POLITECNICO DI MILANO
DIPARTIMENTO DI INGEGNERIA IDRAULICA,
AMBIENTALE, INFRASTRUTTURE VIARIE,
RILEVAMENTO
Sezione Ambientale
Fondazione Lombardia per L'ambiente
PROGETTO KYOTO
LINEA SCENARI E POLITICHE
Politiche tecnologiche dirette: Biocombustibili
Responsabili della ricerca:
Prof. Michele Giugliano
Data
Luglio 2008
REDATTO SEZIONE
AMBIENTALE
APPROVATO
Relazione n°
646.8002.70.51
1
2
POLITECNICO DI MILANO
DIPARTIMENTO DI INGEGNERIA IDRAULICA,
AMBIENTALE, INFRASTRUTTURE VIARIE, RILEVAMENTO
Sezione Ambientale
PROGETTO KYOTO
LINEA SCENARI E POLITICHE
POLITICHE TECNOLOGICHE DIRETTE: BIOCOMBUSTIBILI
• Sintesi tecnica
• Relazione dell’unità operativa
Luglio 2008
Autori
Michele Giugliano, Stefano Caserini, Costanza Scacchi
3
4
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
INDICE
INDICE ________________________________________________________________________ i
SINTESI TECNICA ____________________________________________________________ I
1 CARATTERISTICHE E DIFFUSIONE DEI BIOCARBURANTI_____________________ 1
1.1 CARATTERISTICHE DEI BIOCARBURANTI _________________________________________ 1
1.1.1 Biodiesel_____________________________________________________________________________ 1
1.1.2 Bioetanolo e bio-etbe ___________________________________________________________________ 3
1.1.3 Oli vegetali puri _______________________________________________________________________ 6
1.2 NORMATIVA EUROPEA E ITALIANA ______________________________________________ 7
1.3 PRODUZIONE E DIFFUSIONE DEI BIOCARBURANTI IN EUROPA ______________________ 7
1.4 PRODUZIONE E DIFFUSIONE DEI BIOCARBURANTI IN ITALIA ______________________ 10
2 ANALISI DEL POTENZIALE CONFLITTO TRA INTERESSI SOCIO-AMBIENTALI E
PRODUZIONE DEI BIOCARBURANTI __________________________________________ 13
2.1 POTENZIALITÀ E RISCHI LEGATI ALLA PRODUZIONE DI BIOCARBURANTI DI PRIMA
GENERAZIONE ____________________________________________________________________ 13
2.1.1 Potenzialità dei biocarburanti di prima generazione __________________________________________ 14
2.1.2 Rischi legati alla produzione e al consumo dei biocarburanti di prima generazione __________________ 14
2.2 CAMBIO DI DESTINAZIONE D’USO DEI TERRENI __________________________________ 15
2.3 SICUREZZA ALIMENTARE _______________________________________________________ 16
2.3.1 Analisi del mercato del frumento _________________________________________________________
2.3.2 Analisi del mercato del mais ____________________________________________________________
2.3.3 Analisi del mercato dei semi oleosi _______________________________________________________
2.3.4 Analisi del mercato dello zucchero _______________________________________________________
2.3.5 Conclusioni sulla questione sicurezza alimentare ____________________________________________
17
17
17
18
18
2.4 STIMA DELLA POTENZIALE PRODUZIONE DI BIOCARBURANTI ____________________ 18
3. VALUTAZIONE DELLE EMISSIONI NELLA COMBUSTIONE DI BIOCARBURANTI
IN VEICOLI PER AUTOTRAZIONE ____________________________________________ 22
3. VALUTAZIONE DELLE EMISSIONI NELLA COMBUSTIONE DI BIOCARBURANTI
IN VEICOLI PER AUTOTRAZIONE ____________________________________________ 22
3.1 VARIAZIONI NELLE EMISSIONI DI INQUINANTI REGOLATI DALLA COMBUSTIONE DI
BIODIESEL ________________________________________________________________________ 22
3.2 VARIAZIONI NELLE EMISSIONI DI INQUINANTI TOSSICI CON LA COMBUSTIONE DI
BIODIESEL ________________________________________________________________________ 26
3.3 VARIAZIONI NELLE EMISSIONI DI INQUINANTI REGOLATI DALLA COMBUSTIONE DI
BIOETANOLO _____________________________________________________________________ 27
3.4 VARIAZIONI NELLE EMISSIONI DI INQUINANTI TOSSICI CON LA COMBUSTIONE DI
BIOETANOLO _____________________________________________________________________ 30
3.5 VARIAZIONI NELLE EMISSIONI DI INQUINANTI REGOLATI DALLA COMBUSTIONE DI
OLI VEGETALI ____________________________________________________________________ 30
i
3.6 CONCLUSIONI __________________________________________________________________ 31
4 L’ANALISI DEL CICLO DI VITA: ASPETTI TEORICI __________________________ 33
4.1 INTRODUZIONE ________________________________________________________________ 33
4.2 DEFINIZIONE DI SCOPI E OBIETTIVI ______________________________________________ 34
4.3 ANALISI DELL’INVENTARIO _____________________________________________________ 35
4.3.1 Definizione e raccolta dei dati ___________________________________________________________ 35
4.3.2 Assegnazione dei carichi ambientali ______________________________________________________ 36
4.4 VALUTAZIONE DELL’IMPATTO DEL CICLO DI VITA _______________________________ 37
4.5 INTERPRETAZIONE DEI RISULTATI ______________________________________________ 38
5 APPLICAZIONE DELLA LCA AL BIOETANOLO - DEFINIZIONE DI SCOPI E
OBIETTIVI __________________________________________________________________ 39
5.1 SCOPI E OBIETTIVI _____________________________________________________________ 39
5.2 UNITÀ FUNZIONALE ____________________________________________________________ 40
5.3 PROCESSI STUDIATI ____________________________________________________________ 40
5.4 CONFINI DEL SISTEMA __________________________________________________________ 43
5.5 QUALITÀ DEI DATI _____________________________________________________________ 43
5.5.1 Econivent v1.1 _______________________________________________________________________ 44
5.6 DESCRIZIONE DEI PRODOTTI STUDIATI E QUANTIFICAZIONE DELL’UNITÀ
FUNZIONALE _____________________________________________________________________ 45
6. APPLICAZIONE DELLA LCA AL BIOETANOLO – FASE DI INVENTARIO _______ 47
6.1 FASE DI PRODUZIONE AGRICOLA ________________________________________________ 47
6.1.1 Descrizione del processo di produzione agricola _____________________________________________ 47
6.1.2 Dati di inventario _____________________________________________________________________ 48
6.2 FASE DI PRODUZIONE DEL BIOETANOLO _________________________________________ 51
6.2.1 Descrizione del processo di produzione del bioetanolo ________________________________________ 52
6.2.2 Dati di inventario _____________________________________________________________________ 53
6.3 FASE DI PRODUZIONE DELLA BENZINA FOSSILE __________________________________ 54
6.4 FASE DI USO FINALE DEI COMBUSTIBILI _________________________________________ 55
6.4.1 Descrizione del processo di utilizzo finale dei combustibili ____________________________________ 55
6.4.2 Dati di inventario________________________________________________________________ 56
6.5 QUADRO RIASSUNTIVO DEI DATI UTILIZZATI NELL’INVENTARIO __________________ 59
7 APPLICAZIONE DELLA LCA AL BIOETANOLO - VALUTAZIONE DEGLI IMPATTI
E INTERPRETAZIONE DEI RISULTATI ________________________________________ 61
7.1 METODOLOGIA DI VALUTAZIONE _______________________________________________ 61
7.1.1 Selezione delle categorie di impatto _______________________________________________________ 61
7.1.2 Classificazione e caratterizzazione ________________________________________________________ 61
7.2 RISULTATI DELLA VALUTAZIONE _______________________________________________ 62
7.2.1 Emissioni di gas serra __________________________________________________________________ 63
7.2.2 Uso di energia _______________________________________________________________________ 65
7.3 CONCLUSIONI __________________________________________________________________ 66
7.4 ANALISI “FROM CRADLE TO GATE” ______________________________________________ 67
7.4.1 Impatti dei singoli processi _____________________________________________________________ 68
7.4.2 Conclusioni dell’analisi “from cradle to gate” _______________________________________________ 69
ii
8 CONFRONTI E ANALISI DI SENSIBILITÀ _____________________________________ 70
8.1 BIOETANOLO: CONFRONTO CON ALTRI STUDI DI LCA ____________________________ 70
8.2 BIODIESEL: EMISSIONI DI GAS SERRA SECONDO LA LETTERATURA ________________ 72
8.3 ANALISI DI SENSIBILITÀ ________________________________________________________ 74
8.3.1 Analisi di sensibilità del consumo di carburante nelle miscele E5 ed E10__________________________
8.3.2 Analisi di sensibilità delle emissioni di N2O in agricoltura _____________________________________
8.3.3 Analisi di sensibilità del metodo di allocazione dei carichi ambientali ____________________________
8.3.4 Analisi di sensibilità: quadro riassuntivo ___________________________________________________
75
77
79
80
9 POTENZIALE DI PRODUZIONE DI BIOCARBURANTI IN LOMBARDIA E
RIDUZIONE DEI GAS SERRA__________________________________________________ 83
9.1 LE PRODUZIONI AGROALIMENTARI IN LOMBARDIA ED IN ITALIA _________________ 83
9.2 METODOLOGIA DI STIMA _______________________________________________________ 85
9.3 SCENARI ANALIZZATI __________________________________________________________ 87
9.3.1 Scenario 1, potenziale massimo __________________________________________________________
9.3.2 Scenario 2, potenziale “sostenibile” _______________________________________________________
9.3.3 Scenario 3, potenziale minimo ___________________________________________________________
9.3.4 Sommario degli scenari ________________________________________________________________
87
87
88
88
9.4 POTENZIALE DI PRODUZIONE DI BIOCARBURANTI ________________________________ 89
9.5 STIMA DELLE POTENZIALI RIDUZIONI DI GAS SERRA _____________________________ 90
9.6 CONCLUSIONI __________________________________________________________________ 91
10. CONCLUSIONI ____________________________________________________________ 92
BIBLIOGRAFIA ______________________________________________________________ 94
APPENDICE 1 _______________________________________________________________ 105
APPENDICE 2 _______________________________________________________________ 113
APPENDICE 3 _______________________________________________________________ 119
iii
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
SINTESI TECNICA
Introduzione
I biocarburanti sono prodotti derivati da biomassa di origine vegetale che, oltre a prestarsi alla produzione di
calore ed energia elettrica, possono essere usati nei veicoli di autotrazione, sia puri che miscelati con i
carburanti di origine fossile.
Pur se numerosi sono i prodotti potenzialmente utilizzabili come biocarburanti secondo la Direttiva n°
2003/30/CE (recepita dal D.Lgsl. 128/2005), quelli maggiormente prodotti e utilizzati su larga scala sono
attualmente biodiesel, bioetanolo, bio-ETBE (etere etil ter-butilico) e oli vegetali puri.
Il biodiesel è prodotto a partire da piante e semi oleaginosi (colza, girasole, soia, palma e noce di cocco) da
un trattamento di transesterificazione, che consiste nella sostituzione dei componenti alcolici d’origine
(glicerolo) con alcool metilico (metanolo). Il biodiesel può essere miscelato nei veicoli diesel tradizionali con
il gasolio; la tolleranza del veicolo al biodiesel è molto variabile, in funzione del tipo di motore, quindi delle
sue caratteristiche specifiche e della sua anzianità; si preferisce rimanere al di sotto di percentuali di
miscelazione con il diesel del 25-30%, onde evitare problemi di carattere tecnologico (intasamento degli
iniettori, deterioramento di elastomeri, depositi in camera di combustione, corrosione nei serbatoi di
stoccaggio, intasamento dei filtri).
Il bioetanolo è prodotto da colture zuccherine (canna da zucchero barbabietola da zucchero, mais, sorgo
zuccherino, frumento, colture amidacee residui di coltivazioni agricole e lavorazioni forestali), tramite un
processo di fermentazione alcolica, che attraverso la fermentazione del glucosio presente nella biomassa
produce molecole di etanolo ed anidride carbonica.
Il bioetanolo può essere miscelato nei veicoli tradizionali con la benzina, fino al 10% in volume secondo
quanto proposto nel progetto di parere 2007/0019(COD), presentato il 12 luglio 2007, come
modifica alla direttiva 98/70/CE.
Nonostante questi limiti, alcuni studi dimostrano che il bioetanolo può essere miscelato in percentuali più
alte, fino al 15%, in veicoli tradizionali senza modifiche e senza apportare effetti negativi significativi. Per
utilizzare miscele di benzina e bioetanolo ad alte percentuali (tipicamente 85% 90% e 100%) sono necessari
veicoli particolari, denominati FFVs (flexi fuel vehicles) che in molti paesi sono già distribuiti su larga scala,
sia per uso privato che nell’ambito del trasporto pubblico (Brasile, Svezia, USA, Francia, Germania).
L’impiego in percentuali elevate di bioetanolo sui veicoli tradizionali può provocare problemi di carattere
tecnologico, quali difficoltà di accensione a freddo e in fase di riscaldamento, corrosione delle componenti di
gomma del motore, rischio in una miscela di etanolo-benzina di separazione delle fasi in presenza di acqua in
fase liquida.
Diffusione dei biocarburanti
La Commissione Europea già dal 2001 ha promosso l’utilizzo di biocarburanti in Europa; nel 2003, con la
Direttiva 2003/30/CE sono stati stabiliti obiettivi di utilizzo di biocarburanti per ogni stato membro. In Italia
il recepimento della Direttiva, avvenuto con il D.Lgs 128/2005, poi aggiornato dal D.Lgs 2/2006, prevede la
sostituzione, entro il 2010, del 5,75% di carburanti tradizionali con biocarburanti (i valori percentuali sono
calcolati in termini energetici).
Il Decreto Legislativo citato fissa un limite massimo del 5% di aggiunta di biodiesel nel gasolio per la libera
distribuzione presso le stazioni di servizio della rete stradale e autostradale; le miscele con tenori di biodiesel
più elevati e biodiesel puro possono essere utilizzati solo su veicoli di flotte pubbliche o private, previa
omologazione degli stessi. Pur se il decreto non fissa limiti per l’additivazione delle benzine con etanolo o
con l’ETBE, si può fare riferimento a quelli fissati dal D.L. 18/4/1994 n° 280, che definisce i composti
organici ossigenati ammissibili quali componenti e/o stabilizzanti di carburanti e, per ciascuno di essi, le
percentuali massime di aggiunta (es. 5% in volume per l’etanolo e 15% per l’ETBE).
I
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
I biocarburanti, che occupano ancora una quota molto bassa nel consumo totale del settore trasporti (1,5%
nel 2005 in Europa), hanno registrato in Europa negli ultimi anni un forte aumento delle produzioni,
cresciute dal 2004 al 2006, del 60% del 66% rispettivamente per bioetanolo e biodiesel.
L’Unione Europea ha infatti individuato come principali e più praticabili filiere bioenergetiche a livello
europeo il bioetanolo (prodotto da frumento, mais o barbabietola da zucchero) ed il biodiesel (da colza, soia
o girasole).
I quantitativi effettivamente utilizzati nel 2005 sono nettamente inferiori a quelli, mostrati in Tabella 1, che
secondo un recente studio dell’European Environment Agency sarebbero producibili in modo
ambientalmente sostenibile in Italia e in Europa.
Tabella 1
Consumo di biocarburanti nel 2005 e quantità di bioenergia producibile in modo sostenibile secondo
l'Agenzia Europea per l’Ambiente
Anno
consumo
produzione
sostenibile (EEA,
2007)
2005
2010
2020
2030
EU (25 paesi)
PJOe
190
1.959
4.011
5.962
Italia
7
172
373
636
EU (25 paesi)
KtOe
4.534
46.800
95.800
142.400
Italia
162
4.100
8.900
15.200
In termini di produzione, a livello mondiale la quota europea di bioetanolo rimane esigua a causa della
mancanza delle materie prime necessarie, e il consumo di etanolo è cresciuto in maniera più rapida di quanto
non abbia fatto la sua produzione, che pure ha, in Europa, un ben maggiore potenziale di produzione. Il
consumo europeo di biodiesel e bioetanolo dipende attualmente dall’importazione da altri paesi che ne sono
forti produttori, in particolare Brasile e Stati Uniti.
In Italia, la quota di biocarburanti sul consumo totale nel settore dei trasporto (0,5%) è stata nel 2005
inferiore a quella media Europea; sul lato della produzione, nel 2006 l’Italia è stata la terza produttrice
europea di biodiesel (dopo Germania e Francia) e la sesta di bioetanolo (dopo Germania Spagna e Francia,
Polonia e Svezia).
Conflitti nella produzione dei biocarburanti
La proposta di utilizzo di biocarburanti ha visto negli ultimi anni la crescita di un grande dibattito sulla
relazione tra lo sviluppo della produzione di biocarburanti e le possibili conseguenze sul mercato delle
materie prime alimentari.
Il passaggio all’uso di materie prime rinnovabili e naturali, decisione motivata dalla potenzialità di riduzione
delle emissioni di gas serra, si rivela una scelta complessa che comporta la necessità di prendere in
considerazione conseguenze diversificate e indirette, su scala mondiale. Secondo diversi autori il solo
bilancio, in termini di riduzione delle emissioni di biossido di carbonio nella fase finale di combustione, non
può essere sufficiente a giustificane la produzione: devono essere tenuti in considerazione altri aspetti, quali
il conflitto con l’approvvigionamento alimentare, il benessere rurale e lo sfruttamento del suolo, nonché le
implicazioni potenziali sui prezzi delle materie prime.
Anche dal punto di vista strettamente ambientale, va ricordato che i biocarburanti possono essere prodotti
con percorsi (denominati “filiere”) molto diversi, pertanto valutare la capacità produttiva di bioenergia di un
territorio significa stimare il potenziale di bioenergia ambientalmente compatibile, assumendo che non si
verifichino pressioni aggiuntive insostenibili sulla biodiversità, sul suolo e sulle risorse idriche rispetto ad
uno scenario di sviluppo senza utilizzo di bioenergia.
I biocarburanti che portano maggiore conflittualità sono quelli definiti di prima generazione, in quanto
derivano da materie prime normalmente destinate ad alimentazione animale e umana o ad altre produzioni
industriali.
I biocarburanti di seconda generazione invece hanno come materia prima l’intera pianta e si producono a
partire da biomasse differenti (es. sorgo, miscanto, canna comune, switchgrass); si tratta di graminacee
caratterizzate da produttività in termini di biomassa per ettaro molto più alta di quelle tradizionali (mais,
frumento, barbabietola e canna da zucchero) e da un rapido sviluppo verticale. Queste biomasse possono
apportare maggiori benefici rispetto a quelle utilizzate per produrre i biocarburanti di prima generazione, in
II
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
quanto permettono una maggior riduzione delle emissioni di gas serra, possono essere coltivate in terreni non
adatti alle colture tradizionali, richiedono input di minore entità e presentano produzioni specifiche più alte.
A differenza dei biocarburanti di prima generazione, però, comportano altri aspetti problematici: le materie
prime da cui provengono infatti non sono ancora coltivate su larga scala, molte sono tutt’ora in fase di
sperimentazione, come del resto anche le tecnologie di trasformazione. Diversi studi prevedono la
commercializzazione di questi biocarburanti solo tra circa un decennio.
Problemi legati allo sviluppo dei biocarburanti di prima generazione
Gli impatti ambientali dei biocarburanti di prima generazione possono essere tanto variabili quanto il loro
potenziale di riduzione di gas serra: si tratta di impatti che dipendono largamente dalla localizzazione, dalla
tecnica di coltura, dal metodo di trasformazione, dalla destinazione dei residui di lavorazione. È opinione
ormai riconosciuta nella letteratura del settore che la riduzione delle emissioni deve essere valutata caso per
caso, sulla base di dati specifici dell’effettiva filiera di produzione.
A tutt’oggi mancano dei chiari standard di sostenibilità per la produzione di biocarburanti, in grado di
prevenire danni ambientali durante le fasi di coltivazione e produzione. Una possibile conseguenza
indesiderata del crescente interesse del mercato per i nuovi biocarburanti è la pressione sugli agricoltori ad
applicare colture più intensive, con un maggiore uso di fertilizzanti, pesticidi, prodotti chimici, e con un uso
non attento di specie vegetali modificate. Uno dei fenomeni più preoccupanti legati allo sviluppo dei
biocarburanti è comunque la possibilità di cambio di destinazione d’uso dei terreni, in grado di annullare
completamente gli effetti positivi perseguiti. Ad esempio, la produzione di biodiesel da olio di palma, si basa
principalmente su materie prime importate da Malesia e Indonesia, che negli anni dal 1967 al 2000 hanno
aumentato la superficie destinata alla coltivazione di questa pianta da 2.000 km2 a ben 30.000 km2 (una
superficie superiore alla Lombardia), tramite la deforestazione di ampie aree.
La preoccupazione, forse oggi prevalente, è legata alla sicurezza alimentare (food security) e al possibile
aumento dei prezzi delle materie prime alimentari; in altre parole il pericolo è la possibile dislocazione della
produzione a fini energetici in habitat preziosi, in sostituzione a produzioni alimentari meno redditizie, o più
semplicemente, l’utilizzo delle materie prime a scopi energetici anziché alimentari. La domanda di
biocarburanti negli Stati Uniti e in Europa ha comportato l’aumento dei prezzi di diversi beni agricoli,
esacerbando un trend di aumento già in atto a causa della concomitanza di diversi fattori, quali scarsità dei
raccolti, aumento demografico ed epidemie del bestiame.
Stimare l’influenza che la produzione di biocarburanti può avere sui prezzi delle materie prime è molto
complesso proprio a causa della quantità di fattori che influiscono sul processo di formazione del prezzo dei
prodotti alimentari. Diversi sono gli studi che hanno mostrato come l’incremento della richiesta dal settore
dei biocarburanti porterà ad un aumento del prezzo delle materie prime. Tuttavia, secondo diverse fonti la
scala di questo cambiamento non sarà drammatica, se comparata alla situazione attuale dei prezzi. Viceversa,
l’effetto stimato della crescita nell’uso di biocarburanti sui prezzi della materia prima sembra essere limitato
rispetto al recente aumento dei prezzi dei cereali. La crescente produzione di biocarburanti è infatti solo uno
dei tanti fattori che influenza il prezzo dei prodotti agricoli, legato anche alla crescita della domanda e anche
alla speculazione finanziaria sui mercati dei prodotti agroalimentari; la quota di cereali prodotti destinati alla
produzione di etanolo rimane comunque limitata, seppur in crescita.
Potenzialità dei biocarburanti di prima generazione
Ci sono comunque aspetti positivi anche nella produzione di biocarburanti di prima generazione: numerosi
studi confermano la potenziale rilevanza dei biocarburanti per diminuire le emissioni di gas serra associate al
trasporto stradale, ma rilevano, come detto, la necessità di analizzare caso per caso le potenzialità di
sostituzione. I biocarburanti permettono inoltre di ridurre la dipendenza da fonti di approvvigionamento in
via di esaurimento, contribuendo al raggiungimento dell’obbiettivo di fuel secutity, anche se secondo diversi
analisti il ruolo chiave per in questo contesto sarà giocato dai biocarburanti di seconda generazione. Secondo
alcuni studi, l’economia rurale potrà trarre beneficio dall’espansione del mercato dei biocarburanti, in quanto
le nazioni in via di sviluppo potranno ricevere vantaggi dall’aumento dei prezzi dei beni agricoli di cui sono
esportatori, o dai meccanismi di supporto per la produzione. Va ricordato però che l’aumento dei prezzi delle
materie prime potrebbe portare a problematiche di approvvigionamento, soprattutto nei paesi più poveri.
Secondo alcuni studi lo sviluppo delle colture energetiche all’interno del panorama agricolo esistente non
apporterebbe cambiamenti sostanziali nell’attuale politica agraria comunitaria, anzi costituirebbero
un’occasione per promuovere lo sviluppo rurale ed evitare l’abbandono di aree incolte.
III
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Emissioni dalla combustione di biocarburanti in veicoli per autotrazione
Le emissioni in atmosfera derivanti dalla combustione di biocarburanti nei veicoli per autotrazione, utilizzati
in miscela con i carburanti tradizionali, sono state oggetto di diversi studi.
Il confronto con le emissioni dei veicoli con carburanti tradizionali è di grande interesse per valutare
l’impatto sulla qualità dell’aria alla scala locale derivante dalla progressiva introduzione dei biocarburanti.
Tale pratica può però comportare benefici aggiuntivi a quelli associati alla riduzione delle emissioni di gas
climalteranti, ma anche rischi di conflitto fra le politiche climatiche e quelle per la qualità dell’aria.
Il confronto, che ha considerato tutti i dati reperibili nella letteratura scientifica fino al marzo 2008, è
risultato difficoltoso per la varietà delle tipologie di biocarburanti e di veicoli testati, nonché per la
numerosità delle misure e delle condizioni delle misure stesse (cicli di guida, velocità medie, ecc.). Data la
grande variabilità dei livelli emissivi in relazione a queste variabili, si è scelto di valutare le differenze fra le
emissioni dei veicoli con carburanti tradizionali e quella degli stessi veicoli con biocarburanti, rimandando ai
lavori originali la valutazione dei livelli assoluti delle emissioni.
Biodiesel
La maggior parte dei test effettuati su miscele di biodiesel e diesel riguarda veicoli pesanti (soprattutto
autobus) e le miscele più testate sono il B20 (20% biodiesel e 80% diesel) e il B100 (biodiesel puro).
Rimandando al rapporto e ai suoi allegati per i dettagli sui livelli emissivi, in Figura 1 è riportato un quadro
riassuntivo dei risultati degli studi più importanti per completezza della sperimentazione e numero di veicoli
su cui è stato effettuato il test (25 studi per mezzi pesanti e autobus e 13 per veicoli commerciali leggeri e
autovetture).
B20
B100
20
variazione %
0
-20
-40
-60
-80
-100
CO
NOx
HC
PM
Figura 1 – Variazione media e dispersione delle emissioni dall’uso del biodiesel, rispetto alle emissioni del gasolio.
Dall’esame dei dati relativi all’uso del biodiesel si può concludere che nelle emissioni associate si osservano:
• una diminuzione nelle emissioni di particolato, monossido di carbonio e idrocarburi, dovuta alla
presenza di ossigeno, che permette una combustione più completa, e al minor punto di ebollizione
che permette l’evaporazione completa del carburante;
• un leggero aumento degli ossidi di azoto dovuto alla stessa presenza di ossigeno nel carburante e alla
maggior temperatura in camera di combustione ed una combustione più omogenea;
una pressoché totale abbattimento degli ossidi di zolfo con il B100, dal momento che i biocarburanti
ne contengono in quantità minime, e quindi riduzione proporzionale con il B20 (-20%).
La diminuzione nelle emissioni di particolato, monossido di carbonio e idrocarburi insieme al lieve aumento
degli ossidi di azoto, sembrano proporzionali alla percentuale di biodiesel.
I veicoli più recenti sembrano presentare minori variazioni nelle emissioni, mentre quelli più datati
beneficiano maggiormente della presenza del biocarburante.
Con i veicoli di cilindrata minore la tendenza osservata è meno marcata, la dispersione dei dati è maggiore e
alcuni studi mostrano risultati in controtendenza.
•
IV
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Per quanto riguarda gli inquinanti tossici, l’utilizzo di miscele di biodiesel porta ad una riduzione delle
emissioni degli IPA (idrocarburi policiclici aromatici), mentre per altri inquinanti (acetaldeide, formaldeide)
i risultati sono contrastanti, principalmente a causa della differenza di composizione e origine dei biodiesel
utilizzati, nonché delle diverse condizioni sperimentali.
Bioetanolo
Anche l’uso del bioetanolo miscelato con la benzina è stato oggetti di molti studi scientifici, soprattutto in
quei paesi che ne sono grandi utilizzatori, quali la Svezia e il Brasile. La maggior parte dei 25 studi analizzati
si concentra sulle miscele più utilizzate, ad alta percentuale di etanolo (E85 o E100), mentre sono più limitati
gli studi che analizzano le benzine a basso contenuto di etanolo (E5 ed E10).
Dall’esame dei dati relativi all’uso del bioetanolo, riassunti in Figura 2, si osservano i seguenti effetti nelle
emissioni:
• il monossido di carbonio diminuisce, soprattutto nel caso delle benzina ad alto contenuto di etanolo;
• gli ossidi di azoto non mostrano nessun trend riconoscibile nelle benzine a basso contenuto di
etanolo mentre in quelle ad alto e medio contenuto le emissioni diminuiscono in quasi tutti i test,
seppur con una forte dispersione dei valori di riduzione;
• anche gli idrocarburi non mostrano un chiaro comportamento, in quanto le emissioni diminuiscono
nella metà dei test presi in considerazione e negli altri i valori sono simili o mostrano un leggero
incremento;
• il particolato primario diminuisce in tutti i test effettuati, anche se pochi studi ne quantificano la
riduzione, in quanto nei veicoli a benzina i livelli emissivi sono inferiori di quelli dei veicoli diesel e
dunque l’analisi spesso non viene effettuata.
E5-10
E17-22
E30-100
60
variaizone %
40
20
0
-20
-40
-60
-80
CO
NOx
HC
PM
Figura 2 – Variazione media e dispersione (barre nere) delle emissioni dall’uso di bioetanolo, rispetto alle emissioni
della benzina.
La differenza fra le emissioni della benzina e del bioetanolo è dunque marcata solo per il particolato e per il
monossido di carbonio. Come per il biodiesel, si registra comunque una forte variabilità nelle emissioni
attribuibile all’influenza del tipo di veicolo utilizzato nel test, aspetto che diventa ancora più influente nei
casi di utilizzo di benzine a basso contenuto di etanolo.
Per quanto riguarda le emissioni di composti tossici, la sostituzione di bioetanolo nella benzina porta ad un
ovvia riduzione del benzene, tuttavia provoca un aumento consistente delle emissioni di aldeidi (acetaldeide
e formaldeide).
Quadro riassuntivo
Un quadro riassuntivo della variazione delle emissioni in seguito al passaggio all’utilizzo di biocarburanti è
mostrato in Figura 3.
Va ricordato infine che la maggior parte dei test analizzati sono stati effettuati su veicoli antecedenti agli
Euro 4: le variazioni sopra riassunte non possono pertanto essere attribuite con lo stesso grado di
attendibilità anche ai veicoli più moderni.
V
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
tipo di biocarburante
B20
B100
E5-10
E85-100
O100
?
CO
NOx
HC
PM
?
?
riduzione 1-10%
riduzione 11-20%
riduzione 21-30%
riduzione 31-40%
riduzione 41-50%
riduzione non quantificata
aumento 1-10%
aumento 11-20%
Figura 3 – Quadro riassuntivo della variazione delle emissioni allo scarico in seguito al passaggio all’utilizzo di
miscele di biodiesel (B), di etanolo (E) e di olio vegetali (O)
L’analisi del ciclo di vita
La ricerca ha svolto un’approfondita analisi del ciclo di vita della benzina fossile e del bioetanolo prodotto a
partire da grano di frumento, considerando le seguenti possibilità di utilizzo di carburanti: E0 (benzina
tradizionale, a basso contenuto di zolfo), E5 (5%bioetanolo, 95%benzina tradizionale, a basso contenuto di
zolfo), E10 (10%bioetanolo, 90% benzina tradizionale, a basso contenuto di zolfo), E85 (85%bioetanolo,
15%benzina tradizionale, a basso contenuto di zolfo), e E100 (100%bioetanolo).
Per il biodiesel invece si sono valutati i risultati di analisi del ciclo di vita reperibili in letteratura.
La scelta di analizzare a fondo la sostenibilità di produzione e uso di bioetanolo, prodotto a partire da grano
di frumento coltivato in Lombardia e raffinato nell’impianto più vicino, è motivata da diversi ordini di
ragioni:
• il frumento è in Lombardia una delle colture cerealicole maggiormente sviluppate, insieme al mais,
con circa 80.000 ettari dedicati nell’ultimo anno, presentando inoltre buone prospettive come colture
energetica del prossimo decennio;
• le tecnologie di trasformazione del grano, di frumento o mais, in bioetanolo sono già
sufficientemente conosciute.
• la produzione di bioetanolo di origine vegetale è al momento nulla in Italia del Nord, ma sono in
progetto diversi impianti di produzione.
Obiettivi dell’analisi LCA condotta sono stati pertanto quelli di quantificare gli impatti ambientali dei
carburanti nel loro completo ciclo di vita, identificando gli impatti in ogni fase (estrazione, produzione,
trasformazione, distribuzione e uso) valutando i possibili benefici ambientali.
Metodologia e dati utilizzati
Lo studio di LCA è stato eseguito secondo la metodologia di analisi del ciclo di vita formalizzata dalle
norme UNE-EN-ISO 14040-43, tramite il software SimaPro 7.1.
Per unità funzionale, alla quale fanno riferimento tutti gli impatti e i risultati ottenuti dall’LCA, si è scelta la
quantità di combustibile, espressa in kg, di ogni carburante necessaria a percorrere un km con un veicolo di
riferimento. Tenendo conto dei minori contenuti energetici dei biocarburanti rispetto ai corrispondenti
carburanti fossili convenzionali, le unità funzionali corrispondono a 52 g di benzina, 54 di E5, 55 di E10, 78
g di E85 e 83 di E100.
Come mostrato schematicamente in Figura 4, l’LCA ha considerato la produzione agricola del grano di
frumento la produzione dell’etanolo, la distribuzione e il consumo delle miscele E5, E10, E85, E100 e della
benzina tradizionale ed il trasporto dei materiali tra le diverse fasi.
VI
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
DIESEL
PREPARAZIONE TERRENO
aratura - erpicatura - fertilizzanti
Reagenti
Paglia
ESTRAZIONE DEI SUCCHI
macina-miscelazione-cottura
Fertilizzanti
Pesticidi
Semi
Trattori
Attrezzi
SEMINA
MANTENIMENTO
fertilizzanti - trattamenti
Vapore
GRANO
RACCOLTA
MISCELAZIONE CON
BENZINA
TRASPORTO
FERMENTAZIONE
DISTILLAZIONE
Distribuzione
combustione di
E0-E5-E10-E85
ETANOLO
ETANOLO
DDGS
Disidratazione
Evaporazione
Essiccamento
RAFFINERIA
TRASPORTO
COLTIVAZIONE
ETANOLO
DDGS
Elettricità
TRASPORTO
BENZINA
Energia
USO
ESTRAZIONE GREGGIO
Oleodotto
Infrastrutture
RAFFINERIA
Composti chimici
Camion (32t)
DEPOSITO REGIONALE
PRODUZIONE BENZINA
Figura 4 – Schema dei processi considerati dall’LCA
L’approccio utilizzato è quello denominato “from cradle to grave” (dalla culla alla tomba), in quanto sono
state considerate tutte le fasi di produzione e utilizzo del carburante: la produzione della materia prima
(coltivazione del frumento), la produzione del bioetanolo (trasformazione del cereale in biocarburante) e
infine l’uso dello stesso (combustione in veicolo stradale).
Nella fase della produzione agricola si è prestata particolare attenzione a raccogliere dati specifici per la
Lombardia, in quanto è questa la fase nella quale si possono incontrare le maggiori differenze in funzione del
contesto geografico, a differenza della fase di produzione, meno soggetta all’influenza della zona di
localizzazione dell’impianto. I risultati dell’LCA sono dunque da considerarsi specifici per il caso in esame,
con la possibilità di estensione alle zone dell’Italia del nord, che presentino similitudini climatiche e di
tecniche di coltura.
Molti dati necessari all’analisi sono stati raccolti direttamente attraverso questionari nelle installazioni
produttive o da esperti del settore presenti sul territorio regionale (ad esempio, le quantità di fertilizzanti e
insetticidi applicate per ettaro); si è fatto altresì ricorso a basi di dati ISTAT, ENAMA (Ente nazionale per la
meccanizzazione agricola), GRiCi (Centro di Ricerca Colture energetiche dell’università di Bologna, 2005),
CeSPrA (Centro Studi per una nuova etica economica, 2004), e del software Simapro 7.1 (Ecoinvent v1.1)
per i processi più comuni, quali trasporto, combustibili e prodotti chimici, fonti energetiche, nonché a
manuali e fonti bibliografiche.
Alcuni processi minori non sono stati considerati, quali l’essiccamento della granella, la ballatura (processo
di formazione delle balle di paglia), il trasporto della paglia, e l’interazione tra colture (rotazione delle
coltivazioni).
L’analisi del processo di produzione di etanolo è stata sviluppata basandosi su un impianto recentemente
progettato nel nord Italia, in grado di produrre 100.000 t/anno di etanolo a partire da 350.000 t/anno di grano
in ingresso, ipotizzando dunque che la materia prima coltivata in Lombardia venga inviata a quest’unico
impianto il cui schema è illustrato in Figura 5.
Per quanto riguarda l’utilizzo delle diverse miscele è stato considerato un unico veicolo di riferimento,
capace di funzionare con i diversi tipi di carburanti studiati e rappresentativo dei veicoli maggiormente
utilizzati per il consumo attuale di benzina. Dal momento che l’obiettivo dello studio è di confrontare i
distinti carburanti utilizzati nello stesso veicolo, gli impatti associati al ciclo di vita dello stesso (quindi alla
produzione, distribuzione, manutenzione e smaltimento dello stesso veicolo) non sono stati calcolati.
Per il calcolo delle emissioni associate alla combustione, il bioetanolo è considerato “carbonio neutrale”, per
il quale cioè non si conteggiano le emissioni di CO2 generate durante la combustione perché rappresentano
la stessa quantità di C che la pianta assorbe dall’atmosfera in fase di crescita; tale ipotesi è utilizzata nella
maggior parte degli studi di LCA sui biocarburanti pubblicati in letteratura.
VII
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
MACINA
GRANO
Miscelazione
Cottura
Liquefazione
Reagenti
Elettricità
Vapore
FERMENTAZIONE
DISTILLAZIONE
DDGS
Disidratazione
Evaporazione
Essiccamento
ETANOLO
(>99%)
DDGS
(umidità 10%)
Ricircolo acqua
ETANOLO
LIMITI DEL SISTEMA
Figura 5 Schema dell’impianto di produzione del bioetanolo
Risultati
Nel presente lavoro sono state considerate le categorie di impatto “emissioni di gas serra” (aggregate tramite
il loro “global warming potential”) e “consumo energetico”.
Nella Tabella 2 sono riassunti i risultati ottenuti nelle due categorie per ognuno dei carburanti analizzati
(valori negativi indicano minor emissione di gas serra/uso di risorse energetiche rispetto alla benzina
tradizionale, E0); nella Figura 6 sono confrontati in termini assoluti, riferiti ai valori del combustibile E0
(benzina fossile).
Tabella 2 Risultati dell’analisi LCA: confronto E0-E5-E85
Emissioni gas serra
g CO2 eq/km
emissioni evitate/aggiuntive
gCO2 eq/km
%
E0
214
E5
205
-9
-4,1
E10
205
-9
-4,1
E85
147
-66
-31,1
E100
144
Energia consumata
MJ/km
-70
-32,6
consumo evitato/aggiuntivo
MJ/km
%
E0
3,09
E5
3,06
-0,03
-1,0
E10
3,02
-0,07
-2,3
E85
1,44
-1,65
-53,4
E100
1,181
-1,91
-61,8
In entrambe le categorie d’impatto analizzate il maggiore impatto si associa all’uso della benzina, mentre le
minori emissioni di gas serra si riscontrano con la miscela E100. Si osservano differenze molto limitate (<5%)
in entrambe le categorie tra l’uso di benzina interamente di origine fossile e le miscele E5 ed E0.
VIII
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Valutando il contributo dei processi, mostrato in Figura 7, si nota come a determinare la maggior parte delle
emissioni di gas serra sia la fase di uso; nel caso dell’E5 e dell’E10 sono comparabili, poiché, pur
aumentando il contenuto di etanolo (che comporta minori emissioni di CO2 allo scarico), si osserva un
aumento di emissioni associate alla fase di produzione del biocarburante, che annulla l’effetto positivo del
bioetanolo. L’E85 e l’E100 invece permettono una riduzione di emissioni di gas serra considerevole (pari a
66 e 70 gCO2/km rispettivamente). Tale risparmio è dovuto soprattutto alla diminuzione nelle emissioni di
CO2 associate alla frazione fossile di carburante combusto, che è minore di quella presente nella benzina.
Le emissioni di gas serra associate alle fasi di produzione di benzina e bioetanolo sono ovviamente
proporzionali al contenuto di ciascun combustibile nei carburanti analizzati. Tale fenomeno spiega la poca
differenza che si riscontra tra le emissioni dell’E100 e dell’E85: l’etanolo puro difatti permette una riduzione
quasi totale delle emissioni allo scarico, generando tuttavia in fase di produzione (coltura e trasformazione)
una notevole quantità di CO2equivalente.
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
E0
E5
E10
E85
E100
Gas serra
Energia
Figura 6 Confronto degli impatti dei carburanti in termini assoluti
250
gCO2eq/km
200
trasporto miscele
prod etanolo
prod benzina
uso
150
100
50
0
E0
E5
E10
E85
E100
Figura 7 Contributo dei processi alle emissioni di gas serra
Per quanto riguarda il consumo di energia tutte le miscele analizzate permettono un risparmio energetico,
seppur in forma molto contenuta per quelle a basso contenuto di etanolo (E5 ed E10, Figura 8).
IX
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
3,5
3
MJ/km
2,5
trasporto miscele
2
prod. etanolo
1,5
prod. benzina
1
0,5
0
E0
E5
E10
E85
E100
Figura 8 Contributo dei processi al consumo energetico
Analisi “from cradle to gate”
Risulta interessante valutare anche il confronto “from cradle to gate” (dalla culla al cancello), analizzando i
differenti impatti di etanolo e benzina fino alla fase di produzione; in altre parole in questo modo si valutano
gli impatti del carburante indipendentemente dal successivo uso, e ciò può fornire informazioni utili alla
valutazione di altri possibili utilizzi (ad esempio: trazione in campo agricolo, combustione in motori
stazionari, in caldaie, etc.).
Nella Figura 9 sono riassunti i risultati ottenuti nelle due categorie per ognuno dei carburanti analizzati
(valori negativi indicano minor emissione di gas serra/uso di risorse energetiche rispetto alla benzina
tradizionale), riferiti alle unità funzionali in questo caso di 1 kg di etanolo e 1 kg di benzina. Si nota come la
produzione di etanolo permette una riduzione del 45% di emissioni di gas serra (305 gCO2/kg) e dell’78% di
consumi energetici (45 MJ/kg), in quanto il processo di coltivazione del grano compensa una buona parte
delle emissioni di CO2 generate in fase di produzione, grazie alla capacità della coltura di assorbire biossido
di carbonio dall’atmosfera in fase di crescita. Il bilancio porta comunque ad un’emissione di gas serra
positivo, ossia si ha in fase di produzione una emissione (1108 gCO2 per kg di bioetanolo prodotto) maggiore
a quella evitata dalla fase di coltivazione (747 gCO2eq per kg di bioetanolo prodotto).
La produzione della benzina risulta di maggior impatto, in entrambe le categorie analizzate, soprattutto a
causa della fase di estrazione del greggio. Per il bioetanolo sono importanti, ai fini delle emissioni di gas
serra, le fasi di produzione e trasformazione. Alle fasi di trasporto di entrambi i prodotti sono associati
impatti trascurabili. Per quanto riguarda le risorse energetiche, ogni kg di etanolo prodotto richiede 45 MJ in
meno rispetto alla produzione di un kg di benzina.
