative fuel vehicles: an assessment of air toxics”, Centre for transportation research, energy system division, Argonne National Laboratory WORC (Western Organization of Resource Councils), (2007), “Biofuels: Food vs Fuels” Wu, M., Wang, M., Huo, H., (2006), “Fuel-Cycle Assessment of Selected Bioethanol Production Pathways in the United States”, ANL/ESD/06-7 Yang H., Chien S., Lo M., Lan J., Lu W., Ku Y., (2007), “Effects of biodiesel on emissions of regulated air pollutants an polycyclic aromatic hydrocarbons under engine durability testing”, Atmospheric environment, vol. 41, 7232-7240 Yucesu H.S., Topgül T., Çinar C., Okur M., (2006), “Effect of ethanol-gasoline blends on engine performance and exhaust emissions in different compression ratios”, Applied thermal engineering, vol. 26, 2272-2278 Yüksel F., (2004), “The use of ethanol-gasoline blend as a fuel in a SI engine”, Renewable energy, vol. 29, 1181-1191 Zah R., (2007), “LCA of biofuels in Switzerland: Environmental Impacts and improvement Potential?”, Life Cycle Assessment and Modelling, Zurigo Zhi Fu G., Chan A.W., Minns D.E., (2003), “Life Cycle assessment of bio-ethanol derived from cellulose”, International Journal of LCA, vol 8, 137-141 103 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili 104 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili APPENDICE 1 Fattori di emissione degli studi elencati al capitolo 3 Aakko, 2000 CO(g/km) NOx(g/km) HC(g/km) PM(g/km) acetaldeidi(mg/km) 14 IPA PM SOF(µg/km) 14 IPA semivol(µg/km) Aakko & Nylund, 2004 (g/km) CO NOx HC PM 1 veicolo PC test 1 diesel B30 0,24 0,26 0,57 0,58 0,066 0,069 0,10 0,08 5,0 5,6 21 33 2,10 1,40 test 2 diesel B30 0,055 0,058 0,58 0,57 0,032 0,028 0,09 0,07 1,7 1,8 26 21 2,50 2,20 EO T norm 5°C -7°C T norm 0,35 1,25 2,4 0,3 0,065 0,095 0,125 0,05 0,045 0,2 0,41 0,05 0,0055 0,005 0,0055 0,001 Abu-Quadis & Al-Widyan, 2002 Diesel O100 CO(ppm) 292 218 NOx(ppm) 934 840 PM (mg/kg) 54,8 51,4 soot(mg/kg) 36,2 35,6 Agarwal et al, 2006 Diesel B20 CO (ppm) 450 422 NOx (ppm) 72 90 HC (ppm) 2225 1983 opacità(%) 39 34 Altin et al, 2001 diesel O100 CO(ppm) 2225 3725 Nox(mg/m^3) 2100 1590 opacità fumi(%) 29,3 47 Cardone et al, 2002 Diesel B100(1) B100(2) CO(ppm) 91 71 73 NOx(ppm) 850 1162 1112 IPA (µg/NI) 5,83 0,70 0,70 E85 5°C 2,4 0,05 0,3 0,003 -7°C 3,5 0,03 0,68 0,004 105 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili De Serves, 2005 ciclo NEDC E10 E0 E5 (g/Km) CO NOx HC 1 0,08 0,1 0,28 0,2 0,049 0,25 0,25 0,05 0,6 0,1 0,055 CO NOx HC 1 0,08 0,1 0,18 0,4 0,055 0,1 0,75 0,06 0,55 0,18 0,049 CO NOx HC 1 0,08 0,1 0,23 0,37 0,07 0,21 0,24 0,05 0,49 0,32 0,05 CO NOx HC DG TREN, 2000 1 0,08 0,1 0,23 0,37 0,07 0,21 0,24 0,05 