1200
gCO2eq/km
800
400
0
-400
Etanolo
Benzina
trasporto
raffinazione
estrazione
coltura
-800
Figura 9
Contributo dei processi nella categoria di impatto emissioni di gas serra
Confronti e analisi di sensitività
I risultati dell’analisi LCA della filiera frumento - bioetanolo sono confrontati in Figura 10 con dati di
letteratura reperiti da altri studi per il bioetenolo, prodotto a partire da barbabietola da zucchero, mais o
frumento. Si noti come i valori calcolati nel presente studio si collocano all’estremo superiore dell’intervallo
dei dati reperibili in letteratura.
X
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
5000
gCO2 eq/kg
4000
3000
valori di letteratura
LCA Lombardia
2000
1000
0
benzina
E(frumento) E(barbabietola)
E(mais)
Figura 10 Confronto fra le stime di emissioni di gas serra dalla produzione e utilizzo di bioetanolo
Biodiesel
Il potenziale di riduzione delle emissioni di gas effetto serra ottenibile attraverso la sostituzione di gasolio
con biodiesel è stato valutato sulla base di una rassegna della bibliografia disponibile, confrontando i risultati
di 13 studi di LCA per questo biocarburante. In questi studi sono state analizzate le emissioni di gas serra
(espresse in grammi di CO2 equivalente) del gasolio confrontandole con quelle del biodiesel, con un
approccio “from cradle to grave” ossia prendendo in considerazione tutte le fasi, partendo dalla produzione
fino all’uso finale in veicoli di autotrazione. Si noti che tutti gli studi hanno considerato l’uso di
biocarburante puro.
I risultati espressi dei diversi studi sono mostrati in Figura 11 (il biodiesel è indicato con B e tra parentesi si
riporta la materia prima di origine). Per poterli confrontare, i valori sono stati riportati in un unica unità di
misura (gCO2eq/kg).
Si osserva che per tutti i biodiesel analizzati si riscontrano vantaggi in termini di riduzione delle emissioni di
gas serra. In particolare il biodiesel prodotto a partire dal girasole sembra essere la soluzione più vantaggiosa.
7000
6000
gCO2eq/kg
5000
4000
3000
2000
1000
0
diesel
Figura 11
B(colza)
B(girasole)
B(soia)
Confronto fra le stime di emissioni di gas serra dalla produzione ed utilizzo di biodiesel
Analisi di sensibilità del consumo di combustibili nelle miscele E5 ed E10
Gli aspetti che maggiormente possono influenzare il bilancio ambientale dei biocarburanti sono il consumo
di carburante, la forma di utilizzo dei sottoprodotti, la quantità di energia rinnovabile utilizzata e il tipo di
biomassa usata come risorsa.
Viste le contenute differenze di impatto riscontrate tra l’E5, l’E10 e la benzina fossile, e dunque piccoli
cambiamenti potrebbero trasformare il risultato finale dell’analisi, si è ritenuto opportuno effettuare
un’ulteriore analisi sui possibili effetti di applicare un consumo specifico di carburante ugual per le tre
miscele E0, E5 ed E10 (A.S. 1); un dato, quest’ultimo, che nei veicoli funzionanti con miscele a basso
contenuto di etanolo nel caso base è stato considerato crescente in forma proporzionale al contenuto di
biocombustile, dato il minor PCI di quest’ultimo.
Nel secondo caso di analisi di sensibilità si è effettuata la valutazione dei possibili effetti di una differente
emissione di N2O nella fase di produzione agricola, come suggerito da un recente studio di Crutzen et al.
XI
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
(2008), che ha riesaminato le emissioni di protossido d’azoto associate all’uso di fertilizzanti agricoli. I nuovi
fattori di emissione testati sono stati 2%, 3% e 5% (A.S. 2a/b/c).
Nel terzo caso dell’analisi di sensibilità sono stati valutati i risultati ottenibili con l’uso di una differente
metodologia di allocazione dei carichi ambientali per i sottoprodotti dei sistemi (paglia e DDGS): nel caso
base l’allocazione è stata basata sul valore in massa di tali output, distribuendo i carichi ambientali in misura
uguale sui sotto prodotti (50% su paglia e 50% su grano; 50% su DDGS e 50% su etanolo), nel caso
dell’analisi di sensibilità (A.S. 3) l’allocazione è stata basata sul valore economico degli stessi e i carichi
ambientali sono stati suddivisi di conseguenza (73% su grano e 27% su paglia; 16% su DDGS e 84% su
etanolo).
I risultati dell’analisi di sensibilità sono riassunti in figura 12 e 13.
300
gCO2eq/km
250
200
150
100
50
0
Caso Base
A.S. 1
A.S. 2a
E0
E5
A.S. 2b
E10
E85
A.S. 2c
A.S. 3
E100
Figura 12 Confronto dei risultati di caso base e analisi d sensibilità nella categoria emissioni di gas serra
3,5
3,0
MJ/km
2,5
2,0
1,5
1,0
0,5
0,0
Caso Base
A.S. 1
E0
E5
E10
A.S. 3
E85
E100
Figura 13 Confronto dei risultati di caso base e analisi di sensibilità nella categoria Uso di Energia
Potenziale di produzione di biocarburanti in Lombardia e riduzione dei gas serra
Produzioni agroalimentari in Lombardia e in Italia
Il sistema agroalimentare lombardo è il più importante a livello nazionale ed uno dei più rilevanti nel
contesto europeo. Il valore della produzione agro-industriale regionale supera gli 11 miliardi di euro, con una
quota superiore al 15% della produzione totale italiana. Tale valore rappresenta circa il 4% del PIL (Prodotto
Interno Lordo) regionale. La produzione agricola e le attività di trasformazione alimentare si svolgono in
70.000 strutture produttive, coinvolgendo circa 210.000 lavoratori, di cui 144.000 stabilmente occupati.
Una parte rilevante del territorio regionale ed italiano utilizzato è destinato ad attività agroalimentari. In
Tabella 3 sono mostrati i dati della superficie agricola utilizzata (SAU) destinata negli ultimi anni in
XII
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Lombardia ed in Italia a coltivazioni potenzialmente utilizzabili per la produzione di “colture energetiche”
per la riduzione di biocarburanti di prima generazione, ossia per bioetanolo (frumento, mais, barbabietola da
zucchero) e per biodiesel (colza, girasole e soia).
Sono altresì indicati i dati delle produzioni e delle produttività medie. Sono stati considerati i dati medi dal
1999 al 2007, comprendendo i valori del raccolti del 2003, pur trattandosi di un anno caratterizzato da
particolari condizioni climatiche (siccità, elevate temperature) che hanno influenzato negativamente il
raccolto, con riduzioni delle produttività medie di circa il 10-15 %.
Come si può osservare, la coltura maggiormente sviluppata in Lombardia è quella del mais, che occupa da
sola il 25% della SAU; in Italia invece è il frumento ad occupare la maggior estensione territoriale (43%
della SAU nazionale).
Si noti altresì che le produttività medie lombarde, per tutte le colture, sono molto maggiori di quelle italiane.
Proprio per tale differenza con la situazione nazionale risulta particolarmente interessante approfondire la
potenzialità di produzione di biomassa in Lombardia, in quanto valori di produttività più alti di quelli medi
italiani possono comportare differenze sostanziali.
Tabella 3 Superficie agricola, produzioni e produttività medie di potenziali colture energetiche in
Lombardia ed in Italia
LOMBADIA
Frumento
Mais
Colza
Girasole
Soia
Barbabietola
da zucchero
Altro
Superficie media (ha)
59.743
269.156
1.158
4.712
27.761
18.463
658.424
ripart. %
5,8%
25,9%
0,1%
0,5%
2,7%
1,8%
63,5%
Produzione media (1000t)
338
2.941
2
15
107
1.022
produttività media (q/ha)
57
111
19
ITALIA
34
39
577
Frumento
Mais
Colza
Girasole
Soia
Barbabietola
da zucchero
Altro
Superficie media (ha)
2.241.879
1.105.356
16.158
163.676
172.206
218.862
1.332.517
ripart. %
42,9%
21,1%
0,3%
3,1%
3,3%
4,2%
25,5%
Produzione media (1000t)
7.338
9.084
18
338
627
10.388
produttività media (q/ha)
34
86
16
22
35
549
Stima del potenziale di produzioni di biocarburanti
Il potenziale quantitativo di biocarburanti producibile in regione Lombardia è stimato dal prodotto fra il
valore della produttività, l’estensione di superficie agricola utile, la quota di superficie che sarà
effettivamente utilizzata per produrre una biomassa a scopo energetico e il fattore di conversione in
biocarburante dei rispettivi prodotto agricoli, quest’ultimi ricavati da un indagine di letteratura.
Essendo numerose le variabili in grado di influire sulla quantità di superficie agricola che nei prossimi anni
sarà destinata a produzioni bioenergetiche, la ricerca ha considerato tre diverse ipotesi di evoluzione della
superficie agricola, al fine di stimare il potenziale di biocarburanti producibili e di conseguenza l’entità della
riduzione delle emissioni di CO2 conseguente al loro utilizzo nei veicoli in Lombardia.
Il primo scenario è uno scenario di riferimento, puramente teorico, volto a stimare il massimo quantitativo di
biocarburanti che è possibile produrre in Lombardia nell’ipotesi di utilizzare tutta la superficie agricola
attualmente coltivata a frumento, mais, barbabietola, colza, soia e girasole. Si noti che lo scenario non
considera la possibilità dell’intera conversione a biocarburanti dell’intera superficie agricola regionale, che
comprende estensioni attualmente occupate da altre colture per circa due terzi della SAU totale lombarda.
Il secondo scenario si basa sui risultati di un recente studio dell’Agenzia europea per l’Ambiente “How much
bioenergy can Europe produce without harming the environment?”, che ha stimato una quantità di terreni
destinabili alle produzioni bioenergetiche in condizioni di sostenibilità ambientale, ipotizzando che la quota
di superficie “sostenibile” per la produzione di biocarburanti sia in Lombardia simile a quella media italiana,
stimata dall’EEA e pari a circa il 20% della SAU.
Il terzo scenario si basa sull’ipotesi di non modificare la destinazione delle attuali produzioni agricole, bensì
di destinare alla bioenergia le sole superfici dedicate a riposo (“set-aside”) dalla politica agricola comunitaria.
Si tratta di superfici la cui estensione dal 1990 ha oscillato tra il 2% e il 10% dei terreni arabili totali, che non
XIII
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
possono essere utilizzate per la produzione di foraggi (salvo deroghe particolari), ma possono invece essere
destinate alla coltura di materie prime da destinarsi alla produzione di biocarburanti. In questo scenario si è
quindi ipotizzato che le materie prime vengano raccolte interamente da aree set-aside, calcolando
l’estensione di tali aree come il 10% dei terreni arabili totali, in quanto una quota pari al 10% è stata in
passato definita come obbligatoria dalla riforma della politica agraria comunitaria del 2000, ed è inoltre stata
indicata da diverse previsioni effettuate a livello europeo.
Le superfici considerate come destinate alla produzione di colture energetiche nei tre scenari proposti sono
riassunte in Tabella 4.
Tabella 4 Superficie destinati alla produzione di colture energetiche nel 2005 e nei tre scenari considerati
SAU media
ha
% sul totale
Frumento
Mais
Colza
Girasole
Soia
Barbabietola
da zucchero
Altro
TOT
59.743
269.156
1.158
4.712
27.761
18.463
658.424
1.039.417
5,8%
25,9%
0,1%
0,5%
2,7%
1,8%
63,5%
100%
Mais
Colza
Girasole
Soia
Barbabietola
da zucchero
Altro
Sup. Energetica TOT
59.743
269.156
1.158
4.712
27.761
18.463
658.424
1.039.417
5,8%
25,9%
0,1%
0,5%
2,7%
1,8%
63,5%
100%
Mais
Colza
Girasole
Soia
Barbabietola
da zucchero
Altro
Sup. Energetica TOT
SCENARIO 1 Frumento
ha
% sul totale
SCENARIO 2 Frumento
ha
% sul totale
11.949
53.831
232
942
5.552
3.693
131.685
207.883
1,2%
5,2%
0,0%
0,1%
0,5%
0,4%
12,7%
20%
Mais
Colza
Girasole
Soia
Barbabietola
da zucchero
Altro
Sup. Energetica TOT
26.916
2,6%
116
0,0%
471
0,0%
2.776
0,3%
1.846
0,2%
65.842
6,3%
103.942
10%
SCENARIO 3 Frumento
ha
% sul totale
5.974
0,6%
Le quantità di biocarburanti stimati come producibili nei tre scenari sono mostrate in Figura 12.
Il maggior contributo deriva dal potenziale di bioetanolo, in tutti e tre gli scenari, poiché le colture
zuccherine sono quelle con maggiore estensione territoriale; in particolare, l’etanolo da mais contribuisce
all’80% della totale produzione nei tre casi analizzati.
scenario 3
scenario 2
scenario 1
0
350
700
1050
kt biocarburante /anno
bioetanolo
biodiesel
Figura 12 Quantità di biocarburanti producibili nei tre scenari (kt biocarburanti/anno)
XIV
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Riduzione di gas serra
Per la stima delle potenziali riduzioni di gas serra associate all’utilizzo di biocarburanti sono stati considerati
i valori di riduzione specifici stimati da letteratura per il biodiesel, ed attraverso lo studio presente per il
bioetanolo, riassunti in Tabella 5. Le emissioni evitate si riferiscono al carburante fossile associato, gasolio
per il biodiesel e benzina per il bioetanolo.
Tabella 5
Emissioni di gas serra evitate con unità di biocarburante utilizzato (gCO2eq/kg)
biocarburante
materia prima
gCO2eq evitati/kg
colza
girasole
2527
2595
soia
1767
biodiesel
barbabietola
bietanolo
2244
mais
frumento
I risultati sono mostrati in Tabella 6 e Figura 13
Tabella 6 Stima delle emissioni di gas serra evitate nei tre scenari (kt CO2eq/anno)
GSE(ktCO2)
SCENARIO 1
GSE(ktCO2)
SCENARIO 2
GSE(ktCO2)
SCENARIO 3
colza
2,08
0,42
0,21
girasole
13,25
2,65
1,33
soia
34,97
6,99
3,50
barbabietola
171,57
34,31
17,16
mais
1886,00
377,20
188,60
frumento
215,96
43,19
21,60
2324
465
232
biocarburante materia prima
biodiesel
bietanolo
TOT
KtCO2eq evitate
2500
2000
1500
1000
500
0
SCENARIO 1
SCENARIO 2
bietanolo
SCENARIO 3
biodiesel
Figura 13 Stima delle emissioni di gas serra evitate nei tre scenari
Le riduzioni nelle emissioni di gas serra in Lombardia ottenibili nei tre scenari considerati si confrontano con
le emissioni esistenti nel 2005 in Lombardia, provenienti dal settore del trasporto stradale o complessive da
tutte le fonti. Le prime sono pari, secondo i dati dell’inventario regionale delle emissioni, a 18.373
ktCO2eq./anno, mentre quelle complessive sono pari a 93.654 ktCO2eq./anno. Nello scenario che prevede il
maggior sviluppo della bioenergia lombarda, le riduzioni percentuali delle emissioni di gas serra esistenti
sono pari a circa il 13% delle emissioni del settore trasporti e all’2,5 % delle emissioni complessive (Tabella
7).
XV
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Tabella 7 Riduzioni delle emissioni di gas serra in Lombardia del 2005 previste nei tre scenari
riduzione di gas serra (%)
SCENARIO 1
SCENARIO 2
SCENARIO 3
Emissioni da trasporti
13%
2,5%
1,3%
Emissioni totali
2,5%
0,5%
0,2%
XVI
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
1 CARATTERISTICHE E DIFFUSIONE DEI
BIOCARBURANTI
1.1 CARATTERISTICHE DEI BIOCARBURANTI
I biocarburanti sono prodotti derivati da biomassa di origine vegetale che, oltre a prestarsi alla
produzione di calore e/o energia elettrica, possono essere usati nei veicoli di autotrazione, sia puri
che miscelati con i carburanti di origine fossile.
I prodotti potenzialmente utilizzabili come biocarburanti citati nella Direttiva n° 2003/30/CE dell’8
maggio 2003 (CE, 2003a), recepita in Italia col Decreto Legislativo n° 128/2005 (D.Lgs., 2005),
sono i seguenti:
• Bioetanolo
• Biodiesel
• Biogas
• Biodimetiletere
• Bio-ETBE
• Bio-MTBE
• Biocombustibili di sintesi derivanti da biomasse
• Bioidrogeno
• Oli vegetali puri
I biocarburanti maggiormente prodotti e utilizzati su larga scala sono attualmente biodiesel,
bioetanolo, bio-ETBE (etere etil ter-butilico) e oli vegetali puri.
1.1.1 Biodiesel
La biomassa utilizzata per la produzione di questo biocarburante è costituita da piante e semi
oleaginosi: colza, girasole, soia, palma e noce di cocco.
Questi oli vegetali, una volta raffinati, subiscono un trattamento di transesterificazione, che consiste
nella sostituzione dei componenti alcolici d’origine (glicerolo) con alcool metilico (metanolo)
attraverso la rottura delle molecole del trigliceride in 3 più piccole, come descritto in figura 1.1.
TRIGLICERIDE
METANO
GLICEROLO
ESTERI METILICI
DI ACIDI GRASSI
Figura 1.1 Processo di transesterificazione
Per il processo è possibile definire il seguente bilancio di massa:
1000 kg di oli raffinati + 100 kg di metanolo → 100 kg di glicerolo + 1000 kg di biodiesel
1
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Il biodiesel può essere miscelato nei veicoli diesel tradizionali con il gasolio; la tolleranza del
veicolo al biodiesel è molto variabile, in funzione del tipo di motore, quindi delle sue caratteristiche
specifiche e della sua anzianità.
La maggior parte delle garanzie sui LDV (light duty vehicles, veicoli commerciali leggeri) indicano
come massima concentrazione percentuale miscelabile con il diesel il 5% di biodiesel, anche se un
numero considerevole di test effettuati (IEA, 2004) su diversi tipi di veicoli indicano possibile
miscelare fino al 20% senza rischi di deterioramento del motore. L’orientamento generale in Europa
(tranne in Austria e in Germania, dove il biodiesel puro è distribuito liberamente in rete) è verso
l’utilizzazione in miscela con il gasolio in percentuali non particolarmente elevate, fino al 25-30%
(Pignatelli & Clementel, 2006), pur se ci sono diverse testimonianze di utenti (si veda ad esempio il
sito www.solaroilsystem.com) che da diverso tempo circolano con percentuali molto più alte (fino
al 100%), senza aver riportato nessun danno al veicolo.
L’impiego in percentuali elevate può provocare problemi di carattere tecnologico (Pignatelli &
Clementel, 2006), quali:
• intasamento degli iniettori, dovuto al possibile deterioramento di alcuni materiali plastici
(elastomeri) e guarnizioni per contatto con il combustibile, che a sua volta può dar luogo a
depositi in camera di combustione;
• fenomeni di corrosione nei serbatoi di stoccaggio, dovuti all’alto contenuto di acqua (fino a
500 ppm) del biodiesel;
• possibili problemi di scorrimento a basse temperature (inferiori a -9°C) e di intasamento dei
filtri.
Le caratteristiche tipiche del biodiesel, confrontate con quelle del diesel, sono elencate in tabella 1.1
e il processo di produzione è schematizzato in figura 1.2.
Tabella 1.1 Caratteristiche del biodiesel a confronto con il diesel
Densità (kg/l)
PCI (MJ/kg)
N° cetani
Viscosità a 40°C (mm2/s)
Flash Point (°C)
Contenuto di ossigeno (%)
Zolfo (mg/kg)
Temperatura di ebollizione (°C)
BIODIESEL
0,86-0,9
37-38
>51
DIESEL
0,85
42
46-49
3,5-5
>120
9-11
<10
330-350
2-3
76-140
50
282-338
2
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
COLTURE OLEAGINOSE
Colza-girasole-soia
Estrazione
Depurazione
OLI VEGETALI GREZZI
Esterificazione
BIODIESEL
Figura 1.2 Processo di produzione del biodiesel
1.1.2 Bioetanolo e bio-etbe
La biomassa utilizzata per questo tipo di biocarburanti è costituita da colture zuccherine quali canna
da zucchero, barbabietola da zucchero, mais, sorgo zuccherino, frumento, colture amidacee (patata),
o residui di coltivazioni agricole, e lavorazioni forestali.
Questa biomassa viene sottoposta a processo di fermentazione alcolica, un processo biochimico, che,
attraverso la fermentazione del glucosio presente nella biomassa, produce molecole di etanolo ed
anidride carbonica, come descritto in figura 1.3. Il bio-etbe (bio- Etil Ter Butil Etere), prodotto
aggiungendo isobutene al bioetanolo e considerato biocarburante al 47% in volume (CE, 2003a),
può essere aggiunto alla benzina per aumentare il numero di ottani, come il bioetanolo stesso,
sempre nel rispetto dei limiti determinati per le sostanze ossigenate (15% in volume, CEE, 1985).
3
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Figura 1.3 Processo di fermentazione alcolica
I residui di lavorazione e produzione del bioetanolo e del bio-etbe sono costituiti da sostanze azotate
e minerali, quindi fertilizzanti che possono essere reinterrati nei terreni di coltura, e dal DDGS
(distiller’s dried grain solubles, ossia distillato di grani asciutti con sostanze solubili), utilizzabile
come mangime animale o come materia prima per l’industria cosmetica e farmaceutica.
Il bioetanolo può essere miscelato nei veicoli tradizionali con la benzina fino al 5% in volume come
fissato dalla normativa (D.Lgs, 1994), o fino al 10% come proposto nel progetto di parere
2007/0019(COD) (Parlamento Europeo, 2007), presentato il 12 luglio 2007 dal parlamento europeo,
come modifica alla direttiva 98/70/CE (CE, 2007a).
Nonostante questi limiti, alcuni studi dimostrano che il bioetanolo può essere miscelato in
percentuali più alte, fino al 15%, in veicoli tradizionali senza modifiche e senza comportare effetti
negativi significativi (Egebäck et al., 2005).
Per utilizzare miscele di benzina e bioetanolo ad alte percentuali (tipicamente 85%, 90% e 100%)
sono necessari veicoli particolari, denominati FFVs (flexi fuel vehicles) che in molti Paesi sono già
distribuiti su larga scala, sia per uso privato che nell’ambito del trasporto pubblico (Brasile, Svezia,
USA, Francia, Germania).
L’impiego in percentuali elevate può provocare problemi di carattere tecnologico, quali (RFA,
2002):
• difficoltà di accensione a freddo e in fase di riscaldamento, provocate dall’aumento della
volatilità, che a loro volta comportano rischi di formazione di depositi nel motore;
• problemi nel funzionamento dei veicoli più datati, dovuti alla tendenza dell’alcol a reagire
con le componenti di gomma;
• rischio di separazione delle fasi in presenza di acqua in fase liquida in una miscela di
etanolo-benzina, dovuto all’affinità dell’etanolo a legarsi all’acqua, che può ridurre la
capacità lubrificante dell’olio (soprattutto nei motori a due tempi);
• necessità di utilizzare particolari oli lubrificanti nei veicoli FFVs.
4
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Le caratteristiche tipiche del bioetanolo e del Bio-etbe a confronto con quelle della benzina sono
elencate in tabella 1.2 e il processo di produzione è schematizzato in figura 1.4.
Tabella 1.2 Caratteristiche di bioetanolo, bio-etbe e benzina a confronto
Formula
Densità (kg/l)
N°ottani (RON)
N°ottani (MON)
N° cetani
RPV a 15°C (Kpa)
Contenuto di ossigeno (%)
PCI (MJ/kg)
Temperatura di ebollizione (°C)
BIOETANOLO
C2H5OH
0,8-0,82
109
~92
11
15-20
34,7
25-27
78
BIO-ETBE
C4H9-OC2H5
0,74
118
~105
25-30
14,5
36
72
BENZINA
C4-C12
0,75
91-100
82-92
8
60-90
41,3
30-190
COLTURE ZUCCHERINE
barbabietola-frumento-mais
Estrazione
succhi
ZUCCHERI
fermentazione
distillazione
Isobutene
BIOETANOLO
BIO-ETBE
Figura 1.4 Processo di produzione del bioetanolo e del bio-ETBE
5
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
1.1.3 Oli vegetali puri
Gli oli vegetali puri sono oli prodotti da piante oleaginose (sono le stesse usate per la produzione
del biodiesel), mediante pressione, estrazione o processi analoghi. Sono greggi o raffinati ma
chimicamente non modificati.
Da un punto di vista prettamente tecnico, gli oli vegetali, rispetto ai corrispondenti esteri metilici,
ossia il biodiesel corrispondente, sono più facili da produrre e sono perciò interessanti per quelle
realtà dove i principali obiettivi sono l'auto-produzione di energia a bassi costi e il massimo
vantaggio energetico (l'energia per estrarre l'olio è una minima parte rispetto all'energia contenuta
nell'olio). Ma anche nei paesi industrializzati l'olio grezzo può essere utilizzato in impianti di media
taglia (5-15 MWe) con motori diesel navali o turbine a gas per la produzione di calore e elettricità.
Attualmente è più diffuso l'utilizzo degli esteri dell'olio vegetale piuttosto che l'utilizzo dell'olio tal
quale e ciò sostanzialmente per due ragioni: minori problemi di utilizzo (maggiore flessibilità) e
elevato valore aggiunto del combustibile (CTI, 2007a).
Usati puri al 100% gli oli vegetali non sono compatibili con i motori diesel tradizionali: si possono
utilizzare solo in motori industriali e agricoli di vecchia concezione, previo il pagamento dell’accisa
sui carburanti.
Nei motori diesel moderni non possono essere utilizzati puri in queste percentuali a causa delle
caratteristiche fisico-chimiche che li rendono incompatibili: l’elevata viscosità, il contenuto di cere
e la tendenza a polimerizzare ad alte temperature, causando incrostazioni. Soprattutto nei motori di
nuova generazione ad alte prestazioni se presenti la tecnologia common rail e iniettore pompa a
lungo andare vi è la certezza di danneggiare l’impianto di iniezione nonché il motore
(http://it.wikipedia.org/wiki/Olio_carburante).
In conclusione l'olio vegetale grezzo può essere utilizzato nei motori sia puro che in miscela con
gasolio, ma obbliga ad eseguire alcune modifiche meccaniche e tecniche a causa della sua elevata
viscosità. Esistono alcuni motori concepiti per funzionare ad olio, ma sono di difficile reperimento
sul mercato, quindi allo stato attuale è conveniente (CTI, 2007a):
• utilizzare l'iniezione indiretta e iniettori autopulenti;
• prevedere un sistema di preriscaldamento del combustibile per non ostruire i filtri (attorno ai
60 °C);
• favorire l'accensione del motore con gasolio in ambienti freddi;
• aumentare il flusso di carburante per mantenere potenza e coppia simili a quelle
dell'alimentazione a gasolio;
• utilizzare olio lubrificante con alto potere detergente;
• evitare frequenti accensioni e spegnimenti che potrebbero causare problemi dovuti alla
particolare curva di distillazione dell'olio.
Le caratteristiche tipiche degli oli vegetali sono elencate in tabella 1.3.
Tabella 1.3 Caratteristiche degli oli vegetali
Densità (kg/l)
PCI (MJ/kg)
N° cetani
Viscosità a 40°C (mm2/s)
Flash Point (°C)
Contenuto di ceneri (%)
Zolfo (%)
0,9-0,92
39-40
39-40
30-37
200-290
<0,001-0,05
0,01
6
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
1.2 NORMATIVA EUROPEA E ITALIANA
La Commissione europea nel 2001 stabilisce che entro il 2020 idrogeno, gas naturale e
biocarburanti dovranno sostituire ognuno il 5% dei carburanti tradizionali; con la “White Paper on
Renewables” del 2002 (CE, 2002a) si propone l’obiettivo di raddoppiare al 12% il contributo di
energia da fonti rinnovabili, delle quali il 3,7% da biomassa.
La direttiva Europea 2003/30/CE dell’8 maggio 2003 (CE, 2003a) ha stabilito che gli stati membri
(Europa 15 paesi, ossia Austria, Belgio, Germania, Danimarca, Regno Unito, Spagna, Finlandia,
Francia, Grecia, Irlanda, Italia, Lussemburgo, Paesi Bassi, Portogallo, Svezia) rimpiazzino entro il
2005 il 2% dei carburanti tradizionali con biocarburanti, entro il 2008 il 4,25%, entro il 2010 il
5,75%, ed entro il 2030 l’8%.
Con la Direttiva 2003/96/CE (CE, 2003b) il panorama degli stati europei si è ampliato all’Europa
25 paesi, costituita dagli stessi stati dell’Europa 15 paesi con l’aggiunta di Repubblica Ceca, Cipro,
Estonia, Ungheria, Lituania, Lettonia, Malta, Polonia, Slovenia, Slovacchia.
Ogni stato membro è libero di scegliere con quale strategia raggiungere tali obiettivi ed è tenuto a
presentare un rapporto annuale entro il 1 luglio di ogni anno, nel quale descriva lo stato di
raggiungimento degli obiettivi, le modalità ed eventualmente i motivi che non hanno permesso tale
raggiungimento.
Considerando le diverse potenzialità di produzione, ogni stato membro si è fissato degli obiettivi
differenti, che sono riassunti nel “Biofuel progress report” della Commissione Europea (CE, 2007b).
L’Italia ha recepito la direttiva europea prima con il D.Lgs 128/2005 (D.Lgs, 2005), con obiettivi
più bassi (1% nel 2005 e 2,5% nel 2010), poi aggiornati dal D.L 2/2006 (D.L, 2006) che prevede la
sostituzione, entro il 2010, del 5,75% di carburanti tradizionali con biocarburanti.
Gli obiettivi italiani e europei sono confrontati nella tabella 1.4: i valori percentuali sono da
calcolarsi sulla base del tenore energetico di tutta la benzina e del diesel per trasporti immessi sul
mercato entro il 31 dicembre 2005 o 2010.
Si noti come nel primo decreto legislativo non sia stato fissato alcun valore da raggiungere per il
2008, e come nel 2006 l’Italia abbia aggiornato i suoi obiettivi conformandoli a quelli europei.
Tabella 1.4 Obiettivi europei e italiani di sostituzione dei carburanti tradizionali con biocarburanti
Obiettivi 2005
Obiettivi 2006
Obiettivi 2007
Obiettivi 2008
Obiettivi 2009
Obiettivi 2010
EUROPA
2%
ITALIA (D.Lgs 2005)
1%
4,25%
5,75%
2,5%
ITALIA (D.Lgs 2006)
1%
2%
2%
3%
4%
5,75%
1.3 PRODUZIONE E DIFFUSIONE DEI BIOCARBURANTI IN EUROPA
Un quadro riassuntivo dei consumi e delle produzioni di energia in Europa (25 paesi) è descritto
nella figura 1.5 (Eurostat, 2007), dalla quale si evince che l’Europa è fortemente dipendente dai
combustibili di origine fossile, che ammontano all’80% circa di consumo e produzione.
7
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
consumo interno
rinnovabili
7%
produzione interna
carbone
lignite
9%
rinnovabili
6%
carbone
lignite
18%
nucleare
15%
gas
36%
gas
24%
petrolio
48%
petrolio
37%
Figura 1.5 Quadro riassuntivo dei consumi e delle produzioni di energia in Europa (25 paesi)
La “white paper on renewable energy” presentata dalla Commissione europea nel 2002 (CE, 2002a),
si propone di aumentare il consumo di fonti rinnovabili (che includono l’idroelettrico, l’energia
solare ed eolica, le biomasse e il geotermico) dal 6% del 1995 al 12% nel 2010. Da allora fino al
2004 sia il consumo che la produzione di energie rinnovabili sono rimasti più o meno invariati,
mentre hanno visto un certo incremento nel periodo recente, come descritto nella figura 1.6 (Dati
Eurostat, 2007, espressi in PJOe, 1015 Joule di Oli equivalenti1). Per quanto riguarda il settore dei
biocarburanti, essi occupano ancora una quota molto bassa nel consumo totale del settore trasporti
(1,5% nel 2005), tuttavia si è assistito negli ultimi anni a un forte tasso di aumento nell’uso dei
nuovi biocombustibili, come illustrato in figura 1.7 (Eurostat, 2007).
3500
3000
PJOe
2500
2000
1500
1000
500
0
1994
1996
1998
2000
En. SOLARE
BIOMASSE e RIFIUTI
En. IDROELETTRICA
En. EOLICA
2002
2004
En. GEOTERMICA
Figura 1.6 Aumento della produzione di energia da fonti rinnovabili in Europa (25 paesi)
1
1 PJOe =1015 Joule di Oli equivalenti, unità standardizzata definita come olio con il potere calorifico di 41864 KJ/kg
8
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
12400
PJOe
12000
11600
11200
10800
2000
2001
2002
2003
carburanti tradizionali
2004
2005
biocarburanti
Figura 1.7 Consumo di carburanti nel settore trasporti in Europa (25 paesi)
In particolare la produzione di bioetanolo e biodiesel è cresciuta in soli due anni (dal 2004 al 2006)
rispettivamente del 60% e addirittura del 66% (EBB, 2008; eBIO, 2008), come mostrato in Tabella
1.5.
Tabella 1.5 Produzione di biocarburanti in EU 25 paesi (espressa in PJOe)
bioetanolo
2005
30,6
2004
17,7
2006
53,4
2004
80,9
biodiesel
2005
133,3
2006
204,7
Il consumo di carburanti nel settore dei trasporti in Europa (25 paesi) nell’anno 2005 è stimato pari
a 12173 PJOe; mentre in Italia è stimato pari a 1615 PJOe (Eurostat, 2007). Sulla base di una stima
del consumo di carburanti nel settore dei trasporti nel 2010, effettuata sulla base dell’aumento
registrato dagli anni 1992 al 2005, pari a 13306 PJOe per l’Europa (25 paesi) e 1761 PJOe per
l’Italia, le quote di biocarburanti da immettere sul mercato per rispettare gli obiettivi sopra illustrati
sarebbero pari nel 2010 a circa 765 PJOe per l’Europa e 101 PJOe per l’Italia, come indicato in
tabella 1.6 (quantità espresse in PJOe e in KtOe, 103 tonnellate di oli equivalenti, calcolate sulla
base del PCI attribuito agli Oli equivalenti).
Tabella 1.6 Quantità di biocarburanti da introdurre sul mercato entro il 2005 e il 2010
2005
2010
EU(25 paesi)
ITALIA
PJOe
243
32
765
101
EU(25 paesi)
ITALIA
ktOe
5815
771
18274
2418
Tali quantitativi sono nettamente inferiori a quelli che secondo uno studio dell’European
Environment Agency (EEA, 2007a) sarebbero producibili in modo ambientalmente sostenibile
(vedi cap.2) sia in Italia che in Europa (Tabella 1.7). Secondo un altro studio (Ericsson & Nilsson,
2006), per l’Europa (25 paesi) la bioenergia ambientalmente sostenibile sarebbe pari a 3589 PJOe
(corrispondenti a 85000 ktOe) relativamente al decennio 2010-2020.
9
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Tabella 1.7 Quantità di bioenergia sostenibile producibile secondo lo studio dell’EEA (2002a)
2010
2020
2030
EU(25 paesi)
ITALIA
PJOe
1959
172
4011
373
5962
636
EU(25 paesi)
ITALIA
ktOe
46800
4100
95800
8900
142400
15200
In Italia la quantità di bioenergia da immettere nel settore trasporti entro la fine del 2010 coprirebbe
il 60% circa della bioenergia totale producibile in maniera sostenibile.
Gli obiettivi fissati dalla normativa non sono dunque irraggiungibili, il territorio europeo ha le
potenzialità per produrre tale energia.
In termini di produzione a livello mondiale la quota europea di bioetanolo rimane esigua a causa
della mancanza delle materie prime necessarie, e il consumo di etanolo è cresciuto in maniera più
rapida di quanto non abbia fatto la sua produzione. Pur se, come detto, l’Europa ha un ben maggiore
potenziale di produzione di biocarburanti, il consumo europeo di biodiesel e bioetanolo dipende
dall’importazione da altri paesi che ne sono forti produttori, quali Brasile e Stati Uniti soprattutto
(Eurostat, 2007).
1.4 PRODUZIONE E DIFFUSIONE DEI BIOCARBURANTI IN ITALIA
Il quadro riassuntivo dei consumi e delle produzioni di energia in Italia è mostrato in figura 1.8
(Eurostat, 2007) suddiviso nelle differenti fonti.
consumo interno
petrolio
48%
produzione interna
rinnovabili
42%
carbone
lignite
0%
carbone
lignite
9%
petrolio
20%
rinnovabili
7%
gas
36%
gas
38%
Figura 1.8 Quadro riassuntivo dei consumi e delle produzioni di energia in Italia
Anche in Italia l’energia consumata è per la maggior parte di origine fossile: l’84% proviene da gas
e olio combustibile, il 9% da carbone e lignite, per un totale di 93% di energia da fonti non
rinnovabili; il restante 7% deriva da uso di biomasse (2%), fonti idriche (2%) e altro (3%).
La maggior parte delle materie prime è importata dall’estero: il 97% del petrolio, l’85% del gas e
quasi tutto il carbone.
La mancanza di risorse fossili nel territorio italiano rende il settore della produzione energetica di
strategica importanza per l’economia, che tenta di indirizzare il più possibile la produzione verso
quelle fonti delle quali è ricco il territorio, per questo negli ultimi anni si è assistito in Italia alla
crescita della produzione energetica nel settore delle fonti rinnovabili (come peraltro in tutta
l’Europa); in particolare nel settore delle biomasse (che copre il 26% della produzione) e nel
geotermico (nel quale l’Italia è leader europea), mentre il settore eolico e solare restano per ora
10
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
poco sfruttati, anche se se ne prevede la crescita nei prossimi anni. L’andamento della produzione di
energia rinnovabile è decritto in figura 1.9.
250
PJOe
200
150
100
50
0
1994
1996
1998
2000
2002
2004
En. SOLARE
BIOMASSE e RIFIUTI
En. GEOTERMICA
En. IDROELETTRICA
En. EOLICA
Figura 1.9 Andamento della produzione di energia rinnovabile in Italia
Nel settore dei biocarburanti per il trasporto la quota occupata dai biocarburanti sul consumo totale
è molto esigua (solo lo 0,5% nel 2005). Diversa è la situazione della produzione: l’Italia è la terza
produttrice europea di biodiesel, dopo Germania e Francia (Figura 1.10; dati EBB, 2008) e la sua
produzione è cresciuta di quasi il 30% dal 2004 al 2006.
120
100
2006
PJOe
80
2005
60
2004
40
2003
20
0
Germania
Francia
ITALIA
Regno Unito
Figura 1.10 Produzione di biodiesel (espressa in PJOe)
Per il bioetanolo invece solamente negli ultimi anni si è assistito ad una crescita nella produzione,
come si evince dai dati di Tabella 1.8 (EBB, 2008, eBIO, 2008).
Tabella 1.8 Produzione di biocarburanti in Italia (espressa in PJOe)
2004
0
bioetanolo
2005
0
2006
3
2004
13,4
biodiesel
2005
16,6
2006
18,7
11
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
16
14
12
10
2005
Finlandia
Lettonia
Repubblica
Ceca
Olanda
Lituania
Ungheria
ITALIA
Svezia
Polonia
Francia
2006
Spagna
8
6
4
2
0
2004
Germania
PJOe
Leader europei nella produzione di etanolo restano Germania Spagna e Francia (eBIO, 2008) e solo
negli ultimi anni la produzione di etanolo in Italia ha raggiunto livelli confrontabili con quelli
europei, come descritto in figura 1.11.
Figura 1.11 Panorama europeo della produzione di bioetanolo
Per quanto riguarda i consumi, al maggio 2008, i limiti all’utilizzo dei biocarburanti per l’Italia
sono definiti dal D.L. 280/94 (D.L, 1994), che fissa il limite massimo del 5% di aggiunta di
biodiesel nel gasolio per l’immissione delle miscele diesel-biodiesel alla libera distribuzione presso
le stazioni di servizio della rete stradale e autostradale; le miscele con tenori di biodiesel più elevati
e biodiesel puro possono essere utilizzati solo su veicoli di flotte, pubbliche o private, previa
omologazione degli stessi. Nel decreto non vengono citati limiti minimi e/o massimi per
l’additivazione delle benzine con etanolo o con l’ETBE; a tale proposito, è opportuno rammentare
che tali limiti sono stati fissati a suo tempo dalla Direttiva CEE n° 536/85 (CEE, 1985), che
stabiliva sia il tenore massimo di ossigeno nelle benzine (fissato al 2,5% in peso con facoltà dei
singoli Stati membri di arrivare fino al 3,7%), sia il tenore massimo ammissibile dei singoli
ossigenati permessi nei due diversi valori di concentrazione di ossigeno totale. Tale Direttiva è stata
recepita dall’ordinamento italiano con il D.L. n° 280/94 (D.L., 1994), che definisce i composti
organici ossigenati ammissibili quali componenti e/o stabilizzanti di carburanti e, per ciascuno di
essi, le percentuali massime di aggiunta (5% in volume per l’etanolo; da 2,5% a 3,7% in peso di
ossigeno per le miscele di ossigenanti organici; 15% in volume per l’ETBE).
12
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
2 ANALISI DEL POTENZIALE CONFLITTO
TRA INTERESSI SOCIO-AMBIENTALI E
PRODUZIONE DEI BIOCARBURANTI
La proposta di utilizzo di biocarburanti ha visto negli ultimi anni la crescita di un grande dibattito
sulla relazione tra lo sviluppo della produzione di biocarburanti e le possibili conseguenze sul
mercato delle materie prime alimentari e sull’ambiente.
L’uso di prodotti agricoli, quali semi oleosi, frumento e zucchero per produrre materie prime atte
alla produzione di biocarburanti porta alla necessità di valutare tutte le implicazioni della
produzione di questi carburanti di origine vegetale.
Il passaggio all’uso di materie prime rinnovabili e naturali, scelta motivata dalla potenzialità di
riduzione delle emissioni di gas serra, si rivela una scelta complessa che comporta la necessità di
prendere in considerazione impatti ampi e indiretti, su scala mondiale.
I biocarburanti possono essere prodotti con percorsi (denominati “filiere”) molto diversi, e il solo
bilancio, in termini di riduzione delle emissioni di biossido di carbonio nella fase finale di
combustione non è sufficiente a giustificarne la produzione, in quanto devono essere tenuti in
considerazione altri aspetti quali il conflitto con l’approvvigionamento alimentare, il benessere
rurale e lo sfruttamento del suolo, la biodiversità, nonché le implicazioni potenziali sui prezzi delle
materie prime.
Valutare la capacità produttiva di bioenergia di un territorio significa calcolare il potenziale di
bioenergia ambientalmente compatibile, ossia quello tecnicamente disponibile da biomasse primarie
per generazione di energia assumendo che non si verifichino pressioni aggiuntive sulla biodiversità,
il suolo e le risorse idriche in confronto a uno scenario di sviluppo senza utilizzo di bioenergia
(EEA, 2006).
Il presente capitolo intende riassumere i principali aspetti che devono essere tenuti in
considerazione nel valutare la possibilità di produrre biocarburanti da materie prime vegetali.
2.1 POTENZIALITÀ E RISCHI LEGATI ALLA PRODUZIONE DI BIOCARBURANTI DI
PRIMA GENERAZIONE
I biocarburanti che portano maggiore conflittualità sono quelli definiti di prima generazione, ossia
quelli che derivano da materie prime normalmente destinate ad alimentazione animale e umana o ad
altre produzioni industriali. Come già discusso al Capitolo 1, si trovano sostanzialmente in due
forme differenti, in funzione della materia prima di origine: biodiesel (da semi oleosi) e bioetanolo
(da fermentazione di materie zuccherine o amidacee).