0,49 0,32 0,05 EURO 2 (g/kWh) CO NOx HC PM 1.00 1.00 1.00 1.00 EURO 2 CO NOx HC 1.00 1.00 1.00 EURO 2 e 3 E0 0.53 0.71 0.60 0.67 EURO 2 e 3 E0 1.50 0.80 0.59 E70 E85 E5 veicolo 1 1,2 1,53 0,08 0,63 0,17 0,021 veicolo 2 0,8 0,2 0,15 0,97 0,067 0,014 veicolo 3 0,65 1,53 0,15 0,55 0,075 0,0175 veicolo 4 0,65 1,53 0,15 0,55 0,075 0,0175 HDV EURO 2, 3 e 4 EURO 2 Arthemis E10 E70 E85 0,5 0,25 0,01 0,6 0,21 0,011 0,3 0,13 0,011 0,3 1,1 0,015 0,1 3 0,011 0,15 3,3 0,013 0,5 0,7 0,016 0,6 0,22 0,013 0,3 0,25 0,012 0,5 0,7 0,016 0,6 0,22 0,013 0,3 0,25 0,012 EURO 2, 3 e 4 0.30 0.50 0.42 0.20 EURO 2 e 3 E15 0.50 0.60 0.70 0.40 EURO 2, 3 e 4 0.45 0.32 0.29 EURO 2 e 3 E15 0.90 0.50 0.80 1.10 0.80 1.10 0.60 LDV e PC EURO 2, 3 e 4 EURO 2 Durbin et al, 2007 L/MDV veicolo 1 ciclo FTP US06 (g/km) Diesel B20 Diesel B20 CO 0,88 0,83 0,57 0,55 NOx 4,94 4,91 3,70 4,54 HC 0,20 0,16 0,12 0,11 PM 0,06 0,05 0,15 0,12 HDV veicolo 1 veicolo 2 cycle chassis AVL-8 chassis AVL-9 (g/km) Diesel B20 Diesel B20 CO 0,92 0,87 0,57 0,56 NOx 3,79 4,29 4,07 4,04 HC 0,11 0,11 0,19 0,19 PM 0,11 0,09 0,09 0,09 1.10 0.80 1.10 0.40 0.40 0.50 0.10 0.30 0.30 0.40 veicolo 2 FTP Diesel B20 0,42 0,50 4,47 4,51 0,01 0,02 0,03 0,03 veicolo 3 chassis AVL-10 Diesel B20 0,58 0,55 3,29 3,26 0,06 0,06 0,02 0,02 US06 Diesel B20 0,25 0,29 3,54 3,60 0,02 0,02 0,08 0,08 106 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Durbin et al, 2000 veicolo 1 (g/km) diesel B22 B100 PM 0,05 0,03 0,04 Dwivedi et al, 2006 3 (mg/m ) Diesel PM 45.2 veicolo 2 diesel B22 B100 0,11 0,28 0,54 B20 31.8 Envir.Canada, 2007 veicolo 1 E10 E20 0,50 0,48 0,08 0,08 PC E0 E85 0,50 0,22 0,12 0,09 (g/km) CO NOx E0 1,06 0,04 CO NOx E0 0,09 0,00 veicolo 2 E10 E20 0,07 0,03 0,00 0,00 veicolo 3 E10 E20 0,59 0,50 0,14 0,14 E0 0,62 0,12 E0 0,68 0,14 veicolo 4 E10 E20 0,44 0,37 0,11 0,18 EPA, 2002 (g/KWh) CO NOx HC PM Diesel 20,79 0,00 0,00 0,13 Diesel 20,79 5,36 1,74 0,13 diverse categorie veicoli Diesel Diesel Diesel Diesel 20,79 20,79 20,79 20,79 6,71 6,71 8,05 14,35 1,74 1,74 1,74 1,74 0,13 0,34 0,80 0,80 Diesel 20,79 14,35 1,74 0,00 Diesel 33,53 0,00 2,01 0,00 Folckcenter, 2000 veicolo 1 (g/km) diesel O100 CO 1 0,58 NOx 0,53 0,43 HC 0,35 0,13 PM 0,12 0,07 Grabosky & McCormick, 1997 (g/KWh) diesel B100(1) CO 7,40 6,51 NOx 6,13 6,20 HC 0,14 0,15 PM 0,38 0,30 veicolo 2 diesel O100 0,27 0,42 0,959 0,896 0,35 0,13 0,0249 0,0431 B100(2) 3,92 7,00 0,10 0,09 Ha Lu Karlsson, 2006 (g/km) CO NOx HC E0 1 0,08 0,1 veicolo 1 E5 E17 0,6 0,8 0,02 0,02 0,07 E43 0,7 0,04 0,07 E0 1 0,08 0,1 veicolo 2 E5 E43 0,1 0,1 0,02 0,03 0,05 0,03 E0 0,1 0,02 0,05 veicolo 3 E5 E43 0,6 0,7 0,02 0,13 0,04 0,04 E0 0,1 0,02 0,05 veicolo 4 E5 E43 0,3 0,1 0,04 0,34 0,04 