I biocarburanti di seconda generazione, invece, hanno come materia prima l’intera pianta e si
producono a partire da biomasse differenti, tipicamente sorgo, miscanto (Miscanthus Giganteus),
canna domestica (arando donax), panico verga (Panicum Virgatum): tutte graminacee caratterizzate
da produttività in termini di biomassa per ettaro molto più alta di quelle tradizionali (mais, frumento,
barbabietola e canna da zucchero) e da un rapido sviluppo verticale (Venturi & Venturi, 2003).
Queste biomasse possono apportare maggiori benefici rispetto ai biocarburanti di prima generazione,
in quanto permettono una maggior riduzione delle emissioni di gas serra, possono essere coltivati in
terreni non adatti alle colture tradizionali, richiedono input di minore entità e presentano produzioni
specifiche più alte. A differenza dei biocarburanti di prima generazione, però, comportano altri
13
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
aspetti problematici: le materie prime da cui provengono infatti non sono ancora coltivate su larga
scala, molte sono tuttora in fase di sperimentazione, come del resto anche le tecnologie di
trasformazione. Diversi studi prevedono la commercializzazione di questi biocarburanti tra circa
dieci anni (Venturi & Fazio, 2007).
2.1.1 Potenzialità dei biocarburanti di prima generazione
I biocarburanti di prima generazione hanno la potenzialità di ridurre le emissioni di gas serra se
utilizzati in sostituzione dei carburanti fossili: numerosi studi effettuati sui biocarburanti di prima
generazione confermano la potenziale rilevanza dei biocarburanti per diminuire le emissioni di gas
serra associate al trasporto stradale, ma rilevano la necessità di analizzare caso per caso le
potenzialità di sostituzione (Edwards et al., 2007).
I biocarburanti permettono inoltre di ridurre la dipendenza da fonti di approvvigionamento finite,
contribuendo al raggiungimento dell’obbiettivo di fuel security, anche se secondo diversi analisti il
ruolo chiave in questo contesto sarà giocato dai biocarburanti di seconda generazione (HC, 2008).
In Europa inoltre, dove si prevede per il 2030 un 70% di dipendenza da fonti energetiche importate,
ridurrebbero tale problema (Aggarwal, 2004).
Secondo alcuni studi, l’economia rurale potrà trarre beneficio dall’espansione del mercato dei
biocarburanti, in quanto le nazioni in via di sviluppo potranno avere vantaggi dall’aumento dei
prezzi dei beni agricoli di cui sono esportatori, o dai meccanismi di supporto per la produzione. Va
ricordato che, viceversa, l’aumento dei prezzi delle materie prime, potrebbe portare a problematiche
di approvvigionamento, soprattutto nei paesi più poveri (WORC, 2007).
Secondo la ricerca dell’IIIEE (International Institute for Industrial Environment Economics) del
2004, promuovere lo sviluppo delle colture energetiche all’interno del panorama agricolo esistente
non apporterebbe cambiamenti sostanziali nell’attuale PAC (Politica Agricola Comune), anzi sono
un buon metodo per promuovere lo sviluppo rurale ed evitare l’abbandono di aree incolte
(Aggarwal, 2004).
2.1.2 Rischi legati alla produzione e al consumo dei biocarburanti di prima generazione
Gli impatti ambientali dei biocarburanti di prima generazione possono essere tanto variabili quanto
il loro potenziale di riduzione di gas serra: si tratta di impatti che dipendono largamente dalla
localizzazione, dalla tecnica di coltura, dal metodo di trasformazione, dalla destinazione dei residui
di lavorazione (HC, 2008). La riduzione delle emissioni deve essere valutata caso per caso, sulla
base di dati specifici dell’effettiva filiera di produzione.
A tutt’oggi mancano dei chiari standard di sostenibilità associati alla produzione di biocarburanti, in
grado di prevenire danni ambientali potenzialmente derivanti da una produzione non sostenibile.
Secondo l’”environmental audit” dell’House of Commons, 2007-2008 (HC, 2008), è necessario e
urgente implementare una serie di target da associare ai biocarburanti per assicurare che il supporto
sia dato solo a quei biocarburanti in grado di apportare reali miglioramenti ambientali in confronto
ai carburanti fossili.
Inoltre, le attuali politiche di sostegno europee applicate alla produzione dei biocarburanti sono
oggetto di molte critiche e discussioni: uno dei punti in discussione è la convenienza di sostenere
economicamente la produzione di biocarburanti, particolarmente quando la produzione non sarebbe
vantaggiosa senza gli aiuti concessi; secondo il rapporto del GSI (Global Subside Iniziative) del
2007 (GSI, 2007), le agevolazioni concesse ai biocarburanti sono state premature, soprattutto in
assenza di quegli standard precedentemente citati che ne garantiscono la produzione sostenibile.
Un'altra possibile conseguenza indesiderata del crescente interesse del mercato per i nuovi
biocarburanti è la spinta agli agricoltori ad applicare colture più intensive, con un maggiore uso di
fertilizzanti, pesticidi, prodotti chimici, ed un uso non attento di specie vegetali modificate.
14
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Uno dei fenomeni più preoccupanti legati allo sviluppo dei biocarburanti è comunque la possibilità
di cambio di destinazione d’uso dei terreni, in grado di annullare completamente gli effetti positivi
creati.
La preoccupazione forse oggi prevalente è legata alla sicurezza alimentare (food security) e dal
possibile conseguente aumento dei prezzi delle materie prime alimentari; in altre parole il pericolo è
la possibile dislocazione della produzione a fini energetici in habitat preziosi, in sostituzione a
produzioni alimentari meno redditizie, ossia più semplicemente il problema può derivare
dall’utilizzo delle materie prime a scopi energetici anziché alimentari.
Di seguito verranno analizzati più approfonditamente alcuni tra i temi più importanti
precedentemente citati.
2.2 CAMBIO DI DESTINAZIONE D’USO DEI TERRENI
Quello definito come land use change è il fenomeno di cambiamento nel tipo di utilizzo di un
terreno, delle tecniche di lavorazione associate allo stesso e nel lungo termine anche delle proprietà
intrinseche del terreno stesso.
Con l’avvento dei biocarburanti, sostenuti dalle agevolazioni legislative europee e nazionali e dalle
sovvenzioni elargite da ogni singolo stato, molti agricoltori hanno deciso di convertire terreni già
occupati da altre colture alla coltivazione delle materie prime necessarie alla produzione di
biocarburanti di prima generazione, o addirittura di instaurarle in terreni normalmente caratterizzati
da copertura forestale. La produzione di biodiesel da olio di palma, ad esempio, si basa
principalmente su materie prime importate da Malesia e Indonesia, che negli anni dal 1967 al 2000
hanno aumentato la superficie destinata alla coltivazione di questa pianta da 2.000 km2 a ben 30.000
km2 (una superficie superiore alla Lombardia), tramite la deforestazione di ampie aree, mettendo a
repentaglio la sopravvivenza di diverse specie animali (UNEP, 2007).
La produzione di bioetanolo da canna da zucchero è dominata dall’uso di materia prima derivante
dal sud America (Brasile), mentre per altre materie prime quali il mais e la soia la provenienza
principale è rappresentata dagli Stati Uniti.
La pratica del land use change comporta altri impatti ambientali oltre a quelli già citati: può
implicare infatti anche impatti indiretti sul cambiamento climatico, data l’alta capacità di
immagazzinare carbonio nelle foreste pluviali o in altri habitat. La conversione di foresta pluviale in
terreni per produzione di colture energetiche può causare una perdita di 100-200 tonnellate di
emissioni di carbonio per ettaro (New Scientist, 2007).
Allo scopo di ridurre le emissioni di biossido di carbonio i mercati occidentali rischiano quindi di
compromettere gli equilibri di ecosistemi fragili. Secondo un rapporto edito nel 2007 dalle Nazioni
Unite (UN, 2007 citando HC, 2008), la misura più efficace per conseguire la riduzione delle
emissioni di gas serra è conservare e ampliare queste aree forestate; i terreni da dedicare a colture
energetiche sono da trovarsi fra le aree definite wasteland, cioè terre incolte. È questo un termine
definito in modo ambiguo, poiché a volte viene applicato a terreni in cui alcune popolazioni vivono
o svolgono attività per il loro sostentamento, altre volte a terreni destinati a torbiere, che sono da
considerarsi come depositi di carbonio.
Nel rapporto “The state of the forest: Indonesia, 2002” del Global Forest Watch (GFW, 2004) si
stima che in Indonesia siano presenti 7 milioni di ettari di foreste incolte. Pur se i Paesi maggiori
produttori di materie prime energetiche (Indonesia e Brasile) dichiarano l’intenzione di espandere le
loro piantagioni senza sacrificare foresta naturale, molti sono i dubbi che una politica di
conservazione ambientale riesca a difendere questi territori dalle pressioni derivanti anche dalla
15
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
povertà e dalla corruzione: è quindi pratica corrente l’abbattimento di grandi estensioni di foresta
pluviale per la coltivazione di materie prime energetiche, pratica motivata anche dal fatto che il
legno ricavato assicura introiti economici per i primi anni, nei quali le colture non sono ancora
produttive.
2.3 SICUREZZA ALIMENTARE
Un altro punto di grande dibattito riguarda la possibilità che lo sviluppo dei biocarburanti possa far
aumentare i prezzi dei beni agricoli e, sottraendoli alla produzione alimentare, danneggiare
l’approvvigionamento di cibo dei Paesi in via di sviluppo (HC, 2008).
La domanda di biocarburanti negli Stati Uniti e in Europa ha comportato l’aumento dei prezzi di
diversi beni agricoli, esacerbando un trend di aumento già in atto a causa della concomitanza di
diversi fattori, quali scarsità dei raccolti, aumento demografico ed epidemie del bestiame (IMF,
2007). Il “Food outlook” presentato nell’ottobre 2007 dalla Food and Agricoltural Organization
(FAO, 2007), l’organismo ONU che studia le problematiche legate all’approvvigionamento
alimentare, presenta un’analisi esaustiva della situazione mondiale del mercato dei principali beni di
consumo. In tabella 2.1 è riportato un quadro di sintesi dei prezzi dei principali prodotti alimentari
utilizzabili a fini energetici, commentati nei paragrafi successivi.
Tabella 2.1 Quadro del mercato di frumento, mais semi oleosi e zucchero
2002/2003
2003/2004
2004/2005
2005/2006
2006/2007
2007(2°metà)
2007/2008*
frumento
(US $/t)
148
161
138
150
192
279
307
2004/2005
2005/2006
2006/2007
2007/2008*
frumento
(106 t)
632
625
595
602
2004/2005
2005/2006
2006/2007
2007/2008*
frumento
(106 t)
619
620
621
619
2004/2005
2005/2006
2006/2007
2007/2008*
frumento
(106 t)
438
439
444
448
prezzi
mais
semi oleosi
(US $/t)
(US $/t)
105
114
112
143
94
125
103
120
148
156
159
184
147
produzione
mais
semi oleosi
6
(10 t)
(106 t)
1035
142
1002
149
985
151
1078
154
consumo totale
mais
semi oleosi
6
(10 t)
(106 t)
991
1000
146
1016
152
1057
157
consumo alimentare
mais
(106 t)
176
175
179
182
zucchero
(US cent/lb)
8
8
8
12
11
10
zucchero
(106 t)
180
165
169
zucchero
(106 t)
197
153
157
* previsione; dati FAO 2006, 2007
16
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
2.3.1 Analisi del mercato del frumento
Il prezzo del frumento, che negli ultimi due anni è stato in costante crescita, supera nel 2007 quello
dell’anno precedente di almeno il 50%, con picchi nel mese di ottobre 2007 di 352US$ per
tonnellata.
Questo fenomeno è spiegato sostanzialmente da due motivi: produzione scarsa e riserve basse
combinate con una domanda sempre in aumento.
La produzione degli anni 2006 e 2007 è stata scarsa in tutto l’emisfero nord, soprattutto in Europa
(dove è calata dell’1,3%), a causa delle condizioni climatiche avverse che hanno compromesso
molti raccolti con settimane di eccezionale calore e siccità. Le previsioni della produzione per il
2008 sono però favorevoli: ci si aspetta un forte aumento nella produzione dovuto all’espansione
delle aree dedicate a tale coltura (determinata dall’alto livello dei prezzi) e alle condizioni
climatiche generalmente favorevoli.
È previsto che l’aumento di domanda e prezzi faranno ridurre l’uso di frumento come mangime
circa del 4%, portandolo al livello più basso dal 2003/04, mentre il consumo a scopo alimentare
crescerà circa dell’1% (incremento limitato, considerate le previsioni di aumento demografico). I
Paesi che più risentiranno di questo taglio nell’utilizzo alimentare del frumento sono l’Africa (con
un taglio previsto dei consumi di circa 1 kg pro capite), il Giappone e la Federazione russa.
2.3.2 Analisi del mercato del mais
Nel mercato del mais il prezzo ha iniziato ad aumentare in maniera molto marcata dalla metà della
stagione 2006/07, toccando un picco nel febbraio 2007 (circa 175 US$ per tonnellata), a causa
dell’insufficienza degli approvvigionamenti di fronte alla domanda in aumento per la produzione di
etanolo e mangimi animali. Ciononostante l’aumento dei prezzi della stagione precedente ha dato
origine ad un sostanziale aumento delle piantagioni e, grazie anche alle condizioni climatiche
favorevoli, ha fatto aumentare notevolmente la produzione mondiale, cresciuta di circa il 9%,
soprattutto negli stati Uniti che hanno raggiunto il record di 781 milioni di tonnellate nel 2007.
Si prevede per il commercio del mais e del sorgo della stagione 2007/2008 un robusto aumento, tale
da portare il commercio del settore dei grani grezzi ad un record storico.
L’Europa è il massimo Paese importatore, che assorbirà gran parte della produzione della stagione a
venire, soprattutto in ragione della scarsa quantità disponibile di altri tipi di mangimi animali (tra i
quali il frumento). L’aumento di utilizzo dei grani grezzi, previsto per il 2007/08 in crescita in
misura maggiore del 4%, è dovuto per la maggior parte alla richiesta industriale, legata soprattutto
alla produzione di etanolo; anche l’uso come mangime animale è previsto aumentare, anche se in
misura minore (+1,4%), e gli aumenti più alti sono da attribuire al sorgo e al mais; analogamente, il
consumo per alimentazione umana è atteso aumentare rispetto alla stagione precedente (+1,4%).
2.3.3 Analisi del mercato dei semi oleosi
Per il prezzo dei semi oleosi, che è cresciuto in modo pronunciato fino alla stagione 2006/07,
raggiungendo il record degli ultimi 23 anni di circa 180 US$ per tonnellata, è prevista nel 2008 e
negli anni seguenti una stabilizzazione.
L’aumento dei prezzi degli oli vegetali può essere spiegato dall’unione di diverse circostanze:
l’aumento della domanda per mais e soia, sia per mangimi che per scopi energetici, l’aumento del
prezzo del mais e la competizione per l’uso dei terreni, uniti alla crescente produzione di biodiesel,
e alla scarsità dei raccolti del 2006/07 hanno fatto in modo che il prezzo dei semi oleosi,
specialmente del complesso della soia, crescesse drasticamente.
Nella stagione 2007/2008 ci si aspetta un arresto di questa crescita, anche se i prezzi rimarranno
molto incerti e strettamente legati alle previsioni di certi raccolti (in particolar modo in Sud
America). La domanda futura di biocarburanti e le politiche governative al riguardo giocheranno un
ruolo chiave in questo processo.
17
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Dopo anni di continuo aumento nella produzione, per il 2007/08 ci si aspetta una diminuzione del
3%, attribuibile soprattutto alla soia (-6%) e al girasole (-10%). I due fattori principali che
provocheranno la diminuzione della produzione sono la competizione con il mais, che ha interrotto
l’espansione delle aree mondiali destinate alla produzione di semi oleosi, e le sfavorevoli condizioni
climatiche. In particolare per la soia, gli Stati Uniti e la Cina sono responsabili della maggior parte
della diminuzione, avendo ridotto le loro aree destinate alla coltura rispettivamente del 15% e 12%,
tuttavia in Sud America la tendenza è stata opposta e ci si aspetta che stati come Brasile e Argentina
facciano fronte con la loro produzione alla domanda sempre forte.
2.3.4 Analisi del mercato dello zucchero
Dopo il forte aumento del prezzo dello zucchero, che ha continuato a salire fino al picco del 2006,
nel 2007 si assiste ad una progressiva diminuzione. La causa principale di questo abbattimento dei
prezzi è l’aumento della produzione dei Paesi esportatori, che si prevede raggiungerà un nuovo
record nella stagione 2007/08, dovuto soprattutto ai raccolti dei Paesi in via di sviluppo. Il maggior
aumento della domanda è previsto provenire dai Paesi con economie in crescita, quali la Cina e
l’India, mentre nei Paesi sviluppati i consumi rimarranno più o meno invariati
2.3.5 Conclusioni sulla questione sicurezza alimentare
Stimare l’influenza che la produzione di biocarburanti può avere sui prezzi delle materie prime è
molto complesso proprio a causa della quantità di fattori che influiscono sul processo di formazione
del prezzo dei prodotti alimentari.
Tuttavia, diversi sono gli studi che hanno mostrato come l’incremento della richiesta dal settore dei
biocarburanti porterà ad un aumento del prezzo delle materie prime. Secondo uno studio della
Commissione Europea (CE, 2007c), una penetrazione dei biocarburanti sul mercato europeo del 7%
porterebbe ad una riduzione del prezzo del frumento dell’1% rispetto ai livelli 2006, mentre una
quota del 14% provocherebbe un aumento di circa il 6%. L’assenza di una richiesta da biocarburanti
invece ridurrebbe il prezzo dell’8%.
Questi dati suggeriscono che, sebbene un aumento dei prezzi di certi beni sia da attendersi a fronte
di un aumento nella produzione e consumo di biocarburanti, la scala di questo cambiamento non
sarà drammatica, se comparata alla situazione attuale dei prezzi. L’effetto stimato della crescita
nell’uso di biocarburanti sui prezzi della materia prima sembra essere sorprendentemente piccolo
rispetto al recente drammatico aumento dei prezzi dei cereali (Novozymes, 2007).
La crescente produzione di biocarburanti è infatti solo uno dei tanti fattori che influenza il mercato
delle biomasse (FAO, 2007); la quota di cereali prodotti destinati alla produzione di etanolo rimane
comunque limitata, seppur in crescita: 3% nel 2001, 7% nel 2006 e si prevede sarà al 15% nel 2010
(FAPRI, 2007).
2.4 STIMA DELLA POTENZIALE PRODUZIONE DI BIOCARBURANTI
Il potenziale di bioenergia ambientalmente compatibile è quello tecnicamente disponibile da
biomasse primarie per generazione di energia assumendo che non si verifichino pressioni aggiuntive
sulla biodiversità, il suolo e le risorse idriche in confronto a uno scenario di sviluppo senza utilizzo
di bioenergia (EEA, 2006).
Nel rapporto “Estimating the environmentally compatible bioenergy potential from agriculture”, del
dicembre 2007 (EEA, 2007a), l’EEA ha proposto una stima dei terreni utilizzabili e del mix
ottimale di colture in Europa, con approfondimenti per zone territoriali.
18
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Per valutare le aree disponibili a produzione di biomassa con scopi energetici l’EEA ha considerato
le seguenti assunzioni:
• la quota di terreni agricoli da destinare a bioenergie entro il 2030 non supererà un massimo
del 30% dei territori agricoli totali;
• il 3% dei terreni agricoli a coltivazione intensiva del 2030 è considerato set-aside, ossia
terreni a riposo;
• le aree attualmente occupate da praterie e foreste saranno mantenute tali;
• saranno utilizzate solo le colture energetiche con gli impatti ambientali più bassi.
Nello stesso rapporto sono calcolati gli ettari di terreno arabili disponibili in diversi anni per le
colture energetiche, nel rispetto degli standard prima citati, riportati in Tabella 2.2.
Tabella 2.2 Terreni arabili dedicabili alla produzione di colture energetiche, espressi in 103 ha
Italia
Europa (25 paesi)
2010
1074
12256
2020
1785
13433
2030
2165
14307
L’Italia vedrà dunque un raddoppio delle superfici destinate a bioenergia entro il 2030, mentre la
variazione su scala europea è più limitata (+ 18 %).
Per definire il migliore mix di colture da destinare a bioenergia EEA ha considerati i seguenti
indicatori di impatto ambientale:
• erosione del suolo: causa perdita di sostanza organica che può portare a una perdita di
habitat;
• compattazione del suolo: la struttura del suolo, insieme ad altri parametri ad essa legati, può
diminuire l’abbondanza/diversità di biodiversità del suolo e della flora naturale;
• perdita di nutrienti in acqua superficiale e di falda: causa eutrofia nelle acque superficiali e
profonde, colpendo la flora e la fauna; può anche avere effetti tossici diretti;
• contaminazione da pesticidi di suolo e acqua: le sostanze tossiche colpiscono direttamente
flora e fauna;
• sfruttamento della risorsa idrica: può portare alla riduzione eccessiva dei livelli dell’acqua
mettendo in pericolo flora e fauna o il sostentamento di altre colture;
• aumento del rischio di incendi;
• connessione con la biodiversità agricola: le tecniche di alcune colture possono influenzare
negativamente, o compromettere colture successive;
• diversificazione delle colture.
Nell’area nord mediterranea (nella quale viene classificata l’Italia, ed indicata come una possibile
area dedicata alla produzione di colture energetiche nel 2030) le colture sono classificate secondo
una matrice di rischio proposta in Tabella 2.3. La tabella esprime secondo classi di rischio il
comportamento delle diverse colture per ogni tipologia di impatto: A: rischio basso; B: rischio
medio; C: rischio alto; -: criterio non rilevante nella zona o per la coltura.
19
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Tabella 2.3 Matrice di rischio per alcune colture nella zona Nord mediterranea
Erosione
Compattazione del suolo
Perdita di nutrienti
Contaminazione da pesticidi
Sfruttamento della risorsa idrica
Aumento rischio di incendi
Connessione con biodiversità agricola
Diversificazione colture
girasole
C
A
A
B
B
A
A
A
frumento
B
B
B
B
B
A
B/C
C
mais
C
C
C
B
C
A
C
C
orzo/riso patata
B
C
A
C
B
C
B
C
A
B
A
A
B
B
B
B
A: rischio basso; B: rischio medio; C: rischio alto; -: criterio non rilevante nella zona o per la coltura
Il mix di colture sostenibili suggerito nello stesso studio dell’EEA per l’area nord mediterranea è
descritto in figura 2.1 e comprende: colture cerealicole tradizionali (mais, frumento, girasole, orzo),
colture di seconda generazione (miscanto, canna comune e panico verga), sorgo zuccherino e
tecniche di doppia coltura.
panico verga;
10%
canna comune;
10%
girasole; 5%
mais; 15%
miscanto; 5%
sorgo
zuccherino; 10%
doppia coltura;
10%
frumento; 20%
orzo; 15%
Figura 2.1 Mix sostenibile di colture energetiche per l’Italia nel 2030
Considerando l’estensione dei terreni arabili dedicabili alla produzione di colture energetiche in
Italia nel 2030 (tabella 2.2), gli ettari coltivabili per tipo di coltura sono suddivisi come mostrato in
tabella 2.4, dove si riportano anche gli ettari destinabili alle altre colture suggerite ma non ancora
coltivate, o poco sviluppate (orzo e sorgo zuccherino) sul nostro territorio.
Attualmente, tra queste colture, in Italia le più diffuse sono il frumento, il mais e il girasole.
Dal confronto tra le superfici agricole medie destinate in Italia a tali colture (calcolate come media
delle superfici occupate dal 2003 al 2007) e quelle consigliate per il 2030 dallo studio dell’EEA, si
osserva che non è necessario prevedere un aumento delle superfici coltivate, e solo per il girasole è
necessario dedicare una gran parte delle attuali superfici alla produzione energetica.
20
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Tabella 2.4 Colture dedicabili alla produzione di bioenergia in Italia nel 2030, espresse in 103 ha
frumento
mais
girasole
orzo
sorgo zuccherino
miscanto
arando donax
panicum virgatum
doppia coltura
superficie attuale superficie proposta
2153
433
1127
325
135
108
325
217
108
217
217
217
% dedicabile
20
29
80
In un altro studio (Tuck et al, 2006), che analizza la distribuzione potenziale delle biomasse
energetiche in Europa considerando come criteri le sole condizioni climatiche e l’altitudine,
vengono fornite indicazioni preziose per prevedere la sostenibilità di diffusione di tali colture, nel
breve e lungo periodo (dal 1990 al 2080), tenendo presente i possibili scenari di cambiamento
climatico:
• semi oleosi: attualmente diffusi nella maggior parte dei territori europei. La colza rimarrà
diffusa in tutta l’Europa centro meridionale (compresa tra i 35° e 64° di latitudine Nord),
tranne che in Spagna; il girasole continuerà ad essere coltivato in circa il 60% del territorio
compreso tra i 35° e 44° latitudine nord;
• cereali: orzo, frumento e avena sono attualmente coltivabili in quasi tutto il territorio
europeo, ad eccezione delle latitudini a nord dei 65° e a sud dei 44°. Per queste colture in
futuro è previsto un sostanziale declino nella maggior parte dell’Europa meridionale, per le
aree comprese tra i 45°-54° N la diminuzione è più lieve, mentre per quelle tra i 55°-64° N
si prevede un leggero aumento;
• colture amidacee: barbabietola da zucchero e patata hanno attualmente un forte potenziale di
sviluppo in tutto il territorio europeo, anche se non sono non sono coltivate sopra i 65° N; le
previsioni anticipano una diminuzione fino al 50% rispetto a quella del 1990 della loro
estensione territoriale nelle zone tra i 45° e 54° latitudine nord;
• mais: attualmente coltivabile nel 70% del territorio europeo, fino a latitudini di 65° N; si
prevede che non solo rimarrà molto diffuso nell’Europa centro meridionale ma bensì
aumenteranno i territori destinati a questa coltura anche nelle zone più a nord, solo in
Spagna è destinato a diminuire.
Sulla base degli studi analizzati, si può concludere che solo fumento e girasole risulteranno nei
prossimi anni colture appetibili per la produzione dei biocarburanti di prima generazione.
Il frumento, utilizzato per il bioetanolo ha un indice di rischio abbastanza contenuto (vedi tabella
2.3) e risulta resistente per le nostre latitudini al clima nei prossimi cento anni (Tuck et al, 2006);
l’area classificata dedicabile a scopo energetico di questa coltura, secondo l’EEA (2007a),
corrisponde al 20% dell’attuale copertura italiana. Il girasole, utilizzato per il biodiesel, ha un indice
di rischio abbastanza contenuto, tranne che nella categoria erosione (tabella 2.3) e la sua coltura non
risulta minacciata dai cambiamenti climatici previsti nei prossimi cento anni (Tuck et al, 2006);
l’area classificata dedicabile a scopo energetico di questa coltura secondo l’EEA (2007a)
corrisponde all’80% dell’attuale copertura italiana.
21
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
3. VALUTAZIONE DELLE EMISSIONI NELLA
COMBUSTIONE DI BIOCARBURANTI IN
VEICOLI PER AUTOTRAZIONE
Le emissioni in atmosfera derivanti dalla combustione di biocarburanti nei veicoli per autotrazione,
utilizzati in miscela con i carburanti tradizionali, sono state oggetto di diversi studi scientifici.
Il confronto con le emissioni dei veicoli con carburanti tradizionali è di grande interesse per
valutare l’impatto sulla qualità dell’aria locale derivante dalla progressiva introduzione dei
biocarburanti, per valutare la possibilità di benefici aggiuntivi a quelli associati alla riduzione delle
emissioni di gas climalteranti o, al contrario, dei punti di conflitto fra le politiche climatiche e quelle
per la qualità dell’aria alla scala locale.
Il confronto, che ha considerato tutte i dati reperibili nella letteratura scientifica fino al marzo 2008,
è difficoltoso per la varietà delle tipologie di biocarburanti e di veicoli testati, nonché per la
numerosità delle misure e delle condizioni delle misure stesse (cicli di guida, velocità medie, ecc.).
Data la grande variabilità dei livelli emissivi in relazione a queste variabili si è scelto di valutare le
differenze fra le emissioni dei veicoli con carburanti tradizionali e degli stessi veicoli con
biocarburanti, rimandando ai lavori originali per la valutazione dei livelli assoluti delle emissioni.
Di seguito si riportano i risultati, in termini di riduzione percentuale nelle emissioni per ogni
inquinante, e per ogni miscela di biocarburanti testato (espressa come Bx, Ex o Ox, con x =
percentuale usata, B = biodiesel, E = etanolo, O = olio vegetale), ottenuti nei vari studi e, dove
possibile, suddivisi nelle diverse categorie di veicoli: HDV (heavy duty vehicle, veicoli pesanti),
MDV (medium duty vehicles, veicoli medi), LDV (light duty vehicles, veicoli commerciali leggeri),
PC (passengers cars, veicoli per passeggeri).
In appendice sono riportati i dati relativi agli studi citati che hanno pubblicato i fattori di emissione,
dai quali sono tratte le conclusioni; per gli altri studi, che invece riportano il solo risultato
comparativo, ci si rifà alle variazioni indicate nelle tabelle.
3.1 VARIAZIONI NELLE EMISSIONI
COMBUSTIONE DI BIODIESEL
DI
INQUINANTI
REGOLATI
DALLA
La maggior parte dei test effettuati su miscele di biodiesel e diesel riguarda veicoli pesanti
(soprattutto autobus) e le miscele più testate sono il B20 (20% biodiesel e 80% diesel) e il B100
(biodiesel puro). Gli inquinanti regolati analizzati sono: monossido di carbonio (CO), ossidi di
azoto (NOx), idrocarburi (HC) e particolato (PM).
Nella tabella 3.1 sono riportati i risultati degli studi disponibili che hanno considerato l’impiego di
biocarburanti da parte di veicoli pesanti (mezzi commerciali > 3,5 t e autobus), i primi mezzi in cui
i biocarburanti hanno trovato utilizzo: si tratta di 25 studi di rilevanza statistica più o meno
importante, in funzione del numero di veicoli su cui è stato effettuato il test.
L’analisi di altri 13 studi riguardanti veicoli di minor cilindrata (MDV, LDV e PC) è presentata in
tabella 3.2.
Dall’esame dei dati relativi all’uso del biodiesel si può concludere che nelle emissioni associate si
osservano:
22
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
diminuzione nelle emissioni di particolato, monossido di carbonio e idrocarburi, dovuta alla
presenza di ossigeno, che permette una combustione più completa, e al minor punto di
ebollizione che permette l’evaporazione completa del carburante;
• leggero aumento degli ossidi di azoto dovuto alla stessa presenza di ossigeno nel carburante
e alla maggior temperatura in camera di combustione;
• pressoché totale abbattimento degli ossidi di zolfo con il B100, dal momento che i
biocarburanti non ne contengono, e quindi riduzione proporzionale con il B20 (-20%).
La diminuzione nelle emissioni di particolato, monossido di carbonio e idrocarburi insieme al lieve
aumento degli ossidi di azoto, sembrano proporzionali alla percentuale di biodiesel.
I veicoli più recenti sembrano presentare minori variazioni nelle emissioni, mentre quelli più datati
beneficiano maggiormente della presenza del biocarburante.
Con i veicoli di cilindrata minore la tendenza osservata è meno marcata (si incontrano alcuni casi in
disaccordo con le conclusioni e una maggior dispersione dei dati).
Si rileva un andamento anomalo dei dati misurati in due studi (Mazzoleni et al., 2007; Durbin et al.,
2000), che presentano un aumento dei livelli emissivi con l’utilizzo del biodiesel per tutti gli
inquinanti, in contrasto con gli altri studi considerati. Questo andamento può essere dovuto
probabilmente alla scarsa qualità del biodiesel utilizzato negli esperimenti (alta concentrazione di
glicerina libera e flash point ridotto).
In figura 3.1 è mostrato un quadro riassuntivo delle variazione delle emissioni rilevate dagli studi,
espresso dalla variazione media percentuale e dalla rispettiva deviazione standard, per le due
miscele più utilizzate, B20 e B100.
•
23
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Tabella 3.1 variazione (%) delle emissioni di inquinanti regolati da HDV con diverse miscele di biodiesel-diesel
(le celle evidenziate indicano andamento anomalo)
Fonte, anno
EEA, 2007b
n°, tipo e anno
dei motori testati
HDV euro 3
CTI, 2007b
Envir. Canada, 2007
4 autobus
3HDV
2HDV
HDV
Mazzoleni et al., 2007
Durbin et al., 2007
Mirandola & Macor,
2007
McCormick et al., 2006
Proc et al., 2006
Knothe et al., 2006
McCormick , 2006
Williams et al., 2006
McCormick et al., 2005
Carrareto et al., 2004
Lindhjem & Pollack,
2003
Morris et al., 2003
23 HDV, 1983-2004
3 HDV, 1992-1993-2000
146 autobus, euro 0-1-2-3
4 autobus
4 HDV, euro 3
8 HDV, 200-2006
9 HDV, 2000
1 HDV, 2003
2 HDV
2 HDV
2 HDV, 2004
1 HDV, 2004
2 HDV
20 HDV ,<1991 >1994
? HDV
EPA, 2002
43 HDV, 1979-2001
Agarwall & Das, 2001
McCormick et al., 2001
Wang et al., 2000
Durbin et al., 2000
1 HDV (non road)
1 HDV, 1991
9 HDV, 1987-1993
1 HDV, 1990
1 HDV, 1996
Aakko et al., 2000
Sharp, 1998
1 HDV, euro 2
1 HDV (non road)
1 HDV, 1997
2 HDV, 1997
Sheehan et al, 1998
? HDV
Grabosky & McCormick, 1 HDV
1998
Bx
CO
B10
B20
B100
B20
B100
B5/20
B20
B100
B20
B5
B20
B20
B20
B25
B30
B30
B20
B20
B100
B20
B20
B20
B100
B30
B20
B100
B20
B100
B20
B100
B20
B100
B35
B20
B100
B20
B100
B30
B100
B30
B20
B100
B20
B100
B100
B20
B100
-5
-9
-20
-20
-27
-20
-52,5
-7
-1
5
-5
-24
-4
-45
-17
-27
-34
-24
-22
-8
-52
-3
-13
-42
-13
-42
-11
-48
-15
NOx
HC
variazione %
3
-10
3,5
-15
9
-17
3
-27
12
-66
0
-20,5
0
13
-52,5
1
-15
1
3
6
1,5
4
1
-18
-29
7
-12
2
-19
0,5
-11,5
-6
-28
4
-25
-4
4
-62,5
4
-2
28
-37
9
-13,5
2,5
-18
12
-70
2,5
-18
13
-63
2
-21
10
-68
5
15
-2
-11
7
-8
-15
-45
-15
-27,5
-46
-12
-47
-19
5
4
13
3,5
6,5
9
1
14
-17
-96
-16,5
-58
-37
8
-32
PM
-10
-25
-47
-11
-39
-16
-52,5
-1
-20
73
-10
-16,5
-17
-80
-18
-25,5
-25
-154
-9
-51
-10
-47
-73
-26
>+100
>+100
-29
-14
-15,5
-53
-21
-17,5
-37
-68
-22
-77
24
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Tabella 3.2 Variazione (%) delle emissioni di inquinanti regolati da MDV/LDV/PC con diverse miscele di
biodiesel-diesel (le celle evidenziate indicano andamento anomalo)
Fonte, anno
EEA, 2007b
n°, tipo e anno
dei motori testati
LDV euro 3
PC euro 3
Yang et al., 2007
Sahoo et al., 2007
1 PC moderno
1 PC
Martini et al., 2007a
1 LDV euro 3
Lin & Lin, 2006
Ola - Larsson, 2006
1 MDV
PC/LDV, 1989-1996
PC/LDV, 1993-2000
1 MDV
1 9 KW
1 PC
Dwivedi et al., 2006
Agarwal et al., 2006
Lapuerta et al., 2005
Makareviciene & Janulis, 1 PC
2003
Krahl et al., 2003
Cardone et al., 2002
Aakko et al., 2000
Durbin et al., 2000
1 PC
1 PC
1 PC
1 LDV, 1988
1 LDV, 1995
Bx
CO
B10
B20
B10
B20
B20
B20
B100
B30
B100
B100
B100
B100
B20
B20
B25
B100
B25
B50
B75
0
-6
0
-5
-2
B100
B100
B100
B30
B20
B100
B20
B100
6
60
-26
-6
NOx
HC
variazione %
2
-10
2
-15
0
0
1
-10
8
4
15
7
2
-69
1
-1
17
7
-1
9
-11
9
0
-1
-2
-3
26
-21
-1
0
0
7
-11
-2
-30
-61
-62
-64
-6
-46
-19
10
3
33
-67
-61
-4
PM
-15
-20
-13
-20
24
-7
-15
-19
-19
-29
-13
-23
-42
-41
-22
17
40
40
38
25
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
B20
B100
variazione %
20
0
-20
-40
-60
-80
-100
CO
NOx
HC
PM
Figura 3.1 Variazione media e dispersione delle emissioni associate all’uso di biodiesel
3.2 VARIAZIONI NELLE EMISSIONI
COMBUSTIONE DI BIODIESEL
DI
INQUINANTI
TOSSICI
CON
LA
I veicoli diesel emettono quantità elevate di materiale particolato, di cui spesso costituiscono una
delle principali fonti in ambito urbano. Al particolato emesso dai mezzi diesel sono associati
numerosi inquinanti tossici, principalmente gli IPA, idrocarburi policiclici aromatici (Correa &
Arbilla, 2008). L’elevata tossicità, cancerogenicità e mutegenicità per l’uomo degli IPA e di altri di
questi inquinanti, quali la formaldeide, l’acetaldeide e l’acroleina (Carlier et al., 1986), suggerisce la
necessità di valutare i possibili benefici derivanti dalle minori emissioni di questi composti derivanti
dalla sostituzione del diesel con il biodisel o sue miscele.
I dati di letteratura sulle emissioni dalla combustione di biodisel di questo tipo di inquinanti e dei
composti carbonilici sono scarsi e spesso contrastanti, principalmente a causa della differenza nella
composizione e nell’origine del biodiesel e per le differenti condizioni sperimentali. Inoltre i
risultati devono essere interpretati con particolare attenzione, poiché gli errori di misura con
componenti in concentrazioni così limitate sono relativamente alti (Krahl et al., 2003).
I risultati di alcuni studi al riguardo sono riassunti in tabella 3.3, dove si riportano le variazioni
registrate nelle emissioni di IPATOT (totalità degli IPA: benzene, toluene, xilene ed esano), di CCTOT
(Componenti Carbonilici totali: aldeidi, chetoni, acido carbossilico, esteri, ammidi, enoni, acido
cloridrico e acido anidrico) e di acetaldeide, formaldeide e acroleina, conseguenti all’uso di diverse
percentuali di biodiesel.
26
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Tabella 3.3 Variazioni (%) osservate nelle emissioni di inquinanti non regolate dalla combustione di biodiesel
Fonte, anno
Bx
Correa & Arbilla, 2008
Martini et al., 2007a
Pang et al., 2006
Turrio-Baldassarri et al., 2004
Khral et al., 2003
Cardone et al., 2002
EPA, 2002
B20
B30
BE20*
B20
B100
B100
B20
B100
IPATOT acetaldeide formadeide acroleina CCTOT
variazione %
16
36
22
17
10
26
-25
5
-52
6
105
19
-93
-33
-38
33
-38
-89
-6
-7
-7
-2
-12
-15
-61
-1
* BE20: miscela di 20% biodiesel, 5% etanolo e 75% diesel
Quasi tutti gli studi analizzati mostrano una chiara riduzione delle emissioni degli IPA complessivi
con l’utilizzo di miscele di biodisel; per gli altri inquinanti i risultati sono contrastanti,
principalmente a causa della differenza di composizione e origine dei biodiesel utilizzati, nonché
delle diverse condizioni sperimentali.
3.3 VARIAZIONI NELLE EMISSIONI
COMBUSTIONE DI BIOETANOLO
DI
INQUINANTI
REGOLATI
DALLA
Anche l’uso del bioetanolo miscelato con la benzina è stato oggetti di molti studi scientifici,
soprattutto in quei Paesi che ne sono grandi utilizzatori, quali la Svezia e il Brasile. La maggior
parte degli studi si concentra sulle miscele più utilizzate, ad alta percentuale di etanolo (E85 o
E100), mentre sono più limitati gli studi che analizzano le benzina a basso contenuto di etanolo (E5
ed E10).
A differenza dei test effettuati con il biodiesel, per le miscele di benzina e bioetanolo l’utilizzo più
studiato è in veicoli di piccola cilindrata (automobili: PC - Passenger Cars). Per questo motivo non
è utile suddividere i risultati nelle diverse categorie di veicoli, bensì risulta più interessante
analizzare i risultati ottenuti con l’uso delle diverse miscele.
I risultati delle misure su benzine a basso contenuto di etanolo sono riportati in tabella 3.4: si tratta
di 9 studi nei quali vengono analizzati gli effetti delle benzine contenenti percentuali di etanolo fino
al 10% o ETBE fino al 15%. I risultati di altri 11 studi su benzine ad alto contenuto di etanolo, ossia
contenenti percentuali di etanolo dal 30% al 100%, sono riportati in tabella 3.5.
Si riportano infine in tabella 3.6 anche i risultati di 6 test effettuati su benzine a medio contenuto di
etanolo (in percentuali comprese tra il 15% e il 22%), sebbene questo tipo di miscele non siano ad
oggi diffuse quanto le prime due.
27
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Tabella 3.4 Variazione (%) delle emissioni di inquinanti regolati con benzine a basso contenuto di etanolo
Fonte, anno
Martini et al., 2007b
n°, tipo e anno
dei motori testati
1 PC, euro 3
6 PC, euro 4
Envir. Canada, 2007
Chiaramonti et al., 2007
Yucesu et al., 2006
Karlsson, 2006
Schramm et al., 2005
4 LDV,1998-00-01-03
1 motore 11 cv
4 PC, euro 4
1 motore 50 cv
De Serves, 2005
4 PC, euro 4
Hull et al., 2005
1 PC
Poulopoulus et al., 2001 1 PC
Ex
CO
E5
E10
E5
E10
E10
E5-7
E10
E10
E5
E10
E5
E10
E3,2
E5
ETBE12
E3
E10
-30
-27
-1
-60
21
-12
-77
-81
-4
-4
2
-1
-26
NOx
HC
variazione %
37
29
2
22
26
8
7
-4,5
-6
-69
-50
-9
-11
-33
-42
85
-47
3
-1
3
-7
0
-2
-19
-8
PM
-54
Tabella 3.5 Variazione (%) delle emissioni di inquinanti regolati con benzine ad alto contenuto di etanolo
Fonte, anno
Karlsson, 2006
Yucesu et al., 2006
n°, tipo e anno
dei motori testati
2 PC, 2004-2005
PC e LDV, 1989-96
PC e LDV, 2000
PC e LDV, 2005
4PC, euro 4
1 motore 11 cv
Topgul et al., 2006
1 motore 11 cv
Envir. Canada, 2007
Ola-Larsson, 2006
De Serves, 2005
4 PC, euro 4
Yuksel, 2004
Lucon et al., 2004
1 PC
PC euro 1
PC euro 2
Aakko & Nylund, 2004
3 PC, 1996-99
PC euro 3
Smokers & Smit, 2004
euro 4
EUCom.for Energy, 2000 LDV e PC, euro 2
LDV e PC, euro 2-3
LDV e PC, euro 2-3-4
Ex
CO
E85
E85
E85
E85
E43
E40
E60
E40
E60
E70
E85
E30-70
E100
E100
E100
E85
E70
E85
E85
-57
-60
-3
-4
-32
-20
-45
-12
-73
-72
-65
-67
-14
-30
10
-40
E85
-33
NOx
HC
variazione %
-30
-13
-78
38
-43
0
-50
0
69
-53
-6
-9
-38
-9
-40
-23
PM
-60
0
0
-31
-49
4
-49
-20
-38
-20
11
-30
10
36
-6
38
-82
-30
28
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Tabella 3.6 Variazione (%) delle emissioni di inquinanti regolati con benzine a medio contenuto di etanolo
Fonte, anno
n°, tipo e anno
dei motori testati
Envir. Canada, 2007
4 LDV, 1998-00-01-03
Yucesu et al., 2006
1 motore 11 cv
Karlsson, 2006
4PC, euro 4
Schramm et al., 2005
1 motore 50 cv
Lucon et al., 2004
PC, euro 1
PC, euro 2
EUCom.for Energy, 2000 PC, euro3
HDV, euro 2
HDV, euro 2-3
HDV, euro 2-3-4
Ex
CO
E20
E20
E17
E20
E22
E22
E22
E15
E15
E15
-47
5
-20
-21
-85
-82
-83
10
-6
33
NOx
HC
variazione %
46
-8
0
-75
0
-14
-20
-20
-15
-20
-45
10
17
19
PM
-40
-40
-50
Dall’esame dei dati relativi all’uso del bioetanolo si osservano i seguenti effetti nelle emissioni:
• il monossido di carbonio diminuisce, soprattutto nel caso delle benzine ad alto contenuto di
etanolo;
• gli ossidi di azoto non mostrano nessun trend riconoscibile nelle benzine a basso contenuto
di etanolo mentre in quelle ad alto e medio contenuto le emissioni diminuiscono in quasi
tutti i test, seppur con una forte dispersione dei valori di riduzione;
• anche gli idrocarburi non mostrano un chiaro comportamento, in quanto le emissioni
diminuiscono nella metà dei test presi in considerazione e negli altri i valori sono simili o
mostrano un leggero incremento;
• il particolato diminuisce in tutti i test effettuati, anche se pochi studi ne quantificano la
riduzione, in quanto nei veicoli a benzina i livelli emissivi sono inferiori di quelli dei veicoli
diesel e dunque l’analisi spesso non viene effettuata.