0,05 Hebbal et al, 2006 CO(%) HC(ppm) fumi (n° Bosch) diesel 0,23 92,86 1,23 O25 0,44 80,71 1,97 O100 0,64 88,57 2,63 107 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Hull et al, 2005 (g/km) E0 E3,2 E5 ETBE12 CO 7,67 7,33 7,36 7,25 NOx 2,63 2,7 2,68 2,5 HC 1,01 1 0,94 0,97 Karthiekeyan et al, 2007 diesel B75 CO(%) 0,72 1,98 NOx(ppm) 1000 1400 HC(ppm) 82 182 Knothe et al, 2006 (g/KWh) diesel B100(1) B100(2) HC 0,08 0,05 0,07 CO 0,71 0,54 0,40 NOx 3,04 3,42 2,91 PM 0,15 0,03 0,03 Krahl et al, 2003 Diesel B100 CO(g/KW) 0,59 0,32 NOx(g/KW) 6,3 6,5 HC(g/KW) 0,076 0,03 PM(g/KW) 0,07 0,041 IPA(mg/KWh) 1,35 0,1 alcheni(mg/KWh) 2,8 1,4 aldeidi e chetoni(mg/KWh) 21 13 Lapuerta et al, 2005 (g/KWh) diesel B25 B100 NOx 1,1 1 1,09 HC 0,344 0,336 0,242 PM 0,583 0,45 0,338 Lin & Lin, 2006 diesel B100 CO[ppm/(g/h)] 193 143 NOx[ppm/(g/h)] 128 127 Lucon et al, 2004 E0 E22 E100 (g/km) EURO1 EURO2 EURO3 EURO4 CO 2,72 2,2 2,3 1 0,4 0,77 NOx 0,15 0,08 0,12 0,09 HC 0,2 0,1 0,11 0,16 Makareviciene & Janulis, 2003 (%) diesel B25 B50 B75 B100 CO 100 99 98 97 94 NOx 100 100 100 107 110 HC 100 39 38 36 33 densità fumi 100 97 60 51 26 108 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Martini et al., 2007a (g/km) Diesel B30 CO 0,15 0,16 NOx 0,04 0,04 HC 0,45 0,46 PM 0,02 0,02 IPA 16,00 17,67 Mazzoleni et al, 2007 diesel B20 (g/km) motore freddo CO 4,7 5,6 NOx 6,7 7,6 HC 0,9 0,72 PM 0,24 0,38 Merrit et al, 2002 (mg/KWh) E0 E7,7 formaldeide 12,82 13,69 Acetaldeide 4,96 6,32 Acroleina 2,51 2,45 Propionaldeide 0,91 1,11 Metil etil chetone 0,71 0,79 Etanolo 0,43 22,23 1,3 butadiene 1,21 1,23 Metano 2,80 0,43 Benzene 1,09 0,94 Toluene 1,34 2,16 Etilbenzene 0,68 0,71 M,p-xylene 1,14 0,99 o-xylene 0,52 0,46 Esano 0,04 0,15 Styrene 0,16 0,09 B100 0,25 0,04 0,57 0,02 diesel B20 motore caldo 11,8 10,7 21,9 21,6 1,3 1,6 0,57 1,07 E10 14,11 6,28 1,92 1,58 0,12 23,55 0,91 0,71 0,93 1,21 0,56 0,82 0,51 0,09 0,15 E15 14,75 7,39 2,13 1,64 0,12 36,06 0,91 0,20 0,97 1,57 0,74 1,19 0,58 0,21 0,13 OEC, 2004 (mg/km) 1,3 butadiene Benzene Esano Toluene Xylene Formaldeidi Acetaldeidi Propinaldeidi veicolo 1 E0 E20 0,79 1,29 5,10 2,89 2,15 1,36 10,64 6,07 6,79 6,66 0,38 0,48 0,14 0,72 0,09 0,04 veicolo 2 E0 E20 0,70 0,78 4,59 4,30 1,58 1,72 8,48 8,47 6,59 4,81 0,47 0,59 0,29 1,78 0,05 0,04 veicolo 3 E0 E20 0,11 0,00 0,73 0,72 0,53 0,07 2,09 2,98 2,39 3,76 0,16 0,07 0,15 0,20 0,01 0,01 veicolo 4 E0 E20 0,06 0,19 1,27 1,57 0,61 1,01 2,62 4,66 2,66 4,21 0,32 0,48 0,09 0,72 0,01 0,02 veicolo 5 E0 E20 0,35 0,15 1,80 4,67 0,46 3,39 7,05 6,70 6,17 5,33 0,33 0,26 0,23 0,59 0,06 0,02 109 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Ola Larsson, 2006 (g/km) NOx HC PM NOx HC PM PC e LDV 