L’andamento medio nella variazione delle emissioni associata a differenti miscele di etanolo
benzina, espresso in percentuale e con la rispettiva deviazione standard, è riassunto in figura 3.2.
E5-10
E17-22
E30-100
60
variaizone %
40
20
0
-20
-40
-60
-80
CO
NOx
HC
PM
Figura 3.2 Variazione media e dispersione delle emissioni associate all’uso di bioetanolo
29
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Per il bioetanolo la differenza tra i risultati è molto più marcata rispetto a quella osservata per il
biodiesel, e solo per il particolato e in parte per il monossido di carbonio è definibile una tendenza.
Tale variabilità è attribuibile alla forte influenza del tipo di veicolo utilizzato nel test, che risulta
avere molto peso sulle emissioni allo scarico; questo aspetto diventa ancora più influente nei casi di
utilizzo di benzine a basso contenuto di etanolo.
Si segnala altresì che è stata messa in discussione la qualità di molte misure disponibili sulle
emissioni di veicoli funzionanti con bioetanolo, caratterizzate dalla mancanza di rigore tecnico e di
accuratezza, in particolare per gli studi pubblicati dai produttori di etanolo (Niven, 2005).
3.4 VARIAZIONI NELLE EMISSIONI
COMBUSTIONE DI BIOETANOLO
DI
INQUINANTI
TOSSICI
CON
LA
I risultati di alcuni studi effettuati sulle emissioni di inquinanti tossici nei veicoli funzionanti con
miscele di benzina e bioetanolo sono riportati in tabella 3.7.
Tabella 3.7 Variazione (%) delle emissioni di inquinanti tossici con l’uso di etanolo
Fonte, anno
OEC, 2004
Merrit et al., 2002
dei motori testati
n°, tipo e anno
5 PC
3 HDV non road
Apache, 1998
PC
Poulopoulus et al., 2001 1 PC
Ex
E20
E7,7
E10
E15
E10
E3
E10
Acetaldeide Formaldeide Benzene Toluene
variazione %
>+100
5
26
15
41
4
-23
0
48
4
-48
-11
94
18
-25
12
>+100
25
-27
-30
86
29
Esano Xylene Acroleina
>+100
>+100
>+100
>+100
15
-14
8
44
-27
-21
-31
21
5
La sostituzione di bioetanolo nella benzina porta ad un ovvia riduzione del benzene, tuttavia
provoca un aumento consistente delle aldeidi e dell’esano. I dati dell’Orbital Engine Company
(OEC, 2004) fanno riferimento a test effettuati su veicoli molto datati (con 80000 km percorsi) e i
risultati possono averne risentito, inoltre non sono conteggiate le variazioni degli inquinanti nelle
emissioni evaporative.
3.5 VARIAZIONI NELLE EMISSIONI
COMBUSTIONE DI OLI VEGETALI
DI
INQUINANTI
REGOLATI
DALLA
La maggior parte degli studi sull’uso degli oli vegetali, puri o in miscela con il diesel, sono piuttosto
datati e non sono in seguito stati considerati in quanto relativi a tipologie motoristiche ormai poco
utilizzate. In tabella 3.8 sono riportati i risultati delle variazioni delle emissioni stimate da 8 studi
più recenti.
I risultati di questi studi mostrano che l’uso di miscele di bioetanolo comporta una chiara tendenza
alla diminuzione degli ossidi di azoto, a differenza di ciò che accade con l’uso del biodiesel. Ciò è
dovuto al fatto che la temperatura di combustione degli oli vegetali è minore e quindi non si
raggiungono temperature alte come nel caso del biodiesel.
Anche le emissioni di particolato sembrano diminuire, ma la scarsità dei dati rende meno sicura
l’individuazione di un effetto del bioetanolo.
Sono invece contrastanti i risultati per gli altri inquinanti, per cui non è possibile trarre delle
conclusioni.
30
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Tabella 3.8 variazione (%) delle emissioni di inquinanti regolati con l’uso di oli vegetali
Fonte, anno
Karthikeyan et al., 2007
Rakopoulous et al., 2007
Rakopoulous et al., 2006
Hebbal et al., 2006
n°, tipo e anno
dei motori testati
1 motore 4,4 KW
1 motore 3,7 KW
Tippayawong et al., 2003
1 motore 6 KW
Abu-Qudais & Al-Widyan, 2002
Altin et al., 2001
1 motore, 1980
Folckcenter, 2000
1 PC, 1984 euro 1
1 PC 1999 euro 3
Ox
CO
O75
O100
O20
O25
O100
O100
O100
O100
O100
O100
35
13
94
>+100
-25
67
-42
56
NOx
HC
variazione %
15
48
-20
-4
4
-13
-5
-47
-10
-13
-24
-19
-63
-7
-63
PM
-45
-6
-42
73
3.6 CONCLUSIONI
Gli effetti dell’uso del biodiesel rispetto al diesel sulle emissioni sono i seguenti:
• riduzioni nelle emissioni di monossido di carbonio e idrocarburi dovuta alla presenza di
ossigeno nel biocarburante che permette una migliore e più efficiente combustione rispetto
al diesel;
• riduzione nelle emissioni di particolato attribuibile al minor contenuto di aromatici e catene
corte di idrocarburi e al maggior contenuto di ossigeno nel biodiesel;
• leggero aumento delle emissioni di ossidi di azoto, dovute alla maggior temperatura di
combustione e al contenuto di ossigeno; tali emissioni possono tuttavia essere ridotte con
l’applicazione di sistemi di ricircolo dei gas di scarico, senza che questi compromettano le
prestazioni del veicolo, sia in termini di performance che di emissioni (Agarwal et al., 2006);
• totale riduzione degli ossidi di zolfo con il biodiesel puro, dovuta alla totale assenza di tale
componente;
• riduzione del ritardo di ignizione e del rumore di combustione, dovuto al maggior numero di
cetani;
• diminuzione delle emissioni di IPA.
Gli effetti dell’uso del bioetanolo rispetto alla benzina sulle emissioni sono i seguenti:
• maggior efficienza di combustione dovuta al più alto contenuto di ottani e di ossigeno, che
permette una riduzione delle emissioni di monossido carbonio, di idrocarburi e di materiale
particolato;
• aumento delle emissioni evaporative di composti organici volatili a causa della bassa
pressione di vapore del bioetanolo; ciò rende incerto l’effetto sulle emissioni totali di
idrocarburi;
• diminuzione delle emissioni di benzene, ma aumento delle aldeidi.
Gli effetti dell’uso degli oli vegetali rispetto al diesel sulle emissioni sono i seguenti:
• incertezza sul comportamento delle emissioni di monossido di carbonio e idrocarburi che da
un lato beneficiano della presenza di ossigeno degli oli vegetali ma dall’altro risentono delle
scarse qualità degli stessi (minor numero di cetani, alta densità e presenza di molecole di
idrocarburi pesanti);
• incertezza sul comportamento delle emissioni di particolato;
• riduzione delle emissioni di ossidi di azoto, dovuta alla minor temperatura di combustione.
31
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Nella tabella 3.9 sono riassunti gli effetti di questi biocarburanti sulle emissioni regolate, dove
possibile determinarli.
Tabella 3.9 Variazione nelle emissioni dovuta all’uso di biocarburanti
tipo di biocarburante
B20
B100
E5-10
E85-100
O100
?
CO
NOx
HC
PM
?
?
riduzione 1-10%
riduzione 11-20%
riduzione 21-30%
riduzione 31-40%
riduzione 41-50%
riduzione non quantificata
aumento 1-10%
aumento 11-20%
La maggior parte dei test analizzati sono stati effettuati su veicoli antecedenti alle categorie
legislative Euro 4, pertanto le variazioni sopra riassunte non possono essere attribuite con sicurezza
anche ai veicoli più moderni.
32
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
4 L’ANALISI DEL CICLO DI VITA: ASPETTI
TEORICI
4.1 INTRODUZIONE
La crescente coscienza della necessità di rispetto e protezione dell’ambiente e dei possibili impatti
associati alle attività umane ha aumentato l’interesse per lo sviluppo di metodi per comprendere e
quantificare questi impatti. Una delle tecniche sviluppate in questo senso è l’Analisi del Ciclo di
Vita (LCA, Life Cycle Assessment).
La considerazione dell’impatto ambientale di un prodotto/processo/servizio associato al suo ciclo di
vita, iniziata negli anni ’60, ha ricevuto un importante impulso negli ultimi anni. È nella decade del
1990 che si è prodotta e consolidata la metodologia LCA: nel 1991 è stata pubblicata la prima
grande base di dati specifica di LCA realizzata dal ministero dell’ambiente svizzero (BUWAL250,
1996). La prima definizione di LCA è stata stabilita dalla Società di Chimica e Tossicologia
Ambientale (SETAC) nel 1993:
“Procedimento oggettivo di valutazione dei carichi energetici ed ambientali relativi ad un processo
o un’attività, effettuato attraverso l’identificazione e la quantificazione dell’uso di materie prime ed
energia utilizzate, così come delle emissioni rilasciate nell’ambiente; analisi degli impatti associati
all’uso della materia, energia e le corrispondenti emissioni; e infine identificazione e messa in
pratica della strategia di miglioramento ambientale. La valutazione include l’intero ciclo di vita del
processo o attività, comprendendo l’estrazione e il trattamento delle materie prime, la fabbricazione,
il trasporto, la distribuzione, l’uso, il riuso, il riciclo e lo smaltimento finale” (Consoli, 1993).
Nell’anno 1996 è cominciata l’edizione di una rivista scientifica dedicata esclusivamente a indagini
con metodologia e applicazioni di LCA: “International Journal of Life Cycle Assessment”
(http://www.scientificjournals.com/sj/lca) che entrò a far parte, nel 2001, del “Scientific Citation
Index”.
Nel 1998 è stata pubblicata la prima delle norme ISO riferita all’LCA: si tratta della norma ISO
14040,
che
stabilisce
i
principi
e
la
struttura
di
tale
strumento
(http://www.iso.org/iso/en/ISOOnline.frontpage). Negli anni a seguire sono apparse altre norme
ISO associate all’LCA tra le quali:
• ISO 14041:1999 (obiettivi, scopi e analisi dell’inventario);
• ISO 14042:2001 (valutazione dell’impatto del ciclo di vita);
• ISO 14043:2001 (interpretazione dell’impatto del ciclo di vita).
Più recentemente tali norme sono state sostituite dalla ISO 14040:2006 (Gestione ambientale.
Analisi del ciclo di Vita. Principi e quadro di riferimento), insieme alla ISO 14044:2006 (Gestione
ambientale. Analisi del ciclo di vita. Requisiti e linee guida).
Secondo la norma ISO 14040:2006 l’LCA è uno strumento ambientale che permette di:
1. identificare le opportunità di miglioramento del comportamento ambientale dei prodotti
nelle distinte tappe del ciclo di vita;
2. apportare informazioni a chi prende decisioni nell’industria, nelle organizzazioni
governative o non governative (ad esempio per la pianificazione strategica, il progetto o
ristrutturazione di prodotti e processi);
3. selezionare degli indicatori di impatto ambientale pertinenti, includendo tecniche di
misurazione;
4. sostenere la fase di marketing, ad esempio implementando uno schema di etichettatura
ambientale o dichiarazione ambientale del prodotto.
33
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
L’LCA non è solamente uno strumento per proteggere l’ambiente, ma anche uno strumento per
ridurre i costi e migliorare le prestazioni del prodotto sul mercato (ISO, 2006; Finkbeiner et al, 2006;
Klöpffer, 2005).
In ogni studio di LCA ci sono quattro fasi:
1. definizione di scopi e obiettivi,
2. analisi dell’inventario,
3. valutazione del ciclo di vita,
4. interpretazione dei risultati.
La relazione tra le diverse fasi è descritta nella figura 4.1. Gli obiettivi di uno studio di LCA,
includendo i limiti del sistema e il livello di dettaglio, dipendono dal soggetto e dall’uso previsto
per lo studio. La profondità e ampiezza di uno studio di ciclo di vita può differire
considerevolmente in funzione dell’obiettivo particolare (Baumann & Tillman, 2004).
definizione
obiettivi e scopi
analisi inventario
valutazione
dell'impatto
Interpretazione dei risultati
ANALISI CICLO VITA
APPLICAZIONI
Decisioni
- strategia impresariale
- leggi ambientali
Indicatori
-rischio ambientale
-sistema di produzione
Marketing
-acquisti verdi
-ecoetichettatura
Figura 4.1 Fasi dell’LCA (UNI EN ISO 14040:2006)
4.2 DEFINIZIONE DI SCOPI E OBIETTIVI
Nella definizione degli obiettivi dell’LCA si include la definizione esatta dell’argomento da trattare
e la profondità dello studio, per determinare a che proposito si utilizzeranno i risultati ottenuti. Di
questa prima tappa fa parte una definizione adeguata del sistema da studiare e i suoi confini, il
fabbisogno di dati, il livello di dettaglio che verrà applicato, le assunzioni ed i limiti. Si devono
tenere in considerazione aspetti quali il contesto geografico e temporale e la variabilità dei dati che
si può accettare per il corretto conseguimento dei risultati. La situazione ideale sarebbe che i dati
richiesti per lo studio fossero accessibili, significativi, affidabili e presentati con l’unità di misura
adeguata. Purtroppo questa situazione non si presenta sempre: spesso i dati mancano, sono poco
rappresentativi o, pur esistendo, non sono accessibili. Perciò in questa prima fase si stabiliscono i
requisiti di qualità che saranno richiesti per i dati; la descrizione di tali requisiti è importante per
conoscere l’affidabilità dello studio e per interpretare i risultati dello stesso (ISO, 2006).
34
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
4.3 ANALISI DELL’INVENTARIO
L’analisi dell’inventario è un processo tecnico basato su dati per quantificare l’energia e le materie
prime consumate, le emissioni in atmosfera, nell’acqua e nel suolo, i residui solidi e qualsiasi altra
immissione nell’ambiente sviluppatasi durante il ciclo di vita completo di un prodotto, processo
materiale o attività (Azapagic & Clift, 1999).
Il processo di analisi dell’inventario inizia con le materie prime e finisce con la deposizione dei
residui del prodotto o del contenitore. Ciononostante alcuni inventari hanno confini più limitati,
condizionati dall’uso che se ne farà (caso delle industrie per uso interno).
4.3.1 Definizione e raccolta dei dati
La fase di inventario include i seguenti momenti:
• costruzione del diagramma di flusso coerentemente coi confini del sistema stabiliti nella
prima tappa (figura 4.2);
• calcolo dei carichi ambientali riferiti all’unità funzionale (UF);
• normalizzazione dei dati in funzione dell’unità;
• bilancio di materia che permetta di relazionare le entrate con le uscite nei differenti
sottosistemi;
• quantificazione dei flussi di uscita nei sistemi natura o tecnosfera;
• inventario globale;
• documentazione dei calcoli.
I procedimenti utilizzati per raccogliere i dati variano in funzione della situazione; i metodi proposti
(Von Bahr, 2001), sono classificabili in quattro sottogruppi:
1. comunicazioni personali,
2. misure dirette effettuate da specialisti di LCA,
3. pubblicazioni, articoli, etc.,
4. basi di dati elettroniche.
ENTRATE
USCITE
Acquisizione materie prime
Fabbricazione e processo
Energia
Trasporto e distribuzione
Tecnosfera
Prodotti
Uso/Ri-uso/mantenimento
Materie prime
Riciclaggio
Gestione dei residui
Natura
Emissioni
Residui
Sversamenti
Limiti del sistema
Figura 4.2 Diagramma di flusso dell’inventario dell’LCA
35
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
4.3.2 Assegnazione dei carichi ambientali
Per carichi ambientali associati ad un processo/prodotto si intendono la domanda di risorse, le
emissioni di sostanze inquinanti e la generazione di residui (Ekwall & Finnveden, 2001).
Pochi processi industriali e/o agricoli producono un'unica uscita o sono basati su una relazione
lineare tra i prodotti in entrata e le uscite. Difatti oggi la maggior parte dei processi industriali e
agricoli producono più di un prodotto e riciclano i prodotti intermedi o i residui, perciò si deve
considerare la necessità di un processo di assegnazione dei carichi per i sistemi che prevedono
prodotti multipli o sistemi di riciclaggio.
Un processo multifunzionale si definisce come un’attività che attua più di una funzione, ad esempio
un processo di produzione con più di un prodotto. Esistono tre tipi di sistemi multifunzionali
(Azapagic & Clift, 1999):
1. sistemi ad entrata multipla (processi di trattamento dei residui),
2. sistemi a uscita multipla (co-prodotti),
3. sistemi con usi multipli o in cascata.
L’allocazione può essere definita come l’atto di assegnare o ripartire gli impatti ambientali di un
sistema tra i differenti prodotti e/o funzioni del sistema oggetto di studio (Azapagic & Clift, 1999;
Weidema, 2001; Jungmeier et al., 2002). Il problema consiste nel decidere che porzione dei carichi
ambientali si deve assegnare al processo investigato.
Per risolvere questo tipo di problema sono state proposte differenti soluzioni (Azapagic & Clift,
1999; Kim & Overcash, 2000; Ekwall & Finnveden, 2001; Weidema, 2001). La scelta di una
soluzione anziché un'altra può avere impatti decisivi sui risultati dell’LCA. Se l’allocazione non si
può evitare si può scegliere tra diversi metodi di assegnazione; l’Organizzazione Internazionale per
la Standardizzazione (ISO) suggerisce il seguente procedimento per l’assegnazione in processi
multipli (ISO, 2006):
• l’allocazione dovrà evitarsi sempre e quando sia possibile, mediante la divisione del
processo multifunzionale in sottoprocessi con la corrispondente raccolta dati separata per
ogni sottoprocesso o mediante l’espansione dei confini del sistema fino a che tutti i sistemi
compiano la stessa funzione;
• quando l’allocazione non si può evitare deve riflettere le relazioni esistenti
(fisiche/chimiche/biologiche) tra i carichi ambientali e le funzioni, cioè tra il processo e i
suoi prodotti;
• quando le relazioni sopra descritte non si possano utilizzare come base dell’allocazione si
useranno altre relazioni (ad esempio il valore economico) per riflettere le relazioni tra
carichi ambientali e funzioni.
É molto raro che un processo multifunzionale si possa separare fisicamente in sottoprocessi
eliminando con tale suddivisione la necessita di ricorrere all’allocazione, pertanto l’espansione del
sistema è una scelta molto utilizzata. L’idea sulla quale si basa l’espansione del sistema è che ci sia
un modo alternativo per generare i co-prodotti. Se è possibile disporre dei dati relativi a tali
produzioni alternative i limiti del sistema investigato possono espandersi per includerle, altrimenti,
se tali dati non sono conosciuti, l’espansione del sistema non si può effettuare e si dovrà utilizzare il
sistema di assegnazione dei carichi.
Varie sono le opzioni per l’assegnazione dei carichi e generalmente sono basate su alcune proprietà
o relazioni fisiche o sul valore economico: le proprietà fisiche includono la massa, il peso
molecolare, il volume e il contenuto energetico; i metodi basati sul valore economico normalmente
includono il prezzo di mercato di prodotti e sottoprodotti.
Nel presente studio di LCA è stata effettuata l’allocazione basandosi sul criterio della massa. Ad
esempio nel processo di coltivazione del frumento, dove gli output del sistema sono grano e paglia
in quantità uguali, il 50% degli impatti ambientali è stato attribuito alla paglia e il restante 50% al
grano. Nell’analisi di sensibilità si è utilizzato invece il valore economico come criterio di
allocazione.
36
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
4.4 VALUTAZIONE DELL’IMPATTO DEL CICLO DI VITA
La fase di valutazione dell’impatto ha il fine di interpretare i risultati ottenuti nella fase di inventario
(Consoli, 1993). Le tecniche di valutazione dell’inventario permettono di convertire una tabella a
doppia entrata con centinaia o migliaia di dati riferiti a quantità di diversi contaminanti (inventario)
in una lista di pochi dati, interpretati secondo la capacità di influenzare l’ambiente nelle diverse
categorie.
Secondo la norma ISO 14040 (ISO, 2006) l’analisi o valutazione dell’impatto consta di una serie di
momenti, descritti in figura 4.3:
1. selezione delle categorie di impatto ambientale: in base allo scopo e agli obiettivi dello
studio verranno scelte le categorie di impatto da analizzarsi (cambio climatico,
eutrofizzazione, acidificazione…);
2. classificazione: presuppone il raggruppamento dei dati dell’inventario secondo un potenziale
impatto nelle distinte categorie;
3. caratterizzazione: implica l’applicazione di modelli per calcolare un indicatore ambientale
per ogni categoria di impatto, unificando in una sola unità di misura tutte le sostanze
classificate nella stessa categoria mediante utilizzo di fattori di peso o equivalenza;
4. normalizzazione: consiste nella valutazione del profilo ambientale generato nei passi
precedenti; tale tappa permette la adimensionalizzazione delle categorie e la comparazione
tra le stesse.
5. valutazione: permette di determinare, qualitativamente o quantitativamente, l’importanza
relativa delle distinte categorie di impatto al fine di ottenere un unico risultato o indice
ambientale. La valutazione o ponderazione tra le categorie è un passo difficile e controverso,
una decisione più politica che scientifica, che poche volte si realizza, a causa della
soggettività che affligge il processo.
Esistono differenti metodologie di valutazione dell’impatto del ciclo di vita che si possono
raggruppare in due grandi gruppi in funzione dell’obiettivo finale (Baumann & Tillman, 2004):
• Valutazione del danno: sono metodologie che utilizzano l’effetto ultimo (endpoints)
dell’impatto ambientale, identificando e definendo il danno causato all’uomo e ai
sistemi naturali.
• valutazione dell’impatto ambientale: sono metodologie che hanno come risultato la
definizione di un profilo ambientale, mediante la quantificazione dell’effetto
ambientale in diverse categorie del processo/prodotto/servizio; a differenza del
secondo gruppo di metodologie raggiunge solo la valutazione degli effetti indiretti o
intermedi (midponits) sull’essere umano.
37
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Elementi Obbligatori
Selezione delle categorie di impatto, indicatori di categoria e
modelli di caratterizzazione
Classificazione: assegnazione dei risultati dell'inventario alle varie
categorie di impatto
Caratterizzazione: calcolo dei risultati degli indicatori di categoria
Elementi Opzionali
Normalizzazione: quantificazione dei valori dei risultati degli
indicatori di categoria
Raggruppamento
Ponderazione
Figura 4.3 Elementi della fase di valutazione dell’inventario
4.5 INTERPRETAZIONE DEI RISULTATI
Per finire si procede alla fase di identificazione e gerarchizzazione delle possibili azioni che
implichino la riduzione degli impatti o dei carichi ambientali del sistema che sono stati calcolati.
Una volta identificate le aree di possibile miglioria, l’LCA aiuta a identificare quali possono
apportare maggior miglioramento globale e quali invece non hanno effetti importanti.
La fase di interpretazione cerca di offrire una lettura comprensibile, completa e coerente della
presentazione dei risultati di uno studio di LCA e dovrebbe fornire risultati che siano coerenti con
gli obiettivi e scopi dello studio, che portino a conclusioni, spieghino le limitazioni e offrano
raccomandazioni.
L’interpretazione è un passaggio che va applicato in forma iterativa con la stessa metodologia LCA,
rendendo necessario rivalutare più volte le ipotesi formulate nel corso del lavoro.
38
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
5 APPLICAZIONE DELLA LCA AL
BIOETANOLO - DEFINIZIONE DI SCOPI E
OBIETTIVI
5.1 SCOPI E OBIETTIVI
Come illustrato nel capitolo 1, la Direttiva 2003/30/CE richiede che la quota di biocarburanti
(misurata sulla base del contenuto energetico) da immettere sul mercato raggiunga nel 2010 il
5,75% del quantitativo totale di benzina e gasolio fossile usati nel settore dei trasporti (CE, 2003a).
L’obiettivo previsto per il 2005, il 2%, è stato raggiunto solo da due stati dell’Unione europea:
Germania, 3,75% e Svezia, 2,23% (Pignatelli, 2007).
Questa decisa azione dell’UE di promozione e diffusione dei biocarburanti è stata motivata dalla
necessità di ridurre le emissioni di gas serra nel settore dei trasporti nell’ambito di una più ampia
politica di mitigazione dei cambiamenti climatici (Faaji, 2005).
Per il raggiungimento delle quote di biocarburanti proposte dalla Direttiva, l’UE individua due
biocarburanti e due filiere energetiche come possibilità reali a livello europeo (JRC, 2004): il
bioetanolo (prodotto da frumento, mais o barbabietola da zucchero) ed il biodiesel (da colza, soia o
girasole).
In questo studio sarà quindi svolta, nei successivi capitoli, un’analisi di ciclo di vita comparativa del
bioetanolo prodotto a partire da grano di frumento con la benzina, confrontando le emissioni di gas
serra e l’uso di energia associato ai due carburanti.
Si è scelto di considerare il bioetanolo prodotto a partire da questo tipo di biomassa per due ragioni
principali: la vicinanza con un impianto di trasformazione in progettazione presso Porto Marghera
(VE) e la disponibilità di tale materia prima (come anticipato nel capitolo 2).
Si considereranno le seguenti possibilità di utilizzo di carburanti:
1. utilizzo di E0 (benzina tradizionale, a basso contenuto di zolfo);
2. utilizzo di E5 (5% bioetanolo, 95% benzina tradizionale, a basso contenuto di zolfo);
3. utilizzo di E10 (10% bioetanolo, 90% benzina tradizionale a basso contenuto di zolfo);
4. utilizzo di E85 (85% etanolo, 15% benzina tradizionale a basso contenuto di zolfo);
5. utilizzo di E100 (100% etanolo).
L’analisi del ciclo di vita del biodiesel, unico sostituto oggi disponibile per il gasolio (Henke et al.,
2005), non è stata affrontata direttamente, ma sarà valutata solo in termini di review dei risultati
disponibili in letteratura, al capitolo 8. Per questo prodotto infatti, non è stato possibile reperire i
dati necessari per una specifica analisi LCA. I benefici, in termini di riduzione delle emissioni di
gas serra di questo biocarburante saranno quindi valutati basandosi solo sui risultati proposti nella
letteratura scientifica.
La scelta di analizzare a fondo la sostenibilità di produzione e uso di bioetanolo, prodotto a partire
da grano di frumento coltivato in Lombardia, e raffinato nell’impianto più vicino, è motivata da
diverse ragioni:
• la produzione di bioetanolo di origine vegetale è al momento nulla in Italia del Nord, ma
sono in progetto diversi impianti di produzione (Triera S.p.a. (VE), impianto di Zinasco
(PV), etc.); l’LCA di tali processi si vedrà dunque necessaria in un futuro prossimo per
rispettare i criteri di sostenibilità di cui si è parlato nel capitolo 2;
39
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
il frumento è in Lombardia una delle colture cerealicole maggiormente sviluppate, insieme
al mais, con circa 80.000 ettari dedicati nell’ultimo anno e secondo le considerazioni
effettuate (vedi capitolo 2) è una delle possibili colture energetiche del prossimo decennio;
• la disponibilità di dati relativi a tale coltura, unita al fatto che le tecnologie di trasformazione
del grano in bioetanolo sono già sufficientemente conosciute, ha spinto alla scelta del
frumento per l’analisi del ciclo di vita, per poter effettuare l’LCA nel modo più approfondito
possibile.
Gli obiettivi dell’LCA condotta sono pertanto:
• valutare gli impatti ambientali dei carburanti nel loro completo ciclo di vita;
• identificare e valutare le opportunità per ridurre tali impatti, una volta riconosciuti gli
impatti di ogni fase del ciclo di vita (estrazione, produzione, trasformazione, distribuzione e
uso);
• analizzare i benefici ambientali dei combustibili studiati.
Il seguente studio di LCA è stato effettuato secondo la metodologia di analisi del ciclo di vita
formalizzata dalle norme UNI-EN-ISO 14040-43.
Il software utilizzato è il SimaPro 7.1 sviluppato da una società di ricerca olandese (PRè
Consultants, 2007). Al suo interno sono presenti diversi database come BUWAL 250 e ETH-ESU
96 relativi a varie categorie: materiali, combustibili e sistemi di trasporti, a cui si aggiungono anche
i sistemi di smaltimento dei rifiuti. I database vengono automaticamente collegati agli alberi dei
processi in esame, già implementati nel programma o costruiti dall’utente. Inoltre nel software sono
già presenti dei metodi di valutazione degli impatti (quali CML 2, Eco-indicator 99, Ecopoints 97),
ma anche in questo caso l’utente può inserirne di nuovi. I risultati possono essere presentati sia con
tabelle di inventario sia con tabelle relative alle fasi di caratterizzazione, normalizzazione e pesatura.
•
5.2 UNITÀ FUNZIONALE
L’unità funzionale (UF) è l’unità alla quale faranno riferimento tutti gli impatti e i risultati ottenuti
nello studio e rappresenterà l’unità di riferimento del sistema analizzato (ISO, 2006). Tale
riferimento è necessario affinché si possa effettuare una comparazione dei diversi sistemi su una
base comune.
Dal momento che l’uso finale del combustibile influisce in grande misura nella definizione del ciclo
di vita e i sistemi studiati hanno la funzione di fornire carburante per il trasporto stradale, in modo
che si possano percorrere con essi la stessa distanza, si è scelta come unità funzionale la quantità di
combustibile, espressa in kg, di ogni carburante necessaria a percorrere un km con un veicolo di
riferimento.
5.3 PROCESSI STUDIATI
In figura 5.1 sono rappresentate schematicamente i processi principali costituenti i sistemi studiati.
I processi che verranno analizzati sono
• produzione agricola del grano di frumento,
• produzione dell’etanolo,
• produzione della benzina tradizionale,
• miscelazione etanolo-benzina,
• distribuzione e consumo della miscela E5,
• distribuzione e consumo della miscela E10,
• distribuzione e consumo della miscela E85,
40
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
•
•
•
distribuzione e consumo dell’etanolo puro (E100),
distribuzione e consumo della benzina tradizionale (E0),
trasporto dei materiali tra le diverse fasi.
41
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
DIESEL
PREPARAZIONE TERRENO
aratura - erpicatura - fertilizzanti
Reagenti
Paglia
ESTRAZIONE DEI SUCCHI
macina-miscelazione-cottura
Fertilizzanti
Pesticidi
Semi
Trattori
Attrezzi
SEMINA
TRASPORTO
MANTENIMENTO
fertilizzanti - trattamenti
Vapore
GRANO
RACCOLTA
MISCELAZIONE CON
BENZINA
TRASPORTO
FERMENTAZIONE
DISTILLAZIONE
Distribuzione
combustione di
E0-E5-E10-E85
ETANOLO
ETANOLO
DDGS
Disidratazione
Evaporazione
Essiccamento
RAFFINERIA
TRASPORTO
COLTIVAZIONE
ETANOLO
DDGS
Elettricità
BENZINA
Energia
USO
ESTRAZIONE GREGGIO
Oleodotto
Infrastrutture
RAFFINERIA
Composti chimici
Camion (32t)
DEPOSITO REGIONALE
PRODUZIONE BENZINA
Figura 5.1 Schema dei processi implicati nel sistema studiato
42
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
5.4 CONFINI DEL SISTEMA
I confini specifici di ogni sistema analizzato saranno discussi più approfonditamente nei seguenti
capitoli. A livello generale si può dire che per definire i confini di un sistema sono molti gli aspetti
che si devono considerare:
• Confini geografici: lo studio realizzato si limita all’uso di etanolo e benzina in Italia,
analizza la produzione di frumento nel caso particolare della Lombardia e la fase di
trasformazione del grano in etanolo si basa sull’ipotesi che avvenga in un solo impianto
(Triera s.p.a.) situato in provincia di Venezia. Questo non significa tuttavia che tutte le fasi
del ciclo di vita si limitino a tale ambito geografico; difatti il ciclo di vita di alcune
componenti implicate nelle fasi analizzate espande i suoi limiti ben al di fuori di quelli
prima citati (ad esempio la benzina o i trattori utilizzati, che vengono prodotti all’estero).
• Limiti temporali: l’orizzonte temporale considerato è l’anno 2010.
• Fasi escluse dall’analisi: i carichi ambientali relativi alla fabbricazione dei macchinari di
raffineria per la trasformazione del grano in etanolo sono stati esclusi dallo studio, così
come la fase di fabbricazione del veicolo utilizzato nella fase finale, dal momento che è lo
stesso per tutti i casi studiati.
• Deposizione atmosferica di azoto e metalli pesanti: sulla superficie terrestre si depositano
metalli pesanti e azoto provenienti dall’atmosfera oltre a quelli derivanti dalla precipitazione
di fertilizzanti o pesticidi applicati in fase di coltura. Tali deposizioni avrebbero luogo anche
in assenza di attività agricola, in particolare la deposizione atmosferica di azoto è dipendente
dalla localizzazione geografica (Brentrup et al., 2000). In questo studio tale deposizione è
stata tenuta in considerazione, a differenza di quella relativa ai metalli pesanti che è stata
omessa per mancanza di dati.
• Suolo: l’inclusione o esclusione del suolo tra i limiti del sistema può dar luogo a risultati
molto diversi in un’ analisi del ciclo di vita (Audsley et al., 1997). In questo caso di studio il
suolo è stato incluso nei limiti durante la fase di coltura, poiché in essa si applica la maggior
quantità di agenti chimici che tendono a infiltrarsi nel sottosuolo e possono contaminare le
acque sotterranee (approssimatamene fino a 2 metri di profondità).
• Macchinari: la costruzione, il trasporto e il mantenimento dei macchinari agricoli (trattori e
attrezzi) è stata considerata all’interno dei limiti del sistema, poiché può avere impatti
abbastanza rilevanti ai fini dell’analisi globale (Audsley et al., 1997; Delucchi, 1993) .
• Uso del terreno: l’occupazione di terreno agricolo è stata considerata, senza supporre
tuttavia nessuna conversione di terreni; perciò il suolo occupato dalla coltura è definito
“terreno arabile, non irrigato”.
• Trasporto: è considerato il trasporto del grano e dei reagenti all’impianto di trasformazione e
dell’etanolo e della benzina alle stazioni di servizio. Il trasporto di altri sottoprodotti non è
stato preso in considerazione per mancanza di dati.
5.5 QUALITÀ DEI DATI
Una volta definiti obiettivi e scopi dell’LCA è necessario definire le fonti dei dati più importanti e i
dati raccolti.
Quando possibile i dati sono stati raccolti direttamente nelle installazioni produttive, attraverso
questionari sull’agricoltura o all’azienda produttrice di etanolo:
1. Questionari compilati da: Dott. G. Canali (università Cattolica, MI), M. Grossi, A. Grecchi,
G. Sudati, R. Buratto (aziende agricole situate in Lombardia e Piemonte, nelle provincie di
Lodi, Milano e Torino);
2. Triera S.p.a (VE): Ing. A. Gambardella (project manager di Triera S.p.a e Triera Power).
43
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Per i processi nei quali non si disponeva di dati primari si è ricorso a basi di dati:
1. ISTAT (Istituto nazionale di statistica), 1997-2007 http://www.istat.it
2. ENAMA (Ente nazionale per la meccanizzazione agricola), 2007. http://www.enama.it
3. Dati disponibili nello strumento Simapro 7.1 per i processi più comuni, quali trasporto,
combustibili e prodotti chimici, fonti energetiche etc. http://www.pre.nl/simapro
In altri casi si è ricorso a fonti bibliografiche e pubblicazioni e solo raramente a comunicazioni
personali.
I requisiti di qualità dei dati raccolti sono i seguenti:
• Ambito temporale dei dati: i dati raccolti si riferiscono preferibilmente agli ultimi cinque
anni, ossia dal 2003-2007.
• Ambito geografico: i dati raccolti si riferiscono sempre, dove possibile, alla zona oggetto di
studio (Lombardia).
• Ambito tecnologico: la tecnologia considerata è quella attualmente utilizzata nei processi
esaminati.
5.5.1 Econivent v1.1
Nel decennio del 1980 esistevano poche basi di dati di LCA, per lo più sviluppate da enti o
organizzazioni svizzere, che coprivano solo alcuni settori economici. Negli ultimi anni invece si è
sviluppato un crescente interesse per i dati di alta qualità, trasparenti e reali. Negli anni novanta
sono state pubblicate basi di dati che rispettassero tali criteri (Ecoinvent, 2004).
La base di dati Ecoinvent v1.1 comprende dati di energia, trasporto, materiali di costruzione,
prodotti chimici, pasta e carta, trattamento dei residui e dati del settore agricolo. Alla sua
elaborazione hanno partecipato diversi istituti svizzeri: nella tabella 5.1 sono descritti il contenuto
della base di dati e l’istituto responsabile.
Tabella 5.1 Descrizione della base di dati Ecoinvent v1.1
contenuto
sottosistema energetico
combustibili
produzione di calore
produzione di elettricità
plastiche
carta e cartone
composti chimici
detergenti
trattamento dei residui
metalli
legno
materiali di costruzione
composti chimici
trasporto
composti chimici
processi e prodotti agricoli
istituto responsabile
soci
Paul Scherrer institute (PSI)
ESU-Services
Swiss federal laboratorios for materials
Testing and Research (EMPA) en ST. Gallen
Doka LifeCycle
Assessments
Chudacoff Ökoscience
Swiss federal laboratorios for materials
Testing and Research (EMPA) en Dübendorf
Chudacoff Ökoscience
Natural and Social Science Interface,
Swiss Federal In-stitute of Technology
Zurich (ETHZ)
Institute for Chemical and Bioengineering,
Safety and Environmental Technology Group
ETHZ
Swiss Federal Research station for
Agroecology and Agricolture (FAL)
Swiss Federal Research
Station for Agricoltural
Economics and Engineer-ing
(FAT)
44
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
5.6 DESCRIZIONE DEI PRODOTTI STUDIATI E QUANTIFICAZIONE DELL’UNITÀ
FUNZIONALE
Le caratteristiche dei combustibili studiati sono elencate in tabella 5.2 (Fonte dati: Lechón et al.,
2005; Martini et al., 2007b; Brewster, 2007; Edwards et al, 2007). Il contenuto di carbonio (totale e
fossile) dei diversi tipi di carburanti dipende linearmente dalla presenza della componente biogenica,
lineare, come illustrato in figura 5.2.
Tabella 5.2 Caratteristiche dei combustibili studiati
benzina
E5
E10
E85
E100
densità
(kg/l)
0,752
0,754
0,756
0,788
0,794
PCI
(MJ/kg)
42,9
42,1
41,3
29,1
26,8
consumo
(l/100km)
6,95
7,13
7,31
9,97
10,50
consumo
(kg/km)
0,0523
0,0537
0,0552
0,0785
0,0834
contenuto C
(kg/t)
869
853
839
614
571
contenuto C fossile
(kg/t)
869
784
746
73
0
kg/tcarburante
1000
800
600
400
200
0
0
20
40
60
80
100
%etanolo
Figura 5.2 Contenuto di C fossile (•) e C totale (o) nei carburanti
L’unità funzionale scelta si riferisce alla quantità espressa in kg di ognuno dei combustibili
necessaria per percorrere un chilometro.
Per il calcolo del consumo medio ci si è basati sui consumi di benzina ed etanolo puri
(rispettivamente 6,95 e 10,5 l/100km), riportati nello studio “Well to Wheels” effettuato da
JRC/EUCAR/CONCAWE nel 2007 (Edwards et al., 2007); i consumi medi per tali miscele fanno
riferimento a un veicolo di cilindrata 1600 cc. (come il veicolo considerato in questo studio) testato
con ciclo NEDC. I consumi delle miscele intermedie (E5-10-85) sono stati calcolati per
interpolazione, come mostrato in figura 5.3.
45
consumo (l/100km)
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
12
10
8
6
4
2
0
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90 100
% etanolo
Figura 5.3 Consumi delle diverse miscele di carburanti
Tenendo conto dei consumi elencati in tabella 5.2 le unità funzionali sono così distribuite:
• 52 g di benzina,
• 54 g di E5,
• 55 g di E10,
• 78 g di E85,
• 83 g di E100.
Per le miscele a basso contenuto di etanolo esistono numerose evidenze che suggeriscono che il
minor contenuto energetico del combustibile si compensa con una miglior combustione dello stesso
(Lechón et al., 2005). Tuttavia, finora non esiste un’ evidenza certa che ciò avvenga e la necessità di
ulteriori investigazioni al riguardo è molto importante (IEA, 2004). Poiché questo consumo può
influenzare in modo significativo i risultati dell’LCA, si è deciso di effettuare un’analisi di
sensibilità (capitolo 8) sull’influenza del fattore consumo.
46
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
6. APPLICAZIONE DELLA LCA AL
BIOETANOLO – FASE DI INVENTARIO
6.1 FASE DI PRODUZIONE AGRICOLA
L’analisi di un sistema di produzione agricola include non solamente le differenti attività svolte nel
campo (preparazione del terreno, semina, etc.) ma anche gli impatti relazionati alla preparazione del
prodotto ottenuto, l’estrazione delle materie prime (combustibili) e la produzione e il trasporto degli
altri input al sistema di studio (fertilizzanti, pesticidi, semi, macchinari, etc.). Gli effetti di tutti
questi processi devono essere presi in considerazione per controllare la sostenibilità della catena di
processo (Brentrup et al., 2004a; Brentrup et al., 2004b).
Per valutare i carichi ambientali associati a una coltivazione agricola sarà necessario tenere in
considerazione tutti gli impatti associati al sistema completo, sia quelli direttamente connessi
all’attività agricola quanto quelli associati a tutte le entrate del processo (Brentrup et al., 2004a;
Brentrup et al., 2004b).
La metodologia LCA è stata inizialmente applicata all’analisi di sistemi di produzione industriale,
basati sull’estrazione e la trasformazione di materie “senza vita”, cioè risorse non rinnovabili
(Cowell & Clift, 1997); i sistemi agricoli comportano invece la coltivazione di specie agricole e
l’allevamento di animali che permettono di ottenere risorse rinnovabili.
La maggior differenza tra un sistema agricolo e uno industriale è probabilmente il grado di
dipendenza che il primo presenta dalla localizzazione geografica (clima e caratteristiche del terreno).
In un sistema industriale i limiti, fisici e temporali, sono chiaramente definiti, mentre i un sistema di
produzione agricola accade l’opposto, tranne nel caso di produzioni in serra (Canals et al., 2006); vi
è innanzitutto una forte dipendenza dal contesto climatico locale e molte delle attività che
avvengono prima della semina (applicazione di fertilizzanti, erpicatura) o successivamente
(interramento residui, rotazione delle colture) apportano benefici alla coltura attuale e a quella
successiva (Audsley et al., 1997; Hansen et al., 2001; Canals, 2003; Rieradevall & Acosta Casas,
2005).
Si sottolinea che la fase di produzione agricola rappresenta un processo multi-output: i prodotti sono
infatti il grano e la paglia, lo stesso avviene per la fase di produzione del bioetanolo, dove oltre al
biocarburante si ha produzione di DDGS; si ricorda che, come anticipato nel capitolo 4,
l’allocazione dei carichi ambientali è stata effettuata basandosi sul valore in peso dei sottoprodotti,
in quanto l’espansione del sistema avrebbe comportato la necessità di reperire una quantità
eccessiva, per lo studio in esame, di dati.
6.1.1 Descrizione del processo di produzione agricola
Per la valutazione degli impatti ambientali della fase di coltura è stato considerato uno scenario di
produzione tipico per la regione Lombardia: la coltivazione del frumento. Il processo di
coltivazione del frumento è descritto in figura 6.1.
47
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Trattori
Macchinari
Aratura
PREPARAZIONE DEL TERRENO
Erpicatura Applicazione fertilizzanti/erbicidi
GRANO
Diesel
SEMINA
Fertilizzanti (P e N)
MANTENIMENTO
Applicazione fertilizzanti/erbicidi
Pesticidi
PAGLIA
Semente
RACCOLTA
CONFINI DEL SISTEMA
Figura 6.1 Diagramma di flusso della coltivazione del frumento
La coltura lombarda del frumento prevede una preparazione del terreno attraverso tecniche di
aratura superficiale e successivamente erpicatura, seguite da una prima applicazione di fertilizzanti
ed erbicidi preventiva per la difesa da parassiti tipici delle graminacee; la semina è effettuata nei
mesi di settembre-ottobre, la coltura impiega 9 mesi per giungere a maturazione e viene raccolta
con mietitrebbia in maggio-giugno. Durante la coltivazione si applicano fertilizzante (per lo più a
base di azoto e fosforo) e alle latitudini considerate la pratica comune è di evitare l’irrigazione.
Si sottolinea il fatto che nella coltura del frumento non si producono semi, che sono invece
acquistati presso aziende locali produttrici di sementi e dunque input al processo di produzione
provenienti dalla “tecnosfera”.
Per i dati relativi a questa fase sono state utilizzate le seguenti fonti:
• base di dati Ecoinvent (Ecoinvent, 2004);
• questionari compilati da agricoltori (un modello di tale questionario è riportato in Appendice
2);
• dati del Gruppo di Ricerca di Colture industriaili dell’università di Bologna (GRiCi, 2005) e
del Centro Studi per una nuova etica economica (CeSPrA, 2004);
• manuali di coltivazione del frumento (Regione Lombardia, 2006; Regione Umbria, 2004;
Regione Veneto, 2003); Censimento dell’agricoltura (Istat, 2000); decreti ministeriali (DM
26 febbraio, 2002);
• basi di dati elettroniche (dati Istat 1999-2007; dati ENAMA 2000-2004).
Alcuni processi non sono stati considerati all’interno dei confini del sistema, quali l’essiccamento
della granella, la ballatura (processo di formazione delle balle di paglia), il trasporto della paglia, e
l’interazione tra colture (rotazione delle coltivazioni). Tali operazioni e gli impatti ambientali ad
esse associati non sono quindi considerati nella valutazione del ciclo di vita.
6.1.2 Dati di inventario
Nella tabella 6.1 sono elencati tutti gli input e output al processo espressi in kg, tkm (tonnellate x
km) o ha, suddivisi per il settore natura o tecnosfera, in funzione della provenienza/destinazione
associate.
Si è scelto di rappresentare le tabelle dei flussi in ingresso e in uscita al sistema nel formato
suggerito dalla norma ISO/TS 14048 (EcoSpold, 2007).
48
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Per gli input al processo (trattori, macchinari, diesel, fertilizzanti, pesticidi e semente) sono state
considerate le fasi di produzione e trasporto (Ecoinvent, 2004). Le caratteristiche dei trattori e dei
macchinari utilizzati sono elencate in tabella 6.2: si tratta di dati raccolti tramite i questionari
riportati nell’allegato 2, quindi relativi al contesto locale.
Il consumo di combustibile (diesel) associato alle diverse attività agricole è stato calcolato come
media dei dati disponibili nel database ENAMA e i consumi indicati nell’allegato 1 del DM
26/02/2002: i risultati sono riportati in tabella 6.3.
Le quantità di fertilizzanti e insetticidi applicate per ogni ettaro sono state ricavate dai questionari e
dalle fonti bibliografiche precedentemente citate (Regione Lombardia, 2006; Regione Umbria, 2004;
Regione Veneto, 2003). Per ogni ettaro coltivato sono utilizzate le seguenti quantità: 145 kg di urea,
60 kg di superfosfato triplo e 0,9 kg di pesticida generico; la quantità di sementi generalmente
utilizzata è di 210 kg/ha.
I dati riguardanti l’utilizzo di composti chimici, quelli riguardanti le attività di lavorazione e i mezzi
agricoli utilizzati, sono particolarmente aderenti alla situazione della Lombardia: rispecchiano una
situazione media della tecnica di coltura del frumento nella nostra regione e sono stati ricavati da
informazioni direttamente fornite da esperti del settore. Per raccoglierli è stato necessario molto
tempo e la collaborazione di agricoltori o agronomi, spesso di difficile conseguimento.
Tabella 6.1 Input/output al processo di coltivazione del frumento (UF: 1 kg grano)
DA TECNOSFERA
diesel
fertlizzante (P)
fertilizzante (N)
pesticida
sementi
trattori
aratro
erpice
spandi-fertilizzante
barra diserbo
seminatrice
mietitrebbia
trasporto (furgone)
trasporto (chiatta)
trasporto (rotaia)
trasporto (camion 28t)
ALLA TECNOSFERA
grano
paglia
3,23E-02
1,04E-02
2,54E-02
1,73E-04
3,66E-02
4,46
2,16
3,29
0,48
0,24
0,97
6,30
5,52E-04
2,69E-02
3,57E-03
3,57E-03
1
1
INPUT
DA NATURA
kg
suolo arabile
1,75E-04 ha
kg
kg
kg
kg
kg
kg
kg
kg
kg
kg
kg
tkm
tkm
tkm
tkm
OUTPUT
ALLA NATURA
emissioni dirette in atmosfera
kg
NH3
4,62E-03 kg
kg
N2O
8,51E-04 kg
CO2
1,01E-01 kg
CO
2,10E-04 kg
CH4
4,18E-06 kg
emissioni dirette in acqua sotterranee
NO3
5,23E-03 kg
P
2,49E-04 kg
49
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Tabella 6.2 Caratteristiche degli attrezzi agricoli
trattore 200 cv
trattore 80 cv
trattore 60 cv
aratro
erpice rotante
spandi-fertilizzante
barra diserbo
seminatrice
mietitrebbia
peso (kg)
7750
4750
3500
1220
1150
450
450
800
14000
tempo di vita (anni)
11
10
12
10,5
10
12
12
12
12
Tabella 6.3 Consumi di carburante nelle attività agricole, espressi in l/ha
aratura
erpicatura
semina
concimazione
diserbo
mietitrebbiatura
raccolta paglia
ENAMA
60
27
15
18
30
36
12
DM 26/02/2006
60
20
10
7
10
36
12
Valore usato nello studio
60
24
13
13
20
36
12
Le emissioni indirette del sistema, cioè quelle associate ai processi di produzione e trasporto degli
input (ad esempio le fasi di produzione dell’urea o dei pesticidi, compresi i processi di estrazione e
trasporto delle materie prime necessarie alla loro produzione) sono presenti nel database Ecoinvent
(Ecoinvent, 2004).
Le emissioni dirette del sistema, ossia quelle direttamente generate dall’applicazione dei prodotti
chimici o dall’uso del carburante nei trattori, sono state calcolate seguendo modelli proposti da
bibliografia (Brentrup et al., 2000; Audsley et al., 1997; Ecoinvent, 2004) che permettono di
calcolare il fattore di emissione dei contaminanti nei diversi comparti naturali (aria, suolo, acqua) in
funzione delle caratteristiche del territorio nel quale vengono rilasciati. Per la stima delle emissioni
sono state considerate le caratteristiche tipiche del territorio lombardo, quali la piovosità media
(Istat, 2005), la deposizione atmosferica di azoto (Balestrini et al., 2000) e la composizione media
del terreno (comunicazione personale di C. Pretara, Politecnico di Milano). I valori sono elencati
nella tabella 6.1, come output alla natura.
Per il calcolo delle emissioni associate alla combustione di diesel nei veicoli agricoli si sono
utilizzati i fattori di emissione elencati in tabella 6.4, espressi in kg di composto emessi per kg di
combustibile bruciato (Ecoinvent, 2004).
50
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Tabella 6.4 Fattori di emissione dei veicoli diesel utilizzati nelle attività agricole
ammoniaca
NH3
2,0E-05
biossido di carbonio
monossido di carbonio
monossido di dinitrogeno
CO2
CO
N2O
3,11
6,5E-03
1,2E-04
metano
CH4
1,3E-04
La produttività del terreno (in termini di quintali di materiale raccolto per ettaro) è stata calcolata
come media delle quantità di frumento raccolte dal 1997 al 2007 (Istat, 2007), senza considerare il
raccolto del 2003 (inferiore di circa il 10% rispetto alla media, a causa di una particolare carenza di
piovosità ed elevate temperature). L’indice di raccolto del frumento, ossia il rapporto tra la
biomassa di granella e quella totale, è pari a 0,50-0,55 per le nuove varietà (CeSPrA, 2004): per
ogni kg di grano raccolto verrà quindi colta circa la stessa quantità in peso di paglia. L’allocazione
dei sottoprodotti è stata effettuata sulla base di questa ripartizione e in tabella 6.5 si indicano i
diversi fattori di assegnazione dei carichi ambientali secondo i quali vengono ripartiti gli impatti
ambientali, come spiegato nel capitolo 4.
Tabella 6.5 Fattori di assegnazione dei carichi ambientali
massa(kg)
1
1
grano
paglia
%
50
50
La fase di trasporto dei materiali in input, dalla sede di produzione al campo di lavoro, è stata
calcolata sulla base di distanze medie percorse e del tipo di mezzo di trasporto utilizzato (Ecoinvent,
2004, tabella 6.6).
Tabella 6.6 Distanza percorsa (km, solo andata) e mezzi di trasporti utilizzati per le materie in input dal deposito
al campo
sementi
fertilizzante N
fertilizzante P
pesticida
chiatta
rotaia
camion (28t)
900
400
100
100
100
100
furgone (<3,5t)
15
15
Nota: Tra parentesi è indicato il peso in tonnellate del mezzo di trasporto
Il trasporto è espresso come input al processo in tkm, ossia:
(tonnellate di materiale * chilometri percorsi) * UF-1
Per la produzione e lo smaltimento dei mezzi di trasporto sono stati utilizzati dati ETH-ESU (ETHESU, 1996) ed Ecoinvent (http://www.pre.nl/simapro/inventory_databases.htm#ETH).
6.2 FASE DI PRODUZIONE DEL BIOETANOLO
La produzione di etanolo a partire da materiali vegetali zuccherini (quali il frumento) mediante
processo di fermentazione e distillazione è oggi una tecnica conosciuta e sviluppata (Bezzo et al.,
2007). Attualmente in Italia non sono ancora presenti impianti per la produzione di etanolo a partire
51
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
da amido di cereali, tuttavia nel nord Italia sono in fase progettuale due grandi impianti di
produzione di etanolo: il primo a Porto Marghera (VE), denominato Triera Power s.p.a, che
dovrebbe essere operativo nel 2009, il secondo in provincia di Trieste. Entrambi fanno parte di un
progetto dell’azienda Grandi Molini Italiani, che nei prossimi anni intende avviare preso l’impianto
di Venezia anche una centrale di produzione elettrica a partire da oli vegetali (Triera power).
L’analisi del processo di produzione di etanolo è stata sviluppata basandosi sull’impianto progettato
per Porto Marghera, ipotizzando che la materia prima coltivata in Lombardia venga inviata a
quest’unico impianto.
6.2.1 Descrizione del processo di produzione del bioetanolo
Lo schema di impianto considerato è illustrato in figura 6.2.
MACINA
GRANO
Reagenti
Elettricità
Vapore
Miscelazione
Cottura
Liquefazione
FERMENTAZIONE
DISTILLAZIONE
DDGS
Disidratazione
Evaporazione
Essiccamento
ETANOLO
(>99%)
DDGS
(umidità 10%)
Ricircolo acqua
ETANOLO
CONFINI DEL SISTEMA
Figura 6.2 Schema di produzione del bioetanolo e del DDGS (distillato di grani asciutto con sostanze solubili)
L’estrazione delle sostanze zuccherine viene effettuata tramite la macinazione del grano; i liquidi
estratti vengono sottoposti a processo di fermentazione e distillazione con l’aggiunta di reagenti
(lievito, urea, acido fosforico e solforico). L’etanolo e il DDGS prodotti vengono sottoposti a
processi di disidratazione per ridurre l’umidità contenuta ai livelli richiesti. Durante il processo di
produzione si necessità energia elettrica e vapore.
52
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
I dati relativi alla produzione sono stati ricavati:
• da un questionario compilato da Triera s.p.a.,
• consultazione di diverse fonti bibliografiche per i dati mancanti,
• dalle basi di dati contenute nel software Simapro.
6.2.2 Dati di inventario
Nella tabella 6.7 sono elencati tutti gli input e output al processo espressi in kg, tkm o ha, suddivisi
per il settore natura o tecnosfera, in funzione della provenienza/destinazione associate.
Tabella 6.7 Input/output al processo di produzione del bioetanolo (UF: 1kg di etanolo)
DA TECNOSFERA
grano
lievito
acido fosforico
acido solforico
urea (inN)
vapore
elettricità
trasporto (camion 40t)
trasporto (camion 32t)
ALLA TECNOSFERA
etanolo
DDGS
INPUT
DA NATURA
3,50 kg
9,00E-05 kg
1,20E-04 kg
2,00E-03 kg
4,60E-04 kg
3,13 kg
4,25E-04 MW
7,95E-02 tkm
3,88E-05 tkm
OUTPUT
ALLA NATURA
1 kg
emissioni dirette in atmosfera
1 kg
CO2
1,01 kg
Nell’impianto di Triera s.p.a. si producono 100000 t/anno di etanolo e 100000 t/anno di DDGS a
partire da 350000 t/anno di grano in ingresso (dati Triera, 2007).
Il consumo di elettricità è stato assunto pari a quello indicato nel bollettino ufficiale della regione
Lombardia n°92 del 23/10/2007 (BUR 23/10/2007), pari a 5,4 MWh annuali; non si è tenuto in
considerazione l’ipotesi di utilizzare elettricità derivante da oli vegetali, come indicato nel
Bollettino, per mancanza di dati. Le quantità di acido solforico, fosforico e urea utilizzate sono state
reperite in bibliografia (Bernesson et al., 2006), così come la quantità di vapore necessaria al
processo (Airfeen et al., 2007).
Per i dati relativi alla fase di produzione e trasporto degli input all’impianto di produzione sono stati
utilizzati i database ETH-ESU (ETH-ESU, 1996) ed Ecoinvent (Frischknecht et al., 2004).
Anche in questo processo gli output sono due: il bioetanolo e il DDGS. Si è reso necessario
suddividere in carichi ambientali con il metodo dell’allocazione basata sul valore in massa, come
adottato precedentemente nel caso della fase agricola.
In tabella 6.8 sono indicati i fattori di assegnazione dei carichi ambientali.
Tabella 6.8 Fattori di assegnazione dei carichi ambientali
bioetanolo
DDGS
massa(kg)
1
1
%
50
50
53
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Durante il processo di fermentazione si origina una corrente di CO2 (in tabella 6.7 indicata come
emissione diretta del processo in atmosfera) prodotta durante la trasformazione del glucosio in
etanolo, con un fattore di emissione pari a 1,01 kgCO2/kgEtanolo (Lechón et al., 2005). Questa è
l’unica emissione diretta del processo considerata.
Per le emissioni indirette associate alla produzione di elettricità e vapore sono stati i utilizzati i dati
dal programma Simapro (ETH-ESU, 1996; Dones et al., 2004).
Per il trasporto delle materie prime all’impianto si è considerata la distanza percorsa con camion
(Bernesson et al., 2006), mentre per il grano si è utilizzata la distanza media tra Lombardia e
l’impianto pari a 200 km, anche questa percorsa con camion (tabella 6.9).
Tabella 6.9 Distanza percorsa (km, solo andata) e mezzo di trasporto delle materie prime in input al processo di
produzione
camion (40t)
420
grano
reagenti chimici
camion (32t)
220
6.3 FASE DI PRODUZIONE DELLA BENZINA FOSSILE
Il processo di produzione della benzina fossile a basso contenuto di zolfo, considerata nel presente
studio, è schematizzato in figura 6.3. Sono inclusi i processi di estrazione del greggio di raffineria,
di deposito e le fasi di trasporto intermedie (Dones et al., 2004). L’energia necessaria alle diverse
fasi è fornita sotto forma di energia elettrica o gas, i trattamenti delle acque di scarico e lo
smaltimento dei residui di lavorazione sono inclusi nei confini del sistema. Il processo di
produzione della benzina è sviluppato ipotizzando la produzione del carburante in Europa.
L’inventario completo dei dati per tutte le fasi di produzione è reperibile nel database Ecoinvent e
nel rapporto finale (Jungbluth, 2004).
ESTRAZIONE GREGGIO
Oleodotto
Gas
Composti chimici
Acque di scarico
Residui
RAFFINERIA
TRATTAMENTO
Elettricità
Camion (32t)
infrastrutture
BENZINA
DEPOSITO REGIONALE
CONFINI DEL SISTEMA
Figura 6.4 Schema di produzione della benzina fossile a basso contenuto di zolfo
54
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
6.4 FASE DI USO FINALE DEI COMBUSTIBILI
In questo studio si è considerato l’utilizzo delle diverse miscele, descritte nel capitolo 5, in un unico
veicolo di riferimento, capace di funzionare con i diversi tipi di carburanti studiati e rappresentativo
dei veicoli maggiormente utilizzati per il consumo attuale di benzina. Il veicolo Ford Focus 1600
cc., 16V Zetec Flexifuel, 5 porte, di figura 6.4 è un veicolo Flexi Fuel, in grado quindi di funzionare
con benzine ad alto contenuto di etanolo (come l’E85).
Figura 6.4 Veicolo Flexi Fuel di riferimento
Dal momento che l’obiettivo dello studio è di comparare i distinti carburanti utilizzati nello stesso
veicolo, gli impatti associati al ciclo di vita del veicolo (quindi alla sua produzione, distribuzione,
manutenzione e smaltimento) non sono stati calcolati.
6.4.1 Descrizione del processo di utilizzo finale dei combustibili
Il diagramma di flusso di quest’ultima fase analizzata è schematizzato in figura 6.5.
Combustibile
Veicolo
COMBUSTIONE
del carburante
Emissioni
LIMITI DEL SISTEMA
Figura 6.5 Diagramma di flusso della fase di utilizzo dei combustibili
In quest’ultima fase si considera semplicemente la combustione del carburante nel veicolo sopra
descritto, le emissioni che ne derivano sono quelle generate dalla combustione.
L’analisi della bibliografia effettuata al capitolo 3 concerne le emissioni regolate (CO, HC, NOx e
PM) o di inquinanti tossici (IPA e componenti carbonilici), dunque per analizzare le emissioni allo
scarico di gas effetto serra (CO2, CH4 ed N2O) si è fatto riferimento ad altre fonti bibliografiche, di
seguito citate.
55
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
6.4.2 Dati di inventario
Il contenuto di etanolo è espresso come percentuale in volume (ad esempio l’E5 è composto da 5%
in volume di etanolo e 95% in volume di benzina). Si è deciso di utilizzare una benzina a basso
contenuto di zolfo, ed i dati di estrazione, raffinazione e distribuzione fino ai depositi regionali di
questo carburante sono stati presi dalla base di dati ETH-ESU (ETH-ESU, 1996), disponibile nel
software Simapro.
Nelle tabelle 6.10, 6.11, 6.12, 6.13 e 6.14 sono elencati gli input e output al processo espressi in kg
e tkm suddivisi per il settore natura o tecnosfera per i cinque casi in esame (E0, E5, E10, E85,
E100). L’UF (unità di riferimento) è, come stabilito nel capitolo 5, 1 km percorso con il veicolo di
riferimento.
Tabella 6.10 Input/output al processo di utilizzo della benzina nel veicolo di riferimento (UF: 1km percorso)
DA TECNOSFERA
benzina
etanolo
trasporto (oleodotto)
trasporto (camion)
ALLA TECNOSFERA
INPUT
DA NATURA
5,23E-02 kg
0 kg
1,05E-04 tkm
2,14E-02 tkm
OUTPUT
ALLA NATURA
emissioni in atmosfera
CO2
0,167 kg
CH4
3,2E-06 kg
N2O
2,5E-05 kg
Tabella 6.11 Input/output al processo di utilizzo dell’E5 nel veicolo di riferimento (UF: 1km percorso)
DA TECNOSFERA
benzina
etanolo
trasporto (oleodotto)
trasporto (camion)
ALLA TECNOSFERA
INPUT
DA NATURA
5,09E-02
2,83E-03
1,02E-04
2,64E-02
kg
kg
tkm
tkm
OUTPUT
ALLA NATURA
emissioni in atmosfera
CO2
0,154 kg
CH4
3,2E-06 kg
N2O
2,5E-05 kg
56
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Tabella 6.12 Input/output al processo di utilizzo dell’E10 nel veicolo di riferimento (UF: 1km percorso)
DA TECNOSFERA
benzina
etanolo
trasporto (oleodotto)
trasporto (camion)
ALLA TECNOSFERA
INPUT
DA NATURA
4,94E-02
5,80E-03
9,89E-05
2,70E-02
kg
kg
tkm
tkm
OUTPUT
ALLA NATURA
emissioni in atmosfera
CO2
0,151 kg
CH4
3,2E-06 kg
N2O
2,5E-05 kg
Tabella 6.13 Input/output al processo di utilizzo dell’E85 nel veicolo di riferimento (UF: 1km percorso)
DA TECNOSFERA
benzina
etanolo
trasporto (camion)
ALLA TECNOSFERA
INPUT
DA NATURA
1,12E-02 kg
6,73E-02 kg
3,71E-02 tkm
OUTPUT
ALLA NATURA
emissioni in atmosfera
CO2
0,021 kg
CH4
4,8E-06 kg
N2O
2,5E-05 kg
Tabella 6.14 Input/output al processo di utilizzo dell’ etanolo nel veicolo di riferimento (UF: 1km percorso)
DA TECNOSFERA
benzina
etanolo
trasporto (camion)
ALLA TECNOSFERA
INPUT
DA NATURA
0 kg
8,34E-02 kg
3,88E-02 tkm
OUTPUT
ALLA NATURA
emissioni in atmosfera
CO2
0 kg
CH4
4,8E-06 kg
N2O
2,5E-05 kg
57
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Per il calcolo delle quantità di benzina ed etanolo necessarie a percorrere un chilometro sono stati
adottati i valori riassunti in tabella 5.2, calcolati come precedentemente descritto nel capitolo 5.
Per le emissioni associate all’uso di benzina pura si sono effettuate le seguenti ipotesi:
• le emissioni di protossido di azoto sono state considerate pari a 0,025 g/km (IDIADA, 2003a;
IDIADA, 2003b);
• le emissioni di metano sono state stimate assumendo per il veicolo di riferimento la stessa
percentuale di componente metagenica trovata nelle emissioni di idrocarburi dello studio di
IDIADA (IDIADA, 2003a; IDIADA, 2003b) e pari a 5,3%;
• le emissioni di biossido di carbonio si sono calcolate a partire del contenuto di carbonio
totale del combustibile.
Nelle benzine a basso contenuto di etanolo le emissioni di N2O e di CH4 non subiscono variazioni
rilevanti. Per il protossido di azoto avviene lo stesso anche nelle benzine ad alto contenuto di
etanolo (Camaleño Simón, 2007), mentre per il metano non si osserva un andamento riconoscibile
(Sheenan et al., 2004; Winebrake et al., 2000; Delucchi, 2003; Lipman & Delucchi, 1997): si è
scelto perciò di applicare lo stesso fattore di emissione di N2O e CH4 della benzina a tutti i
carburanti, tranne nel caso dell’E85 e dell’E100, dove le emissioni di metano sono state aumentate
del 50%, valore medio osservato in diversi studi (Camaleño Simón, 2007; Lechón et al., 2005).
Infine per il calcolo delle emissioni di biossido di carbonio associate alla combustione il bioetanolo
è considerato “carbonio neutrale”, ossia non si conteggiano le emissioni di CO2 generate durante la
combustione perché rappresentano la stessa quantità di C che la pianta assorbe dall’atmosfera in
fase di crescita (IPCC, 1996); tale ipotesi è utilizzata nella maggior parte degli studi di LCA sui
biocarburanti pubblicati (Galbraith et al., 2006).
I fattori di emissione utilizzati sono riassunti in tabella 6.15: i valori di CO2 fossile rappresentano le
emissioni di CO2 associate alla benzina, e dunque le sole emissioni di biossido di carbonio emesse
durante la combustione del carburante che sono state considerate in questo studio; al contrario le
emissioni di CO2 denominate biogeniche sono associate alla combustione dell’etanolo e non sono
dunque state conteggiate.
Tabella 6.15 Fattori di emissione di gas serra, espressi in g/km per i diversi carburanti
benzina
E5
E10
E85
E100
CO2 fossile
167
154
151
21
0
CO2 biogenico
0
14
19
155
175
N2O
0,025
0,025
0,025
0,025
0,025
CH4
0,0032
0,0032
0,0032
0,0048
0,0048
Per valutare gli impatti associati alle diverse fasi di trasporto che collegano i depositi di benzina con
l’impianto di produzione del bioetanolo, di miscelazione e le stazioni di servizio, si sono utilizzati,
come nelle altre fasi di inventario, le basi di dati contenute nel programma Simapro (ETH-ESU,
1996; Ecoinvent, 2004). Lo schema di trasporto dei combustibili è schematizzato in figura 6.5; le
distanze percorse (in km) e i mezzi di trasporto sono elencati in tabella 6.17 (Lechón et al., 2005).
Si considera in questo scenario che nell’impianto di produzione del bioetanolo si produca etanolo
puro e una miscela con il 15% di benzina (l’E85), che vengono poi trasportate fino al centro di
distribuzione, dove si aggiunge benzina all’E85 per produrre le miscele E5 ed E10, le quali vengono
poi distribuite fino alle stazioni di servizio. Tutti i trasporti avvengono su strada, tranne il trasporto
della benzina al centro di distribuzione che avviene tramite oleodotto (tratteggiato in figura 6.6).
58
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
205 km
Benzina
Centro di
distribuzione
E5
E10
E85
BENZINA
27 km
27 km
E85
E100
Stazioni di
servizio
2 km
E100
Impianto
produzione
bioetanolo
Figura 6.6 Schema del trasporto dei carburanti (distanze in km, solo andata)
La distanza percorsa in oleodotto è di 2 km; quella tra i deposito di benzina e l’impianto di
produzione di bioetanolo è pari a 27 km; dall’impianto di produzione del biocarburanti al centro di
distribuzione vengono percorsi altri 27 km; le stazioni di servizio distano dal centro di distribuzione
205 km.
Tabella 6.16 Distanza percorsa (km, andata e ritorno) e mezzo di trasporto dei combustibili
benzina
E5
E10
E85
E100
camion (40t)
465
410
410
465
465
oleodotto
2
6.5 QUADRO RIASSUNTIVO DEI DATI UTILIZZATI NELL’INVENTARIO
Nel presente studio di analisi del ciclo di vita del bioetanolo per veicoli stradali si è utilizzato
l’approccio denominato “from cradle to grave” (dalla culla alla tomba), in quanto sono state
considerate tutte le fasi di produzione e utilizzo del carburante: la produzione della materia prima
(coltivazione del frumento), la produzione del bioetanolo (trasformazione del cereale in
biocarburante) e infine l’uso dello stesso (combustione in veicolo stradale).
Negli ultimi anni si è assistito ad un aumento non solo della produzione e del consumo dei
biocarburanti, ma anche alla crescita di interesse del mondo scientifico e della ricerca (Venturi &
Fazio, 2007). Molti degli studi recentemente pubblicati hanno utilizzato lo steso approccio “from
cradle to grave”, anche se generalmente focalizzandosi sul confronto tra bioetanolo netto e benzina,
senza considerare le possibili miscele (Edwards et al., 2007; Tan & Cubala, 2002; IEA/AFIS, 1999)
oppure investigando gli effetti di una sola miscela possibile di bioetanolo-benzina (Zhi Fu et al.,
2003; Sheenan et al., 2004; Malça & Freire, 2006).
In questo studio si è deciso di analizzare le tre possibili mescole bioetanolo-benzina alla luce del
contesto politico-legislativo italiano, presentato nel capitolo 1, che prevede per il momento la
possibilità di utilizzo del 5% di contenuto massimo in volume di biocarburante, con la possibilità di
aumentarlo al 10%, secondo quanto proposto nel progetto di parere 2007/0019(COD) (Parlamento
europeo, 2007).
59
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Nel presente studio l’analisi di ciclo di vita ha considerato la realtà della Lombardia, considerando
dunque un limite spaziale specifico per i vari elementi e dati dell’LCA: la produzione del grano di
frumento è localizzata in Lombardia e la trasformazione della materia prima avviene nell’impianto
dell’Italia del nord situato il più vicino possibile. In tabella 6.18 sono riassunte le fonti che si sono
utilizzate per quantificare gli input ai processi analizzati.
Per analizzare il ciclo di vita degli input al processo, cioè gli impatti associati alla produzione, al
trasporto fino al sistema considerato (campo, impianto di trasformazione dell’etanolo, deposito
regionale di carburante), e allo smaltimento degli input di ogni processo, (ad esempio il processo di
produzione e assemblaggio e trasporto al campo dei trattori utilizzati in fase di coltura), sono stati
utilizzati i dati del software Simapro.
Tabella 6.18 Provenienza dei dati utilizzati per la quantificazione degli input ai processi
Ecoinvent
AGRICOLTURA
tecniche colturali
fertilizzanti/prodotti chimici applicati
diesel
trattori e attrezzi
sementi
trasporto
PRODUZIONE ETANOLO
struttura e produttività impianto
reagenti
elettricità
vapore
trasporto
USO FINALE
caratteristiche carburanti
trasporto
Bibliografia
Dati Lombardia
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
Si noti come per la fase di agricoltura si è prestata particolare attenzione a raccogliere dati
particolarmente conformi alla zona in esame, poiché è questa la fase nella quale si possono
incontrare le maggiori differenze in funzione del contesto geografico; la fase di produzione di
bioetanolo è meno soggetta all’influenza della zona di localizzazione dell’impianto, mentre la fase
di consumo non risente di questa influenza.
In ragione di questa precisa collocazione spaziale, l’inventario e i risultati della presente LCA sono
da considerarsi specifici per il caso in esame, con la possibilità di estensione alle zone dell’Italia del
nord che presentino similitudini climatiche e di tecniche di coltura.
60
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
7 APPLICAZIONE DELLA LCA AL
BIOETANOLO - VALUTAZIONE DEGLI
IMPATTI E INTERPRETAZIONE DEI
RISULTATI
7.1 METODOLOGIA DI VALUTAZIONE
La valutazione dell’impatto ambientale in questo studio è stata realizzata seguendo la metodologie
1. CML 2000, attualizzazione del metodo CML pubblicato dal “Centre of Environmental
Science” dell’università di Leiden nel 1992 (Guinée et al., 2001; Heijungs et al., 1992), che
contiene le seguenti categorie di impatto: uso risorsa abiotica, emissioni di gas serra,
riduzione dello strato di ozono, tossicità umana, ecotossicità acquatica, ecotossicità
acquatica marina, ecotossicità terrestre, ossidazione fotochimica, acidificazione,
eutrofizzazione;
2. Ecoindicator 95, sviluppata dalla società olandese Pré Consultants (Goedkoop, 1995),
contenente le seguenti categorie di impatto: gas serra, riduzione cappa ozono, acidificazione,
eutrofizzazione, metalli pesanti, sostanze cancerogene, smog invernale ed estivo, pesticidi,
risorse energetiche, rifiuti solidi.
7.1.1 Selezione delle categorie di impatto
Nel presente lavoro sono state considerate le categorie di impatto “emissioni di gas serra” (“global
warming potential” della metodologia CML 2 Baseline 2000) e “consumo energetico” (“energy
resources”, della metodologia Ecoindicator 95). La scelta è derivata dall’importanza che la tematica
climatica ed energetica ha assunto negli ultimi anni: va ricordato che le disposizioni a sostegno dei
biocarburanti dell’Unione Europea (ad esempio, la direttiva europea 2003/30/CE impone
l’introduzione nel mercato di quote progressive di biocarburanti) sono motivate dalla necessità di
ridurre i gas serra per raggiungere gli obiettivi fissati nel protocollo di Kyoto. Per questo motivo si
è scelto di centrare l’interesse sulla categoria di impatto “emissioni di gas serra” e valutare in questo
modo quale delle miscele di biocarburanti permetta la maggior riduzione di emissioni di gas effetto
serra in aria, espressa in quantità di CO2 equivalente, basandosi sui valori di GWP (potenziale di
riscaldamento globale) riferiti ad un orizzonte temporale di 100 anni, come definiti dall’IPCC
(Hospido, 2005).
7.1.2 Classificazione e caratterizzazione
La classificazione consiste nel raggruppamento delle sostanze presenti nell’inventario in distinte
categorie di impatto, ossia identificare quali sostanze e le emissioni ad esse associate provocano
impatti nella categoria considerata.
Il passo successivo consiste nell’applicazione del modello di caratterizzazione, allo scopo di
ottenere l’indicatore relativo alla categoria di impatto, unificando in un'unica unità di riferimento
tutte le sostanze classificate nella stessa categoria, attraverso l’uso di fattori di equivalenza.
Le emissioni di gas serra investigate sono state quelle di biossido di carbonio, metano e protossido
di azoto, poiché alle altre sostanze impattanti della categoria GWP (elencate in appendice 3), non
corrispondo emissioni rilevanti ai fini della valutazione di LCA del bioetanolo (Malça et al., 2005).
61
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
In tabella 7.1 si riportano i contaminanti considerati nella classificazione e il fattore di
caratterizzazione applicato.
Tabella 7.1 Potenziali di riscaldamento globale
CO2
contaminante
biossido di cabonio
Fattore di equivalenza
kgCO2eq/kgCO2
1
CH4
metano
21
kgCO2eq/kgCH4
N2O
protossido di azoto
310
kgCO2eq/kgN2O
La metodologia Ecoindicator 95 è stata utilizzata per quantificare le risorse energetiche utilizzate in
ogni processo (espresse in MJ di Potere Calorifico Inferiore) e valutarne la sostenibilità energetica.
L’uso di risorse energetiche è calcolato mediante i poteri calorifici proposti nella metodologia
Ecoindicator 95, elencati in tabella 7.2.
Tabella 7.2 PCI delle risorse energetiche
petrolio
gas naturale
41
35
MJ/kg
MJ/m3
carbone
8
MJ/kg
lignite
8
MJ/kg
40,9
MJ/m3
gas (da produzione petrolio)
L’elenco completo delle sostanze classificate e i valori di caratterizzazione delle due metodologie
utilizzate, per le categorie considerate, sono riportati in appendice 3.
7.2 RISULTATI DELLA VALUTAZIONE
Nella tabella 7.3 sono riassunti i risultati ottenuti nelle due categorie di impatto per ognuno dei
carburanti analizzati: valori negativi indicano minor emissione di gas serra/uso di risorse
energetiche rispetto alla benzina tradizionale, E0. Nella figura 7.1 i risultati sono confrontati in
termini assoluti, riferiti ai valori del combustibile E0 (benzina fossile).
62
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Tabella 7.3 Risultati del confronto E0-E5-E10-E85-E100
Emissioni gas serra
g CO2 eq/km
emissioni evitate/aggiuntive
gCO2 eq/km
%
E0
214
E5
205
-9
-4,1
E10
205
-9
-4,1
E85
147
-66
-31,1
E100
144
Energia consumata
MJ/km
-70
-32,6
consumo evitato/aggiuntivo
MJ/km
%
E0
3,1
E5
3,1
-0,03
-1,0
E10
3,0
-0,07
-2,3
E85
1,4
-1,65
-53,4
E100
1,2
-1,91
-61,8
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
E0
E5
E10
E85
E100
Gas serra
Energia
Figura 7.1 Confronto dell’impatto dei carburanti nelle categorie analizzate
In entrambe le categorie d’impatto analizzate il maggiore impatto si associa all’uso della benzina,
mentre le minori emissioni di gas serra e il minor consumo energetico si riscontrano con la miscela
E100. Si osservano differenze molto limitate (<5%) in entrambe le categorie tra l’uso di benzina
interamente di origine fossile e le miscele E5 ed E10. Di seguito sono approfonditi gli impatti
associati alle diverse fasi del processo.
7.2.1 Emissioni di gas serra
Le emissioni di CO2 equivalente associate ai carburanti analizzati sono riportate in tabella 7.3; da
tali valori si comprende che le miscele contenenti etanolo permettono di evitare una parte delle
63
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
emissioni di gas serra rispetto alla benzina. Le quantità di emissioni evitate, già riportate in tabella
7.3 ed espresse in gCO2/km, per ciascun carburante alternativo sono rappresentate anche in figura
7.2.
E100
E85
E10
E5
-90
-80
-70
-60
-50
-40
-30
-20
-10
0
gCO2eq/km
Figura 7.2 Emissioni di gas serra evitate rispetto all’utilizzo di benzina fossile (E0)
Il contributo dei singoli processi al valore totale è rappresentato in figura 7.3.
Si osserva che per le miscele a basso contenuto di etanolo è la fase di uso, ossia di combustione del
carburante nel veicolo, che provoca la maggior parte delle emissioni di gas serra.
Le emissioni di gas serra associate all’E5 e all’E10 sono comparabili, poiché, pur aumentando il
contenuto di etanolo (che comporta minori emissioni di CO2 allo scarico), si osserva un aumento del
consumo specifico di carburante (l/km), che annulla l’effetto positivo del bioetanolo. L’E85 e
l’E100 permettono invece una riduzione di emissioni di gas serra considerevole (pari a 66 e 70
gCO2/km rispettivamente). Tale risparmio è dovuto soprattutto alla diminuzione nelle emissioni di
CO2 associate alla frazione fossile di carburante combusto, che è minore di quella presente nella
benzina.
Le emissioni di gas serra associate alle fasi di produzione di benzina e bioetanolo sono ovviamente
proporzionali al contenuto di ciascun combustibile nei carburanti analizzati (andamento
apprezzabile in figura 7.3). Tale fenomeno spiega la poca differenza che si riscontra tra le emissioni
dell’E100 e dell’E85: l’etanolo puro difatti permette una riduzione quasi totale delle emissioni allo
scarico, generando tuttavia in fase di produzione (coltura e trasformazione) una notevole quantità di
CO2equivalente.
64
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
250
gCO2eq/km
200
trasporto miscele
prod etanolo
150
prod benzina
100
uso
50
0
E0
E5
E10
E85
E100
Figura 7.3 Contributo dei singoli processi alle emissioni di gas serra
7.2.2 Uso di energia
L’utilizzo di risorse energetiche, espresso in MJ di potere calorifico inferiore, è riportato in tabella
7.3. Da tali valori si evince che tutte le miscele analizzate permettono un risparmio energetico,
seppur in forma molto contenuta per quelle a basso contenuto di etanolo (E5 ed E10). Tale
comportamento è rappresentato in figura 7.4.
E100
E85
E10
E5
-2
-1,5
-1
-0,5
0
MJ/km
Figura 7.4 Risparmio nella richiesta energetica dei carburanti rispetto all’utilizzo di benzina fossile (E0)
Il contributo dei singoli processi è rappresentato in figura 7.5.
65
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
3,5
3
MJ/km
2,5
trasporto miscele
2
prod. etanolo
1,5
prod. benzina
1
0,5
0
E0
E5
E10
E85
E100
Figura 7.5 Contributo dei processi al consumo energetico
Il consumo energetico legato alle miscele E5 ed E10, rispetto alla benzina, è leggermente inferiore
(-1 e -2,3% rispettivamente) grazie al risparmio attribuito al minor uso di benzina fossile, che
necessità di quantità molto maggiori per la produzione (soprattutto in fase di estrazione) rispetto
all’etanolo analizzato nello studio. Il consumo energetico associato alle fasi di produzione di
benzina e bioetanolo è ovviamente proporzionale al contenuto di ciascun combustibile nei
carburanti analizzati ed in questo caso permette che l’E100 sia il carburante al quale si associa il
minor consumo energetico.
7.3 CONCLUSIONI
Alla luce dei risultati mostrati nel paragrafo precedente si può concludere che, in confronto alla
benzina tradizionale, i carburanti alternativi analizzati offrono i seguenti risultati:
• le miscele E5 ed E10 permettono leggeri miglioramenti dal punto di vista ambientale ed
energetico: permettono di risparmiare circa 9 gCO2eq e 0,03-0,07 MJ per chilometro
percorso;
• l’E100 sembra essere la soluzione più interessante in quanto permette una forte diminuzione
delle emissioni di gas serra (70 gCO2eq in meno emessi per chilometro) ed un buon
risparmio energetico (quasi 1,9 MJ per chilometro);
• anche la miscela E85 permette risparmio, sia dal punto di vista energetico (quasi 1,7 MJ/km
in meno) che da quello delle emissioni di gas serra (66 gCO2eq evitati per chilometro).
Tali risultati sono ovviamente legati alle ipotesi formulate nei capitoli precedenti. Vista la piccola
differenza tra i risultati osservati per i carburanti a basso contenuto di etanolo (E5 ed E10) e la
benzina, si è ritenuto opportuno effettuare un’ analisi di sensibilità relativa al consumo specifico dei
carburanti E5 ed E10, alle emissioni di N2O in fase agricola ed infine al metodo di allocazione dei
carichi (capitolo 8), per valutare i possibili cambiamenti a fronte di assunzione di ipotesi differenti.
Si ricorda inoltre che, per mancanza di dati, si è ipotizzato di utilizzare energia elettrica (mix medio
italiano) in fase di produzione dell’etanolo, pur se l’impianto considerato si avvarrà di elettricità
prodotta a partire da biomasse in un impianto contiguo (Triera Power); tale fatto può influenzare
positivamente il bilancio, permettendo un’ulteriore riduzione di emissioni di gas serra e uso di
risorse energetiche nella fase di produzione dell’etanolo.