1989-96 PC e LDV 1993-00 Diesel B100 E0 E85 Diesel B100 E0 E85 0,44 0,48 0,59 0,13 0,43 0,47 0,07 0,04 0,09 0,08 0,72 0,99 0,06 0,06 0,23 0,23 0,062 0,05 0,01 0,00 0,054 0,044 0,004 0,004 PC e LDV 2000 PC e LDV 2005 E0 E85 E0 E85 0,07 0,04 0,04 0,02 0,23 0,23 0,17 0,17 0,004 0,004 0,004 0,004 Pang et al, 2006 3 (mg/m ) Diesel BE 20 Formaldeide 1,98 1,49 Acetaldeide 2,44 3,07 Acetone 0,72 0,86 Propinaldeide 0,77 1,02 Crotonaldeide 0,35 0,37 Metilacroleina 0,37 0,35 Butilaldeide 0,29 0,30 Benzaldeide 0,64 0,43 Isovaleraldeide 0,29 0,44 Valeraldeide 0,31 0,42 M,p-tolualdeide 0,39 0,37 Exaldieide 0,13 0,12 2,5-dimetilbenzaldeide 0,25 TOTcarbonili 8,74 9,11 etanolo 0,00 8,13 Poulopoulus et al, 2001 benzina E3 E10 CO(%) 0,79 0,78 0,58 HC(ppm) 375 305 344 etilene(ppm) 186 177 178 acetaldeide(ppm) 45 83 58 acetone(ppm) 9,0 9,1 8,4 Proc et al, 2006 veicolo 1 veicolo 2 (g/km) diesel B20 diesel B20 CO 2,24 1,63 2,14 1,70 NOx 12,31 11,59 12,08 11,60 HC 0,54 0,39 0,50 0,35 PM 0,17 0,14 0,16 0,13 Rakopoulous et al, 2007 diesel O100 NOx(ppm) 1250 1000 3 densità fumi (mg/m ) 150 200 110 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Rakopoulous et al, 2006 CO(ppm) NOx (ppm) HC(ppm) 3 densità fumi (mg/m ) Schramm et al, 2005 prova 1 (g/km) E0 E5 E10 E20 HC 1,7 1,7 1,58 1,5 CO 2 5,5 2 1,8 PM E0 1,75 5,2 Diesel 300 950 70 O20 340 915 73 100 105 prova 2 E5 E10 E20 1,5 1,58 1,5 1,5 4,5 4,5 prova 3 prova 4 E0 E5 E10 E20 E0 E5 E10 E20 1,5 1,38 1,32 1,3 1,42 1,25 1,22 1,2 6 5,7 5,4 5 5,2 4,5 4 3 0,11 0,05 0,02 0,01 Shaoo et al, 2007 diesel NOx (ppm) 55,00 HC(ppm) 2,42 opacità fumi(%) 3,50 B20 63,33 2,58 3,63 B100 56,00 3,10 Sharp et al, 1998 (g/KWh) CO NOx HC PM Diesel 1,01 6,13 0,31 0,14 veicolo 1 B20 B100 0,86 0,55 6,38 6,93 0,25 0,01 0,14 0,10 Diesel 2,00 6,03 0,08 0,14 veicolo 2 B20 1,85 6,25 0,08 0,12 B100 1,23 6,72 0,01 0,07 veicolo 3 Diesel B20 1,92 1,66 6,05 6,21 0,04 0,05 0,10 0,08 Diesel 2,75 6,30 0,42 0,17 veicolo 4 B20 2,16 6,42 0,28 0,15 B100 1,70 6,57 0,11 0,11 Diesel 2,04 6,37 0,25 0,10 veicolo 5 B20 B100 1,62 1,27 6,54 6,58 0,20 0,08 0,09 0,05 Tippayawong et al, 2003 Diesel O100 NOx(ppm) 900 484,375 fumo(%) 41,4167 32,4583 Turrio-Baldassarri, 2004 (mg/KWh) diesel B20 acetaldeide 15,8 16,8 acetone 2,1 4,8 acroleina 0,93 1,90 propionaldeide 3,2 3,3 crotonaldeide 0,80 1,00 2-butanone 4,0 6,5 metacroleina 1,40 0,80 benzaldeide 2,40 2,20 valeraldeide 4,6 5,6 p-tolualdeide 0,76 0,40 esanaldeide 0,50 0,60 benzene 4,2 6,8 toluene 14,0 3,2 etilbenzene 1,70 0,60 m-p xilene 6,2 2,1 o xilene 3,10 1,30 CCtot 79,2 94,5 IPA TOT 29,2 14,0 111 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Williams et al, 2006 PM (g) NOx(g/KWh) misura n° Diesel B20 Diesel B20 