66
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
7.4 ANALISI “FROM CRADLE TO GATE”
Nei paragrafi precedenti sono state analizzate, le miscele E5, E10, E85 ed E100 con l’approccio
definito “from cradle to grave”, considerando cioè tutte le fasi del ciclo di vita, compreso l’uso
finale.
Risulta tuttavia interessante soffermarsi su un confronto del tipo “from cradle to gate” (dalla culla al
cancello), analizzando i differenti impatti di etanolo e benzina fino alla fase di produzione; in altre
parole in questo modo si valutano gli impatti del carburante indipendentemente dal successivo uso,
ossia fornendo informazioni utili alla valutazione di altri possibili utilizzi (ad esempio: trazione in
campo agricolo, combustione in motori stazionari, in caldaie, etc.). Fermando la valutazione alla
fase di produzione, le unità funzionali in questo caso saranno 1 kg di etanolo ed 1 kg di benzina.
Nella tabella 7.4 sono riassunti i risultati ottenuti nelle due categorie di impatto esaminate per
ognuno dei carburanti analizzati: valori negativi indicano minor emissione di gas serra/uso di
risorse energetiche rispetto alla benzina tradizionale. Nella figura 7.6 i risultati sono confrontati in
termini assoluti.
Tabella 7.4 Risultati del confronto produzione di benzina-produzione di etanolo
Emissioni gas serra
g CO2 eq/kg
Benzina
672
Etanolo
367
Energia consumata
Benzina
Etanolo
emissioni evitate/aggiuntive
gCO2 eq/kg
%
305
45
consumo evitato/aggiuntivo
MJ/kg
MJ/kg
%
58
13
45
-78
100
80
60
%
Benzina
Etanolo
40
20
0
Gas serra
Energia
Figura 7.6 Confronto degli impatti, espressi in valore assoluto, di benzina ed etanolo
La produzione di etanolo permette quindi una riduzione del 45% di emissioni di gas serra, risparmio
pari a 305 gCO2 evitate per kg, e del 78% di consumi energetici, risparmio pari a 45 MJ/kg.
67
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
7.4.1 Impatti dei singoli processi
L’impatto nella categoria potenziale di riscaldamento globale dei due combustibili è suddiviso nei
diversi processi come descritto in figura 7.7.
Nell’analisi “from cradle to gate” effettuata in questa sezione, per tenere in considerazione la
capacità di immagazzinare carbonio della biomassa utilizzata per la produzione di bioetanolo, si è
ipotizzato che ogni kg di grano prodotto assorba in crescita 1,32 kg di CO2 atmosferica (Ecoinvent,
2004).
Come si può notare, il processo di coltivazione del grano compensa una buona parte delle emissioni
di CO2 generate nella fase di produzione del bioetanolo, grazie alla capacità della coltura di
assorbire biossido di carbonio dall’atmosfera in fase di crescita. Il bilancio rimane comunque
positivo, ossia si ha in fase di produzione una emissione (1108 gCO2 per kg di bioetanolo prodotto)
maggiore a quella evitata dalla fase di coltivazione (747 gCO2eq per kg di bioetanolo prodotto). La
maggior parte dell’impatto della benzina nella categoria emissioni di gas serra è da associarsi alla
fase di estrazione, che comporta l’emissione di 648 gCO2eq per kg, mentre la raffinazione solo 5 g
di CO2eq ed il trasporto circa 20 gCO2eq.
L’impatto nella categoria uso delle risorse energetiche è suddiviso nei diversi processi come
descritto in figura 7.8. Per questa categoria il bioetanolo offre, rispetto alla benzina, vantaggi più
evidenti: ogni chilo di etanolo prodotto richiede 45 MJ in meno rispetto alla produzione di un kg di
benzina.
gCO2eq/km
1200
800
trasporto
400
raffinazione
estrazione
0
-400
Etanolo
Benzina
coltura
-800
MJ/km
Figura 7.7 Contributo dei singoli processi coinvolti nella produzione di etanolo e benzina alla categoria di
impatto riscaldamento globale
60
50
40
trasporto
raffinazione
30
20
10
0
estrazione
coltura
Etanolo
Benzina
Figura 7.8 Contributo dei singoli processi coinvolti nella produzione di etanolo e benzina alla categoria di
impatto uso delle risorse energetiche
I contributi dei singoli processi, in entrambe le categorie analizzate, sono riassunti in tabella 7.5.
68
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Tabella 7.5 Contributi dei singoli processi coinvolti nella produzione di etanolo e benzina alle due categorie di
impatto considerate
emissioni gas serra (gCO2eq/kg)
consumo energia (MJ/kg)
benzina
bioetanolo
benzina
bioetanolo
trasporto
20
6
0,2
0,1
produzione
5
1108
0,1
8,3
coltivazione
estrazione
TOT
-747
648
672
367
4,4
57,5
57,8
12,8
7.4.2 Conclusioni dell’analisi “from cradle to gate”
La produzione della benzina risulta più impattante, in entrambe le categorie analizzate, soprattutto a
causa della fase di estrazione del greggio. Per il bioetanolo sono importanti, ai fini delle emissioni
di gas serra, le fasi di coltivazione e produzione. Alle fasi di trasporto di entrambi i prodotti sono
associati impatti trascurabili.
Ogni kg di bioetanolo permette, in confronto alla benzina, di evitare 305 gCO2eq/kg e di 45 MJ/kg.
Anche in questo caso si ricorda che l’ipotesi di utilizzare energia elettrica “media” italiana
nell’impianto di produzione di bioetanolo potrebbe comportare impatti peggiori (ossia maggiori
emissioni di CO2 equivalente ed uso di risorse energetiche) rispetto all’uso di energia elettrica
prodotta a partire da biomasse, come dovrebbe effettivamente avvenire nell’impianto Triera S.p.a.
69
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
8 CONFRONTI E ANALISI DI SENSIBILITÀ
Oltre alla riduzione delle emissioni di gas serra, di seguito analizzate in maniera approfondita,
esistono diversi aspetti ambientali legati all’introduzione del biodiesel in sostituzione alla sua
controparte fossile (il gasolio). Le attività legate alla coltivazione delle materie prime necessarie
comportano emissioni di diversi inquinanti che possono provocare impatti negativi in altre categorie
ambientali. Ad esempio fertilizzanti e pesticidi, indispensabili alle colture di colza, girasole e soia
(soprattutto per la colza, pianta molto sensibile), possono causare la diffusione di inquinanti tossici
per la salute umana e la contaminazione delle acque superficiali e del suolo, nonché l’acidificazione
dovuta alle emissioni di SO2 ed NOx (IFEU, 2003). Inoltre, le attività agricole e la produzione dei
fertilizzanti comportano l’emissione di protossido d’azoto (N2O), un gas che non solo contribuisce
al riscaldamento globale, ma anche alla riduzione della fascia di ozono (Reinhardt & Jungk, 2000).
8.1 BIOETANOLO: CONFRONTO CON ALTRI STUDI DI LCA
I risultati dell’analisi LCA della filiera frumento - bioetanolo ottenuti nei paragrafi precedenti sono
in questo capitolo confrontati con dati di letteratura reperiti nella letteratura scientifica, in cui è stato
analizzato il potenziale di riduzione delle emissioni di gas effetto serra, ottenibile attraverso la
sostituzione di benzina fossile con bioetanolo, con un approccio “from cradle to grave”, ossia
prendendo in considerazione tutte le fasi, partendo dalla produzione fino all’uso finale in veicoli di
autotrazione. Sono stati studiati i dati proposti in 9 studi riguardanti il bioetanolo, prodotto a partire
da barbabietola da zucchero, mais o frumento; tutti gli studi hanno considerato l’uso di
biocarburante puro.
I risultati dei diversi studi sono elencati in tabella 8.1 (il bioetanolo è indicato con E, tra parentesi si
riporta la materia prima di origine). Per poterli confrontare, i valori sono stati riportati in un’unica
unità di misura (gCO2eq/kg). Le densità e i poteri calorifici utilizzati, nonché i consumi medi, sono
gli stessi che si sono utilizzati in questo studio e riportati in tabella 8.2.
Tabella 8.1 Emissioni di gas serra dalla produzione e utilizzo di benzina fossile e bioetanolo
Fonte, anno
Benzina
Searchinger et al., 2008
Edwards et al., 2007
Zah, 2007
Wu et al., 2006
Galbraight et al., 2006
SenterNovem, 2005
CE, 2005
Wang & Wu, 2005
ADEME, 2002
3904
3078
3406
4066
3475
3999
4401
3109
3650
E(frumento) E(barbabietola)
gCO2eq/kg
E(mais)
1949
1309
1364
1802
1806
1780
834
922
1124
992
1780
2034
2025
1780
70
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Tabella 8.2 Caratteristiche dei carburanti
densità (benzina)
densità (bioetanolo)
PCI (benzina)
PCI (bioetanolo)
consumo (benzina)
consumo (bioetanolo)
0,752
0,794
43
27
6,95
10,50
kg/l
MJ/kg
l/100km
Nella figura 8.1 sono riassunti i valori medi e le rispettive deviazioni standard delle emissioni di gas
serra osservate negli studi elencati in tabella 8.1; nella figura 8.2 le dispersioni dei dati indicano i
valori massimi e minimi. In entrambe le figure sono riportati i valori di emissioni di gas serra
calcolati nel presente studio, per la benzina e per il bioetanolo.
5000
gCO2eq/kg
4000
3000
valori di letteratura
LCA Lombardia
2000
1000
0
benzina
E(frumento) E(barbabietola)
E(mais)
Figura 8.1 Riassunto dei risultati medi e della varianza degli studi di confronto etanolo-benzina analizzati
5000
gCO2 eq/kg
4000
3000
valori di letteratura
LCA Lombardia
2000
1000
0
benzina
E(frumento) E(barbabietola)
E(mais)
Figura 8.2 Riassunto dei risultati medi e dei valori massimi e minimi degli studi di confronto etanolo-benzina
analizzati
Le quantità media di gas serra evitati per ogni tipo di biocarburante analizzato (calcolate come
media dei valori disponibili in tabella 8.2) sono pari a 2274 gCO2eq/kg, 2231 gCO2eq/kg e 1956
gCO2eq/kg rispettivamente per l’etanolo da frumento, barbabietola e mais.
71
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Il valore di emissioni stimato in questo studio si colloca vicino all’estremo superiore dei valori
reperiti nella letteratura, sia per quanto riguarda la benzina che per l’etanolo. Questo fatto può
avvenire in ragione di piccole differenze in alcune assunzioni effettuate nei diversi studi di LCA
analizzati; assunzioni che potrebbero influire a differenziare i risultati del presente studio da quelli
medi osservati sono gli usi alternativi dei sottoprodotti (paglia e DDGS), le diverse localizzazioni
geografiche delle operazioni considerate o dei materiali in input ai sottosistemi. La differenza
osservata rispetto agli altri studi non è così marcata: in termini di riduzione percentuale media il
valore osservato nel presente studio (-55%) è molto simile a quello che si osserva nella bibliografia
(in media -62%).
8.2 BIODIESEL: EMISSIONI DI GAS SERRA SECONDO LA LETTERATURA
Il potenziale di riduzione delle emissioni di gas effetto serra ottenibile attraverso la sostituzione di
gasolio con biodiesel è stato valutato sulla base di una rassegna della bibliografia disponibile,
confrontando i risultati di 13 studi di LCA di questo biocarburante. In questi studi sono state
analizzate le emissioni di gas serra del gasolio confrontandole con quelle del biodiesel, con un
approccio “from cradle to grave” ossia prendendo in considerazione tutte le fasi, partendo dalla
produzione fino all’uso finale in veicoli di autotrazione. Si noti che tutti gli studi hanno considerato
l’uso di biocarburante puro.
I risultati dei diversi studi sono elencati in tabella 8.3 (il biodiesel è indicato con B, tra parentesi si
riporta la materia prima di origine). Per poterli confrontare, i valori sono stati riportati in un unica
unità di misura (gCO2eq/kg). Le densità e i poteri calorifici utilizzati, discussi nel capitolo 1, nonché
i consumi medi (Edwards et al, 2007), sono riportati in tabella 8.4.
Tabella 8.3 Emissioni di gas serra dalla produzione e utilizzo di diesel fossile e biodiesel
Fonte, anno
diesel
Edwards et al., 2007
Malça & Freire, 2007
Zah, 2007
Galbraight et al., 2006
SenterNovem, 2005
Malça & Freire, 2004
DEFRA, 2003
Elsayed et al., 2003
ADEME, 2002
Beer et al., 2000
Lenvington, 2000
Novem&ADL, 1999
Sheenhan et al., 1998
3693
3520
3932
3612
4460
3864
3529
3529
3390
3486
3529
4648
9909
B(colza)
B(girasole)
gCO2eq/kg
1629
970
2314
2510
1725
2289
675
1250
1250
1591
745
888
2419
1364
2470
B(soia)
2811
1250
1888
1906
72
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Tabella 8.4 Caratteristiche dei carburanti
densità (diesel)
densità (biodiesel)
PCI (diesel)
PCI (biodiesel)
consumo (diesel)
consumo (biodiesel)
0,85
0,88
42
38
5
5,7
kg/l
MJ/kg
l/100km
Nella figura 8.3 sono riassunti i valori medi e le rispettive deviazioni standard delle emissioni di gas
serra osservate negli studi elencati in tabella 8.3, mentre nella figura 8.4 le dispersioni dei dati
indicano i valori massimi e minimi. Si osserva che per tutti i biodiesel analizzati si riscontrano
vantaggi in termini di riduzione delle emissioni di gas serra: in particolare, il biodiesel prodotto a
partire dal girasole sembra essere la soluzione più vantaggiosa.
7000
6000
gCO2eq/kg
5000
4000
3000
2000
1000
0
diesel
B(colza)
B(girasole)
B(soia)
Figura 8.3 riassunto dei risultati medi e della varianza degli studi di confronto diesel-biodiesel analizzati
73
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
12000
gCO2 eq/kg
10000
8000
6000
4000
2000
0
diesel
B(colza)
B(girasole)
B(soia)
Figura 8.4 Riassunto dei risultati medi e dei valori massimi e minimi degli studi di confronto diesel-biodiesel
analizzati
Le quantità medie di gas serra evitate grazie ai diversi tipi di biodiesel ricavate da questi studi
saranno utilizzate nel capitolo 9 per calcolare i benefici derivanti dall’introduzione dei
biocombustibili in Lombardia. Tali quantità (calcolate come media dei valori disponibili in tabella
8.3, per ogni tipo di biocarburante analizzato) sono pari a 2595 gCO2/kg, 2527 gCO2/kg e 1767
gCO2/kg rispettivamente per il biodiesel da girasole, colza e soia.
8.3 ANALISI DI SENSIBILITÀ
Gli aspetti che maggiormente possono influenzare le performance ambientali dei biocarburanti sono
il consumo specifico dei veicoli, le modalità di utilizzo dei sottoprodotti, la quantità di energia
rinnovabile utilizzata durante i processi di produzione e il tipo di biomassa scelta come materia
prima (CE, 2005).
Nello studio presentato ai capitoli precedenti sono state effettuate ipotesi per ognuno di questi
fattori: il consumo delle miscele (espresso in litri di carburante/100 km) nei veicoli è stato
considerato linearmente dipendente al contenuto di biocombustibile; le emissioni di N2O derivanti
dall’applicazione di fertilizzanti azotati sono state calcolate sulla base di un fattore di emissione pari
all’1,25% dell’urea applicata; il metodo di allocazione selezionato si basa sulla quantità in massa
dei sottoprodotti. Forme di uso alternative dei sottoprodotti (paglia e DDGS) non sono state tenute
in considerazione, data la difficoltà di effettuare un ampliamento del sistema, ossia di includere i
processi che potrebbero coinvolgere i sottoprodotti (ad esempio il recupero energetico della paglia
attraverso combustione); l’energia in ingresso nei sottosistemi è stata considerata essere tutta di
origine fossile, anche se, come sottolineato, l’elettricità usata nell’impianto di produzione del
bioetanolo verrà prodotta a partire da fonti rinnovabili (oli vegetali).
Si è ritenuto opportuno effettuare un’analisi di sensibilità, volta a valutare gli effetti di differenti
assunzioni sui risultati finali.
74
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
8.3.1 Analisi di sensibilità del consumo di carburante nelle miscele E5 ed E10
Come precedentemente accennato, molti studi hanno analizzato gli effetti dell’aggiunta di etanolo
alle benzine sulle performance dei veicoli. L’etanolo ha un numero di ottani molto più alto della
benzina e brucia più gradualmente a basse temperature; grazie al contenuto di ossigeno permette
inoltre una combustione più completa (IEA, 2004). L’aggiunta di etanolo alla benzina aumenta la
potenza di freno, le efficienze di torsione, di consumo del combustibile e volumetriche, mentre
diminuisce il consumo specifico e il rapporto air-fuel equivalente (Al-Hasan, 2003);
complessivamente si può affermare che l’aumento di consumo attribuibile all’etanolo, dovuto al
minor contenuto energetico, è in parte mitigato dal miglioramento dell’efficienza in camera di
combustione, apportata dal biocarburante stesso (Brewster, 2007).
Per questo motivo, numerosi studi (Tan & Cubala, 2002; Zhi Fu et al., 2003; CE, 2005;
SenterNovem, 2005) hanno considerato i consumi delle miscele a basso contenuto di etanolo pari a
quelli della benzina fossile.
L’analisi di sensibilità è stata dunque condotta ipotizzando uguali consumi specifici di carburante
per i veicoli alimentati con miscele E0, E5, E10 (tabella 8.5).
Tabella 8.5 Caratteristiche dei carburanti studiati nell’analisi di sensibilità
densità
(kg/l)
0,752
0,7541
0,756
E0
E5
E10
PCI
(MJ/kg)
42,9
42,1
41,3
consumo
(l/100km)
6,95
6,95
6,95
consumo
(kg/km)
0,052
0,052
0,053
L’ipotesi sul consumo di carburante varia in modo molto limitato le emissioni di CO2eq evitate
rispetto allo scenario base: pur essendoci un effettivo risparmio (in termini di gCO2eq evitati per km
percorso), in quanto le emissioni evitate in fase di combustione aumentano rispetto allo scenario
base del 46% nel caso dell’E5 e del 117% nel caso dell’E10, si tratta comunque di valori poco
significativi nel contesto delle riduzioni totali stimate dell’LCA, come mostrato nelle figure 8.5 e
8.6.
100
80
%
60
40
20
0
caso base
consumo uguale
E0
E5
E10
Figura 8.5 emissioni di gas serra confrontate in termini assoluti nei due scenari
75
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
E5
E10
0
gCO2 eq/km
-5
caso base
-10
-8,7
consumo uguale
-8,7
-12,7
-15
-17,3
-20
Figura 8.6 Emissioni di gas serra evitate nei due scenari, con E5 ed E10
Anche per il consumo di energia, nel nuovo scenario, non si riscontrano cambiamenti sostanziali,
come rappresentato in figura 8.7: nel caso considerato dall’analisi di sensibilità le miscele E5 ed
E10 permettono un risparmio di energia triplo rispetto a quello dello scenario base, come descritto
in figura 8.8, ma sempre contenuto in termini assoluti.
100
80
%
60
40
20
0
caso base
consumo uguale
E0
E5
E10
Figura 8.7 Consumo di energia confrontato in termini assoluti nei due scenari
E5
E10
0,0
gCO2 eq/km
-0,03
-0,1
-0,07
-0,10
caso base
consumo uguale
-0,2
-0,22
-0,3
Figura 8.8 Consumo energetico evitato nei due scenari, con E5 ed E10
76
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Nel caso considerato nell’analisi di sensibilità (“consumo uguale”) la miscela E10 risulta essere più
vantaggiosa, in termini di emissioni di gas serra evitate, rispetto all’E5, al contrario di quanto
osservato nel caso base, dove E5 ed E10 comportano praticamente le stesse emissioni di CO2eq per
km. Data la forte sensibilità dell’E10 al fattore consumo, si deve tenere in considerazione che
basterebbero valori leggermente più alti di tale fattore per invertire il risultato dell’analisi, rendendo
la miscela E10 meno conveniente dal punto di vista delle emissioni di gas serra. In particolare,
secondo le ipotesi di questo studio, la miscela E10 nell’intero ciclo di vita, risulterebbe peggiore
della benzina fossile per valori di consumo maggiori di circa 7,7 lE10/100km, come mostrato in
figura 8.9.
240
gCO2 eq/km
230
220
210
200
190
6,9
7,1
7,3
7,5
7,7
7,9
8,1
8,3
8,5
consumo carburante (l/100km)
E10
Benzina
Figura 8.9 Influenza del consumo specifico del veicolo sull’impatto totale dell’E10, nella categoria emissioni di
gas serra, confrontato con la benzina fossile
8.3.2 Analisi di sensibilità delle emissioni di N2O in agricoltura
L’attività agricola è la fonte primaria di emissioni di gas serra associate alla produzione di
biocarburanti, a causa delle emissioni di protossido d’azoto (SenterNovem, 2005). Tali emissioni
non sono molto abbondanti in massa ma il loro elevato potenziale di effetto serra (circa 300 volte
quello della CO2) ne rende l’impatto davvero significativo. Le emissioni di N2O derivanti
dall’agricoltura sono determinate da due fonti in particolare: produzione di fertilizzanti azotati e
applicazione degli stessi sul campo (Edwards et al., 2004).
Il valore utilizzato dall’IPCC per il calcolo delle emissioni totali in atmosfera di N2O è circa
dell’1,25% dell’azoto applicato come fertilizzante (IPCC, 2006). Nel presente studio di LCA per il
calcolo delle emissioni azotate associate all’applicazione di fertilizzanti si è seguito il procedimento
illustrato da Brentrup et al. (Bentrup et al., 2000) secondo cui il 1,25% di N applicato si converte in
N2O.
Secondo un recente studio (Crutzen et al., 2008), che ha riesaminato le emissioni di protossido
d’azoto associate all’uso di fertilizzanti agricoli, il fattore di conversione risulta essere molto più
alto (3-5%) suggerendo che, se si considerano tali emissioni aggiuntive, la produzione tradizionale
di biocarburanti può contribuire all’aumento di emissioni di gas serra (da N2O) più di quanto non ne
permetta la riduzione nell’intero ciclo di vita (Crutzen et al., 2008).
Per questa ragione si è deciso di effettuare un’analisi di sensibilità e valutare quali possono essere
gli effetti di una differente emissione di N2O sull’intero ciclo di vita dell’etanolo, applicando i
fattori di emissione proposti da Crutzen.
77
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Sono stati analizzati e confrontati i seguenti scenari di emissione:
• caso base, che si riferisce ad un livello emissivo di N2O pari all’1,25% dell’azoto applicato
durante l’attività agricola; questo è il valore che è stato considerato nel presente studio e che
è altresì proposto da diversi studi precedenti (Brentrup et al., 2000; IPCC, 2006);
• caso 2a, nel quale si considera un livello emissivo di N2O pari al 2% dell’azoto applicato;
• caso 2b, che si riferisce ad un livello emissivo del 3% (valore limite inferiore suggerito dallo
studio di Crutzen (Crutzen et al., 2008));
• caso 2c, che considera un livello emissivo del 5% (valore limite superiore suggerito dallo
studio di Crutzen (Crutzen et al., 2008)).
La variazione delle emissioni di protossido d’azoto derivanti dall’applicazione di fertilizzanti in fase
agricola influisce solo sulle emissioni totali di gas serra, dunque l’analisi di sensitività è stata
condotta per questa sola categoria. I risultati relativi all’analisi sono riassunti in figura 8.10.
250
gCO2 eq/km
200
E0
E5
150
E10
100
E85
50
E100
0
caso base
caso 2a
caso 2b
caso 2c
Figura 8.10 Risultati dell’analisi di sensitività delle emissioni di N2O, nel caso d’analisi
Dalle figure si osserva con chiarezza che una modesta variazione nelle emissioni di N2O, come
descritto in tabella 8.6, può comportare cambiamenti sostanziali ai fini dell’analisi totale. Già nel
caso 2b, nel quale si considerano i livelli emissivi minori proposti da Crutzen, la produzione di
bioetanolo risulta più impattante di quella della benzina nella categoria emissioni di gas serra,
giungendo ad apportare 389 g di CO2eq/kg emessa in più rispetto alla benzina nel caso 2c.
Tabella 8.6 Emissioni di N2O e di gas serra nei casi considerati dall’analisi di sensitività
caso base
caso 2a
caso 2b
caso 2c
Fattore emissivo
kgN2O/kgN
1,25%
2%
3%
5%
N2O
g/kggrano
8,51E-04
1,36E-03
2,04E-03
3,39E-03
emissioni di gas serra ("from cradle to grave")
etanolo
E0
E5
E10
E85
E100
gCO2eq/kg
gCO2eq/km
367
214
205
205
147
144
506
214
205
206
156
156
690
214
205
207
168
171
1056
214
206
209
193
201
Nel caso dell’analisi “from cradle to grave”, dove viene considerata anche la fase di uso finale, e
dunque gli apporti emissivi derivanti dalla combustione del biocarburanti e della benzina, l’etanolo
rimane sempre vantaggioso rispetto al carburante fossile, anche se la differenza di emissioni di gas
effetto serra si assottiglia in forma molto accentuata con l’aumento delle emissioni di N2O. Nel caso
78
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
2c l’uso di bioetanolo puro giunge ad apportare quasi le stesse emissioni della benzina, permettendo
un risparmio di soli 13 g di CO2eq/km (quantità davvero esigua).
8.3.3 Analisi di sensibilità del metodo di allocazione dei carichi ambientali
L’allocazione è definita come l’atto di assegnare o ripartire gli impatti ambientali di un sistema tra i
differenti prodotti e/o funzioni del sistema oggetto di studio (Azapagic & Clift, 1999; Weidema,
2001; Jungmeier et al., 2002).
Come suggerito dall’Organizzazione Internazionale per la Standardizzazione (ISO), nel caso in cui
non sia possibile ricorrere all’espansione dei confini del sistema (causa mancanza di dati o
eccessiva complessità) si deve ricorrere all’allocazione, che deve riflettere le relazioni esistenti
(fisiche/chimiche/biologiche) tra i carichi ambientali e le funzioni; quando tali relazioni non si
possano utilizzare come base dell’allocazione sono da utilizzarsi altre relazioni (ad esempio il
valore economico) per riflettere le relazioni tra carichi ambientali e funzioni (ISO, 2006).
Nel presente studio il metodo di allocazione dei carichi ambientali è stato basato sul valore in massa
degli stessi (vedi capitolo 7). Nello studio considerato nei capitoli precedenti il sottosistema
agricolo prevede la produzione di uguali quantità per ettaro di grano e di paglia, analogamente il
sottosistema di produzione del bioetanolo produce uguali quantità di DDGS (sottoprodotto
utilizzabile come foraggio per il bestiame) ed etanolo. Secondo l’assegnazione in massa, dunque, i
carichi si distribuiscono in misura del 50% su ogni sottoprodotto in entrambi i sistemi, dal momento
che le quantità in output sono le stesse.
Tuttavia i risultati finali dell’analisi del ciclo di vita sono soggetti a forti variazioni in funzione del
metodo di allocazione dei carichi selezionato; in modo particolare il bioetanolo prodotto a partire da
frumento è molto sensibile al metodo di allocazione scelto (Malça & Friere, 2006).
Si è scelto dunque di procedere ad un’analisi di sensibilità per verificare le variazioni dei risultati
dell’LCA derivanti dalla scelta di un altro metodo di assegnazione, in questo caso basato sul valore
economico dei prodotti. I prezzi di mercato dei prodotti e i nuovi valori di allocazione dei carichi
sono riassunti in tabella 8.7. Il valore di allocazione rappresenta la quota percentuale di un
sottoprodotto rispetto al prezzo totale degli output del processo considerato.
Tabella 8.7 Prezzo di mercato dei prodotti e assegnazione dei carichi nel caso di allocazione secondo il valore
economico
prodotto
grano
paglia
etanolo
DDGS
prezzo (€/t)
102
38
554
109
Fonte
Edwards et al., 2007
Edwards et al., 2007
Ethanol statistics, 2008
Edwards et al., 2007
allocazione
73%
27%
84%
16%
La variazione del metodo di allocazione influisce su entrambe le categorie (emissioni di gas serra ed
uso dell’energia); l’impatto associato alle 5 miscele prese in considerazione è illustrato in figura
8.11 e 8.12, dove il caso dell’allocazione su base economica (caso 3) viene confrontato col caso
base dello studio (ossia allocazione sulla base del valore in massa).
79
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
300
gCO2 eq/km
250
E0
200
E5
150
E10
100
E85
E100
50
0
caso base
caso 3
Figura 8.11 Emissioni di gas serra nei due casi di allocazione
3,5
3,0
E0
MJ/km
2,5
E5
2,0
E10
1,5
E85
1,0
E100
0,5
0,0
caso base
caso 3
Figura 8.12 Uso di risorse energetiche nei due casi di allocazione
Come si riscontra nelle figure 8.11 ed 8.12, il metodo di allocazione selezionato per distribuire i
carichi sui sottoprodotti è molto influente nei riguardi del risultato finale dell’analisi del ciclo di vita.
Se infatti con il metodo basato sul valore della massa l’etanolo è risultato vantaggioso rispetto alla
benzina fossile in tutti i casi, con l’allocazione secondo il valore economico l’E100 e l’E85 risultano
peggiori per quanto riguarda le emissioni di CO2, mentre le altre miscele consentono riduzioni di
gas serra veramente limitate, se non uguali (caso dell’E10). Il consumo energetico nel caso
dell’allocazione economica privilegia ancora le miscele a base di etanolo, poiché nel caso base tali
miscele permettevano un maggior risparmio; tuttavia anche in questo caso l’uso di energia evitato si
riduce in maniera molto marcata o addirittura si annulla.
8.3.4 Analisi di sensibilità: quadro riassuntivo
I casi analizzati nell’analisi di sensibilità sono stati i seguenti:
• caso base: il caso di studio descritto nel capitolo 7;
• caso 1: ipotesi di uguale consumo specifico delle miscele E0, E5, ed E10;
• caso 2a: ipotesi di emissioni di N2O pari al 2% dell’azoto applicato come fertilizzante;
• caso 2b: ipotesi di emissioni di N2O pari al 3% dell’azoto applicato come fertilizzante;
• caso 2c: ipotesi di emissioni di N2O pari al 5% dell’azoto applicato come fertilizzante;
80
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
•
caso 3: ipotesi di allocazione dei carichi secondo il criterio del valore economico.
I risultati, in termini di emissioni totali di gas serra (CO2equivalenti) e di uso complessivo di
energia (MJ) sono riassunti in tabella 8.8, in cui casi analizzati sono indicati con A.S. (Analisi di
Sensibilità) e il numero relativo al caso analizzato.
Tabella 8.8 Quadro riassuntivo dei risultati dell’analisi di sensibilità
Caso Base
A.S.1
E0
E5
E10
E85
E100
214
205
205
147
144
214
201
196
147
144
E0
E5
E10
E85
E100
3,09
3,06
3,02
1,44
1,18
3,09
2,99
2,87
1,44
1,18
A.S.2a A.S.2b
gCO2eq/km
214
214
205
205
206
207
156
168
156
171
MJ/km
A.S.2c
A.S.3
214
206
209
193
201
214
208
213
242
263
3,09
3,10
3,09
2,08
2,18
Nella figura 8.13 ed 8.14 sono riassunti i risultati dello studio, rappresentati dalle colonne, a
confronto con i valori massimi e minimi riscontrati nei diversi casi di analisi di sensitività,
rappresentati dalle barre, per entrambe le categorie di impatto analizzate.
270
gCO2eq/km
225
180
135
90
E0
E5
E10
E85
E100
45
0
Figura 8.13 Risultati dell'LCA confrontati con i valori massimi e minimi ottenuti nell'analisi di sensitività
(emissioni di gas effetto serra)
81
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
3,2
MJ/km
2,8
2,4
E0
2,0
E5
1,6
E10
1,2
E85
0,8
E100
0,4
0,0
Figura 8.14 Risultati dell'LCA confrontati con i valori massimi e minimi ottenuti nell'analisi di sensitività (uso di
energia)
Tra i casi analizzati, la metodologia di assegnazione dei carichi selezionata risulta essere la più
influente ai fini della valutazione finale: nel caso A.S. 3, nel quale si è valutata la possibilità di
allocazione sulla base del valore economico dei sottoprodotti, che comporta un’elevata differenza
tra di essi (tabella 8.7), l’impatto ambientale delle miscele di etanolo è maggiore o uguale a quello
della benzina fossile. La forte sensibilità dei risultati relativi all’etanolo al metodo di allocazione è
nota in letteratura (Malça & Freire, 2006; Lechón et al., 2005; Beer et al., 2000; Galbraight et al.,
2004; Malça et al., 2005; SenterNovem, 2005) e la scelta e la giustificazione di una particolare
procedura di allocazione è uno dei maggiori argomenti di discussione nelle valutazioni i ciclo di
vita, soprattutto nel caso in cui abbiano una forte influenza sui risultati finali (Freire et al., 2002).
Per tali ragioni la soluzione ottimale sarebbe espandere i confini del sistema per evitare di ricorrere
ad allocazione, in alte parole includere nei confini dell’LCA gli usi alternativi di paglia e DDGS.
Negli altri casi di analisi di sensibilità considerati non si riscontrano capovolgimenti dei risultati, ma
in ogni modo si osservano rilevanti variazioni.
I valori emissivi di N2O indicati da Crutzen et al. ed applicati nel caso 2a/b/c, sono plausibili
nonostante la differenza con le assunzioni dell’IPCC, tuttavia alcune ipotesi effettuate nello studio
di Crutzen sono poco appropriate (ad esempio si sottostima la capacità di assunzione di fertilizzante
da parte della pianta), come suggerisce una recente critica (Rauh, 2007), quindi livelli emissivi di
protossido di azoto molto più alti di quelli ipotizzati nel caso base risultano meno plausibili. Il tema
delle emissioni di N2O derivanti dall’agricoltura risulta molto complesso da analizzare (Rauh, 2007);
data la forte influenza di tale inquinante ai fini del calcolo delle emissioni totali di gas serra, sarebbe
auspicabile svolgere test specifici sul territorio in esame.
Un ampliamento della ricerca potrebbe essere consigliato anche per valutare nel dettaglio il
consumo specifico di biocarburante (variabile del caso A.S1), per poter stabilire con maggior
certezza quale sia l’impatto dell’aggiunta di bioetanolo nel caso di miscele a basso contenuto (E5 ed
E10).
Infine, va ricordato che nel processo produttivo considerato in questo studio per l’etanolo non si è
tenuto in considerazione (causa la mancanza di dati) l’uso di energia elettrica derivante da fonti
rinnovabili, come invece stabilito nel progetto dell’impianto analizzato, che comporterebbe un
minor impatto della fase produttiva.
82
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
9 POTENZIALE DI PRODUZIONE DI
BIOCARBURANTI IN LOMBARDIA E
RIDUZIONE DEI GAS SERRA
9.1 LE PRODUZIONI AGROALIMENTARI IN LOMBARDIA ED IN ITALIA
Il sistema agroalimentare lombardo è il più importante a livello nazionale ed uno dei più rilevanti
nel contesto europeo. Il valore della produzione agro-industriale regionale supera gli 11 miliardi di
euro, con una quota superiore al 15% del totale italiano (Casati & Pieri, 2005). Tale valore
rappresenta il 4% del PIL (Prodotto Interno Lordo) regionale. La produzione agricola e le attività di
trasformazione alimentare si svolgono in 70000 strutture produttive, coinvolgendo circa 210000
lavoratori, di cui 144000 stabilmente occupati (Casati & Pieri, 2005).
Una parte rilevante del territorio regionale ed italiano utilizzato è destinato ad attività
agroalimentari. In tabella 9.1 sono mostrati i dati (Istat, 2007) della superficie agricola utilizzata
(SAU) destinata negli ultimi anni in Lombardia ed in Italia a coltivazioni potenzialmente utilizzabili
per la produzione di “colture energetiche” per la produzione di biocarburanti di prima generazione,
ossia per bioetanolo (frumento, mais, barbabietola da zucchero) e per biodiesel (colza, girasole e
soia). È inoltre indicata la percentuale della SAU sul totale.
Tabella 9.1 Superficie agricola utilizzata destinata alle potenziali colture energetiche in Lombardia ed in Italia
LOMBADIA [ha]
Mais
50.024
46.466
38.457
70.734
56.719
60.417
63.037
65.604
86.232
59.743
5,8%
253.840
264.432
285.285
267.968
275.493
290.404
276.491
261.913
246.576
269.156
25,9%
Frumento
Mais
Colza
Girasole
Soia
Barbabietola
da zucchero
Altro
1999
2.386.665
1.027.890
51.489
207.200
246.455
283.785
1.431.328
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Media 1999-2007
ripart. %
2.321.893
2.289.372
2.415.316
2.266.159
2.353.972
2.122.896
1.925.651
2.094.983
2.241.879
42,9%
1.063.555
1.109.644
1.111.952
1.163.229
1.196.953
1.113.166
1.108.419
1.053.396
1.105.356
21,1%
36.294
26.185
9.578
4.826
2.872
3.478
3.535
7.165
16.158
0,3%
216.852
207.804
165.603
150.781
123.977
129.874
144.566
126.423
163.676
3,1%
256.647
133.512
152.021
152.052
150.368
152.331
176.134
130.335
172.206
3,3%
249.154
222.595
254.664
210.620
185.805
253.043
91.230
1.416.842
1.480.425
1.387.772
1.368.040
1.378.783
1.409.494
995.479
1.124.492
1.332.517
25,5%
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Media 1999-2007
ripart. %
Colza
Girasole
4.449
4.432
2.310
7.571
1.274
7.778
241
6.256
239
4.611
182
4.349
133
2.011
161
3.664
1.435
1.738
1.158
4.712
0,1%
0,5%
ITALIA [ha]
Soia
Barbabietola
da zucchero
Frumento
47.946
47.769
42.446
17.010
19.744
19.477
19.596
23.591
12.266
27.761
2,7%
28.034
23.192
17.948
19.918
15.056
14.190
21.967
7.401
18.463
1,8%
218.862
4,2%
Altro
740.592
697.113
711.374
710.418
690.005
673.521
656.555
510.221
536.014
658.424
63,5%
83
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Come si può osservare, la coltura maggiormente sviluppata in Lombardia è quella del mais, che
occupa da sola il 25% della SAU della nostra regione; in Italia invece è il frumento ad occupare la
maggior estensione territoriale (43% della SAU nazionale).
In tabella 9.2 sono elencate le produzioni di colture bioenergetiche (Istat, 2007).
Tabella 9.2 Produzioni delle colture energetiche, espresse in 103 tonnellate raccolte in Lombardia ed in Italia
LOMBARDIA [1000 t]
Frumento
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Media 1999-2007
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Media 1999-2007
276
254
205
403
289
359
382
407
468
338,1
Mais
Colza
2787
8,5
2801
3,4
3106
1,8
3019
0,4
2619
0,4
3318
0,3
3139
0,3
2908
0,4
2774
3,7
2941,2
2,1
ITALIA [1000 t]
Girasole
Soia
12
24
25
22
11
15
7
13
6
15,2
185
172
166
68
73
78
79
94
45
106,7
Frumento
Mais
Colza
Girasole
Soia
7743
7428
6413
7548
6229
8639
7717
7182
7144
7338
10017
10140
10556
10554
8702
11368
10428
9626
361
9084
52
41
19
13
7
5
6
6
15
18
432
461
411
354
237
274
289
308
279
338
871
908
882
566
389
518
553
545
408
627
Barbabietola
da zucchero
1527
1276
917
1114
654
789
1385
511
1021,7
Barbabietola
da zucchero
14505
11569
9910
12726
6994
8473
14156
4770
10388
In Tabella 9.3 sono stimate le produttività medie, espresse in termini di quintali di materiale
raccolto per ettaro, per ogni coltura, in Lombardia ed in Italia. Il valore medio è stato calcolato
comprendendo i valori dei raccolti del 2003, pur trattandosi di un anno caratterizzato da particolari
condizioni climatiche (siccità, elevate temperature) che hanno influenzato negativamente il raccolto.
84
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Tabella 9.3 Produttività delle colture in Lombardia ed in Italia
LOMBARDIA [q/ha]
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Media 1999-2007
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Media 1999-2007
Barbabietola
da zucchero
Frumento
Mais
Colza
Girasole
Soia
55
55
53
57
51
59
61
62
54
110
106
109
113
95
114
114
111
113
19
15
14
18
16
18
23
22
26
27
32
33
35
24
34
36
36
36
39
36
39
40
37
40
41
40
36
545
550
511
559
434
556
631
690
57
111
34
39
577
Frumento
Mais
Colza
Girasole
Soia
Barbabietola
da zucchero
33
33
28
33
28
37
37
38
35
34
99
96
96
96
75
96
94
87
24
86
11
12
12
14
14
19
18
17
22
16
21
22
21
22
16
23
23
22
22
22
36
36
38
39
26
35
37
31
31
35
19
ITALIA [q/ha]
515
510
499
601
365
502
636
578
549
Si nota che le produttività medie lombarde, per tutte le colture, sono molto maggiori di quelle
italiane. Proprio per tale differenza con la situazione nazionale risulta particolarmente interessante
approfondire la potenzialità di produzione di biomassa in Lombardia, in quanto valori di
produttività più alti di quelli medi italiani possono comportare differenze sostanziali.
9.2 METODOLOGIA DI STIMA
Per calcolare il potenziale quantitativo di biocarburanti producibile in regione Lombardia è
utilizzata la metodologia di calcolo descritta in figura 9.1.
85
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
SAUa
QSUa
RPa
Pa
FCBa
PBPb
Figura 9.1 Metodologia per la stima della produzione potenziale di biocarburanti
Per ogni prodotto agricolo a, il Raccolto Potenziale (RP) deriva dal prodotto tra il valore della
Produttività (P, precedentemente mostrata in tabella 9.3), l’estensione di Superficie Agricola Utile
(SAU, precedentemente elencato in tabella 9.1) e la Quota di Superficie Utilizzata (QSU), ossia la
percentuale di SAU dedicata alla coltura in esame che sarà effettivamente utilizzata per produrre
una biomassa a scopo energetico.
RPa = SAUa x Pa x QSUa
(9.1)
Dove:
RPa = Raccolto Potenziale
Pa = Produttività
QSUa = Quota di Superficie Utilizzata
Numerose sono le variabili in grado di influire sulla quantità di superficie agricola che nei prossimi
anni sarà destinata a produzioni bioenergetiche; per questo motivo si è deciso nel presente studio di
considerare diversi scenari di evoluzione della superficie agricola, al fine di stimare il potenziale di
biocarburanti producibile e quindi l’entità della riduzione delle emissioni di CO2 conseguente al loro
utilizzo nei veicoli in Lombardia.
Definiti i valori di QSU in ogni scenario, il Potenziale di Biocarburanti b Producibile è calcolato
come sommatoria dei prodotti tra il raccolto Potenziale e il Fattore di Conversione (FCB) per ogni
prodotto agricolo convertibile nel biocarburante in oggetto.
PBPb = ∑a RPa x FCBa
(9.2)
Dove:
PBPb = Potenziale di Biocarburanti Producibile
RPa = Raccolto Potenziale
FCB = Fattore di Conversione
I fattori di conversione sono stati ricavati da un’indagine di letteratura e sono elencati in tabella 9.4,
espressi in kg di biocarburante producibile per kg di prodotto agricolo. Si tratta di valori medi di un
dataset reperibile nelle fonti bibliografiche riportati in tabella 9.5 con i dati originali.