1 1,3 1 5,37 5,23 2 3 2 4,43 4,43 3 4 3 3,76 3,89 4 6 4 3,36 2,95 5 7,5 5,5 3,09 3,36 6 9 6,3 2,95 3,09 7 11 7 2,68 2,95 8 12,5 8,5 2,68 2,82 9 14 9,5 2,55 2,82 10 16 11 11 17,5 12 12 19,5 13 13 21 14,5 14 22,5 25,7 15 23,5 17 16 24 18 Yang et al, 2007 (g/KWh) Diesel B20 CO 1,10 1,09 NOx 5,30 5,73 HC 0,07 0,08 PM 0,09 0,12 Yucesu et al, 2006 E0 E10 E20 E40 E60 CO(%) 0,67 0,66 0,70 0,65 0,64 HC(ppm) 116 109 115 105 112 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili APPENDICE 2 Questionario inviato agli agricoltori per la raccolta dei dati relativi alla fase di produzione agricola del frumento 1. DOMANDE PRELIMINARI Per favore si cerchi di fare in modo che i dati della seguente inchiesta siano riferiti a situazioni standard, evitando, per precauzione dati che possano derivare da situazioni straordinarie. Per esempio evitate i dati di anni estremamente piovosi o estremamente secchi. • • • • Durata della coltivazione? Numero di tagli all’anno? Terreni aridi / irrigazione? Rendimento della produzione(kg o t/ha)? 2. DESCRIZIONE DELLA COLTIVAZIONE Per favore si confermi (marcando con un √ )l’ esecuzione delle seguenti attività. In caso siano da eseguire più di una volta all’anno si indichi il numero di volte e la periodicità. Preparazione del terreno : Aratura Fresatura Erpicatura con erpice rotante Erpicatura con erpice a molle o denti Passaggio del rullo Concimatura Diserbo Correzione del PH (con calce o altro, indicare solo se prassi corrente) ….. ….. ….. Semina: Semina Concimatura Diserbo Irrigazione …… …… …… Operazioni Colturali : Sarchiatura Rincalzatura Diserbo Concimatura Irrigazione 113 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Sfalcio Raccolta Chiusura del ciclo(se si tratta di lavorazioni post raccolta de terreno vanno da attribuire al ciclo successivo) Trattamento dei residui(indicare se avviene imballatura delle paglie o degli stocchi o se i residui vengono interrati con lavorazioni meccaniche) Terreno a riposo per___ mesi 3. MACCHINARI Si descrivano in questa parte i trattori e gli attrezzi che vengono usati nelle attività precedenti TRATTORI TRATTORE 1 TRATTORE 2 TRATTORE 3 TRATTORE 4 Marca Potenza(KW/cv) Peso(kg) Vita utile(anni) Uso annuo(h/ha) Combustibile(diesel/benzina..) Attività compiute Consumo combustibile (l/h) Attrezzi( aratro, erpice rotante, erpice a molle o denti, rullo, spandiconcime, seminatrice, barra diserbo, sfalciatrice, mietitrebbia, altri) aratro Erpice Erpice a rullo sfalciatrice mietitrebbia rotante molle o denti Peso(kg) Vita utile (anni) Uso annuo (h/ha) Peso dei ricambi(kg) Vita utile dei ricambi(mesi) Barra diserbo sfalciatrice seminatrice Peso Vita utile (anni) Uso annuo 114 