Tabella 9.4 Fattori di conversione delle biomasse in carburanti
materia prima di
origine
frumento
mais
barbabietola da zucchero
colza
soia
girasole
biocarburante
Bioetanolo
Biodiesel
FCB
(kgBiocarburante/kgBiomassa)
0,286
0,286
0,074
0,376
0,185
0,333
Fonte dati
Triera S.p.a., 2008
Triera S.p.a., 2008
Jodice, 2007; Ursitti, 2006; Cachón, 2004
Assocostieri, 2007; Cachón, 2004
De Maria, 2007; Pimentel & Patzeck, 2005
Pimentel & Patzeck, 2005; Cachón, 2004
86
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Tabella 9.5 Dati completi delle fonti bibliografiche
kgbiocarburante/kgprodotto agricolo
Jodice, 2007
Assocostieri, 2007
De Maria, 2007
Ursitti, 2006
Pimentel & Patzek, 2005
Cachón et al., 2004
barbabietola da
zucchero
0,067
colza
soia
girasole
0,388
0,189
0,076
0,180
0,081
0,363
0,255
0,410
9.3 SCENARI ANALIZZATI
Il potenziale di produzione dei biocarburanti è stato stimato facendo riferimento a tre differenti
ipotesi di conversione di superficie agricola utile alla produzione di biocarburanti, come in seguito
illustrato.
9.3.1 Scenario 1, potenziale massimo
Il primo scenario è uno scenario di riferimento, puramente teorico, volto a stimare il massimo
quantitativo di biocarburanti teoricamente producibile in Lombardia nell’ipotesi di utilizzare tutta la
superficie agricola media coltivata per la produzione di biocarburanti.
La percentuale di terreni utilizzati in questo scenario per la produzione di colture energetiche è
dunque pari al 100% della SAU media destinata ad ogni coltura.
In altre parole si ipotizza di destinare la totalità della produzione media di frumento, mais,
barbabietola, colza, soia e girasole alla produzione di colture energetiche.
9.3.2 Scenario 2, potenziale “sostenibile”
In questo scenario le superfici destinate alla bioenergia sono ipotizzate basandosi sui risultati dello
studio dell’Agenzia europea per l’Ambiente “Estimating the environmentally compatible bioenergy
from agriculture” (EEA, 2007a) presentato nel capitolo 2. In questo studio l’EEA ha stimato una
quantità di terreni destinabili alle produzioni bioenergetiche in condizioni di sostenibilità
ambientale, valutata tramite una serie di indicatori di sostenibilità, pari circa a 1 milione di ettari nel
2010 per l’intero territorio italiano.
Nello studio dell’EEA non è stata indicata una ripartizione di tali ettari per coltura; effettuare
un’analisi di questo tipo richiederebbe un approfondimento e un livello di dettaglio sulle
caratteristiche delle produzioni italiane e lombarde che esula dagli scopi del presente studio.
La percentuale di SAU destinabile alla produzione di colture energetiche è stata dunque stimata
ipotizzando che la quota di superficie “sostenibile” per la produzione di biocarburanti sia in
Lombardia simile a quella media italiana stimata dall’EEA e pari a circa il 20% della SAU. In Italia
è infatti disponibile un’estensione di superficie agricola pari a 5.226.335 ettari (Istat, 2007), di cui
1.074.000 ettari sono la superficie proposta dall’EEA.
87
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
9.3.3 Scenario 3, potenziale minimo
Il terzo scenario si basa sull’ipotesi di non modificare la destinazione delle attuali produzioni
agricole, bensì di destinare alla bioenergia le sole superfici dedicate a riposo dalla Politica Agricola
Comunitaria (PAC).
La PAC definisce un prezzo minimo garantito per i prodotti agricoli, nonché le aree agricole da
destinarsi a riposo (set-aside), che non possono, in altre parole, essere utilizzate per la produzione di
foraggi (salvo deroghe particolari), ma possono invece essere destinate alla coltura di materie prime
da destinarsi alla produzione di biocarburanti (CE, 2002b; Bonelli, 2007).
Dal 1990 la quota destinabile al set-aside è cambiata in modo abbastanza irregolare, fluttuando tra il
2% e il 10% dei terreni arabili totali (CE, 2002c). La riforma della PAC del 2000 ha stabilito una
quota obbligatoria di set-aside del 10%, che rappresenta un vantaggio per le coltivazioni stabili di
colture non food. La quota del 10% di set aside è anche stata indicata da diverse previsioni
effettuate a livello europeo (Petrolini, 2004; Cachón, 2004).
In questo scenario si è quindi ipotizzato che le materie prime vengano raccolte interamente da aree
set-aside, calcolando l’estensione di tali aree come il 10% dei terreni arabili totali.
9.3.4 Sommario degli scenari
Le superfici considerate come destinate alla produzione di colture energetiche nei tre scenari
proposti sono riassunte in tabella 9.6.
Tabella 9.6 Superficie destinate alla produzione di colture energetiche nel 2005 e nei tre scenari considerati
SAU media
ha
% sul totale
Frumento
Mais
Colza
Girasole
Soia
Barbabietola
da zucchero
Altro
TOT
59.743
269.156
1.158
4.712
27.761
18.463
658.424
1.039.417
5,8%
25,9%
0,1%
0,5%
2,7%
1,8%
63,5%
100%
Mais
Colza
Girasole
Soia
Barbabietola
da zucchero
Altro
Sup. Energetica TOT
59.743
269.156
1.158
4.712
27.761
18.463
658.424
1.039.417
5,8%
25,9%
0,1%
0,5%
2,7%
1,8%
63,5%
100%
Mais
Colza
Girasole
Soia
Barbabietola
da zucchero
Altro
Sup. Energetica TOT
SCENARIO 1 Frumento
ha
% sul totale
SCENARIO 2 Frumento
ha
% sul totale
11.949
53.831
232
942
5.552
3.693
131.685
207.883
1,2%
5,2%
0,0%
0,1%
0,5%
0,4%
12,7%
20%
Mais
Colza
Girasole
Soia
Barbabietola
da zucchero
Altro
Sup. Energetica TOT
26.916
2,6%
116
0,0%
471
0,0%
2.776
0,3%
1.846
0,2%
65.842
6,3%
103.942
10%
SCENARIO 3 Frumento
ha
% sul totale
5.974
0,6%
Si nota come anche nel primo scenario, dove il 100% della SAU viene destinata a produzioni
energetiche, la percentuale di superficie, rispetto al totale, rimane in ogni caso esigua (il frumento
ad esempio occupa il solo 6%), poiché non si ipotizza di convertire a colture energetiche gli ettari
precedentemente destinati ad altre coltivazioni, che sono racchiusi nella categoria “altro”. Il
rimanente terreno coltivabile è pari a circa due terzi del totale.
Se ad esempio tutti gli ettari attualmente occupati da altre colture fossero convertiti a frumento si
otterrebbe una superficie pari a 718.000 ha (ossia l’80% della SAU totale lombarda), dunque una
88
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
copertura pari a circa 11 volte quella attuale, che permetterebbe un aumento di produzione di
etanolo dello stesso ordine.
In questo studio non è comunque stata presa in considerazione la possibilità dell’intera conversione
a biocarburanti dell’intera superficie agricola regionale.
9.4 POTENZIALE DI PRODUZIONE DI BIOCARBURANTI
Sulla base della metodologia, delle ipotesi e dei dati mostrati nei paragrafi precedenti, sono state
stimate le quantità di biocarburanti producibili nei tre scenari considerati, riportate in Tabella 9.7,
suddivisi per tipo (biodiesel o bioetanolo) e per materia prima di origine.
Tabella 9.7 Quantità di biocarburanti producibile nei diversi scenari
materia prima di origine Biocarburante
frumento
mais
barbabietola da zucchero
colza
soia
girasole
TOT
Bioetanolo
Biodiesel
quantità (t)
SCENARIO 1
96.238
840.462
76.456
822
19.791
5.108
1.038.877
quantità (t)
SCENARIO 2
19.248
168.092
15.291
164
3.958
1.022
207.775
quantità (t)
SCENARIO 3
9.624
84.046
7.646
82
1.979
511
103.888
Il maggior contributo potenziale deriva dal bioetanolo, in tutti e tre gli scenari, poiché le colture
zuccherine sono quelle con maggior estensione territoriale; in particolare, l’etanolo da mais
contribuisce all’80% della totale produzione nei tre casi analizzati.
Le quantità totali di biocarburanti producibili sono rappresentate in figura 9.2.
scenario 3
scenario 2
scenario 1
0
350
700
1.050
kt biocarburante /anno
bioetanolo
biodiesel
Figura 9.2 Quantità di biocarburanti producibile nei tre scenari
89
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
9.5 STIMA DELLE POTENZIALI RIDUZIONI DI GAS SERRA
Le riduzioni di gas serra associate all’introduzione dei diversi quantitativi di biocarburanti stimati
(GSEb) viene stimato dal prodotto, per ogni biocarburante b, tra il potenziale di biocarburanti
producibili (PBPb) e la riduzione specifica di gas serra per unità di biocarburante utilizzato (RSb),
quest’ultima espressa in g di CO2eq/kgbiocarburante (Figura 9.3).
GSEb = PBPb x RSb
(9.3)
Per calcolare il quantitativo totale di emissioni di Gas Serra Evitati in ogni scenario si sommeranno
le emissioni evitate grazie ad ogni biocarburanti b, secondo la formula 9.4
GSEtot = ∑b GSEb
(9.4)
I valori di RSb sono elencati in tabella 9.8.
RSb
PBPb
GSBb
Figura 9.3 Metodologia di stima delle riduzioni di gas serra
Tabella 9.8 Emissioni di gas serra evitate con ogni carburante
biocarburante
biodiesel
materia prima
gCO2eq evitati/kg
colza
girasole
2527
2595
soia
1767
barbabietola
bietanolo
mais
2244
frumento
Le quantità totali di gas serra evitabili, riassunte in figura 9.4 e in tabella 9.9, nei tre scenari sono
pari rispettivamente a 2324, 465 e 233 ktCO2equivalente.
90
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
KtCO2eq evitate
2500
2000
1500
1000
500
0
SCENARIO 1
SCENARIO 2
bietanolo
SCENARIO 3
biodiesel
Figura 9.4 Gas serra totali evitati nei tre scenari
Tabella 9.9 Emissioni di gas serra evitabili nei tre scenari
biocarburante materia prima
GSE(ktCO2)
SCENARIO 1
GSE(ktCO2)
SCENARIO 2
GSE(ktCO2)
SCENARIO 3
colza
biodiesel
girasole
soia
barbabietola
bietanolo
mais
frumento
TOT
2
13
35
172
1886
216
2324
0,4
3
7
34
377
43
465
0,2
1
3
17
189
22
232
9.6 CONCLUSIONI
Le emissioni di gas serra (provenienti da traffico e totali) in Lombardia (dati Regione Lombardia,
2005) nel 2005 sono state le seguenti:
• 18.373 ktCO2equivalenti, da trasporto su strada;
• 93.654 ktCO2equivalenti, da tutte le sorgenti.
Tali quantità sono state confrontate con i gas serra riducibili precedentemente stimati per giudicarne
l’entità.
I risultati sono riportati in tabella 9.10.
Tabella 9.10 Riduzione (%) possibile rispetto alle emissioni totali di gas serra, nei tre scenari
riduzione di gas serra (%)
SCENARIO 1
SCENARIO 2
SCENARIO 3
Emissioni da trasporti
13%
2,5%
1,3%
Emissioni totali
2,5%
0,5%
0,2%
91
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
10. CONCLUSIONI
Il presente studio ha preso in considerazione l’introduzione di biocarburanti di prima generazione in
regione Lombardia, valutando sia le conseguenze sulle emissioni in atmosfera dei veicoli
funzionanti con diverse miscele di biocarburanti, sia le possibili riduzioni di gas serra derivanti da
differenti scenari di produzione di biocarburanti in Lombardia.
Per quanto riguarda il primo aspetto, gli effetti sulle emissioni in atmosfera dell’uso del biodiesel
rispetto al diesel sono una sostanziale riduzione nelle emissioni di monossido di carbonio,
idrocarburi, particolato e IPA, totale riduzione degli ossidi di zolfo, e leggero aumento degli ossidi
di azoto. L’uso di etanolo rispetto alla benzina permette una riduzione più limitata delle emissioni di
monossido di carbonio, idrocarburi, materiale particolato, benzene e aldeidi, mentre comporta
aumento delle emissioni evaporative di COV.
Complessivamente è difficoltoso definire una chiara conseguenza complessiva sulle emissioni in
atmosfera dall’utilizzo di biocarburanti. L’approfondita analisi della letteratura scientifica mostra,
oltre alle tendenze sopra descritte, anche una forte variabilità dei livelli emissivi, nonché
l’incompletezza della base dati disponibile, in quanto la maggior parte dei test analizzati sono stati
effettuati su veicoli antecedenti alle categorie legislative Euro 4 e pertanto le variazioni sopra
riassunte non possono essere attribuite con sicurezza anche ai veicoli più moderni.
L’analisi del ciclo di vita (LCA) della produzione e uso di bioetanolo effettuata in questo studio è
stata realizzata utilizzando dati specifici del contesto lombardo in quanto a caratteristiche delle
coltivazioni e delle tecnologie di produzione del biocarburanti; i risultati sono estendibili alle zone
dell’Italia del Nord che presentino similitudini climatiche e di tecniche di coltura.
I risultati dell’LCA mostrano che il bioetanolo può essere una buona alternativa ai carburanti fossili,
poiché permette un risparmio medio di circa il 60% delle emissioni di gas effetto serra rispetto al
carburante convenzionale (benzina). Le riduzioni, come previsto dall’analisi LCA, prendono in
considerazione le emissioni dell’intero ciclo di vita, ossia considerando le fasi di coltura,
produzione, uso finale e trasporti intermedi, sono pari al 50% nel caso dell’utilizzo del mais, al 65%
nel caso della barbabietola da zucchero, ed al 62% per il frumento.
Per il biodiesel è stata condotta una dettagliata rassegna dei dati presenti nella letteratura scientifica
sul tema, che mostrano come il biodiesel prodotto a partire da colza permetta una riduzione delle
emissioni pari al 53% rispetto al diesel di origine fossile, quello prodotto da girasole del 72% e
quello da soia del 58%.
L’analisi di sensibilità condotta ha mostrato l’influenza sulle riduzioni delle emissioni di gas serra e
dell’uso di energia di alcune ipotesi utilizzate nello studio. La tecnica di coltura prevista (è stata
considerata quella rappresentativa dello stato dell’arte della zona in esame, l’agricoltura intensiva)
influenza il risultato finale in quanto l’applicazione di elevate zone di fertilizzanti azotati implica
consistenti emissioni di N2O. Altri fattori importanti sono il metodo di assegnazione dei carichi
ambientali ai diversi prodotti ottenuti dalle coltivazioni, nonché il consumo specifico di
combustibile nei veicoli, in grado di variare la convenienza ambientale ed energetica per quanto
riguarda le miscele a basso contenuto di biocarburanti.
Per quanto riguarda il primo aspetto, l’analisi ha mostrato la necessità di approfondimento della
ricerca rispetto ai fattori di emissione di protossido d’azoto derivanti da applicazione dei
fertilizzanti azotati e per i consumi specifici di carburanti. Data la forte sensibilità dei risultati al
metodo di allocazione, la soluzione ottimale sarebbe di espandere i confini del sistema per evitare di
ricorrere ad allocazione, cioè includere nei confini dell’LCA gli usi alternativi di paglia e DDGS.
92
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Nonostante le riduzioni di gas serra ottenibili, l’introduzione nel settore dei trasporti di quantitativi
di biocarburanti producibili in Lombardia non permette grandi risultati dal punto di vista delle
riduzioni delle emissioni regionali, in quanto i quantitativi di biocarburanti producibili sono molto
limitati rispetto agli elevati consumi di carburante della regione.
Lo studio ha valutato diversi scenari di produzione di biocarburanti in Lombardia. Nel primo
scenario, che prende in considerazione un ipotetico utilizzo delle intere superfici coltivate nella
regione per la produzione di biocarburanti, le riduzioni di gas serra ottenibili sono pari al 13% di
quelle del settore trasporti e al 2,5% di quelle totali in Lombardia. Tale scenario non è ovviamente
percorribile poiché implica il totale utilizzo delle colture attualmente presenti a scopi energetici. Nel
secondo scenario, che considera l’uso a scopi energetici di una porzione definita “sostenibile” dei
terreni, pari al 20% degli stessi, le riduzioni possibili sono modeste: 2,5 % delle emissioni derivanti
dal settore trasporti e 0,5% delle totali. Nel terzo scenario considerato, nel quale si ipotizza di
utilizzare la sola quota set-aside degli ettari disponibili, pari al 10% del totale delle superfici
coltivate, le riduzioni di gas serra ottenibili sono ancora più ridotte, pari all’1,3% di quelle del
settore trasporti e solo allo 0,25% di quelle totali.
L’analisi del problema dello sviluppo della produzione di biocarburanti alla scala globale mostra la
necessità di procedure di certificazione dei biocarburanti e dell’implementazione di criteri di
sostenibilità, che siano in grado di prevenire altri danni ambientali (es. deforestazione) o problemi
socio-ambientali, principalmente le ripercussioni sul mercato delle materie prime alimentari e la
sicurezza alimentare.
L’analisi del ciclo di vita mostra che nel caso della Lombardia per massimizzare i benefici in
termini di risparmio di energia e di emissioni di CO2eq evitate, sarebbe opportuno considerare la
possibilità di riutilizzo dei sottoprodotti, di utilizzo di energia rinnovabile durante il processo di
produzione e di tecniche di coltura più moderne e meno impattanti, ad esempio quelle denominate
“minima lavorazione”, che prevedono usi minimi di prodotti chimici e riduzione alla lavorazione
essenziale del terreno.
La scarsa rilevanza delle riduzioni delle emissioni di gas serra ottenibili con i biocarburanti
considerati indica l’importanza della ricerca sui biocarburanti di seconda generazione (prodotti
utilizzando l’intera pianta, es. da sorgo, discanto, canna comune, panico verga), non solo
nell’ambito delle tecnologie di produzione, ma anche al riguardo del loro costo, della disponibilità
nel lungo periodo e degli impatti che queste nuove colture possono avere sulla qualità del suolo e
delle risorse ambientali.
93
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
BIBLIOGRAFIA
Aakko P., Westerholm M., Nylund N., Moisio M., Marjamäki M., Mäkelä T., Hillamo R., (2000),
“Emission permormance of selected biodiesel fuels-VTT’s contribution”, Research report
ENE5/33/2000
Aakko P. & Nylund N.O., (2004), “Low temperature particulates from alternative fuels”, IEA/AMF
annex XXII, Windsor Workshop 14-17 giugno, 2004
Abu-Qudais M. & Al-Widyan M., (2002), “Performance and emissions characteristics of a diesel
engine operating on shale oil”, Energy conversion management, vol. 43, 673-682
ADEME, Direction of agriculture and bioenergies of the French environment and energy
management agency, (2002), “Energy and greenhouse gas balances of biofuels and production
chains in France”
Agarwal A.K. & Das L.M., (2001), “Biodiesel development and characterization for use as a fuel in
compression ignition engines”, Journal of engineering for gas turbines and power, vol. 123,
440-447
Agarwal D., Sinha S., Agarwal A.K., (2006), “Experimental investigation of control of NOx
emissions in biodiesel-fueled compression ignition engine”, Renewable Energy, vol. 31, 23562369
Aggarwal V., (2004), “Food and Fuel? Exploring the role of the common agricultural policy in
promoting energy crops”, IIIEE Reports 2004:3
Airfeen N., Wang R., Kookos I.K., Webb C., Koutinas A.A., (2007), “Process design and
optimization of novel whet-based continuous biethanol production system”, Biotechnology
Progress, vol 23, 1394-1403
Al-Hasan M., (2003), “Effects of ethanol-unleaded gasoline blends on engine performance and
exhaust emissions”, energy conversion and management, vol. 44, 1547-1561
Altin R., Çetinkaya S., Yücesu H.S,. (2001), “The potential of using vegetable oil fuels as fuel for
diesel engines”, Energy conversion and management, vol. 42, 529-538
Apache Research Ltd, (1998), “Intensive field trial of ethanol/petrol blend in vehicles”, ERDC
project n° 2511
Assocostieri, (2007), “Unione Produttori Biodiesel”, Verona 2007
Audsley E., Alber S., Clift R., Cowell S., Crettaz P., Gaillard G., Hausheer J., Jolliet O., Klejin R.,
Mortensen B., Pearce D., Roger E., Teulon H., Weidema B., Van Zeijts H., (1997),
“Harmonisation of environmental life cycle assessment for agriculture”, Final Report AIR3CT94-2028
Azapagic A. & Clift R., (1999), “Allocation of environmental burdens in multiple-function
systems”, Journal of cleaner production, vol. 7, 101-119
Balestrini R., Galli L., Tartari G., (2000), “Wet and dry atmospheric deposition at prealpine and
alpine sites in northern Italy”, Atmospheric Environment, vol 34, 1455-1470
Baumann H. & Tillman A.M., (2004), “The hitch hiker’s guide to LCA: an orientation in life cycle
assessment methodology and application”, Lund, Studentlitteratur
Beer T., Grant T., Brown R., Edwards J., Nelson P., Watson H., Williams D., (2000), “Life-cycle
emissions analysis f alternative fuels for heavy vehicles”, CSIRO Atmospheric Research
report C/0411/1.1/F2 to the Australian Greenhouse Office
Bernesson S., Nilsson D., Hansson P., (2006), “A limited LCA comparing large- and small-scale
production of ethanol for heavy engines under Swedish conditions”, Biomass and Bioenergy,
vol 30, 46-57
Bezzo F., Gambardella A., Zanirato S., (2007), “ La produzione industriale di bioetanolo:
Tecnologie attuali e prospettive future”,Fier SEP “bioetanolo: dalla produzione all’utilizzo”
94
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Bonelli C., (2007), “Set.aside, al via le semine di foraggi”, Agricole 31 agosto-6 settembre 2007
Brentrup F., Küsters J., Lammel J., Kuhlmann H., (2000), “Methods to estimates on-field nitrogen
emissions from crop production as an input to LCA studies in the agricultural sector”,
International Journal of Life Cycle Assessment, vol 6, 349-357
Brentrup F., Küsters J., Kuhlmann H., Lammel J., (2004a), “Environmental impact assessment of
agricultural production systems using Life Cycle Assessment methodology I. Theoretical
concept of a LCA method tailored to crop production”, European Journal Agronomy, vol 20,
247-264
Brentrup F., Küsters J., Lammel J., Barraclough P., Kuhlmann H., (2004b), “Environmental impact
assessment of agricultural production sysetms using Life Cycle Assessment methodology II.
The application to N fertilizer use in winter wheat production systems”, European Journal
Agronomy, vol 20, 265-279
Brewster S., (2007), “Initial development of a Turbo-charged direct injection E100 combustion
system”, SAE Technical Paper 2007-01-3625
BUR, Bollettino Ufficiale Regionale, n° 92 del 23/10/2007, “Triera Power S.r.l. di Rovigo
Autorizzazione all’installazione ed esercizio di un impianto di produzione di energia elettrica
con potenzialità di circa 27 MWe alimentato ad olio vegetale, in Porto Marghera (VE)”
BUWAL250, (1996), Ökoinventare für Verpackungen - Schriftenreihe Umwelt 250. Swiss Federal
Environmental Protection Agency. Bern (Switzerland)
Cachón F.A., (2004), “Techno economic assessment of biofuel production in the European Union”,
Master thesis, univertiät Freiberg
Camaleño Simón M.C., (2007), “Inventario de emisiones procedentes del transporte por carrettera
en Castella y León, 2002-2005”, Capitulo 3, Tomo II
Canals L., (2003), “Contribution to LCA Methodology for agricultural system. Site-dependency and
soil degradation impact assessment”, Tesi di dottorato, Universidad autonoma de Barcelona,
Cataluña, España
Canals L., Clift R., Basson L., Hansen Y., Brandão M., (2006), “Expert workshop on land use
impacts in LCA”, International Journal of LCA, vol 11, 363-368
Cardone M., Prati M.V., Rocco V., Seggiani M., Senatore A., Vitolo S., (2002), “Brassica carinata
as an alternative oil crop for the production of biodiesel in Italy: engine performance and
regulated and unregulated exhaust emissions”, Environ. Sci. Technol., vol. 36, 4656-4662
Carlier P., Hannachi H., Mouvier G., (1986), “The chemistry of carbonyls in the atmosphere-a
review”, Atmospheric environment, vol.20, 2079-2099
Carraretto C., Macor A., Mirandola A., Stoppato A., Tonon S., (2004), “Biodiesel as alternative fuel:
experimental analysis and energetic evaluations”, Energy, vo.29, 2195-2211
Casati D. & Pieri R., (2005), “Il sistema agroalimentare della Lombardia, rapporto 2005”
CE (Commissione Europea), (2002a), “White Paper on promotion of renewable energy and clean
energy development”, COM(2002)769 novembre 2002
CE (Commissione Europea), (2002b), Reg. (CE) n° 2002/06 modifica al Reg. (CE) n°795/04, della
commissione del 21 aprile 2004 relativo al regime dei pagamenti diretti della PAC
CE (Commissione Europea), (2002c), “Prospect for agricultural markets 2002-2009”
CE (Commissione Europea), (2003a), Direttiva 2003/30/CE sulla promozione dell’uso di
biocarburanti o di altri carburanti rinnovabili nei trasporti, 8 maggio 2003
CE (Commissione Europea), (2003b), Direttiva 2003/96/CE che ristruttura il quadro comunitario
per la tassazione dei prodotti energetici e dell’elettricità, 27 ottobre 2003
CE (Commissione Europea), (2005), “ Shift Gear to biofuels: results and recommendations from the
VIEWLS project”, novembre 2005
CE (Commissione Europea), (2007a), Direttiva 98/70/CE relative alla qualità della benzina e del
combustibile diesel e recante modificazione della direttiva 93/12/CEE, 13 ottobre 1998
CE (Commissione europea), (2007b), “Biofuel progress report”, COM(2006)845
95
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
CE (Commissione europea), (2007c), “Biofuels progress report – Review of economic and
environmental data for the biofuels progress report”
CEE (Comunità Economica Europea), (1985), Direttiva CEE n° 536/85, Composti organici
ossigenati ammissibili quali componenti e/o stabilizzanti di carburanti
CeSpra (Centro Studi per una nuova etica economica), (2004), “Scheda Frumento (triticum),
versione giugno 2004” disponibile alla pagina http://cespra.provincia.venezia.it/sp_cg.htm
Consoli F., (1993), “Guidelines for life cycle assessment: a code of practice”, SETAC
Correa S.M. & Arbilla G., (2008), “Carbonyl emissions in diesel and biodiesel exhaust”,
Atmospheric environment, vol. 42, 769-775
Cowell S.J., Clift R., (1997), “Impact Assessment for LCAs involving agricultural production”,
International Journal of LCA, vol 2, 99-103
Crutzen P.J., Mosier A.R., Smith K.A., Winiwarter W., (2008), “N2O release from agro-biofuel
production negates global warming reduction by replacing fossil fuels”, Atmospheric
chemical physic, vol. 8, 389-395
CTI (Comitato Termotecnico Italiano), (2007a), “Produzione e utilizzo dei combustibili liquidi
derivanti da oli vegetali”, disponibile alla pagina http://www.cti2000.it/biodiesel.htm
CTI (Comitato Termotecnico Italiano), (2007b), “Aspetti ambientali relativi all’utilizzo del
biodiesel”, disponibile alla pagina http://www.cti2000.it/biodiesel.htm
DEFRA (Department for environment, food and rural affairs), (2003), “Liquid biofuels – industry
support, cost of carbon savings and agricultural implication”
Delucchi M.A., (1993), “Emissions of greenhouse gases from the use of transportation fuels and
electricity”, Argonne National Laboratory
Delucchi M.A., (2003), “A life cycle emissions model (LEM): lifecycle emissions from
transportation fuels, motor vehicles, transportation modes, electricity use, heating and cooking
fuels and materials”, Institute of transportation Studies
De Maria M., (2007), “Nuova energia dall’agricoltura una sfida da cogliere?”, Cereal Docks Spa
De Serves C., (2005), “Emissions from Flexible Fuel Vehicles with different ethanol bends”, Report
n° AVL MTC 5509
DG TREN (Directorate General “Energy and Transport” of the Commission of the European
Communities), (2000), “A technical study on fuels technology related to the auto-oil II
programme”, Final report, vol. 2
D.L (1994), Decreto Legge n° 280/94, relativo al risparmio di greggio mediante l’impiego di
carburanti di sostituzione
D.L. (2006), Decreto Legge n°2/2006, “Interventi urgenti per i settori dell’agricoltura,
dell’agroindustria, della pesca, nonché in materia di fiscalità d’impresa”, 10 gennaio 2006
D.Lgs (1994), Decreto Legislativo n° 280/1994, relativo al risparmio di greggio mediante l’impiego
di componenti di carburanti di sostituzione, 18 aprile, 1994
D.Lgs. (2005), Decreto Legislativo n° 128/2005, “Attuazione della direttiva 2003/30/ce relativa alla
promozione dell’uso dei biocarburanti o di altri carburanti rinnovabili nei trasporti”, 30
maggio 2005
D.M. (2006), Decreto Ministeriale 26/02/2002, “Determinazione dei consumi medi dei prodotti
petroliferi impiegati in lavori agricoli, orticoli, in allevamento, nella selvicoltura e piscicoltura
e nelle coltivazioni sotto serra ai fini dell’applicazione delle aliquote o dell’esenzione
dell’accisa”
Dones, R., Bauer, C., Bolliger, R., Burger, B., Faist Emmenegger M., Frischknecht R., Heck T.,
Jungbluth N., Röder A., (2004), “Life Cycle Inventories of Energy Systems: Results for
Current Systems in Switzerland and other UCTE Countries. Ecoinvent report No. 5”, Paul
Scherrer Institut Villigen, Swiss Centre for Life Cycle Inventories, Dübendorf.
Durbin T.D., Collins J.R., Norbeck J.M., Smith M.R., (2000), “Effects of biodiesel blends, and
synthetic diesel on emissions from light heavy- duty diesel vehicles”, Environmental science
& Technology, vol. 34, n°3,349-366
96
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Durbin T. D., Cocker III D.R., Sawant A.A., Johnson K., Miller J.W., Holden B.B., Helgeson N.L.,
Jack J.A., (2007), “Regulated emissions from biodiesel fuels from on/off-road applications”,
Atmospheric environment, vol.41, 5647-5658
Dwivedi D., Agarwal A.K., Sharma M., (2006), “Particulate emission characterization of a
biodiesel vs diesel-fuelled compression ignition transport engine: a comparative study”,
Atmospheric environment, vol. 40, 5586-5595
EBB (European Biodiesel Board), (2008); “Statistics: The EU biodiesel Industry”, disponibile alla
pagina http://www.ebb-eu.org/
eBIO (European Bioethanol Fuel Association), (2008); “Production data”, disponibile alla pagina
http://www.ebio.org/statistics.php?id=4
Ecoinvent, (2004), “Life Cycle inventories of agricultural production systems, Data v1.1(2004)”,
Ecoinvent Report n°15
Ecospold,
(2007),
“EcoSpold
data
format”,
disponibile
alla
pagina
http://www.ecoinvent.org/ecospold-data-format/
Edwards R., Griesemann J.C., Larivé J.F., Mahieu V., (2004), “Well-to-wheels analysis of future
automotive fuels and powertrains in the European context”, Institute for environment and
sustainability of the European commission’s Joint Research Centre JRC/IES, European
Council for Automotive R&D EUCAR, CONCAWE, Ispra Italy
Edwards R., Larivé J-F., Mahieu V., Rouveirolles P., (2007), “Well-To-Wheels analysis of future
automotive fuels and powertrains on the European context”, Well-to-Wheels Report, Institute
for environment and sustainability of the European commission’s Joint Research Centre
JRC/IES, European Council for Automotive R&D EUCAR, CONCAWE
EEA (European Environment Agency), (2006), “How much bioenergy can Europe produce without
harming the environment?”, Technical report n° 7/2006
EEA (European Environment Agency), (2007a), “Estimating the environmentally compatible
bioenergy potential from agriculture”, Technical report n° 12/2007
EEA (European Environment Agency), (2007b), “Emission Inventory Guidebook”
Egebäck K.E., Henke M., Rehnlund B., Wallin M., Westerholm R., (2005), “Blending of ethanol in
gasoline for spark ignition engines – problem inventory and evaporative measurements”,
Report n° MTC 5407
Ekwall T. & Finnveden G., (2001), “Allocation in ISO 14041-a critical review”, Journal of cleaner
production, vol. 9, 197-208
Elsayed M.A., Matthews RR., Mortimer N.D., (2003), “Carbon and energy balance for a range of
biofuels options”, Resources Research Unit
ENAMA (Ente Nazionale Meccanizzazione Agricola), http://www.enama.it
ENAMA (Ente per la Meccanizzazione agricola), (2005), “prontuario dei consumi di carburante per
l’impiego agevolato in agricoltura”
Environment Canada, (2007), “Mobile Source Emissions & Biofuels: an overview of selected
Canadian federal R&D”
EPA (Environmental Protection Agency), (2002), “A comprehensive analysis of biodiesel impact
on exhaust emissions”, EPA420-P-02-001
Ericsson K. & Nilsson L.J., (2006), “Assessment of the potential biomass supply in Europe using a
resource-focused approach”, Biomass and Energy vol. 30, 1-15
Ethanol Statistics, (2008), “United States Ethanol and Commodity prices”, disponibile alla pagina
http://www.ethanolstatistics.com/Commodity_Prices/US_Ethanol_and_Commodity_Prices.as
px
ETH-ESU, (1996), “SimaPro Database Manual. The ETH-ESU 96 libraries”, disponibile alla
pagina http://www.pre.nl/download/manuals/DatabaseManualETH-ESU96.pdf.
Eurostat :http://epp.eurostat.ec.europa.eu/portal/page?_pageid=1090_33076576&_dad=portal&_sch
ema=PORTAL
Eurostat, (2007), “Panorama of Energy, energy statistic to support EU policies and solutions”
97
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Faaij A.P.C., (2005), “Bio-energy in Europe: changing technology choices. Energy Policy
fortcoming”
FAPRI (Food and Agricultural Policy Research Institute), (2007), “Biofuels, food and feed
tradeoffs”
FAO (Food and Agriculture Organization of the United Nations), (2007), “Food Outlook, Global
Market Analysis”
Finkbeiner M., Inaba A., Tan C., Reginald B.H., Christiansen K., Klüppel H., (2006), “The new
international standards for life cycle assessments: ISO 14040 and ISO 14044”, International
Journal of LCA, vol. 11, 80-85
Folckcenter for renewable energy, (2000), “Emissions from combustion of Pure Plant Oil, PPO”
disponibile alla pagina http://www.folkecenter.net/gb/rd/transport/plant_oil/9194/
Freire F., Malça J., Rozakis S. (2002), “Biofuel production systems in France: integrated economic
and environmental life cycle optimization”, II International Conference on Mechanical
Engineering, COMEC 2002, Santa Clara, Cuba
Frischknecht R., Jungbluth N., Althaus H., Doka G., Heck T., Hellweg S., Hischier R., Nemecek T.,
Rebitzer G., Spielmann M., (2004), “Overview and methodology. Econivent report n° 1”,
Swiss Centre for Life Cycle Inventories
Galbraith D., Smith P., Mortimer N., Stewart R., Hobson M., McPherson G., Matthews R., Mitchell
P., Nijnik M., Skiba U., Smith J., Towers W., (2006), “Review of Greenhouse Gas Life Cycle
emissions, air pollution impacts and economic of biomass production and consumption in
Scotland”, Final Report: Seerad Project FF/05/08
GFW (Global Forest Watch), (2004), “The state of the forest: Indonesia”
Goedkoop M., (1995), “The Ecoindicator 95 weighting method for environmental effects that
damage ecosystems or human health on a European scale – Contains 100 indicators for
important materials and processes”, Final Report 9523
Graboski M.S. & McCormick R.L., (1998), “Combustion of fat and vegetable oil derived fuels in
diesel engines”, Prog.Energy. Combust. Sci., vol. 24, 125-164
GRiCi (Gruppo di Ricerca di Colture industriali dell’università di Bologna), (2004),
http://www.dista.agrsci.unibo.it/grici/chisiamo.php
GSI (Global Subsidies Initiative), (2007), “Biofuels – at what cost? Government support for ethanol
and biodiesel in the European Union”
Guineé J.B., Gorreé M., Heijungs R., Huppes G., de Koning A., van Oers L., Wegener A., Suh S.,
Udo de Haes H.A., (2001), “Life cycle assessment. An operational guide to the ISO
standards”, Centre of Environmental Science
Hansen A., Heuer E., Flake M., (2001), “Material flow nets for crop rotation. An analysis of
selected crop rotation from lower saxonian farms (Review series)”, Umwelwissenschaften and
Schadstoff-Forschung, vol 13, 45-47
HC (House of Commons), (2008), “Are biofuels sustainable?”, Report of session 2007-2008, vol I,
II
Hebbal O.D., Reddy K.V., Rajagopal K., (2006), “Performance characteristics of a diesel engine
with deccan hemp oil”, Fuel, vol. 85, 2187-2194
Heijungs R., Guineé J.B., Huppes G., Lankreijer R.M., Udo de Haes H.A., Ansems A.M.M., Eggels
P.G., Van Duin R., (1992), “Environmental life cycle assessment of products. Guide”, NOH
Report 9266. Centre of Environmental Science
Henke J.M., Klepper G., Schmitz N., (2005), “Tax exemption for biofuels in Germany: is bioethanol really an option for climate policy”, Energy, vol.30, 2617-2635
Hospido A., (2005), “Life cycle assessment as a tool for analysing the environmental performance
of key food sector in Galicia (Spain): Milk and Canned tuna”, Tesi di dottorato, Universidad
de Santiago de Compostela, Galicia, España
Hull A., Golubkov I., Kronberg B., Marandzheva T., van Stam J., (2005), “An alternative fuel for
spark ignition engines”, International Journal of Engine Research, vol. 7, 203-214
98
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
IDIADA Automotive Technology, (2003a), “Technical Report: Comparison of fuel tank
evaporative emissions from E0 an E5 petrol”, REPSOL YPF, Abengoa bioenergía, CEPSA,
Ebro Puleva
IDIADA Automotive Technology, (2003b), “Technical Report: Comparison of vehicle emissions at
European Union annual average temperatures from E0 an E5 petrol”, REPSOL YPF, Abengoa
bioenergía, CEPSA, Ebro Puleva
IEA (International Energy Agency), (2004) “Biofuels for transport – An International Perspective”,
ISBN 92-64-01512-4
IEA/AFIS (International Energy Agency/Automotive Fuels Information Service), (1999),
“Automotive fuels for the future: the starch for alternative”
IFEU (Institute for energy and environmental research), (2003), “Life Cycle Assessment of
biodiesel: update and new aspects”, Final Report project n° 530/025
IMF (International Monetary Fuond), (2007), “Biofuels and demand pushes up food prices”
IPCC (International Panel on Climate Change), (2006), “Guidelines for national greenhouse gas
inventories, prepared by the national greenhouse gas inventories programme- N2O emissions
from managed soils and CO2 emissions from lime and urea application” Buendia L., Miwa K.,
Ngara T., Tanabe K., Volume 4, capitolo 11, IGES, Hayama, Japan
Istat, Istituto nazionale di Statistica http://www.istat.it
Istat (Istituto nazionale di Statistica), (2000), “5° censimento generale dell’agricoltura.