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili (h/ha) Peso dei ricambi(kg) Vita utile dei ricambi(mesi) Altri attrezzi (indicare nome) Peso Vita utile (anni) Uso annuo (ha) Peso dei ricambi(kg) Vita utile dei ricambi(mesi) MACCHINE AUTOAZIONANTI Nome Potenza (kW o cv) Peso(kg) Vita utile(anni) Uso annuo (ha) Combustibile (diesel/benzina..) Attività compiute Consumo combustibile (l/h) 4. IRRIGAZIONE Si descriva il sistema di irrigazione utilizzato: ………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………… Pompa installata: capacità: potenza: ore di uso ad irrigazione: irrigazione durante la semina 115 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Origine dell’acqua: pozzo/fiume/rete di somministrazione/altro Numero di irrigazioni:_____ Quantità di acqua applicata per irrigazione:________m3/ha Irrigazione durante la manutenzione Origine dell’acqua : pozzo/fiume/rete di somministrazione/altro Numero di irrigazioni:_____ Quantità di acqua applicata per irrigazione:________m3/ha 5. FERTILIZZANTI Nome commerciale Fertilizzanti Azotati Titolo(% di Dose Modo di Se Principio (kg/ha) applicazione liquido:quantità Attivo)2 (solido/liquido) Acqua di diluizione In fase di preparazione In fase di copertura Nome commerciale Fertilizzanti fosfatici Titolo(% di Dose Modo di Se Principio (kg/ha) applicazione liquido:quantità Attivo) (solido/liquido) Acqua di diluizione In fase di preparazione In fase di copertura Nome commerciale Titolo(% di Principio Attivo) fertilizzanti potassici Dose Modo di Se (kg/ha) applicazione liquido:quantità Acqua di (solido/liquido) diluizione In fase di preparazione In fase di copertura 2 I titoli sono espressi in contenuto % di N, P2O5 e K2O rispettivamente per azotati, fosfatici e potassici 116 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Nome commerciale Fertilizzanti organici titolo (% di Dose Modo di Se principi attivi) (kg/ha) applicazione liquido:quantità (solido/liquido) Acqua di diluizione In fase di preparazione In fase di copertura Fertilizzanti complessi(aventi più di un elemento fertilizzante)3 Nome titolo (% di Dose Modo di Se commerciale principi attivi) (kg/ha) applicazione liquido:quantità (solido/liquido) Acqua di diluizione In fase di preparazione In fase di copertura 6. CORREZIONE DEL PH (SE EFFETTUATA) Cosa si utilizza per correggere?(marca commerciale e concentrazione) Quantità? Frequenza di applicazione? 