Presentazione dei dati definitivi, Lombardia”
Istat (Istituto nazionale di Statistica), (2005), “Statistiche metereologiche, anni 2000-2002”
Istat (Istituto nazionale di Statistica), (2007), “dati su agricoltura e zootecnia”, disponibile alla
pagina http://www.istat.it/agricoltura/datiagri/
ISO (International Standard Organization), (2006), Series 14040 - Environmental Management –
Life cycle assessment – principles and framework
Jodice R., (2007), “Nuove opportunità produttive dal comparto agricolo”, CETA (Centro di
Ecologia Teorica ed Applicata)
JRC (Joint Research Centre, Institute for prospective technology studies), (2004), “Biofuel
potentials in the EU”
Jungbluth N., (2004), In: Sachbilanzen von Energiesystemen: Grundlagen für den ökologischen
Vergleich von Energiesystemen und den Einbezug von Energiesystemen in Ökobilanzen für
die Schweiz (Ed. Dones R.). Paul Scherrer Institut Villigen, Swiss Centre for Life Cycle
Inventories, Dübendorf, CH
Jungmeier G., Werner F., Jarnehammar A., Hohenthal C., Richter K., (2002), “Allocation in LCA
of wood-based products. Experiences of cost action E9. Part I. Methodology”, International
Journal of LCA, vol.7, 290-294; 369-375
Karlsson H. L., (2006), “Emissions from conventional gasoline vehicles driven with ethanol blend
fuels”, Report n° MTC5524
Karthikeyan R., Mahalakshmi N.V., (2007), “Performance and emission characteristics of a
turpentine-diesel fuel engine”, Energy, vol. 32, 102-1209
Kim S. & Overcash M., (2000), “Allocation procedure in multi-output process: an illustration of
ISO 14041”, International Journal of LCA, vol. 5, 221-228
Klöpffer W., (2005), “The critical review process according to ISO 14040-43. An analysis of the
standards and experiences gained in their application”, International Journal of LCA, vol. 10,
98-102
Knothe G., Sharp C.A., Ryan T.W., (2006), “Exhaust emissions of biodiesel, petrodiesel, neat
methyl ester, and alkanes in a new technology engine”, Energy & Fuels, vol.20, 403-408
Krahl J., Munack A., Schröder O., Stein H., Bünger J., (2003), “Influence of biodiesel and different
designed diesel fuels on the exhaust gas emissions and health effects“, SAE 2003-01-3199
Lapuerta M., Armas O., Ballesteros R., Fernández J., (2005), “Diesel emissions from biofuels
derived from Spanish potential vegetable oils”, Fuel, vol. 84, 773-780
99
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Lechón Y., Cabal H., Lago C., de la Rúa C., Sáez M.R., Fernández M., (2005), “Análisis del ciclo
de vida de combustibles alternativos para el transporte. Fase I: Análisis del ciclo de vida
comparativo del etanol de cereales y de la gasolina”, Ciemat (Centro de Investigaciones
energéticas medioambientales y tecnológicas)
Levington environmental & laboratories, (2000), “Energy balances in the growth of oilseed rape for
biodiesel and of wheat for bioethanol”, Levington agriculture Report for the British
Association for Bio Fuels and Oils
Lin C. & Lin H., (2006), “Diesel engine performance and emission characteristics of biodiesel
produced by the peroxidation process”, Fuel, vol. 85, 298-305
Lindhjem C. & Pollack A., (2003), “Impact of biodiesel fuels on air quality and human health: Task
1 report”, NREL/SR-540-33794
Lipman T. & Delucchi M.A,. (1997), “Emissions of Non-CO2 Greenhouse Gases from the
Production and Use of Transportation Fuels and Electricity”, Institute of Transportation
Studies, University of California
Lucon O., Alvares O.M., Coelho S.T., (2004), “Bioethanol: the way forward”
Makareviciene V. & Janulis P., (2003), “Environmental effect of rapeseed oil ethyl ester”,
Renewable energy, vol. 28, 2395-2403
Malça J. & Freire F., (2004), “Carbon and energy balances for biodiesel: life-cycle emissions and
energy savings”, 2nd International Ukrainian conference on biomass for energy
Malça J., Rozakis S., Freire F., (2005), “Biethanol replacing gasoline: greenhouse gas emissions
reduction, life-cycle energy saving and economic aspects”, 2nd International Conference of
Life Cycle Management, Barcelona
Malça J. & Freire F., (2006), “Renewability and life-cycle energy efficiency of bioethanol and bioethyl tertiary butyl ether (bioETBE): assessing the implication of allocation”, Energy, vol. 31,
3362-3380
Malça J. & Freire F., (2007), “Energy and environmental benefits of rapeseed oil replacing diesel”,
3rd International Energy, Energy and Environmental Symposium, Portugal
Martini G., Astorga C., Farfaletti A., (2007a), “Effects of Biodiesel Fuels on Pollutant Emissions
from EURO 3 LD Diesel Vehicles”, EUR 22745 EN
Martini G., Manfredi U., Mellios G., Mahieu V., Larsen B., Farfaletti A., Krasenbrink A., De Santi
G., (2007b), “Joint EUCAR/JRC/CONCAWE study on: Effects of gasoline vapour pressure
and ethanol content on evaporative emissions from modern cars”, EUR 22713 EN
Mazzoleni C., Kuhns H.D., Moosmüller H., Witt J., Nussbaum N.J., Chang M.-C.O., Parthasarthy
G., Nathagoundenpalayam S.K., Nikolich G., Watson J.G., (2007), “A case study of realworld tailpipe emissions for school buses using a 20% biodiesel blend”, Science of the
environment, vol. 385, 146-159
McCormick R.L., Graboski M.S., Alleman T.L., Herring A.M., (2001), “Impact of biodiesel source
material and chemical structure on emissions of criteria pollutants from heavy-duty engine”,
Envir. Sci. Technol., vol. 35, 1742-1747
McCormick R.L., Tennant C.J., Hayes R.R., Black S., Ireland J., McDaniel T., Williams A., Frailey
M., (2005), “Regulated emissions from biodiesel tested in heavy-duty engines meeting 2004
emission standards”, NREL/CP-540-37508
McCormick R.L., Williams A., Ireland J., Brimhall M., Hayes R.R., (2006), “Effects of biodiesel
blends on vehicle emissions”, Milestone report NREL/MP-540-40554
McCormick B., (2006), “Biodiesel R&D at NREL”, NREL/PR-540-39538
Mirandola A. & Macor A., (2007), “Utilizzo del biodiesel nelle caldaie e nei motori per
l’autotrazione: esperienze condotte nella città di Padova”, intervento nella “giornata di studio
combustibili alternativi per veicoli stradali”
Morris R.E., Mansell G.E., Jia Y., Wilson G., (2003), “Impact of biodiesel fuels on air quality and
human health: task 2 report”, NREL/SR-540-33795
100
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
New Scientist, (2007), “Forget biofuels – burn oil and plant forests instead”, disponibile alla pagina
http://environment.newscientist.com/channel/earth/dn12496-forget-biofuels--burn-oil-andplant-forests-instead.html
Niven R.K., (2005), “Ethanol in gasoline: environmental impacts and sustainability review article”,
Renewable and sustainable energy reviews, vol. 9, 535-555
Novem/ADL, (1999), “Analysis and evaluation of GAVE Chains”, vol. 1-3, GAVE analysis
programme
Novozymes, (2007), “Biofuel thematic paper - Food versus fuel”
OEC (Orbital Engine Company), (2004), “Market barriers to the uptake of biofuels study testing
gasoline containing 20% ethanol (E20)”, Phase 2B final report
Ola -Larsson M., (2006), “Exhaust emissions from light vehicles run on alternative fuels”
Pang X., Shi X., Mu Y., He H., Shuai S., Chen H., Li R., (2006), “Characteristics of carbonyl
compounds emission from a diesel-engine using biodiesel-ethanol-diesel as fuel”,
Atmospheric environment, vol. 40, 7057-7065
Parlamento Europeo, (2007), Progetto di parere 2007/0019(COD), 12 luglio 2007
Petrolini R., (2004), “Le opportunità fornite dalla PAC per lo sviluppo delle biomasse ad uso
energetico”, Università degli studi di Milano
Pignatelli V. & Clementel C., (2006), “I biocarburanti in Italia: ostacoli da superare e opportunità di
sviluppo”, ENEA, Ente per le Nuove tecnologie l’Energia e l’Ambiente
Pignatelli V., (2007), “Presente e futuro dei biocarburanti in Italia”, convegno “Bioetanolo dalla
produzione all’utilizzo, analisi e discussione delle potenzialità”, Padova
Pimentel D. & Patzeck T.W., (2005), “Ethanol Production using corn, switchgrass and wood;
biodiesel production using soybean and sunflower”, Natural resources research, vol 14, 65-76
Poulopoulus S.G., Samaras D.P., Philippopoulos C.J., (2001), “Regulated and unregulated emission
from an internal combustion engine operating on ethanol-containing fuels”, Atmospheric
environment, vol.35, 4399-4406
PRé-Consultants, (2007), “SimaPro 7.1”, disponibile alla pagina http://www.pre.nl
Proc R., Barnitt R., Hayes R.R., Ratcliff M., McCormick R.L. (2006), “100000-Mile evaluation of
transit buses operated on biodiesel blends (B20)” NREL/CP-540-40128
Rakopoulos C.D., Antonopoulos K.A., Rakopoulos D.C., Hountalas D.T., Giakoumis E.G., (2006),
“Comparative performance and emissions study of a direct injection diesel engine using
blends of diesel fuel with vegetable oils or bio-diesels of various origins”, Energy conversion
and management, vol. 47, 3272-3287
Rakopoulos C.D., Antonopoulos K.A., Rakopoulos D.C., (2007), “Development and application of
multi-zone model for combustion and pollutants formation in direct injection diesel engine
running with vegetable oil or its bio-diesel”, Energy conversion and management, vol. 48,
1881-1901
Rauh (2007), “Interactive comment on N2O release from agro-biofuel production negates global
warming reduction by replacing fossil fuels by P.J. Crutzen et al.”, Atmospheric Chemistry
and Physics Discussions, vol. 7, S4616-S4619
Reinhardt G.A. & Jungk N.C., (2000), “landwirtschaftliche Referenzsysteme in ökologischen
Bilanzierungen (agricultural reference systems in ecological balances)“, FKZ 99 NR 099
Regione Lombardia, (2005), “Inventario emissioni INEMAR”, disponibile alla pagina
http://www.ambiente.regione. lombardia.it/inemar/inemarhome.htm
Regione Lombardia, (2006), “Modifiche alle norme tecniche di diserbo e di difesa reg. CE 1257/99
per l’anno 2006” , servizio fitosanitario regionale
Regione Umbria, (2004), “Manuale di corretta prassi produttiva per il frumento duro”, 3°-Parco
tecnologico agroalimentare dell’Umbria
Regione Veneto, (2003), “Documento Normativo di integrazione al piano di sviluppo rurale”
RFA (Renewable Fuels Association), (2002), “Ethanol facts: engine performance” disponibile alla
pagina http://www.ethanolrfa.org/resource/facts/engine/
101
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Rieradevall J. & Acosta Casas X., (2005), “Environmental analysis of the energy use of hempanalysis of the comparative life cycle: diesel oil vs. hemp-diesel”, International Journal
agricultural resources governance and ecology, vol 4, 133-139
Sahoo P.K., Das L.M., Babu M.K.G., Naik S.N., (2007), “Biodiesel development from high acid
value polanga seed oil and performance evaluation in a CI engine”, Fuel, vol. 86, 448-454
Schramm J., Knudsen C., Mandrupsen M., Thorhauge C., (2005), “Emissions from a moped fuelled
by gasoline/ethanol mixtures”
Searchinger T., Heimlich R., Houghton R.A., Dong F., Elobeid A., Fabiosa J., Tokgoz S., Hayes D.,
Yu T.H., (2008), “Use of U.S. Croplands for Biofuels Increases Greenhouse Gases Trough
Emissions from Land-Use Change”, Science, vol. 319, 1238-1240
SenterNovem, (2005), “Participative LCA on biofuels”, Report 2GAVE-05.08
Sharp C.A., (1998), “Exhaust emissions and performance of diesel engines with biodiesel fuels”
Sheehan J., Camobreco V., Duffield J., Graboski M., Shapouri H., (1998), “An overview of
biodiesel and petroleum diesel life cycles”, Task n° BF886002
Sheehan J., Aden A., Paustian K., Killian K., Brenner J., Walsh M., Nelson R., (2004), “Energy and
environmental aspects of using corn stover for fuel ethanol”, National Bioenergy Centre,
National Renewable Energy laboratory, Journal of Industrial ecology
Simapro, http://www.pre.nl/simapro
Smokers R. & Smit R., (2004), “Compatibility of pure and blended biofuels with respect to engine
performance, durability and emissions. A literature review”, Report 2GAVE04.01
Tan R.R. & Cubala A.B., (2002), “Life-cycle assessment of conventional and alternative fuels for
road vehicles”
Tippayawong N., Wongsiriamnuay T., Jompakdee W., (2003), “Performance and emissions of a
small agricultural diesel engine fuelled with 100% vegetable oil: effects of fuel type and
elevated inlet temperature”
Topgül T., Yucesu H.S., Çinar C., Koca A., (2006), “The effects of ethanol-unleaded gasoline
blends and ignition timing on engine performance and exhaust emissions”, Renewable energy,
vol. 31, 2534-2542
Tuck G., Glendining M.J., Smith P., House J.I., Wattenbach M., (2006), “The potential distribution
of bioenergy crops in Europe under present and future climate”, Biomass and Bioenergy, vol
30, 183-197
Turrio-Baldassarri L., Battistelli C.L., Conti L., Crebelli R., De Berardis B., Iamiceli A., Gambino
M., Iannaccone S., (2004), “Emission comparison of urban bus engine fuelled with diesel oil
and biodiesel blend”, Science of total environment, vol. 327, 147-162
UNEP (United Nations Environment Programme), (2007), “The last stand of the orang-utan”
Ursitti A., (2006), “La capitanata da polo saccarifero a polo bioenergetico del mezzogiorno?”,
Foggia, 2006
Venturi G. & Fazio S., (2007), “Le possibili colture per biocarburanti”, intervento nella “giornata di
studio combustibili alternativi per veicoli stradali”
Venturi P. & Venturi G., (2003), “Analysis of energy comparison for crops in European agricultural
systems”, Biomass and Bioenergy, vol.25, 235-255
Von Bahr B., (2001), “The relevant aspect of life cycle inventory data quality”, Graduation thesis,
Chalmers University of technology
Wang W.G., Lyons D.W., Clark N.N., Gautam M., (2000), “Emissions from nine heavy rtucks
fuelled by diesel and biodiesel blend without engine modification”, Environ. Sci. Technol.,
vol. 34, 933-939
Wang M., Wu Y., (2005), “Updated Well-to-Wheel Analysis of Energy and Emission Impacts of
Fuel-Cell Vehicles”, ESD 362/G216
Weidema B., (2001), “Avoiding co-product allocation in life-cycle assessment”, Journal of
industrial ecology, vol. 4, 11-33
Wikipedia l’enciclopedia libera; http://it.wikipedia.org/wiki/Olio_carburante
102
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Williams A., McCormick R.L., Hayes R.R., Ireland J., (2006), “Effect of biodiesel blends on diesel
particulate filter performance”, NREL/CP-540-40015
Winebrake J., He D., Wang M., (2000), “Fuel life cycle emissions for conventional and alternative
fuel vehicles: an assessment of air toxics”, Centre for transportation research, energy system
division, Argonne National Laboratory
WORC (Western Organization of Resource Councils), (2007), “Biofuels: Food vs Fuels”
Wu, M., Wang, M., Huo, H., (2006), “Fuel-Cycle Assessment of Selected Bioethanol Production
Pathways in the United States”, ANL/ESD/06-7
Yang H., Chien S., Lo M., Lan J., Lu W., Ku Y., (2007), “Effects of biodiesel on emissions of
regulated air pollutants an polycyclic aromatic hydrocarbons under engine durability testing”,
Atmospheric environment, vol. 41, 7232-7240
Yucesu H.S., Topgül T., Çinar C., Okur M., (2006), “Effect of ethanol-gasoline blends on engine
performance and exhaust emissions in different compression ratios”, Applied thermal
engineering, vol. 26, 2272-2278
Yüksel F., (2004), “The use of ethanol-gasoline blend as a fuel in a SI engine”, Renewable energy,
vol. 29, 1181-1191
Zah R., (2007), “LCA of biofuels in Switzerland: Environmental Impacts and improvement
Potential?”, Life Cycle Assessment and Modelling, Zurigo
Zhi Fu G., Chan A.W., Minns D.E., (2003), “Life Cycle assessment of bio-ethanol derived from
cellulose”, International Journal of LCA, vol 8, 137-141
103
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
104
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
APPENDICE 1
Fattori di emissione degli studi elencati al capitolo 3
Aakko, 2000
CO(g/km)
NOx(g/km)
HC(g/km)
PM(g/km)
acetaldeidi(mg/km)
14 IPA PM SOF(µg/km)
14 IPA semivol(µg/km)
Aakko & Nylund, 2004
(g/km)
CO
NOx
HC
PM
1 veicolo PC
test 1
diesel
B30
0,24
0,26
0,57
0,58
0,066
0,069
0,10
0,08
5,0
5,6
21
33
2,10
1,40
test 2
diesel
B30
0,055
0,058
0,58
0,57
0,032
0,028
0,09
0,07
1,7
1,8
26
21
2,50
2,20
EO
T norm
5°C
-7°C
T norm
0,35
1,25
2,4
0,3
0,065
0,095
0,125
0,05
0,045
0,2
0,41
0,05
0,0055
0,005
0,0055
0,001
Abu-Quadis & Al-Widyan, 2002
Diesel
O100
CO(ppm)
292
218
NOx(ppm)
934
840
PM (mg/kg)
54,8
51,4
soot(mg/kg)
36,2
35,6
Agarwal et al, 2006
Diesel
B20
CO (ppm)
450
422
NOx (ppm)
72
90
HC (ppm)
2225
1983
opacità(%)
39
34
Altin et al, 2001
diesel
O100
CO(ppm)
2225
3725
Nox(mg/m^3)
2100
1590
opacità fumi(%)
29,3
47
Cardone et al, 2002
Diesel B100(1) B100(2)
CO(ppm)
91
71
73
NOx(ppm)
850
1162
1112
IPA (µg/NI)
5,83
0,70
0,70
E85
5°C
2,4
0,05
0,3
0,003
-7°C
3,5
0,03
0,68
0,004
105
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
De Serves, 2005
ciclo
NEDC
E10
E0
E5
(g/Km)
CO
NOx
HC
1
0,08
0,1
0,28
0,2
0,049
0,25
0,25
0,05
0,6
0,1
0,055
CO
NOx
HC
1
0,08
0,1
0,18
0,4
0,055
0,1
0,75
0,06
0,55
0,18
0,049
CO
NOx
HC
1
0,08
0,1
0,23
0,37
0,07
0,21
0,24
0,05
0,49
0,32
0,05
CO
NOx
HC
DG TREN, 2000
1
0,08
0,1
0,23
0,37
0,07
0,21
0,24
0,05
0,49
0,32
0,05
EURO 2
(g/kWh)
CO
NOx
HC
PM
1.00
1.00
1.00
1.00
EURO 2
CO
NOx
HC
1.00
1.00
1.00
EURO 2 e 3
E0
0.53
0.71
0.60
0.67
EURO 2 e 3
E0
1.50
0.80
0.59
E70
E85
E5
veicolo 1
1,2
1,53
0,08
0,63
0,17
0,021
veicolo 2
0,8
0,2
0,15
0,97
0,067
0,014
veicolo 3
0,65
1,53
0,15
0,55
0,075
0,0175
veicolo 4
0,65
1,53
0,15
0,55
0,075
0,0175
HDV
EURO 2, 3 e 4 EURO 2
Arthemis
E10
E70
E85
0,5
0,25
0,01
0,6
0,21
0,011
0,3
0,13
0,011
0,3
1,1
0,015
0,1
3
0,011
0,15
3,3
0,013
0,5
0,7
0,016
0,6
0,22
0,013
0,3
0,25
0,012
0,5
0,7
0,016
0,6
0,22
0,013
0,3
0,25
0,012
EURO 2, 3 e 4
0.30
0.50
0.42
0.20
EURO 2 e 3
E15
0.50
0.60
0.70
0.40
EURO 2, 3 e 4
0.45
0.32
0.29
EURO 2 e 3
E15
0.90
0.50
0.80
1.10
0.80
1.10
0.60
LDV e PC
EURO 2, 3 e 4 EURO 2
Durbin et al, 2007
L/MDV
veicolo 1
ciclo
FTP
US06
(g/km)
Diesel
B20
Diesel
B20
CO
0,88
0,83
0,57
0,55
NOx
4,94
4,91
3,70
4,54
HC
0,20
0,16
0,12
0,11
PM
0,06
0,05
0,15
0,12
HDV
veicolo 1
veicolo 2
cycle
chassis AVL-8
chassis AVL-9
(g/km)
Diesel
B20
Diesel
B20
CO
0,92
0,87
0,57
0,56
NOx
3,79
4,29
4,07
4,04
HC
0,11
0,11
0,19
0,19
PM
0,11
0,09
0,09
0,09
1.10
0.80
1.10
0.40
0.40
0.50
0.10
0.30
0.30
0.40
veicolo 2
FTP
Diesel
B20
0,42
0,50
4,47
4,51
0,01
0,02
0,03
0,03
veicolo 3
chassis AVL-10
Diesel
B20
0,58
0,55
3,29
3,26
0,06
0,06
0,02
0,02
US06
Diesel
B20
0,25
0,29
3,54
3,60
0,02
0,02
0,08
0,08
106
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Durbin et al, 2000
veicolo 1
(g/km)
diesel
B22
B100
PM
0,05
0,03
0,04
Dwivedi et al, 2006
3
(mg/m )
Diesel
PM
45.2
veicolo 2
diesel
B22
B100
0,11
0,28
0,54
B20
31.8
Envir.Canada, 2007
veicolo 1
E10
E20
0,50
0,48
0,08
0,08
PC
E0
E85
0,50
0,22
0,12
0,09
(g/km)
CO
NOx
E0
1,06
0,04
CO
NOx
E0
0,09
0,00
veicolo 2
E10
E20
0,07
0,03
0,00
0,00
veicolo 3
E10
E20
0,59
0,50
0,14
0,14
E0
0,62
0,12
E0
0,68
0,14
veicolo 4
E10
E20
0,44
0,37
0,11
0,18
EPA, 2002
(g/KWh)
CO
NOx
HC
PM
Diesel
20,79
0,00
0,00
0,13
Diesel
20,79
5,36
1,74
0,13
diverse categorie veicoli
Diesel Diesel Diesel Diesel
20,79
20,79 20,79 20,79
6,71
6,71
8,05
14,35
1,74
1,74
1,74
1,74
0,13
0,34
0,80
0,80
Diesel
20,79
14,35
1,74
0,00
Diesel
33,53
0,00
2,01
0,00
Folckcenter, 2000
veicolo 1
(g/km)
diesel
O100
CO
1
0,58
NOx
0,53
0,43
HC
0,35
0,13
PM
0,12
0,07
Grabosky & McCormick, 1997
(g/KWh)
diesel B100(1)
CO
7,40
6,51
NOx
6,13
6,20
HC
0,14
0,15
PM
0,38
0,30
veicolo 2
diesel
O100
0,27
0,42
0,959
0,896
0,35
0,13
0,0249 0,0431
B100(2)
3,92
7,00
0,10
0,09
Ha Lu Karlsson, 2006
(g/km)
CO
NOx
HC
E0
1
0,08
0,1
veicolo 1
E5
E17
0,6
0,8
0,02
0,02
0,07
E43
0,7
0,04
0,07
E0
1
0,08
0,1
veicolo 2
E5
E43
0,1
0,1
0,02
0,03
0,05
0,03
E0
0,1
0,02
0,05
veicolo 3
E5
E43
0,6
0,7
0,02
0,13
0,04
0,04
E0
0,1
0,02
0,05
veicolo 4
E5
E43
0,3
0,1
0,04
0,34
0,04
0,05
Hebbal et al, 2006
CO(%)
HC(ppm)
fumi (n° Bosch)
diesel
0,23
92,86
1,23
O25
0,44
80,71
1,97
O100
0,64
88,57
2,63
107
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Hull et al, 2005
(g/km)
E0
E3,2
E5
ETBE12
CO
7,67
7,33
7,36
7,25
NOx
2,63
2,7
2,68
2,5
HC
1,01
1
0,94
0,97
Karthiekeyan et al, 2007
diesel
B75
CO(%)
0,72
1,98
NOx(ppm)
1000
1400
HC(ppm)
82
182
Knothe et al, 2006
(g/KWh)
diesel B100(1) B100(2)
HC
0,08
0,05
0,07
CO
0,71
0,54
0,40
NOx
3,04
3,42
2,91
PM
0,15
0,03
0,03
Krahl et al, 2003
Diesel
B100
CO(g/KW)
0,59
0,32
NOx(g/KW)
6,3
6,5
HC(g/KW)
0,076
0,03
PM(g/KW)
0,07
0,041
IPA(mg/KWh)
1,35
0,1
alcheni(mg/KWh)
2,8
1,4
aldeidi e chetoni(mg/KWh)
21
13
Lapuerta et al, 2005
(g/KWh)
diesel
B25
B100
NOx
1,1
1
1,09
HC
0,344
0,336
0,242
PM
0,583
0,45
0,338
Lin & Lin, 2006
diesel
B100
CO[ppm/(g/h)]
193
143
NOx[ppm/(g/h)] 128
127
Lucon et al, 2004
E0
E22
E100
(g/km)
EURO1 EURO2 EURO3 EURO4
CO
2,72
2,2
2,3
1
0,4
0,77
NOx
0,15
0,08
0,12
0,09
HC
0,2
0,1
0,11
0,16
Makareviciene & Janulis, 2003
(%)
diesel
B25
B50
B75
B100
CO
100
99
98
97
94
NOx
100
100
100
107
110
HC
100
39
38
36
33
densità fumi
100
97
60
51
26
108
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Martini et al., 2007a
(g/km)
Diesel
B30
CO
0,15
0,16
NOx
0,04
0,04
HC
0,45
0,46
PM
0,02
0,02
IPA
16,00
17,67
Mazzoleni et al, 2007
diesel
B20
(g/km)
motore freddo
CO
4,7
5,6
NOx
6,7
7,6
HC
0,9
0,72
PM
0,24
0,38
Merrit et al, 2002
(mg/KWh)
E0
E7,7
formaldeide
12,82 13,69
Acetaldeide
4,96
6,32
Acroleina
2,51
2,45
Propionaldeide
0,91
1,11
Metil etil chetone 0,71
0,79
Etanolo
0,43
22,23
1,3 butadiene
1,21
1,23
Metano
2,80
0,43
Benzene
1,09
0,94
Toluene
1,34
2,16
Etilbenzene
0,68
0,71
M,p-xylene
1,14
0,99
o-xylene
0,52
0,46
Esano
0,04
0,15
Styrene
0,16
0,09
B100
0,25
0,04
0,57
0,02
diesel
B20
motore caldo
11,8
10,7
21,9
21,6
1,3
1,6
0,57
1,07
E10
14,11
6,28
1,92
1,58
0,12
23,55
0,91
0,71
0,93
1,21
0,56
0,82
0,51
0,09
0,15
E15
14,75
7,39
2,13
1,64
0,12
36,06
0,91
0,20
0,97
1,57
0,74
1,19
0,58
0,21
0,13
OEC, 2004
(mg/km)
1,3 butadiene
Benzene
Esano
Toluene
Xylene
Formaldeidi
Acetaldeidi
Propinaldeidi
veicolo 1
E0
E20
0,79
1,29
5,10
2,89
2,15
1,36
10,64
6,07
6,79
6,66
0,38
0,48
0,14
0,72
0,09
0,04
veicolo 2
E0
E20
0,70
0,78
4,59
4,30
1,58
1,72
8,48
8,47
6,59
4,81
0,47
0,59
0,29
1,78
0,05
0,04
veicolo 3
E0
E20
0,11
0,00
0,73
0,72
0,53
0,07
2,09
2,98
2,39
3,76
0,16
0,07
0,15
0,20
0,01
0,01
veicolo 4
E0
E20
0,06
0,19
1,27
1,57
0,61
1,01
2,62
4,66
2,66
4,21
0,32
0,48
0,09
0,72
0,01
0,02
veicolo 5
E0
E20
0,35
0,15
1,80
4,67
0,46
3,39
7,05
6,70
6,17
5,33
0,33
0,26
0,23
0,59
0,06
0,02
109
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Ola Larsson, 2006
(g/km)
NOx
HC
PM
NOx
HC
PM
PC e LDV 1989-96
PC e LDV 1993-00
Diesel
B100
E0
E85
Diesel
B100
E0
E85
0,44
0,48
0,59
0,13
0,43
0,47
0,07
0,04
0,09
0,08
0,72
0,99
0,06
0,06
0,23
0,23
0,062
0,05
0,01
0,00
0,054
0,044
0,004
0,004
PC e LDV 2000
PC e LDV 2005
E0
E85
E0
E85
0,07
0,04
0,04
0,02
0,23
0,23
0,17
0,17
0,004
0,004
0,004
0,004
Pang et al, 2006
3
(mg/m )
Diesel BE 20
Formaldeide
1,98
1,49
Acetaldeide
2,44
3,07
Acetone
0,72
0,86
Propinaldeide
0,77
1,02
Crotonaldeide
0,35
0,37
Metilacroleina
0,37
0,35
Butilaldeide
0,29
0,30
Benzaldeide
0,64
0,43
Isovaleraldeide
0,29
0,44
Valeraldeide
0,31
0,42
M,p-tolualdeide
0,39
0,37
Exaldieide
0,13
0,12
2,5-dimetilbenzaldeide
0,25
TOTcarbonili
8,74
9,11
etanolo
0,00
8,13
Poulopoulus et al, 2001
benzina
E3
E10
CO(%)
0,79
0,78
0,58
HC(ppm)
375
305
344
etilene(ppm)
186
177
178
acetaldeide(ppm)
45
83
58
acetone(ppm)
9,0
9,1
8,4
Proc et al, 2006
veicolo 1
veicolo 2
(g/km)
diesel
B20
diesel
B20
CO
2,24
1,63
2,14
1,70
NOx
12,31 11,59 12,08 11,60
HC
0,54
0,39
0,50
0,35
PM
0,17
0,14
0,16
0,13
Rakopoulous et al, 2007
diesel
O100
NOx(ppm)
1250
1000
3
densità fumi (mg/m )
150
200
110
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Rakopoulous et al, 2006
CO(ppm)
NOx (ppm)
HC(ppm)
3
densità fumi (mg/m )
Schramm et al, 2005
prova 1
(g/km) E0
E5
E10 E20
HC
1,7 1,7 1,58 1,5
CO
2
5,5
2
1,8
PM
E0
1,75
5,2
Diesel
300
950
70
O20
340
915
73
100
105
prova 2
E5 E10 E20
1,5 1,58 1,5
1,5 4,5 4,5
prova 3
prova 4
E0
E5 E10 E20 E0
E5 E10 E20
1,5 1,38 1,32 1,3 1,42 1,25 1,22 1,2
6
5,7 5,4
5
5,2 4,5
4
3
0,11
0,05
0,02
0,01
Shaoo et al, 2007
diesel
NOx (ppm)
55,00
HC(ppm)
2,42
opacità fumi(%) 3,50
B20
63,33
2,58
3,63
B100
56,00
3,10
Sharp et al, 1998
(g/KWh)
CO
NOx
HC
PM
Diesel
1,01
6,13
0,31
0,14
veicolo 1
B20
B100
0,86
0,55
6,38
6,93
0,25
0,01
0,14
0,10
Diesel
2,00
6,03
0,08
0,14
veicolo 2
B20
1,85
6,25
0,08
0,12
B100
1,23
6,72
0,01
0,07
veicolo 3
Diesel B20
1,92
1,66
6,05
6,21
0,04
0,05
0,10
0,08
Diesel
2,75
6,30
0,42
0,17
veicolo 4
B20
2,16
6,42
0,28
0,15
B100
1,70
6,57
0,11
0,11
Diesel
2,04
6,37
0,25
0,10
veicolo 5
B20
B100
1,62
1,27
6,54
6,58
0,20
0,08
0,09
0,05
Tippayawong et al, 2003
Diesel
O100
NOx(ppm)
900
484,375
fumo(%)
41,4167 32,4583
Turrio-Baldassarri, 2004
(mg/KWh)
diesel
B20
acetaldeide
15,8
16,8
acetone
2,1
4,8
acroleina
0,93
1,90
propionaldeide
3,2
3,3
crotonaldeide
0,80
1,00
2-butanone
4,0
6,5
metacroleina
1,40
0,80
benzaldeide
2,40
2,20
valeraldeide
4,6
5,6
p-tolualdeide
0,76
0,40
esanaldeide
0,50
0,60
benzene
4,2
6,8
toluene
14,0
3,2
etilbenzene
1,70
0,60
m-p xilene
6,2
2,1
o xilene
3,10
1,30
CCtot
79,2
94,5
IPA TOT
29,2
14,0
111
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Williams et al, 2006
PM (g)
NOx(g/KWh)
misura n°
Diesel
B20
Diesel
B20
1
1,3
1
5,37
5,23
2
3
2
4,43
4,43
3
4
3
3,76
3,89
4
6
4
3,36
2,95
5
7,5
5,5
3,09
3,36
6
9
6,3
2,95
3,09
7
11
7
2,68
2,95
8
12,5
8,5
2,68
2,82
9
14
9,5
2,55
2,82
10
16
11
11
17,5
12
12
19,5
13
13
21
14,5
14
22,5
25,7
15
23,5
17
16
24
18
Yang et al, 2007
(g/KWh)
Diesel
B20
CO
1,10
1,09
NOx
5,30
5,73
HC
0,07
0,08
PM
0,09
0,12
Yucesu et al, 2006
E0
E10
E20
E40
E60
CO(%)
0,67
0,66
0,70
0,65
0,64
HC(ppm)
116
109
115
105
112
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
APPENDICE 2
Questionario inviato agli agricoltori per la raccolta dei dati relativi alla fase di produzione
agricola del frumento
1. DOMANDE PRELIMINARI
Per favore si cerchi di fare in modo che i dati della seguente inchiesta siano riferiti a situazioni
standard, evitando, per precauzione dati che possano derivare da situazioni straordinarie. Per
esempio evitate i dati di anni estremamente piovosi o estremamente secchi.
•
•
•
•
Durata della coltivazione?
Numero di tagli all’anno?
Terreni aridi / irrigazione?
Rendimento della produzione(kg o t/ha)?
2. DESCRIZIONE DELLA COLTIVAZIONE
Per favore si confermi (marcando con un √ )l’ esecuzione delle seguenti attività. In caso siano da
eseguire più di una volta all’anno si indichi il numero di volte e la periodicità.
Preparazione del terreno :
Aratura
Fresatura
Erpicatura con erpice rotante
Erpicatura con erpice a molle o denti
Passaggio del rullo
Concimatura
Diserbo
Correzione del PH (con calce o altro, indicare solo se prassi corrente)
…..
…..
…..
Semina:
Semina
Concimatura
Diserbo
Irrigazione
……
……
……
Operazioni Colturali :
Sarchiatura
Rincalzatura
Diserbo
Concimatura
Irrigazione
113
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Sfalcio
Raccolta
Chiusura del ciclo(se si tratta di lavorazioni post raccolta de terreno vanno da attribuire al ciclo
successivo)
Trattamento dei residui(indicare se avviene imballatura delle paglie o degli stocchi o se i residui
vengono interrati con lavorazioni meccaniche)
Terreno a riposo per___ mesi
3. MACCHINARI
Si descrivano in questa parte i trattori e gli attrezzi che vengono usati nelle attività precedenti
TRATTORI
TRATTORE
1
TRATTORE
2
TRATTORE
3
TRATTORE
4
Marca
Potenza(KW/cv)
Peso(kg)
Vita utile(anni)
Uso annuo(h/ha)
Combustibile(diesel/benzina..)
Attività compiute
Consumo combustibile
(l/h)
Attrezzi( aratro, erpice rotante, erpice a molle o denti, rullo, spandiconcime, seminatrice, barra
diserbo, sfalciatrice, mietitrebbia, altri)
aratro
Erpice
Erpice a
rullo
sfalciatrice mietitrebbia
rotante
molle o
denti
Peso(kg)
Vita utile
(anni)
Uso annuo
(h/ha)
Peso dei
ricambi(kg)
Vita utile dei
ricambi(mesi)
Barra
diserbo
sfalciatrice
seminatrice
Peso
Vita utile
(anni)
Uso annuo
114
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
(h/ha)
Peso dei ricambi(kg)
Vita utile dei ricambi(mesi)
Altri attrezzi
(indicare nome)
Peso
Vita utile
(anni)
Uso annuo
(ha)
Peso dei
ricambi(kg)
Vita utile dei
ricambi(mesi)
MACCHINE AUTOAZIONANTI
Nome
Potenza (kW o cv)
Peso(kg)
Vita utile(anni)
Uso annuo (ha)
Combustibile
(diesel/benzina..)
Attività compiute
Consumo
combustibile
(l/h)
4. IRRIGAZIONE
Si descriva il sistema di irrigazione utilizzato:
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
Pompa installata:
capacità:
potenza:
ore di uso ad irrigazione:
irrigazione durante la semina
115
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Origine dell’acqua: pozzo/fiume/rete di somministrazione/altro
Numero di irrigazioni:_____
Quantità di acqua applicata per irrigazione:________m3/ha
Irrigazione durante la manutenzione
Origine dell’acqua : pozzo/fiume/rete di somministrazione/altro
Numero di irrigazioni:_____
Quantità di acqua applicata per irrigazione:________m3/ha
5. FERTILIZZANTI
Nome
commerciale
Fertilizzanti Azotati
Titolo(% di
Dose
Modo di
Se
Principio
(kg/ha)
applicazione liquido:quantità
Attivo)2
(solido/liquido)
Acqua di
diluizione
In fase di
preparazione
In fase di
copertura
Nome
commerciale
Fertilizzanti fosfatici
Titolo(% di
Dose
Modo di
Se
Principio
(kg/ha)
applicazione liquido:quantità
Attivo)
(solido/liquido)
Acqua di
diluizione
In fase di
preparazione
In fase di
copertura
Nome
commerciale
Titolo(% di
Principio
Attivo)
fertilizzanti potassici
Dose
Modo di
Se
(kg/ha)
applicazione liquido:quantità
Acqua di
(solido/liquido)
diluizione
In fase di
preparazione
In fase di
copertura
2
I titoli sono espressi in contenuto % di N, P2O5 e K2O rispettivamente per azotati, fosfatici e potassici
116
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Nome
commerciale
Fertilizzanti organici
titolo (% di
Dose
Modo di
Se
principi attivi)
(kg/ha)
applicazione liquido:quantità
(solido/liquido)
Acqua di
diluizione
In fase di
preparazione
In fase di
copertura
Fertilizzanti complessi(aventi più di un elemento fertilizzante)3
Nome
titolo (% di
Dose
Modo di
Se
commerciale principi attivi)
(kg/ha)
applicazione liquido:quantità
(solido/liquido)
Acqua di
diluizione
In fase di
preparazione
In fase di
copertura
6. CORREZIONE DEL PH (SE EFFETTUATA)
Cosa si utilizza per correggere?(marca commerciale e concentrazione)
Quantità?
Frequenza di applicazione?
7. GESTIONE PARASSITI E MALATTIE
Quante applicazioni all’anno:
Durante la preparazione del suolo:__________
Durante la manutenzione:_________________
3
per i complessi il titolo è costituito da 3 numeri che rappresentano nell’ordine N, P2O5 e K2O, esempio: 8-24-24 è un
concime che ha per 100 kg 8 kg di N, 24 di P2O5 e 24 di K2O
117
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Gruppo
Nome
(insetticidi/erbicidi/
commerciale e
fungicidi)
ingrediente attivo
Dosi
(kg o l/ha)
Data
dell’applicazione
Concentrazione
(%)
8. SEMI
Per favore si includa la provenienza dei semi:
Per favore si includa una descrizione del tipo di semi(varietà, con o senza certificazione…)
Che densità di piante per ettaro hanno?
9. PRODOTTO RACCOLTO
Rendimento (tonnellate di materia fresca per ha):
Anno 1
Anno 2
Anno 3
Anno 4
Anno 5
Si indichi la destinazione del prodotto(%):
Consumo diretto:__________
Essiccamento naturale: __________
Disidratazione:__________
118
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
APPENDICE 3
Classificazione - caratterizzazione del metodo di valutazione CML 2 baseline 2000,“emissioni
gas serra”
Substance
Correction Factor
Sulfur hexafluoride
2,39E+04 kg CO2 eq/kg
Methane, fluoro-, HFC-41
1,30E+04 kg CO2 eq/kg
Methane, trifluoro-, HFC-23
1,17E+04 kg CO2 eq/kg
Methane, chlorotrifluoro-, CFC-13
1,17E+04 kg CO2 eq/kg
Ethane, cloropentafluoro-, CFC-115
9,30E+03 kg CO2 eq/kg
Ethane, 1,2-dichloro-1,1,2,2,-tetrafluoro-, CFC-114
9,30E+03 kg CO2 eq/kg
Ethane, hexafluoro-, HFC-116
9,20E+03 kg CO2 eq/kg
Cyclobutane, octafluoroMethane, dichlorodifluoro-, CFC-12
Pentane, perfluoroHexane, perfluoroPropane, perfluoroButane, perfluoroMethane, tetrafluoro-, FC-14
Propane, 1,1,1,3,3,3-hexafluoro-, HCFC-236fa
Methane, bromotrifluoro-, Halon 1301
Ethane, 1,1,2-trichloro-1,2,2-trifluoro-, CFC-113
Methane, trichlorofluroro-, CFC-11
Ethane,1,1,1-trifluoro-, HCFC-143a
Propane, 1,1,1,2,3,3,3-heptafluoro-, HCFC-227
Ethane, pentafluoro-, HFC-125
Ethane, 1-chloro-1,1-difluoro-, HCFC-142
Methane, chlorodifluoro-HCFC-142
Methane, tetrachloro-, CFC-10
Pentane,2,3-dihydroperfluoro, HFC-4310mee
Ethane,1,1,1,2-tetrafluoro-, HFC-134a
Ethane,1,1,2,2-tetrafluoro-, HFC-134
Methane, difluoro-, HFC-32
Ethane, 1,1-dichloro-1-fluoro-, HCFC-141b
Propane,1,1,2,2,3-pentafluoro-,HFC-245bca
Propane,1,3-dichloro-1,1,2,2,3-pentafluoro-, HFC-245ca
Ethane, 2-chloro-,1,1,1,2-tetra-fluoro-, HCFC-124
Dinitrogen monoxide
Ethane,1,1,2-trifluoro-, HFC-143
Propane,3,-dichloro-1,1,1,2,2-pentafluoro-,HCFC-225ca
Ethane,1,1-difluoro,-HCFC-140
Ethane, 1,1,.trichloro-, HCFC-140
Ethane, 2,2-dichloro-1,1,1-trifluoro-, HCFC-123
Methane
methane, dichloro-, HCC-30
Chloroform
Carbon dioxide, fossil
carbon dioxide
Carbon dioxide, in air
carbon dioxide, biogenic
8,70E+03
8,50E+03
7,50E+03
7,40E+03
7,00E+03
7,00E+03
6,50E+03
6,30E+03
5,60E+03
5,00E+03
4,00E+03
3,80E+03
2,90E+03
2,80E+03
2,00E+03
1,70E+03
1,40E+03
1,30E+03
1,30E+03
1,00E+03
6,50E+02
6,30E+02
5,60E+02
5,30E+02
4,80E+02
3,10E+02
3,00E+02
1,70E+02
1,40E+02
1,10E+02
9,30E+01
2,10E+01
9,00E+00
4,00E+00
1,00E+00
1,00E+00
1,00E+00
1,00E+00
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
kg CO2 eq/kg
119
Politecnico di Milano, DIIAR Sez. Ambientale - Progetto Kyoto, U.O SP2 – Biocombustibili
Classificazione - caratterizzazione del metodo di valutazione Ecoindicator 95,“risorse
energetiche”
Energy input
3
Oil, crude, 38400 MJ per m , in ground
gas, off-gas, oil production, in ground
3
Gas, mine, off-gas, process, coal mining/m
Gas, natural, in ground
3
Gas, natural, 36.6 MJ per m , in ground
3
Gas, petroleum, 35 MJ per m , in ground
3
Gas, natural, feedstock, 35 MJ per m , in ground
3
Gas, natural, 35 MJ per m , in ground
Uranium, 2291 GJ per kg, in ground
Uranium, in ground
Uranium, 560 GJ per kg, in gorund
Uranium, 451 GJ per kg, in ground
Uranium ore, 1.11 GJ per kg, in ground
Gas, mine, off-gas, process, coal mining/KG
Gas, natural, feedstock, 48.8 MJ per kg, in gorund
Gas, natural, 48.8 MJ per kg, in gorund
Oil, crude, in ground
Oil, crude, 42.7 MJ per kg, in ground
Oil, crude, 42.6 MJ per kg, in ground
Oil, crude, feedstock, 42 MJ per kg, in ground
Oil, crude, 42 MJ per kg, in ground
Oil, crude, feedstock, 41 MJ per kg, in ground
Oil, crude, 41 MJ per kg, in ground
Methane
Gas, natural, 30.3 MJ per kg, in ground
Coal, 29.3 MJ per kg, in ground
Coal, feedstock, 26.4 MJ per kg, in ground
Coal, 26.4 MJ per kg, in ground
Coal, hard, unspecified, in ground
Coal, 18 MJ per kg, in ground
Wood, unspecified, standing/kg
Wood, feedstock
Peat, in ground
Coal, brown, in ground
Coal, brown, 10 MJ per kg, in ground
Wood and wood waste, 9.5 MJ per kg
Coal, brown, 8 MJ per kg, in ground
Water, barrage
Steam from inceneration
Energy, unspecified
Energy, solar
Energy, recovered
Energy, potential, stock, in barrage water
Energy, kinetic, flow, in wind
Energy, gross calorific value, in biomass
Energy, geothermal
Energy, from wood
Energy, from uranium
Energy, from sulfur
Energy, from peat
Energy, from oil
Energy, from hydrogen
Energy, from hydropower
Energy, from gas, natural
Energy, from coal, brown
Energy, from coal
Energy, from biomass
Biomass, feedstock
PCI
3
38400 MJ/m
3
40,9 MJ/m
3
39,8 MJ/m
3
38,8 MJ/m
3
36,6 MJ/m
3
35 MJ/m
3
35 MJ/m
3
35 MJ/m
2291000 MJ/kg
560000 MJ/kg
560000 MJ/kg
451000 MJ/kg
1110 MJ/kg
49,8 MJ/kg
46,8 MJ/kg
46,8 MJ/kg
45,8 MJ/kg
42,7 MJ/kg
42,6 MJ/kg
42 MJ/kg
42 MJ/kg
41 MJ/kg
41 MJ/kg
35,9 MJ/kg
30,3 MJ/kg
29,3 MJ/kg
26,4 MJ/kg
19,1 MJ/kg
18 MJ/kg
15,3 MJ/kg
15,3 MJ/kg
13 MJ/kg
13 MJ/kg
10 MJ/kg
10 MJ/kg
9,5 MJ/kg
8 MJ/kg
0,01 MJ/kg
1 MJ/MJ
1 MJ/MJ
1 MJ/MJ
1 MJ/MJ
1 MJ/MJ
1 MJ/MJ
1 MJ/MJ
1 MJ/MJ
1 MJ/MJ
1 MJ/MJ
1 MJ/MJ
1 MJ/MJ
1 MJ/MJ
1 MJ/MJ
1 MJ/MJ
1 MJ/MJ
1 MJ/MJ
1 MJ/MJ
1 MJ/MJ
1 MJ/MJ
120
Scarica

POLITECNICO DI MILANO