7. GESTIONE PARASSITI E MALATTIE Quante applicazioni all’anno: Durante la preparazione del suolo:__________ Durante la manutenzione:_________________ 3 per i complessi il titolo è costituito da 3 numeri che rappresentano nell’ordine N, P2O5 e K2O, esempio: 8-24-24 è un concime che ha per 100 kg 8 kg di N, 24 di P2O5 e 24 di K2O 117 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Gruppo Nome (insetticidi/erbicidi/ commerciale e fungicidi) ingrediente attivo Dosi (kg o l/ha) Data dell’applicazione Concentrazione (%) 8. SEMI Per favore si includa la provenienza dei semi: Per favore si includa una descrizione del tipo di semi(varietà, con o senza certificazione…) Che densità di piante per ettaro hanno? 9. PRODOTTO RACCOLTO Rendimento (tonnellate di materia fresca per ha): Anno 1 Anno 2 Anno 3 Anno 4 Anno 5 Si indichi la destinazione del prodotto(%): Consumo diretto:__________ Essiccamento naturale: __________ Disidratazione:__________ 118 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili APPENDICE 3 Classificazione - caratterizzazione del metodo di valutazione CML 2 baseline 2000,“emissioni gas serra” Substance Correction Factor Sulfur hexafluoride 2,39E+04 kg CO2 eq/kg Methane, fluoro-, HFC-41 1,30E+04 kg CO2 eq/kg Methane, trifluoro-, HFC-23 1,17E+04 kg CO2 eq/kg Methane, chlorotrifluoro-, CFC-13 1,17E+04 kg CO2 eq/kg Ethane, cloropentafluoro-, CFC-115 9,30E+03 kg CO2 eq/kg Ethane, 1,2-dichloro-1,1,2,2,-tetrafluoro-, CFC-114 9,30E+03 kg CO2 eq/kg Ethane, hexafluoro-, HFC-116 9,20E+03 kg CO2 eq/kg Cyclobutane, octafluoroMethane, dichlorodifluoro-, CFC-12 Pentane, perfluoroHexane, perfluoroPropane, perfluoroButane, perfluoroMethane, tetrafluoro-, FC-14 Propane, 1,1,1,3,3,3-hexafluoro-, HCFC-236fa Methane, bromotrifluoro-, Halon 1301 Ethane, 1,1,2-trichloro-1,2,2-trifluoro-, CFC-113 Methane, trichlorofluroro-, CFC-11 Ethane,1,1,1-trifluoro-, HCFC-143a Propane, 1,1,1,2,3,3,3-heptafluoro-, HCFC-227 Ethane, pentafluoro-, HFC-125 Ethane, 1-chloro-1,1-difluoro-, HCFC-142 Methane, chlorodifluoro-HCFC-142 Methane, tetrachloro-, CFC-10 Pentane,2,3-dihydroperfluoro, HFC-4310mee Ethane,1,1,1,2-tetrafluoro-, HFC-134a Ethane,1,1,2,2-tetrafluoro-, HFC-134 Methane, difluoro-, HFC-32 Ethane, 1,1-dichloro-1-fluoro-, HCFC-141b Propane,1,1,2,2,3-pentafluoro-,HFC-245bca Propane,1,3-dichloro-1,1,2,2,3-pentafluoro-, HFC-245ca Ethane, 2-chloro-,1,1,1,2-tetra-fluoro-, HCFC-124 Dinitrogen monoxide Ethane,1,1,2-trifluoro-, HFC-143 Propane,3,-dichloro-1,1,1,2,2-pentafluoro-,HCFC-225ca Ethane,1,1-difluoro,-HCFC-140 Ethane, 1,1,.trichloro-, HCFC-140 Ethane, 2,2-dichloro-1,1,1-trifluoro-, HCFC-123 Methane methane, dichloro-, HCC-30 Chloroform Carbon dioxide, fossil carbon dioxide Carbon dioxide, in air carbon dioxide, biogenic 8,70E+03 8,50E+03 7,50E+03 7,40E+03 7,00E+03 7,00E+03 6,50E+03 6,30E+03 5,60E+03 5,00E+03 4,00E+03 3,80E+03 2,90E+03 2,80E+03 2,00E+03 1,70E+03 1,40E+03 1,30E+03 1,30E+03 1,00E+03 6,50E+02 6,30E+02 5,60E+02 5,30E+02 4,80E+02 3,10E+02 3,00E+02 1,70E+02 1,40E+02 1,10E+02 9,30E+01 2,10E+01 9,00E+00 4,00E+00 1,00E+00 1,00E+00 1,00E+00 1,00E+00 kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg kg CO2 eq/kg 119 Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili Classificazione - caratterizzazione del metodo di valutazione Ecoindicator 95,“risorse energetiche” Energy input 3 Oil, crude, 38400 MJ per m , in ground gas, off-gas, oil production, in ground 3 Gas, mine, off-gas, process, coal mining/m Gas, natural, in ground 3 Gas, natural, 36.6 MJ per m , in ground 3 Gas, petroleum, 35 MJ per m , in ground 3 Gas, natural, feedstock, 35 MJ per m , in ground 3 Gas, natural, 35 MJ per m , in ground Uranium, 2291 GJ per kg, in ground Uranium, in ground Uranium, 560 GJ per kg, in gorund Uranium, 451 GJ per kg, in ground Uranium ore, 1.11 GJ per kg, in ground Gas, mine, off-gas, process, coal mining/KG Gas, natural, feedstock, 48.8 MJ per kg, in gorund Gas, natural, 48.8 MJ per kg, in gorund Oil, crude, in ground Oil, crude, 42.7 MJ per kg, in ground Oil, crude, 42.6 MJ per kg, in ground Oil, crude, feedstock, 42 MJ per kg, in ground Oil, crude, 42 MJ per kg, in ground Oil, crude, feedstock, 41 MJ per kg, in ground Oil, crude, 41 MJ per kg, in ground Methane Gas, natural, 30.3 MJ per kg, in ground Coal, 29.3 MJ per kg, in ground Coal, feedstock, 26.4 MJ per kg, in ground Coal, 26.4 MJ per kg, in ground Coal, hard, unspecified, in ground Coal, 18 MJ per kg, in ground Wood, unspecified, standing/kg Wood, feedstock Peat, in ground Coal, brown, in ground Coal, brown, 10 MJ per kg, in ground Wood and wood waste, 9.5 MJ per kg Coal, brown, 8 MJ per kg, in ground Water, barrage Steam from inceneration Energy, unspecified Energy, solar Energy, recovered Energy, potential, stock, in barrage water Energy, kinetic, flow, in wind Energy, gross calorific value, in biomass Energy, geothermal Energy, from wood Energy, from uranium Energy, from sulfur Energy, from peat Energy, from oil Energy, from hydrogen Energy, from hydropower Energy, from gas, natural Energy, from coal, brown Energy, from coal Energy, from biomass Biomass, feedstock PCI 3 38400 MJ/m 3 40,9 MJ/m 3 39,8 MJ/m 3 38,8 MJ/m 3 36,6 MJ/m 3 35 MJ/m 3 35 MJ/m 3 35 MJ/m 2291000 MJ/kg 560000 MJ/kg 560000 MJ/kg 451000 MJ/kg 1110 MJ/kg 49,8 MJ/kg 46,8 MJ/kg 46,8 MJ/kg 45,8 MJ/kg 42,7 MJ/kg 42,6 MJ/kg 42 MJ/kg 42 MJ/kg 41 MJ/kg 41 MJ/kg 35,9 MJ/kg 30,3 MJ/kg 29,3 MJ/kg 26,4 MJ/kg 19,1 MJ/kg 18 MJ/kg 15,3 MJ/kg 15,3 MJ/kg 13 MJ/kg 13 MJ/kg 10 MJ/kg 10 MJ/kg 9,5 MJ/kg 8 MJ/kg 0,01 MJ/kg 1 MJ/MJ 1 MJ/MJ 1 MJ/MJ 1 MJ/MJ 1 MJ/MJ 1 MJ/MJ 1 MJ/MJ 1 MJ/MJ 1 MJ/MJ 1 MJ/MJ 1 MJ/MJ 1 MJ/MJ 1 MJ/MJ 1 MJ/MJ 1 MJ/MJ 1 MJ/MJ 1 MJ/MJ 1 MJ/MJ 1 MJ/MJ 1 MJ/MJ 120